• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA OLEH HENI SULISTYOWATI H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA OLEH HENI SULISTYOWATI H"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA INDUSTRI

MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

OLEH

HENI SULISTYOWATI H14104084

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

RINGKASAN

HENI SULISTYOWATI. Analisis Integrasi Vertikal pada Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO)

Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang penting bagi konsumen dan merupakan salah satu komoditas yang cukup strategis. Dilihat dari penggunaan bahan bakunya, industri minyak goreng merupakan industri yang memegang peranan penting sebagai pengguna output industri hulunya. Industri hulu yang dimaksud adalah industri minyak kelapa sawit, minyak kelapa dan industri lainnya, yang dari produknya dapat dihasilkan produk turunan sebagai bahan baku minyak goreng. Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia setelah Malaysia. Hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat mengembangkan industri minyak goreng nasional khususnya minyak goreng asal kelapa sawit.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) penggunaan input crude palm oil (CPO) pada industri minyak goreng sawit rata-rata per tahun lebih dari 90 persen. Akibat dari besarnya kebutuhan industri minyak goreng sawit akan CPO membuat produsen minyak goreng sawit memandang bahwa melakukan integrasi vertikal dengan produsen CPO akan sangat menguntungkan dan menjamin ketersediaan input industri tersebut. Seperti yang dilakukan oleh PT Smart Tbk dan PT Intiboga Sejahtera yang masing-masing merupakan anak perusahaan dari Grup Sinar Mas dan Grup Salim yang bekerjasama dengan induk perusahaan dalam hal bahan baku.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi tingkat integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit di Indonesia. Setelah mengetahui akar permasalahan yakni faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi vertikal maka diharapkan akan semakin mudah dalam mengatasi dan bahkan mengurangi secara bertahap tingkat integrasi vertikal yang dapat merugikan kesejahteraan masyarakat. Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, pertumbuhan permintaan, ukuran rata-rata perusahaan, biaya input, nilai output, harga bahan baku utama, jumlah ekspor bahan baku utama, dan efisiensi-x.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder yang diperoleh dari industri besar dan sedang yang ada di BPS. Data yang digunakan berupa data kuartalan dari tahun 1991.4-2005.4. Rasio konsentrasi industri dapat dianalisis dengan menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar, efisiensi-x dapat dianalisis dengan membagi nilai tambah dengan biaya input, sedangkan tingkat pertumbuhan permintaan didapatkan dari rasio nilai output nominal tahun t dengan nilai output nominal tahun t-1, dan

(3)

ukuran rata-rata perusahaan dapat diukur dengan membagi jumlah total nilai output yang diproduksi dengan jumlah perusahaan. Data-data tersebut diriilkan dengan menggunakan IHPB sebagai deflator.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah Error Correction Model (ECM). Penggunaan metode analisis ini didasarkan kemampuan metode tersebut untuk menganalisis hubungan antar variabel dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Analisis jangka panjang menggunakan persamaan kointegrasi, sedangkan analisis jangka pendek (dinamis) menggunakan ECM. Pengujian stasioneritas data yang digunakan terhadap seluruh variabel dalam model penelitian didasarkan pada Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Perhitungannya menggunakan komputer dengan bantuan software Excel dan E-views 4.1

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CR4 memiliki hubungan positif terhadap tingkat integrasi vertikal baik pada jangka panjang maupun jangka pendek. Akan tetapi, dalam jangka panjang pengaruh CR4 ini tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Pertumbuhan permintaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal pada jangka panjang, sedangkan pada jangka pendek variabel ini tidak berpengaruh signifikan sehingga harus dibuang dalam permodelan. Ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal, baik pada jangka panjang maupun jangka pendek. Biaya input berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Nilai output berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Harga komoditi bahan baku utama mempunyai pengaruh yang positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek variabel ini berpengaruh signifikan. Jumlah ekspor bahan baku utama industri minyak goreng sawit mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal dalam jangka panjang. Sedangkan dalam jangka pendek variabel ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat integrasi vertikal. Efisiensi-x mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dalam membuat kebijakan pada industri minyak goreng sawit sebaiknya memperhatikan hal-hal yang dapat meningkatkan tingkat integrasi vertikal, dan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan sebaiknya harus konsisten dengan apa yang telah dibuat dan sebaiknya memberikan ganjaran dan hukuman bagi para pelaku yang terlibat. Diharapkan dari langkah-langkah tersebut praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat berkurang.

(4)

ANALISIS INTEGRASI VERTIKAL PADA INDUSTRI

MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Oleh

HENI SULISTYOWATI H14104084

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(5)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Heni Sulistyowati

Nomor Registrasi Pokok : H14104084 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Integrasi Vertikal pada Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. NIP. 131. 644. 945

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 131.846.872 Tanggal Kelulusan:

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

Heni Sulistyowati H14104084

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Heni Sulistyowati lahir pada tanggal 11 Oktober 1986 di Jakarta. Penulis anak terakhir dari lima bersaudara, dari pasangan Redjeb Budiraharjo dan Amirah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Pondok Pinang 10 Jakarta, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 19 Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 46 Jakarta dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswi yang dulu bernama Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan tetapi sekarang berubah nama menjadi Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Hipotesa, HMI Komisariat FEM dan KOPMA.

(8)

ALHAMDULILLAH………

SYUKUR KEPADA ALLAH SWT DENGAN SEGENAP

KEMAMPUAN DAN MENGHARAP RIDHA-NYA

KUPERSEMBAHKAN KARYA KECIL INI SEBAGAI AWAL

PERJUANGANKU UNTUK MAMA DAN BAPAK TERCINTA

AKU TIDAK AKAN BISA BERPERANG MELAWAN

KETERPURUKANKU TANPA DOA KALIAN...

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis mengucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah " Analisis Integrasi Vertikal pada Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya ". Integrasi vertikal merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena disamping integrasi vertikal merupakan strategi yang dapat meningkatkan efisiensi, namun dapat pula menimbulkan perilaku antipersaingan. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya dalam industri minyak goreng sawit. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini dapat diselesaikan berkat semangat, bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya.

2. Bapak Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

3. Bapak Nunung Nuryantoro, Ph.D. selaku Dosen Penguji Utama atas kesediaan serta arahan, saran, kritik, dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 4. Bapak Irfan Syauqi Beik, M.Sc. selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan

atas kesediaan serta arahan, saran, kritik, dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

5. Para peserta Seminar Hasil Penelitian skripsi ini atas kritik dan saran yang membantu.

(10)

6. Bapak Ari Tonang, Bapak Bambang Soediono, Bapak Tom, Bapak Dede dan Bapak Triyono yang telah membantu penulis dalam memberikan data-data yang dibutuhkan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar.

7. Keluarga tercinta, Mama, Bapak, mas Koes, mba Ike, mba Endah, Aa Didin, mba Iseh, da Rigo, dan mba Rini yang selalu memberikan semangat dan dukungan serta doa untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini secepatnya.

8. Aditya Wardiman yang selalu memberikan semangat, dukungan pengorbanan serta doa agar skripsi ini terselesaikan.

9. Sahabat dan teman-teman Ilmu Ekonomi 41 yang banyak membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini, khususnya hanu, della, dila, sesi, cai, baba, dora, teja, nisa, mair, yanut, yeye, tika, dawi, mami, tata, deky, ka elly, ka rico, om, teh lea, ka rio, ka abang dan yang lainnya.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca, baik dari segi materi maupun dari segi teknis penyajian.

Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan

Bogor, Mei 2008

Heni Sulistyowati H14104084

(11)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………. DAFTAR GAMBAR……….……… DAFTAR LAMPIRAN………. I. PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang... 1.2. Perumusan Masalah... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.4. Kegunaan Penelitian... 1.5. Ruang Lingkup……….. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 2.1. Konsep Ekonomi Industri... 2.2. Pengertian Industri Pengolahan... 2.3. Pendekatan Integrasi Vertikal... 2.3.1. Definisi Integrasi Vertikal... 2.3.2. Jenis-jenis Integrasi Vertikal... 2.3.3. Konsep Dasar Integrasi Vertikal... 2.4. Motif Integrasi Vertikal... 2.5. Manfaat Integrasi Vertikal... 2.6. Biaya Integrasi Vertikal... 2.7. Penelitian Terdahulu... 2.7.1. Penelitian Mengenai Industri Minyak Goreng Sawit... 2.7.2. Penelitian Mengenai Integrasi Vertikal... 2.8. Kerangka Pemikiran... 2.9. Hipotesis... III. METODE PENELITIAN...

3.1. Jenis dan Sumber Data...

i ii iii 1 1 7 9 10 10 12 12 13 13 13 14 17 18 22 26 28 28 31 34 37 40 40

(12)

3.2. Metode Analisis Data... 3.2.1. Uji Stasioneritas Data... 3.2.2. Uji Kointegrasi... 3.2.3. Error Correction Model (ECM)... 3.2.4. Diagnostic Test... 3.2.4.1. Uji Normalitas... 3.2.4.2. Uji Heteroskedastisitas... 3.2.4.3. Uji Autokorelasi... IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT.... 4.1 Profil Minyak Kelapa Sawit... 4.2. Kegunaan dan Keunggulan Minyak Kelapa Sawit... 4.3. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Minyak Goreng Indonesia.. 4.4. Dampak Pajak Ekspor (PE) CPO... 4.5. Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia... V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 5.1. Kestasioneran Data... 5.2. Uji Kointegrasi... 5.3. Error Correction Model (ECM) ... 5.4. Diagnostic Test... 5.4.1. Uji Normalitas... 5.4.2. Uji Heteroskedastisitas... 5.4.3. Uji Autokorelasi... 5.5. Ringkasan Hasil Penelitian... 5.5.1. Jangka Panjang... 5.5.2. Jangka Pendek... VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 42 44 46 48 51 51 52 53 54 54 56 58 65 68 75 75 78 86 96 97 97 98 99 99 100 102 102 104 106 108

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1.1. Produk Domestik Bruto Indonesia menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga yang Berlaku ... 1.2. Konsumsi dan Produksi Minyak Goreng Indonesia... 1.3. Neraca Perdagangan Luar Negeri Minyak Goreng ... 1.4. Perkembangan Ekspor dan Impor CPO Indonesia ... 1.5. Penggunaan Input CPO pada Industri Minyak Goreng Sawit.. 1.6. Produsen CPO dan Perusahaan MGS yang Berintegrasi Vertikal... 3.1. Data, Simbol dan Sumber Data Penelitian... 4.1. Hasil Olahan CPO... 4.2. Produksi dan Biaya Produksi Minyak... 4.3. Perusahaan dengan Produk yang Dihasilkan... 4.4. Pangsa Pasar Tiga Besar Merek Minyak Goreng Sawit... 5.1. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level... 5.2. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada First Difference.... 5.3. Hasil Estimasi Persamaan Jangka Panjang...

5.4. Uji Akar Unit Level terhadap Residual Persamaan Jangka Panjang Integrasi Vertikal...

5.5. Error Correction Model untuk Integrasi Vertikal dengan Variabel yang Signifikan...

5.6. Hasil Uji Heteroskedastisitas……….………

5.7. Hasil Uji Autokorelasi Error Correction Model untuk Tingkat Integrasi Vertikal...

2 4 5 5 6 8 40 56 57 69 72 76 77 79 85 86 98 97

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian...

5.1. Hasil Uji Normalitas Error Correction Model Tingkat Integrasi Vertikal...

36

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Tarif Ekspor terhadap

Keragaan Makroekonomi (perubahan persentase)……… 2. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Tarif Ekspor terhadap Pendapatan Riil Rumah Tangga (perubahan persentase)... 3. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Tarif Ekspor terhadap

Konsumsi Rumah Tangga (persen)... 4. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Tarif Ekspor terhadap Harga dan Output Sektoral (persen)... 5. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Tarif Ekspor terhadap Ekspor, GDP, Harga dan Output Domestik Negara Malaysia (perubahan persentase)... 6. Data Riil Penelitian... 7. Hasil Uji Akar pada Tingkat Level... 8. Hasil Uji Akar pada Tingkat First Difference... 9. Hasil Uji Persamaan OLS untuk Estimasi Jangka Panjang... 10.Hasil Uji Akar Tingkat Level terhadap Residual Persamaan Jangka Panjang Integrasi Vertikal... 11.Hasil Estimasi Error Correction Model untuk Tingkat Integrasi Vertikal dengan Lag (selang) 4 yang Signifikan... 12.Hasil Uji Normalitas... 13.Hasil Uji Heteroskedastisitas... 14.Uji Autokorelasi Error Correction Model untuk Model Tingkat

Integrasi Vertikal... 15. Produsen dan Kapasitas Produksi Minyak Goreng Sawit...

108 108 109 110 110 111 114 117 120 121 122 123 123 125 126

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara yang sedang mengalami proses pembangunan ekonomi secara jangka panjang akan membawa perubahan yang mendasar dalam struktur ekonomi negara itu sendiri. Salah satu indikator dari perubahan tersebut adalah bergesernya struktur ekonomi tradisional yang menitik beratkan pada sektor pertanian ke arah struktur ekonomi modern yang lebih didominasi oleh sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi Indonesia, peranan sektor industri semakin besar dan mengalami pertumbuhan yang paling cepat jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Sektor industri, khususnya industri pengolahan mampu berperan sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Rata-rata kontribusi industri pengolahan dalam PDB terus mengalami kemajuan, terutama dari tahun 2003 ke tahun 2004 yang mengalami kemajuan paling pesat (lihat Tabel 1.1).

Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang penting bagi konsumen dan mampu menghasilkan devisa bagi negara dalam jumlah yang besar. Selain itu, dapat juga menjadi salah satu sumber penerimaan pajak yang potensial, penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani (Amang et al,.1996). Industri minyak goreng juga merupakan salah satu komponen dari sistem industri pengolahan pertanian yang sangat luas, mulai dari usaha pertanian kelapa dan kelapa sawit sebagai bahan baku dari minyak goreng hingga industri yang menggunakan minyak goreng sebagai salah satu dari faktor

(17)

produksinya maupun pedagang yang memasarkan minyak goreng untuk konsumsi rumah tangga.

Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto Indonesia menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga yang Berlaku (dalam miliar rupiah)

No Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 526 655.6 594 634.1 651 307.6 663 106 731 119.2 430 493.9 2 Pertambangan dan Penggalian 349 903.2 330 643.4 319 975.6 370 579.2 543 611.2 354 626.9 3 Industri Pengolahan 1 455 615 1 677 607 429 513 1 830 092 2 163 916 936 361.9 4 Listrik, Gas

dan Air Bersih 10 854.7 14 714.2 19 540.8 22 066.7 24 993.2 30 398.5

5 Bangunan 89 298.9 99 366.1 112 571.3 143 052.3 173 440.6 249 127.8 6 Perdagangan, Hotel,dan Restoran 311 345.7 383 729.1 412 045.2 450 609.4 523 463.6 496 336.2 7 Pengangkutan dan Komunikasi 154 375.3 195 940.5 236 534.7 284 584 361 937.4 230 921.6 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa perusahaan 270 739.6 307 716.2 348 647.3 388 858.6 456 275.8 271 543.1 9 Jasa Lainnya 304 515.9 328 384.6 396 138.6 469 240.8 551 281.8 338 385.8 PDB 3 473 303 3 932 735 2 926 274 4 622 189 5 530 039 3 338 196 Sumber : Bank Indonesia (2006)

Ket: * = Angka sementara

Minyak goreng dikonsumsi hampir oleh seluruh masyarakat, baik ditingkat rumah tangga maupun industri makanan. Fungsi minyak goreng di kedua tingkat tersebut pada umumnya bukan sebagai bahan baku namun hanya sebagai bahan pembantu. Fungsi minyak goreng sangat penting dalam menciptakan aroma, rasa, warna, daya simpan dan beberapa hal juga dapat sebagai alat peningkat gizi. Kebutuhan minyak goreng untuk memenuhi

(18)

kebutuhan rumah tangga dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang pesat sejalan dengan peningkatan konsumsi perkapita. Kecenderungan meningkatnya rata-rata konsumsi perkapita tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tercatat pada tahun 2000 penduduk Indonesia berjumlah 203.02 juta jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1.35 persen pertahun dan menjadi 213.72 juta jiwa pada tahun 2004 (BPS, 2004). Selain karena alasan peningkatan pertumbuhan penduduk juga dikarenakan oleh perubahan pola konsumsi penduduk, pendapatan dan sedikit banyak dipengaruhi pula oleh perkembangan dalam budaya masak-memasak.

Perkembangan konsumsi minyak goreng selama ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya oleh daya beli masyarakat. Di dalam negeri beberapa tahun terakhir konsumsi minyak goreng khususnya minyak goreng sawit menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Jika pada tahun 2002 konsumsinya tercatat sebesar 1.35 juta ton, pada 2005 telah mencapai 1.47 juta ton. Namun, pada 2006 konsumsinya sedikit menurun menjadi 1.45 juta ton (lihat Tabel 1.2). Hal tersebut terjadi dikarenakan ketika pada akhir 2005 pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga permintaan minyak goreng sawit pun menurun. Permintaan minyak goreng sawit yang menurun juga disebabkan karena pada saat itu keadaan harga minyak goreng sawit juga meningkat, sehingga dengan melonjaknya harga minyak goreng sawit saat itu juga membuka peluang terjadinya penurunan konsumsi.

Produksi minyak goreng juga mengalami pertumbuhan, khususnya untuk minyak goreng sawit. Hal ini didorong oleh meningkatnya permintaan pasar

(19)

dalam negeri dan ekspor. Walaupun begitu, realisasi produksi ini masih jauh dibandingkan dengan kapasitasnya. Produksi minyak goreng sawit pada 2002 tercatat 3.73 juta ton. Produksi ini terus tumbuh, sehingga pada 2006 mencapai 4.51 juta ton, padahal kapasitasnya 9 juta ton. Sementara itu, produksi minyak goreng kelapa tidak mengalami peningkatan yang berarti (lihat Tabel 1.2). Hal ini dikarenakan masalah pasokan bahan baku kelapa dan nilai ekspornya yang sangat kecil.

Tabel 1.2. Konsumsi dan Produksi Minyak Goreng Indonesia 2002-2006

Tahun Konsumsi (Juta Ton) Produksi (Juta Ton) Minyak Goreng Sawit Minyak Goreng Kelapa Minyak Goreng Sawit Minyak Goreng Kelapa 2002 1.35 0.62 3.73 0.72 2003 1.34 0.64 3.70 0.76 2004 1.45 0.66 3.96 0.73 2005 1.47 0.66 4.17 0.77 2006 1.45 0.67 4.51 0.82 Rata-rata 1.41 0.65 4.01 0.76

Sumber : Warta Ekonomi, 2007

Berdasarkan Tabel 1.3, dapat dilihat pada periode 2002-2006 neraca perdagangan luar negeri minyak goreng Indonesia relatif meningkat khususnya pada pasar ekspor minyak goreng. Pada periode tersebut peningkatan rata-rata volume ekspor minyak goreng mencapai 6.78 persen per tahun. Nilai rata-rata ekspor meningkat 16.18 persen pada tahun 2002 sebesar dari 2.48 juta ton (US $ 0.85 miliar) menjadi 3.21 juta ton (US $ 1.54 miliar) pada tahun 2006. Jika dilihat dari nilai dan volume impor, selama periode 2002-2006 terjadi peningkatan

(20)

rata-rata 36.85 persen dan 35.97 persen per tahun. Volume impor pada tahun 2002 sebesar 6.39 ribu ton (US $ 3.25 juta) meningkat menjadi 15.06 ribu ton (US $ 9.79 juta) pada tahun 2006. Peningkatan tersebut akibat adanya kenaikan kapasitas ekspor dari Crude Palm Oil (CPO) (lihat Tabel 1.4) sebagai bahan baku yang lebih sering dipakai dalam proses produksi pabrik minyak goreng sehingga kekurangan tersebut ditutup dengan membuka keran impor minyak goreng. Tabel 1.3. Neraca Perdagangan Luar Negeri Minyak Goreng, 2002-2006

Tahun Ekspor Impor Volume (Juta Ton) Trend (%) Nilai (US $ Miliar) Trend (%) Volume (Ribu Ton) Trend (%) Nilai (US$ Juta) Trend (%) 2002 2.48 0.85 6.39 3.25 2003 2.48 0 0.99 16.47 5.93 (7.19) 3.57 9.85 2004 2.59 4.43 1.1 11.11 6.72 13.32 5.5 54.06 2005 2.83 9.27 1.22 10.90 16.6 147.02 10.43 89.64 2006 3.21 13.43 1.54 26.23 15.06 (9.28) 9.79 (6.14) Rata-rata 2.72 6.78 1.14 16.18 10.14 35.97 6.51 36.85 Sumber : Warta Ekonomi ( 2007), diolah

Tabel 1.4. Perkembangan Ekspor dan Impor CPO Indonesia, 1999-2005

Tahun Ekspor CPO Impor CPO

Volume (Ton) Trend (%) Volume (Ton) Trend (%)

1999 3 298 986 1 648 2000 4 110 027 24.58 3 767 128.58 2001 4 903 218 19.29 141 (96.26) 2002 6 333 708 29.18 9 499 6 636.88 2003 6 386 410 0.83 4 014 (57.74) 2004 8 661 647 35.63 4 320 7.62 2005 10 376 190 19.79 10 645 146.41 Rata-rata 6 295 740.86 21.55 4 862 1 127.58

(21)

Minyak goreng adalah salah satu komoditas yang cukup strategis. Dilihat dari bahan bakunya, industri minyak goreng merupakan industri yang memegang peranan penting sebagai pengguna output industri hulunya. Industri hulu yang dimaksud yaitu industri minyak kelapa sawit, industri minyak kelapa dan industri lainnya yang dari produknya dapat dihasilkan produk turunan sebagai bahan baku minyak goreng. Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia setelah Malaysia. Hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat mengembangkan industri minyak goreng nasional khususnya minyak goreng asal kelapa sawit.

Menurut data BPS, penggunaan input CPO pada industri minyak goreng sawit rata-rata per tahun lebih dari 90 persen (lihat Tabel 1.5). Akibat dari besarnya kebutuhan industri minyak goreng sawit akan CPO membuat produsen minyak goreng sawit memandang bahwa melakukan integrasi vertikal dengan produsen CPO akan sangat menguntungkan dan menjamin ketersediaan input industri tersebut.

Tabel 1.5. Penggunaan Input CPO pada Industri Minyak Goreng Sawit, 2001-2005

Tahun Input CPO (000Rp) Input Total (000Rp) Persentase (%) 2001 3 304 235 109 3 464 297 064 95.38 2002 10 308 488 728 11 058 231 402 93.22 2003 28 668 737 743 30 343 993 252 94.48 2004 23 093 056 361 24 411 543 158 94.60 2005 28 508 377 694 29 946 567 897 95.20 Rata-rata 18 776 579 127 19 844 926 554.6 94.58 Sumber: BPS, 2001-2005, diolah

(22)

1.2. Perumusan Masalah

Industri minyak goreng memiliki keterkaitan langsung kebelakang dengan kelapa sawit dan produk turunannya. Pada analisis keterkaitan langsung maupun langsung dan tidak langsung, industri minyak goreng sawit memiliki keterkaitan kebelakang (0,728 satuan dan 2,275 satuan) yang lebih besar daripada keterkaitan kedepan (0,352 satuan dan 1,455 satuan) (Windyarti, 2005). Hal ini dikarenakan industri minyak goreng sawit mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sektor kelapa sawit yang merupakan sektor penyedia input utama bagi industri tersebut, sedangkan keterkaitan kedepan yang rendah diakibatkan oleh output yang dihasilkan industri minyak goreng sawit lebih banyak dikonsumsi langsung oleh rumah tangga daripada digunakan sebagai input antara oleh sektor-sektor lainnya. Hal ini membuat produsen industri minyak goreng sawit memandang bahwa melakukan integrasi vertikal dengan penyedia input CPO akan sangat menguntungkan dan menjamin ketersediaan input industri tersebut. Strategi ini merupakan salah satu strategi yang biasa digunakan oleh banyak perusahaan dalam menjalankan usahanya. Seperti yang dilakukan oleh PT Smart Tbk dan PT Intiboga Sejahtera yang masing-masing merupakan anak perusahaan dari Sinar Mas Group dan Salim Group yang bekerjasama dengan induk perusahaan dalam hal bahan baku (lihat Tabel 1.6).

(23)

Tabel 1.6. Produsen CPO dan Perusahaan MGS yang Berintegrasi Vertikal

No Produsen CPO Perusahaan MGS

1 Salim Group PT. Intiboga Sejahtera

PT. Sawit Malinda PT. Salim Alam Permai PT. Salim Oil Grains

2 Sinar Mas Group PT. Smart Tbk

3 Astra Group PT. Astra Agro Lestari Tbk

4 Pacific Indo Mas Group PT. Pacific Medan Industri

PT. Pacific Palmindo

5 Asianagro Group PT. Asianagro Agungjaya

6 Musim Mas Group PT. Mikie Oleo Nabati

PT. Musim Mas PT. Mega Surya Mas PT. Intibenua Perkasa PT. Sumatera Oil Industries

7 Wilmar Group PT. Multimas Nabati Asahan

PT. Sinar Alam Permai PT. Bukit Kapur Reksa

8 BEST Group PT. Bintang Era Sinar Tama

PT. Berlian Eka Sakti Tangguh

9 Tunas Baru lampung Group PT. Tunas Baru lampung Tbk

10 PTPN IV PT. Pamina Adolina

Sumber: Departemen Perindustrian, 2007

Suatu industri dalam hal menjalankan usahanya dapat dipengaruhi oleh perilaku integrasi vertikal, hal ini menunjukkan bahwa integrasi vertikal merupakan suatu hal yang layak untuk diteliti maka dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan mengenai integrasi vertikal itu sendiri terlepas dari pengaruhnya terhadap kinerja suatu industri melainkan akan membahas

(24)

variabel-variabel yang dapat mempengaruhi integrasi vertikal. Dari berbagai hal yang telah diuraikan, maka permasalahan yang akan ditelaah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit Indonesia?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit Indonesia ?

3. Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap integrasi vertikal dalam jangka panjang dan jangka pendek?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjawab sejumlah faktor-faktor penting seputar keterkaitan antara industri minyak goreng sawit di Indonesia. Berdasarkan latar belakang dan indikasi permasalahan yang terjadi di Indonesia, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit Indonesia

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit di Indonesia

3. Menganalisis seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap integrasi vertikal dalam jangka panjang dan jangka pendek

(25)

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk menentukan kebijakan yang efisien dalam menyikapi permasalahan strategi integrasi vertikal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan juga diharapkan mampu mengambil sikap bijak dalam menghadapi permasalahan persaingan usaha yang tidak sehat. Dan pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang dapat membantu pemerintah dalam mengurangi persaingan usaha tidak sehat tersebut. Secara rinci, kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai integrasi vertikal di industri minyak goreng sawit

2. Sebagai bahan referensi bagi pembaca dan informasi bagi peneliti lainnya untuk penelitian lebih lanjut

3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan di sektor industri minyak goreng sawit maupun di sektor kelapa sawit khususnya dalam integrasi vertikal.

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian mengkaji mengenai analisis integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menggunakan pendekatan metode Error Correction Model (ECM). Dalam pembahasan penelitian ini menekankan pada integrasi vertikal terjadi pada

(26)

industri minyak goreng sawit terlepas dari pengaruhnya terhadap kinerja suatu industri.

Dengan keterbatasan data, waktu dan biaya, maka penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Perindustrian (Depperin). Keterbatasan lainnya yaitu data yang digunakan hanya data dari periode 1991.4 -2005.4.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Konsep Ekonomi Industri

Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi ini membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Definisi ekonomi industri adalah bahwa pada dasarnya teori-teori yang terdapat dalam ekonomi industri menekankan pada ilmu ekonomi studi empiris dan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan kinerja sehingga tercapai tingkat efisiensi bagi perusahaan, industri serta perekonomian secara keseluruhan (Jaya, 2001).

Pengertian lain mengenai industri dapat dibedakan dalam lingkup mikro dan makro. Secara mikro, industri adalah kumpulan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Secara makro, industri diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan nilai tambah, yakni semua produk barang maupun jasa. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian industri secara luas adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak dalam lokasi tertentu serta memiliki catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut (Hasibuan, 1994).

(28)

2.2. Pengertian Industri Pengolahan

Usaha industri pengolahan adalah usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar (bahan mentah) menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau barang yang lebih tinggi nilainya sehingga lebih dekat kepada pemakai akhir untuk tujuan komersial, yang termasuk dalam sektor ini adalah perusahaan yang melakukan jasa industri, rancang bangun, perekayasaan serta pekerjaan perakitan (assembling) dari suatu barang. Suatu usaha yang melakukan sebagian proses industri demi suatu usaha industri atas dasar kontrak atau balas jasa juga dimasukkan sebagai industri pengolahan (BPS, 2004).

2.3. Pendekatan Integrasi Vertikal 2.3.1. Definisi Integrasi Vertikal

Integrasi vertikal adalah penggabungan perusahaan-perusahaan yang mempunyai keterkaitan proses produksi. Secara umum kegiatan integrasi vertikal ini dapat digolongkan dalam merjer (penggabungan) yaitu satu atau lebih perusahaan yang tidak sejenis dan juga tidak ada kaitan proses produksi dapat melakukan penggabungan tetapi dalam hal integrasi vertikal ini harus ada keterkaitan dalam kelanjutan proses produksi baik dari input maupun output (Hasibuan,1994).

Integrasi vertikal tersebar luas. Hampir semua perusahaan melakukan satu seri operasi yang sesungguhnya secara prinsip dapat dipisah-pisahkan. Beberapa perusahaan melakukan integrasi vertikal, sementara perusahaan lainnya hanya sedikit atau tidak melakukannya sama sekali (Jaya, 2001).

(29)

2.3.2. Jenis-jenis Integrasi Vertikal

Menurut Mulyaningsih dan Karseno dalam Nugrahandita (2007), terdapat tiga pola dalam integrasi vertikal yaitu pertama, bila perusahaan di hilir monopoli melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hulu yang bersifat kompetitif. Hal ini akan mendorong perluasan penggunaan input oleh perusahaan monopoli sehingga akan menghasilkan output akhir dalam jumlah yang lebih banyak pada harga yang lebih rendah. Dalam jangka pendek konsumen akhir akan diuntungkan dengan adanya integrasi vertikal ini. Turunnya harga produk akhir juga dikarenakan oleh turunnya komponen biaya sewa yang sebelumnya harus dibayarkan oleh perusahaan kepada perusahaan independen di hulunya.

Kedua, bila industri hulu monopoli melakukan integrasi vertikal dengan industri hilirnya yang bersifat kompetitif maka juga akan menurunkan harga produk akhir. Integrasi vertikal akan menurunkan margin antara harga monopoli dengan biaya marjinalnya karena monopoli itu sendiri yang menetapkan biaya marjinal dan harga produknya.

Ketiga, pola integrasi vertikal dengan produsen input di hulu bersifat monopoli dan pembeli inputnya bersifat monopoli juga akan menurunkan harga produk akhir. Hal ini diakibatkan oleh monopolisasi pasar oleh perusahaan dihilir karena dapat memperoleh inputnya melalui perusahaan monopoli yang terintegrasi dengannya. Integrasi vertikal dapat dilakukan melalui berbagai alternatif, yaitu :

(30)

1. Full Integration

Full integration dicirikan dengan suatu perusahaan yang terintegrasi memproduksi semua input bahan baku yang dibutuhkannya atau ketika suatu perusahaan menyalurkan semua output yang dihasilkan melalui anak perusahaan yang terintegrasi dengan perusahaan induk.

2. Tapered Integration

Tapered integration merupakan perpaduan antara integrasi vertikal dengan pertukaran pasar yaitu apabila perusahaan itu membeli input yang dibutuhkannya dari perusahaan lain selain input yang dihasilkannya sendiri atau menyalurkan hasil produksinya sendiri melalui perusahaan lain yang tidak terintegrasi.

Keuntungan dari tapered integration adalah : Pertama, perusahaan dapat memperluas input ataupun output tanpa memerlukan modal yang substansial. Hal ini sangat membantu dalam pertumbuhan perusahaan. Kedua, perusahaan dapat menggunakan informasi mengenai biaya dan keuntungan dari jaringan internal dalam bernegosiasi dengan perusahaan independen. Ketiga, perusahaan juga dapat mengembangkan kapasitas pasokan input untuk melindungi diri dari persaingan dengan pemasok input independen (Nugrahandita, 2007).

Tapered integration juga mempunyai kekurangan yaitu konsep memproduksi sebagian dan membeli sisanya menyebabkan proses produksi akan sulit mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan hal ini juga akan menyebabkan timbulnya masalah koordinasi antara pemasok input internal dengan pemasok input independen (Nugrahandita, 2007).

(31)

3. Aliansi Strategi dan Joint Venture

Dalam aliansi strategi, dua atau lebih perusahaan bekerjasama untuk berbagi informasi atau sumber produksi. Aliansi strategi dapat dilakukan secara vertikal maupun horizontal. Dalam aliansi vertikal biasanya meliputi kerjasama antara pemasok input dengan pembelinya sedangkan aliansi horizontal meliputi kerjasama antara perusahaan dalam industri yang sama. Joint venture adalah bagian dari aliansi strategi dimana dua atau lebih perusahaan bekerjasama dan membuat suatu perusahaan gabungan baru. Perusahaan gabungan ini biasanya dioperasikan oleh pekerja dari perusahaan induk.

Menurut Shepherd (1985), mengemukakan ukuran integrasi vertikal dipandang dari dua segi yaitu: pertama, segi tahapan yaitu menghitung tahap-tahap produksi, semakin banyak jumlah tahap-tahapan yang dicakup semakin besar integrasinya. Satu tahapan dapat mencakup banyak langkah individual sehingga sangat sulit untuk mendefinisikan tahap-tahap produksi. Kedua, yaitu segi nilai tambah yang dihasilkan terhadap nilai akhir penjualan sebagai derajat dari tingkat integrasi. Dari segi nilai tambah dapat diperoleh rasio nilai tambah perusahaan pada pendapatan akhir penjualan sebagai indeks dari derajat integrasi dengan asumsi semakin banyak tahapan produksinya semakin besar nilai tambahnya.

Menurut Hasibuan (1994), mengemukakan bahwa jenis integrasi vertikal dapat dibagi menjadi dua, yakni integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi ke hilir (down stream). Dengan demikian, ada perusahaan yang proses produksinya lebih awal, atau di bagian hulu, dan pada tahap memproduksi ke arah atau sampai dengan barang-barang akhir (hilir). Jadi, integrasi dapat terjadi antara

(32)

perusahaan-perusahaan yang mempunyai proses produksi yang berkelanjutan, baik yang di hulu maupun yang di hilir.

2.3.3. Konsep Dasar Integrasi Vertikal

Menurut Besanko dalam Nugrahandita (2007), mengemukakan bahwa dasar-dasar yang melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal adalah:

1. Economies of Scale

Proses produksi suatu jenis output barang maupun jasa mencerminkan economies of scale dalam range tertentu pada saat biaya rata-rata per output menurun dalam range tersebut dan biaya rata-rata tetap menurun walaupun jumlah output yang diproduksi meningkat. Biaya marjinal atau biaya unit terakhir yang diproduksi harus dibawah biaya rata-rata. Economies of scale mempunyai arti bahwa biaya rata-rata (AC) yang menurun seiring dengan peningkatan produksi.

Salah satu kebaikan yang didapatkan oleh perusahaan yang melakukan strategi integrasi vertikal adalah dengan tercapainya economies of scale yang tinggi karena dengan melakukan integrasi vertikal biaya produksi akan semakin rendah dan lebih efisien sehingga kemungkinan tercapainya economies of scale akan semakin tinggi. Selain dengan cara melakukan strategi integrasi vertikal, perusahaan juga dapat mencapai economies of scale dengan berbagai cara seperti: meningkatkan inventarisasi, meningkatkan produktifitas variabel input, meningkatkan biaya tetap serta meningkatkan kapasitas produksi.

(33)

2. Economies of Scope

Economies of scope terjadi apabila perusahaan dapat menghemat biaya produksi per unit saat jenis barang atau jasa yang diproduksinya semakin banyak. Economies of scope ini dapat terjadi jika memproduksi berbagai jenis barang menggunakan teknologi yang sama sehingga biaya produksinya dapat diperkecil. Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal yang tinggi dapat mencapai economies of scope yang tinggi. Karena dengan melakukan integrasi vertikal berarti perusahaan tersebut dapat memproduksi dua atau lebih produk dengan biaya produksi yang lebih murah.

2.4. Motif Integrasi Vertikal

Menurut Hasibuan (1994), terdapat empat motif perusahaan untuk melakukan merjer dalam hal ini integrasi vertikal, yaitu:

1. Motif Keuntungan

Motivasi ini dikaitkan dengan tujuan utama perusahaan yang beroperasi secara komersial. Dalam hal integrasi ada dua hal yang dapat dijelaskan sehubungan dengan motif keuntungan. Pertama, perusahaan yang menerapkan strategi integrasi vertikal akan ada bagian-bagian perhitungan biaya yang hilang. Yang dimaksud biaya yang hilang ini adalah biaya yang dihasilkan jika suatu perusahaan tidak menggunakan strategi ini yakni terdiri dari: biaya transaksi, biaya iklan, pemanfaatan informasi bersama dan administrasi. Kedua, jika perusahaan menerapkan strategi ini akan ada pemakaian pelayanan jasa yang sama. Artinya pelayanan jasa yang sebelumnya hanya terdapat pada salah satu

(34)

perusahaan yang belum berintegrasi vertikal, dengan adanya integrasi vertikal maka pelayanan jasa tersebut dapat dipergunakan bersama tanpa harus mengeluarkan biaya. Hal ini tentunya dapat menghemat biaya dan menciptakan suatu keuntungan.

2. Motif Mengurangi Risiko

Terjadinya integrasi vertikal dengan sendirinya dapat dikaitkan dengan pengurangan risiko dan bisnis. Dengan terjadinya integrasi vertikal, dengan proses yang dibagian hulu, maka risiko untuk kekurangan bahan baku tentunya menurun. Akan tetapi, ini pun dapat juga merupakan kerugian kalau perusahaan di hulu kurang dapat bekerja efisien, sehingga harganya lebih mahal dari harga pasaran. Sedangkan dari segi pengelolaan, jika sebelumnya dikelola terpisah, maka setelah menerapkan integrasi vertikal dapat menjadi manajemen tunggal. Dengan pengelolaan yang ditangani di bawah manajemen tunggal, maka perkembangan pasaran juga akan dilakukan. Oleh karena perusahaan semakin efisien dapat meningkatkan daya saing. Dalam hal ini sering dikaitkan dengan pengertian synergy. Artinya, jika terjadi penggabungan dua perusahaan (integrasi), maka hasilnya akan lebih daripada jumlah hasil masing-masing komponennya. Secara matematis, 3x3 hasilnya dapat lebih besar daripada sembilan.

3. Motif Pertumbuhan

Dalam motif pertumbuhan, menjelaskan bahwa adanya keterkaitan antara terjadinya integrasi vertikal dapat menciptakan sesuatu yang lebih efisien dan kemudian melakukan perluasan pasar. Pertumbuhan sering juga dikaitkan sebagai salah satu kinerja yang penting yaitu dengan melakukan integrasi vertikal. Karena

(35)

pertumbuhan yang dicapai sering lebih tinggi setelah melakukan integrasi vertikal daripada sebelum integrasi vertikal. Hal ini dapat dijelaskan sebagaimana ilustrasi terjadinya synergy, adanya penurunan biaya dalam memperoleh pelayanan dan penggunaan sumber daya bersama.

4. Motif Penilaian

Motif-motif lain yang menyebabkan terjadinya integrasi vertikal sangat ditentukan oleh keadaan perusahaan itu sendiri. Pertama, keadaan keuangan salah satu perusahaan yang melakukan integrasi vertikal. Jika salah satu perusahaan dalam keadaan krisis keuangan, kemudian pemiliknya memutuskan untuk menjual perusahaan tersebut, dan sudah pasti jika hal tersebut terjadi maka membutuhkan masa rehabilitasi dan konsolidasi agar perusahaan itu pulih kembali. Kedua, perusahaan yang mengalami regenerasi kepemimpinan (suksesi) yang kurang atau tidak berhasil ada kemungkinan untuk bergabung atau dijual kepada perusahaan lain. Akan tetapi, mungkin juga perusahaan ini terpecah-pecah pada generasi berikutnya. Ketiga, penilaian perusahaan oleh pihak lain lebih tinggi daripada penilaian pemiliknya. Kemudian diputuskan oleh pemiliknya untuk menjual perusahaan tersebut ke perusahaan lain atau melakukan integrasi vertikal. Pembelinya tentu mempunyai prospek yang lebih baik tentang kegiatan perusahaan ini.

Sedangkan menurut Martin (1994), terdapat dua motif perusahaan untuk melakukan integrasi vertikal dalam memperkuat posisi bersaing dengan perusahaan lain dalam industri, yaitu:

(36)

1. Motif Efisiensi

Suatu perusahaan melakukan integrasi vertikal berharap untuk dapat berproduksi dengan lebih efisien agar memiliki tingkat kompetensi yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan pesaingnya. Sumber efisiensi dapat diperoleh dari perusahaan yang berintegrasi vertikal karena biaya transaksi yang harus ditanggung lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan integrasi vertikal. Hal ini terdapat pada kontrak negosiasi diantara perusahaan pada tingkat vertikal yang berbeda.

2. Motif Strategi

Dengan adanya integrasi vertikal suatu perusahaan dapat menciptakan penambahan hambatan untuk masuk, yang bertujuan untuk menutup masuknya perusahaan lain dengan meningkatkan biaya modal absolut untuk masuk dan meningkatkan biaya input pesaingnya. Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal pada tingkat ke bawah akan memiliki biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan integrasi sehingga akan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang terintegrasi untuk menggunakan barang output antaranya sendiri dibandingkan dengan menjualnya di pasar. Disamping itu apabila perusahaan yang terintegrasi vertikal cenderung untuk menutup pesaingnya maka pesaing yang akan masuk ke salah satu pasar vertikal harus masuk ke kedua pasar secara bersamaan sehingga hal in akan meningkatkan investasi absolut yang akan diperlukan pesaing untuk masuk pasar.

(37)

2.5. Manfaat Integrasi Vertikal

Perusahaan akan menjalankan strategi integrasi vertikal apabila dengan dilakukannya integrasi vertikal dapat memberikan manfaat yang lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan tersebut. Manfaat-manfaat yang diperoleh perusahaan seperti yang dikemukakan oleh Porter (1980) adalah :

1. Tercapainya penghematan atas integrasi vertikal (Economics of Integration) Dalam volume hasil tertentu, integrasi vertikal akan memberikan manfaat dalam bentuk penghematan atas biaya aktifitas produksi, penjualan, pengendalian atau aspek lainnya secara bersama-sama atau terpadu. Adapun penghematan tersebut dapat terlihat pada bidang:

a. Operasi yang digabungkan.

Dengan menggabungkan berbagai operasi yang secara teknologi berbeda, kadang-kadang membuat perusahaan lebih efisien. Misalnya dalam manufaktur, integrasi ini dapat mengurangi jumlah langkah dalam proses produksi, menekan biaya banding, mengurangi biaya transpor dan lebih dapat memanfaatkan kapasitas menganggur yang timbul akibat tidak dapat dipecahnya proses pada satu tahapan yang tersendiri.

b. Pengendalian dan koordinasi internal.

Biaya penjadwalan, koordinasi operasi dan respons terhadap keadaan darurat dapat menjadi lebih kecil dengan adanya integrasi vertikal. Lokasi yang saling berdekatan, komunikasi yang relatif dapat dilakukan dalam satu kesatuan dalam setiap tahap operasi mempermudah koordinasi. Demikian pula dalam

(38)

pengendalian, berbagai penghematan dapat dilaksanakan termasuk berkurangnya kebutuhan tenaga kerja yang terlibat dalam aktifitas pengendalian.

c. Informasi

Operasi yang terintegrasi dapat mengurangi kebutuhan dalam pengumpulan informasi pasar yang relatif sejenis, terlebih lagi penghematan atas biaya informasi itu sendiri dan selanjutnya perusahaan akhirnya dapat memperoleh informasi yang lebih cepat dan akurat.

d. Dapat menghindari masalah pasar

Dengan adanya integrasi, secara potensial perusahaan dapat menghemat berbagai biaya penjualan, tawar-menawar, negosiasi dan transaksi pasar lainnya.

e. Hubungan bisnis yang stabil.

Berhubung tidak adanya masalah dalam membina hubungan pembelian maupun penjualan, maka perusahaan yang terdiri dari berbagai unit hulu dan hilir dapat menikmati efisiensi yang tidak mungkin diperoleh dari perusahaan yang beroperasi secara independen baik sebagai pemasok maupun konsumen. 2. Pemahaman teknologi

Integrasi vertikal memungkinkan adanya pemahaman teknologi yang lebih baik dari aktifitas hulu sampai hilir yang amat penting bagi kesuksesan usaha. Ketergantungan pada teknologi tanpa integrasi vertikal juga akan mempengaruhi resiko bisnis.

(39)

3. Kepastian atas pemasokan dan permintaan

Dengan adanya integrasi vertikal dapat dipastikan mengenai jumlah pasokan input maupun jumlah permintaan yang secara relatif tidak dipengaruhi oleh kondisi yang mungkin dihadapi oleh perusahaan yang beroperasi secara independen sebagai pemasok atau pembeli, termasuk juga terhadap fluktuasi harga. Meski demikian perlu diperhatikan bahwa harga transfer dalam transaksi internal bukan berarti tidak diperkenankan mencerminkan kondisi yang berfluktuasi tersebut. Produk yang mengalir dari hulu ke hilir dalam perusahaan yang terintegrasi vertikal haruslah dengan harga transfer yang menjamin setiap unit yang terlibat untuk mengelola secara tepat. Dengan demikian kepastian pasokan dan permintaan tidak dapat dipandang sebagai proteksi terhadap fluktuasi pasar, melainkan hanyalah sebagai pengurangan ketidakpastian yang dapat mempengaruhi perusahaan.

4. Penghapusan kekuatan tawar menawar dan distorsi harga input

Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dapat menghilangkan posisi tawar menawar tidak hanya dengan harga pasokan yang lebih rendah (dihasilkan oleh integrasi vertikal ke hulu) ataupun nilai realisasi yang lebih tinggi (dihasilkan oleh integrasi vertikal ke hilir), tetapi juga membuat perusahaan dapat beroperasi secara lebih efisien oleh karena tidak diperlukan lagi aktifitas yang tidak bernilai tambah akibat terlalu kuatnya posisi tawar menawar pemasok dan atau pembeli.

Demikian juga terhadap distorsi harga input dapat dihilangkan oleh integrasi vertikal karena biaya transaksi internal mencerminkan harga yang sebenarnya dari input tersebut. Kemudian perusahaan mempunyai pilihan untuk

(40)

menyesuaikan harga produk akhir agar dapat memaksimalkan laba total dari masing-masing unit sebelum integrasi. Selain itu, dengan mengetahui harga sebenarnya dari input, efisiensi dapat ditingkatkan dengan mengubah bauran berbagai input yang digunakan dalam proses produksi unit hilir yang akhirnya dapat meningkatkan profit total. Disamping itu, perusahaan dalam level up stream yang terintegrasi dapat memilih untuk menjual produk antaranya pada harga yang cukup tinggi. Tetapi banyak perusahaan lebih memilih untuk memakai semuanya untuk berjaga-jaga terhadap resiko kekurangan input pada masa yang akan datang. 5. Peningkatan kemampuan untuk melakukan diferensiasi

Integrasi vertikal dapat meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mendiferensiasikan dirinya dengan menawarkan nilai tambah yang lebih besar di bawah pengendalian manajemen. Hal ini berakibat pada lebih kompetitifnya posisi unit yang lebih hilir dalam menyediakan produk yang ditawarkan.

6. Peningkatan daya hambat masuk dan mobilitas

Integrasi vertikal juga akan meningkatkan daya hambat atas mobilitas terhadap perusahaan yang tidak terintegrasi, dalam bentuk rendahnya biaya dan lebih kecilnya resiko. Demikian pula terhadap hal daya hambat masuk, integrasi vertikal dapat menciptakan skala ekonomi ataupun kebutuhan modal yang begitu tinggi sehingga menjadikan hambatan bagi perusahaan lain yang masuk.

7. Posisi bisnis yang berlaba tinggi

Integrasi vertikal dapat meningkatkan imbalan investasi oleh karena penyatuan aktifitas produktif dalam satu atap. Hal ini menyebabkan tingkat laba yang diperoleh meningkat. Oleh sebab itu, sebenarnya dengan dilakukannya

(41)

integrasi vertikal akan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan. Walaupun integrasi vertikal dapat memberikan manfaat yang banyak, namun tidak semua perusahaan dapat melakukan integrasi vertikal tersebut karena perilaku ini dibatasi oleh pemerintah dengan Undang-undang persaingan usaha demi kesejahteraan rakyat.

8. Berjaga-jaga terhadap penutupan

Integrasi vertikal diperlukan dalam tindakan berjaga-jaga terhadap tertutupnya jalan akses kepada pemasok maupun konsumen.

2.6. Biaya Integrasi Vertikal

Menurut Porter (1980), disamping integrasi vertikal mempunyai manfaat yang sangat berarti untuk perusahaan yang menerapkannya, integrasi vertikal juga mempunyai biaya yang mungkin harus ditanggung, yang pada umumnya menyangkut masalah biaya memasuki industri, fleksibilitas, keseimbangan, kemampuan untuk mengelola perusahaan yang terintegrasi tersebut, dan pilihan penggunaan insentif intern organisasi terhadap insentif pasar. Adapun uraian atas biaya penerapan integrasi vertikal sebagai berikut:

1. Biaya untuk mengatasi hambatan mobilitas.

Integrasi vertikal mengharuskan perusahaan untuk mengatasi hambatan mobilitas sehingga dapat bersaing pada bisnis hulu maupun hilir. Untuk maksud tersebut pada umumnya membutuhkan biaya yang sering disebut dengan biaya integrasi vertikal.

(42)

2. Peningkatan biaya tetap.

Adanya integrasi vertikal akan membuat kenaikan yang cukup berarti pada biaya tetap perusahaan. Akibatnya perusahaan menjadi lebih sensitif terhadap resiko bisnis.

3. Berkurangnya fleksibilitas untuk berganti partner.

Integrasi vertikal memberikan implikasi bahwa kesuksesan usaha suatu unit lebih banyak tergantung pada pemasok atau konsumen internalnya, sehingga jika unit yang menjadi partnernya terdapat kelemahan, maka kelemahan tersebut akan mempengaruhi seluruh mata rantai unit perusahaan.

4. Lebih tingginya hambatan keluar secara keseluruhan.

Dengan panjangnya mata rantai bisnis akibat adanya integrasi vertikal membuat perusahaan secara keseluruhan menjadi lebih sulit untuk keluar dari bisnis yang dijalaninya.

5. Kebutuhan investasi modal.

Integrasi vertikal membutuhkan investasi modal yang cukup besar dan hal ini akan menimbulkan masalah biaya pengembalian.

6. Tertutupnya akses kepada riset.

Integrasi vertikal memberikan implikasi bahwa tanggung jawab pengembangan mata rantai industri diambil alih oleh perusahaan sendiri. Hal ini menyebabkan tertutupnya akses terhadap riset dan/atau 'know-how' yang dikembangkan oleh pemasok maupun konsumen.

(43)

7. Pemeliharaan keseimbangan

Kapasitas produktif dari unit hulu sampai hilir perlu dijaga keseimbangannya bila perusahaan berniat mencegah timbulnya problem kelebihan produksi di satu unit atau problem mengorbankan posisi pasar perusahaan.

8. Insentif yang tidak menarik.

Di dalam integrasi vertikal, hubungan antar unit perusahaan terjadi secara tertutup. Insentif bagi unit hulu menjadi tidak menarik karena harus menjual ke unit partner bukannya berkompetisi di pasar. Demikian pula terjadi di unit hilir yang harus membeli dari unit partnernya. Walaupun dapat menurunkan kinerja dari masing-masing unit, hal tersebut justru sebenarnya menjadi tantangan bagi manajemen untuk menciptakan struktur dan prosedur yang dapat mengatur hubungan berbagai unit dalam mata rantai vertikal ini.. Dalam hal ini, penetapan harga transfer sangat berperan penting dalam menciptakan insentif hubungan yang baik antar unit partner.

2.7. Penelitian Terdahulu

2.7.1. Penelitian Mengenai Industri Minyak Goreng Sawit

Menurut penelitian Prahastuti (2000), luas areal kelapa sawit dipengaruhi oleh harga CPO domestik, harga pupuk, harga ekspor CPO dan tingkat suku bunga. Produksi CPO dipengaruhi oleh harga CPO domestik dan luas areal kelapa sawit. Ekspor CPO dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng sawit dipengaruhi oleh ekspor CPO, nilai tukar, harga CPO domestik dan

(44)

penawaran CPO domestik. Produksi minyak goreng sawit di Indonesia dipengaruhi oleh penawaran CPO. Pembentukan harga CPO domestik dipengaruhi oleh nilai tukar. Harga ekspor CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO dunia dan produksi CPO Indonesia. Harga minyak goreng sawit dipengaruhi oleh fluktuasi harga CPO domestik. Berdasarkan hasil penelitiannya, terdapat keterkaitan yang erat antara pasar CPO dengan industri minyak goreng sawit di Indonesia.

Windyarti (2005) dalam penelitiannya yang berjudul "Peranan Industri Minyak Goreng Sawit dalam Perekonomian Nasional: Suatu Analisis Input-Output", menunjukkan bahwa pada analisis keterkaitan langsung maupun langsung dan tidak langsung, industri minyak goreng sawit memiliki keterkaitan ke belakang (0.728 sat dan 2.275 sat) yang lebih besar daripada keterkaitan ke depan (0.352 sat dan 1.455 sat). Hal ini dikarenakan industri minyak goreng sawit memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor kelapa sawit yang merupakan sektor penyedia input utama bagi industri minyak goreng sawit, sedangkan keterkaitan ke depan yang rendah diakibatkan oleh output yang dihasilkan industri minyak goreng sawit lebih banyak dikonsumsi langsung oleh rumah tangga daripada digunakan sebagai input antara oleh sektor-sektor lainnya.

Penelitian mengenai struktur-perilaku-kinerja industri minyak goreng sawit dijelaskan oleh Bonggasau (2006) dalam penelitiannya yang berjudul "Analisis Pengaruh Struktur Pasar terhadap Kinerja Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia". Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa pada industri minyak goreng sawit di Indonesia rasio konsentrasi (CR4) industri ini secara signifikan

(45)

mempengaruhi total keuntungan industri (PCM). Semakin tinggi tingkat konsentrasi dalam industri minyak goreng sawit, keuntungan yang diraih industri akan semakin tinggi pula. Efisiensi berhubungan positif dengan total keuntungan industri (PCM) karena adanya biaya produksi yang ditekan oleh perusahaan. Tingkat pertumbuhan nilai barang yang dihasilkan (GROWTH) yang turut menggambarkan kondisi permintaan dan kondisi perekonomian memiliki hubungan positif dengan total keuntungan industri (PCM). Skala ekonomis (MES) berpengaruh negatif terhadap tingkat keuntungan industri minyak goreng sawit tetapi secara statistik tidak signifikan pada taraf nyata 10 persen (α=10%). Selanjutnya dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pengaruh krisis ekonomi akan menurunkan keuntungan total industri karena adanya peningkatan biaya produksi yang mengakibatkan peningkatan harga minyak goreng sawit hingga berdampak menurunnya konsumsi.

Widyanti (2007) dalam penelitiannya yang berjudul "Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia", dengan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) dijelaskan bahwa pasar CPO dunia terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng dan TBS domestik, dimana pada keadaan ini pasar CPO dunia berperan sebagai penentu harga dan pasar-pasar domestik berperan sebagai pengikut harga. Begitu pula pada pasar domestik terjadi integrasi pasar antara pasar CPO domestik dengan pasar TBS domestik, dimana pasar CPO domestik berperan sebagai penentu harga bagi pasar TBS domestik. Untuk komoditi CPO ini tarif ekspor yang berlaku tidak efektif. Karena

(46)

tarif ekspor yang tinggi dapat menurunkan penghasilan produsen dan eksportir CPO serta petani. Sedangkan harga BBM dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Artinya, Indonesia sebagai salah satu negara eksportir CPO terbesar kedua di dunia memiliki peluang yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan industri biodiesel (barang substitusi BBM) di pasar dunia yang semakin berkembang beberapa tahun belakangan ini.

2.7.2. Penelitian Mengenai Integrasi Vertikal

Stigler (1951) dalam penelitiannya yang berjudul "The Division of Labor is Limited by The Extend of The Market", memberikan hipotesis bahwa integrasi vertikal dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pertumbuhan permintaan, ukuran rata-rata perusahaan dan konsentrasi industri. Pertumbuhan permintaan berkorelasi positif terhadap tingkat integrasi vertikal suatu industri. Meningkatnya jumlah permintaan terhadap suatu produk, maka perusahaan akan memandang perlu untuk mengamankan pasokannya. Kepastian terhadap pasokan sangat penting untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sesuai dengan permintaan. Oleh sebab itu, pilihan untuk melakukan integrasi vertikal dipandang perlu sebagai strategi yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakpastian perusahaan.

Ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat integrasi vertikal. Semakin luas fungsi yang ditanggung oleh suatu perusahaan akan menyebabkan semakin sulit tugas koordinasi dalam perusahaan tersebut. Dengan memegang asumsi cateris paribus, semakin besar ukuran rata-rata perusahaan, semakin cenderung untuk berkonsentrasi pada aktifitas produksi yang semakin

(47)

sempit dan karenanya menjadi kurang terintegrasi secara vertikal dibanding dengan perusahaan yang mempunyai ukuran lebih kecil (Stigler, 1951).

Faktor terakhir yaitu konsentrasi industri yang diharapkan berhubungan positif dengan integrasi vertikal. Seiring dengan menurunnya jumlah perusahaan, pilihan terhadap sumber-sumber alternatif permintaan dan pasokan dari produk-produk intermediet juga akan menurun sehingga mengakibatkan pertukaran melalui pasar terhambat dan perusahaan akan cenderung berintegrasi vertikal. Jumlah perusahaan dapat diukur dengan menggunakan pendekatan rasio konsentrasi industri (Stigler, 1951).

Penelitian yang dilakukan Levy (1984) yang berjudul "Testing Stigler's Interpretation of The Division of Labor is Limited by The Extent of The Market", membangun persamaan regresi berdasarkan model Stigler untuk mengkaji tingkat integrasi vertikal di Amerika Serikat. Dalam penelitian yang menggunakan metode OLS tersebut menyimpulkan bahwa ukuran rata-rata perusahaan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap integrasi vertikal, sedangkan variabel pertumbuhan permintaan dan konsentrasi pasar memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian Stigler (1951).

Hasil penelitian dari Karseno dan Mulyaningsih (2004) yang berjudul "Pengaruh Integrasi Vertikal pada Efisiensi dan Persaingan : Studi Empiris pada Industri Rokok Kretek Tahun 1976-2001". Menyimpulkan bahwa pengaruh kebijakan integrasi vertikal pada industri rokok kretek terhadap struktur biaya (laba) adalah positif dalam jangka panjang. Integrasi vertikal meningkatkan

(48)

efisiensi karena dengan berintegrasi maka marjin dalam industri dapat berkurang sehingga harga turun atau laba meningkat. Sedangkan pengaruh integrasi vertikal pada industri rokok kretek terhadap struktur pasar adalah negatif. Artinya integrasi vertikal pada industri ini tidak menyebabkan struktur pasar bergerak ke arah konsentrasi tinggi.

Penelitian yang dilakukan Supriatna (2005) yang berjudul "Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Air minum Dalam Kemasan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya", dengan menggunakan metode Error Correction Model (ECM) menjelaskan bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang terdapat hubungan yang positif antara jumlah output dengan integrasi vertikal. Sedangkan rasio konsentrasi dalam jangka pendek tidak berpengaruh secara signifikan terhadap integrasi vertikal tetapi hanya berhubungan positif dengan integrasi vertikal dalam jangka panjang.

Analisis yang dilakukan oleh Nugrahandita (2007) dalam penelitiannya yang berjudul "Analisis Tingkat Integrasi Vertikal pada Industri Mie Instan di Indonesia (Tahun 1986-2004)" dengan menggunakan metode OLS pada industri mie instan memiliki kemungkinan sebesar 20 persen hingga 50 persen untuk terjadinya integrasi vertikal dengan industri tepung terigu. Dan diketahui juga faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi vertikal secara signifikan adalah biaya input, nilai output dan konsentrasi industri sedangkan ukuran rata-rata perusahaan dan pertumbuhan permintaan tidak mempengaruhi integrasi vertikal.

(49)

2.8. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menganalisa perilaku industri yang berupa integrasi vertikal yang menurut Stigler (1951) dipengaruhi oleh rasio konsentrasi, pertumbuhan permintaan (growth) dan ukuran rata-rata perusahaan (avsize) dalam suatu industri serta penulis menambahkan lima variabel bebas yaitu biaya input (input), nilai output (output), efisiensi-X (Xeff), ekspor bahan baku utama (export) dan harga bahan baku utama (price) untuk lebih memperjelas variabel yang mempengaruhi integrasi vertikal. Rasio konsentrasi industri yang dapat dianalisis dengan menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4), efisiensi-X dapat dianalisis dengan membagi nilai tambah dengan biaya input sedangkan tingkat pertumbuhan permintaan didapatkan dari rasio nilai output nominal tahun t dengan nilai output nominal tahun t-1, dan ukuran rata-rata perusahaan dapat diukur dengan membagi jumlah total nilai output yang diproduksi dengan jumlah perusahaan, semua data yang digunakan diperoleh dari BPS termasuk biaya input dan nilai output.

Menurut penelitian Bird yang berjudul "Concentration in Indonesian manufacturing, 1975-1993" dalam Mulyaningsih (2004), tingkat konsentrasi pasar dengan menggunakan rasio CR4 dibedakan menjadi empat kelas, yaitu 0-24%; 25-49%; 50-74%; dan 75-100%. Industri dengan tingkat konsentrasi diatas 75% adalah industri yang memiliki tingkat konsentrasi tinggi, industri dengan konsentrasi 50-74% termasuk industri dengan tingkat konsentrasi yang moderat, dan industri dengan CR4 kurang dari 50% termasuk industri dengan tingkat konsentrasi yang rendah.

(50)

Industri minyak goreng sawit termasuk ke dalam tingkat konsentrasi pasar pada kelas ketiga yaitu tingkat konsentrasi yang moderat. Rata-rata per kuartal rasio tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar mencapai 55.82 persen dan dapat dikatakan industri minyak goreng sawit termasuk salah satu pasar oligopoli.

Penelitian mengenai integrasi vertikal pada industri minyak goreng sawit ini, menganalisis apakah variabel-variabel integrasi vertikal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat integrasi vertikal industri minyak goreng sawit sehingga pada akhirnya dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam mengeluarkan regulasi mengenai persaingan dalam usaha industri minyak goreng sawit.

Gambar

Tabel 1.1.  Produk  Domestik  Bruto  Indonesia  menurut  Lapangan  Usaha  Atas  Dasar Harga yang Berlaku (dalam miliar rupiah)
Tabel 1.2. Konsumsi dan Produksi Minyak Goreng Indonesia 2002-2006
Tabel 1.4. Perkembangan Ekspor dan Impor CPO Indonesia, 1999-2005
Tabel 1.5.  Penggunaan  Input  CPO  pada  Industri  Minyak  Goreng  Sawit,  2001- 2001-2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alasan lain keterbatasan media setelah saya wawancara dengan beberapa petugas yang ada di tempat pemandian Cipanas Garut Sabda Alam Resort & Hotel yaitu

(5) Setelah Jenis Pelayanan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Rawat I nap maupun Puskesmas Keliling yang belum tertolong dalam kelompok pelayanan tersebut pada

[r]

[r]

Penelitian ini bertolak pada kerangka pemikiran bahwa penggunaan metode permainan go to your post(bergerak ke arah yang dipilih) mempunyai peranan yang sangat besar dalam

Sistem informasi ini dirancang menggunakan PHP dan basis datanya adalah PhpMyAdmin ( mySQL ). Sistem MyLibrary Telkomsel adalah sebuah sistem informasi yang dirancang

yang berasal dari pati sagu, poliol dari minyak jarak dan Dipenil Metilen Diisosianat. (MDI) yang terjadi melalui mekanisme

Mampu menyesuaikan diri untuk bekerja dengan ketegangan jiwa jika berhadapan dengan keadaan darurat, kritis, tidak biasa atau bahaya, atau bekerja dengan