• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan (Dye 1976:1). Jadi gagasan tentang kebijakan publik harus termasuk semua tindakan pemerintah, bukan hanya ”maksud yang dinyatakan” (secara eksplisit) oleh pemerintah ataupun oleh aparat pemerintah. Lubis (2007:9) setelah mengutip beberapa definisi dari berbagai referensi, merumuskan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah dengan tujuan tertentu untuk kepentingan masyarakat. Lebih jauh dikatakan, bahwa jika pemerintah melakukan pelayanan dengan berorientasi kepada public interest atau public need, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah bertindak sebagai public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public

service (layanan publik). Gambar 3 menunjukkan salah satu model implementasi

suatu kebijakan.

Menurut Wibawa et al., (1994:15) setiap kebijakan sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen dasar, yaitu (1) tujuan yang luas, (2) sasaran yang spesifik dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Komponen terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci. Hal ini harus diterjemahkan dalam program-program aksi dan proyek. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa dalam ”cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dari perspektif kebijakan, respons masyarakat terhadap dampak suatu kebijakan dapat bersifat skeptis, kritis dan analitis. Skeptis, tidak yakin apa yang akan dicapai oleh kebijakan

tersebut. Kritis, mempertanyakan dukungan dan hambatan bagi pelaksanaannya

dan Analitis, memberikan sumbangan saran bagi pelaksanaan yang lebih baik.

Gambar 3. Model implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian (Wibawa et al., 1994:26)

Lebih lanjut dikatakan, respons secara individual terhadap dampak kebijakan bisa bersifat reaktif-konfrontatif, adaptif-komformistis atau di antara keduanya. Secara politis, respons tersebut bisa dikemukakan secara legal konstitusional ataupun illegal-inkonstitusional (Wibawa et al. 1994:60-62).

Konsep Perbibitan

Tugas Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan, membuat norma, standar, pedoman dan kriteria di bidang perbibitan ternak. Maksud perbibitan dalam hal ini adalah semua hal yang terkait dengan bibit/ benih ternak.

Karakteristik Masalah 1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi

4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan

Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran 2. Teori kausal yang memadai

3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Diskresi pelaksana

6. Rekruitmen pejabat pelaksana 7. Akses-formal pelaksana ke organisasi

lain

Variabel Non-Peraturan 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. Perhatian pers terhadap masalah

kebijakan 3. Dukungan publik

4. Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama

5. Dukungan kewenangan

6. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana Proses Implementasi Keluaran kebijakan dari organisasi pelaksana Kesesuaian keluaran kebijakan dengan kelompok sasaran Dampak aktual keluaran kebijakan Dampak yang diperkirakan Perbaikan peraturan

Pengertian perbibitan tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak, yaitu “suatu sistem di bidang benih dan/atau bibit ternak yang paling sedikit meliputi pemuliaan, pengadaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran, pengawasan mutu, pengembangan usaha serta kelembagaan benih dan/atau bibit ternak.’’ Dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem perbibitan adalah ”tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran benih dan atau bibit unggul, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan” (Ditbit 2006:5).

Sedangkan pemuliaan ternak, sebagai bagian dari sistem perbibitan, tertuang dalam undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, diartikan sebagai “rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu.” Tujuan tertentu tersebut adalah (1) pemurnian/ konservasi, (2) persilangan dan (3) penciptaan bangsa (breed) baru (Ditbit 2003:16). Menurut Hardjosubroto et al., (1997:255) arah/tujuan pembibitan ada tiga, yaitu (1) pemurnian, (2) persilangan, baik dalam rangka untuk memperoleh bangsa (breed) baru, ataupun sebagai final stock untuk dipotong dan (3) konservasi.

Menurut Payne dan Hodges (1997:210), tujuan dari program genetik (genetic programmes) sapi adalah untuk menghasilkan generasi pengganti yang lebih sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu masyarakat, sementara itu juga mempertahankan atau memperbaiki genetiknya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya yang digunakan. Proses ini menuntut perubahan genome (total kromosom dalam inti sel) sapi melalui seleksi dan melipatgandakan gene yang lebih disukai, yang secara positif mengarah kepada sifat-sifat yang diharapkan. Sasaran gene bisa terdapat dalam populasi sapi, gene baru bisa diintroduksi dari populasi lain, atau gene yang tidak diharapkan dihapus atau dikurangi frekuensinya.

Dalam pembibitan, diperlukan populasi dasar, yang terbagi menjadi tiga kategori ternak bibit, yaitu (1) bibit dasar (foundation stock), yang merupakan bibit hasil dari suatu proses pemuliaan dengan spesifikasi tertentu yang

mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit induk.” Ini juga yang akan menjadi

elite group; (2) bibit induk (breeding stock) yang merupakan bibit dengan

spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit sebar” dan (3) bibit sebar/niaga/komersial (commercial stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi. Sejauh ini, klasifikasi dan struktur bibit seperti tersebut di atas untuk ternak potong belum ada (Ditbit 2003:3; Ditbit 2006:11). Menurut Wiener (1994:87-88) struktur bibit menyerupai bentuk piramid yang mempunyai hirarki berikut: (1) ellite group

(nucleus) di puncak; (2) multiplier group di tengah dan (3) commercial group di bagian dasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa aliran genes secara dominan adalah dari atas ke arah bawah, jadi perbaikan genetik dilakukan di kelompok atas (elite group) dan kemudian disebarkan ke bawah.

Secara lebih operasional, sistem perbibitan sapi potong lokal, baik skala peternakan rakyat maupun skala komersial, melalui teknik perbaikan mutu genetik dan teknik peningkatan efisiensi reproduksi, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (PUSLITBANGNAK, 2007) meliputi (1) Seleksi bibit: memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih, bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut. Sifat seleksi yang dipilih harus yang bersifat menurun dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai, yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi; (2) Tahapan seleksi: (a) pembentukan kelompok dasar (foundation stock). Kelompok dasar merupakan kumpulan sapi potong terpilih dari hasil seleksi yang memiliki tampilan luar tertentu (misal tinggi gumba, berat badan, dan sebagainya) yang terbaik dari populasi yang ada di suatu wilayah atau di suatu kelompok pembibitan. Tujuan utama pembentukan kelompok dasar adalah mendapatkan sapi-sapi (jantan dan betina) pilihan yang nantinya mampu menghasilkan keturunan sapi-sapi bibit dan dikembangkan sebagai bibit sumber; (b) penjaringan (screening). Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di peternakan rakyat atau di pasar hewan), untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya; (c) seleksi keturunan. Seleksi keturunan adalah seleksi yang dilakukan selama beberapa generasi terhadap sapi-sapi yang dihasilkan di tahapan kelompok dasar. Sapi-sapi F1 yang terpilih dalam seleksi saling

dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi anakannya (F2), kemudian sesama sapi F2 yang terpilih dalam seleksi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi F3, dan seterusnya sampai mendapatkan sapi-sapi dengan kriteria performans yang dikehendaki untuk dijadikan sebagai sapi bibit sumber; (d) pembentukan kelompok inti (elite). Kelompok elit adalah tahapan akhir dari rangkaian program seleksi. Populasi di kelompok inti adalah sapi-sapi bibit sumber, yiatu sapi dengan produktivitas yang tinggi dan keragaman genetiknya kecil. Di kelompok elit, dilakukan dua kegiatan, yaitu perbanyakan bibit sumber dan menghasilkan sapi-sapi unggul untuk siap disebarkan ke kelompok dasar dan kelompok pengembang. Mekanisme seleksi dan pengaturan perkawinan yang dilakukan di tahap kelompok elit ini hampir sama dengan di tahap kelompok dasar, tetapi materi sapinya sudah berupa bibit sumber dan sekecil mungkin memasukkan sapi-sapi baru untuk digunakan sebagai tetuanya. Di tahapan kelompok elit ini sangat dibutuhkan pencatatan yang lengkap, berurutan dan jelas tentang silsilah/asal usul dan performans produktivitas dari masing-masing sapi bibit sumber, karena keturunannya akan disebarkan sebagai sapi bibit unggul untuk memperbaiki genetik sapi-sapi di peternak rakyat, atau dijadikan sebagai perbanyakan bibit sumber yang ada; dan (e) pembentukan kelompok pengembang (breeding stock). Kelompok pengembang adalah tahapan terakhir dari tahapan rangkaian program-program. Kelompok pengembang dibentuk untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan yang akan digemukkan dan akhirnya dipotong sebagai sumber penghasil daging.

Saat ini, pembibitan sapi potong untuk tujuan pemurnian adalah (1) sapi Bali: di pulau Bali, Sumbawa, Timor, Flores dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan; (2) sapi Ongole di pulau Sumba (Ditbit 2006:10); dan sapi Madura di Pulau Sapudi. Hal ini berarti bahwa untuk jenis sapi lain atau sapi Bali, Onggole dan Madura di luar daerah tersebut dapat disilangkan. Talib (2002:105) menyarankan, persilangan antara sapi Bali dengan Bos Taurus dan Bos Indicus

diarahkan untuk menghasilkan final stock. Namun, menurut Pane (1993:2) sejauh ini arah kebijakan di bidang perbibitan sapi potong tidak jelas, karena tidak ada data yang lengkap hasil pemurnian maupun persilangan tersebut. Sejarah Kebijakan Perbibitan di Indonesia

Merujuk pengertian yang dikemukakan oleh Dye (1976:1) dan Lubis (2007:9), kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh Pemerintah, dan tidak harus dinyatakan

secara eksplisit, maka setiap tindakan pemerintah yang terkait dengan perbibitan adalah kebijakan.

Dalam konteks perbibitan ternak ruminansia besar, ada beberapa kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintah (Direktorat Jenderal Peternakan) dalam usahanya meningkatkan populasi maupun produktivitas ternak sapi potong berupa program dan kegiatan, baik dengan pendekatan gerakan massal, wilayah peternakan, kemitraan dan mengintroduksi jenis-jenis sapi baru (impor) dan lain-lain (Wiryosuhanto 1997:62; Hardjosubroto et al.,1997:247).

Secara kronologis, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang terkait dengan pengembangan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kronologis tindakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong

Tahun Kebijakan Keterangan

Sebelum abad XVIII

Sapi ras Zebu sudah ada di Jawa Timur, dan sudah terjadi persilangan dengan sapi keturunan Banteng yang menghasilkan sapi Jawa, Madura dan Sumatera. (Sudardjat & Pambudy 2003:146; Pane 1993:2)

Tidak dijelaskan jenis sapinya, apakah Ongole atau Benggala. Menurut Pane (1993:4), sapi Zebu (Bos Indicus) terdiri dari lebih-kurang 37 jenis. Abad XVIII Pertama kali impor sapi Zebu ke Pulau Jawa sebagai

ternak kerja di perkebunan tebu (Sudardjat & Pambudy 2003:22).

Menurut Sudardjat dan Pambudy (2003:23) membajak dengan ternak sudah ada sejak abad XVII. 1806 dan 1812 Gubernur Jawa Timur telah memasukkan pejantan

sapi Benggala untuk memperbaiki kualitas sapi lokal (Sudardjat & Pambudy 2003:148).

26 Agustus 1838

Verenigde Oost-Indische Companie yang diterbitkan

oleh VOC pada tahun 1665, tentang larangan pemotongan hewan betina bertanduk yang masih produktif, dikukuhkan menjadi Undang-undang (Sudardjat & Pambudy 2003:6, 14, 43).

Tanggal 26 Agustus selanjut-nya ditetapkan sbg hari jadi/ lahirnya peternakan dan kesehatan hewan.

1890 Pertama kali sapi Bali masuk ke pulau Sulawesi, diimpor oleh raja Goa (Herweijer 1982:9; Sudardjat & Pambudy 2003:146)

Herweijer, berdasarkan laporan Klasen tahun 1928, Dokter Hewan Pemerintah di Makasar.

Akhir Abad XIX (a) Sapi Ongole dari India (Madras) dimasukkan ke Pulau Sumba, dan menjadi tempat pembiakan sapi Ongole murni (Pane 1993:2).

(b) Diwyanto (2008:174) menyebutkan tepatnya tahun 1909.

Pane menulis dengan huruf :

Onggole (Nellore).

1910 (a) Sapi Jawa disilangkan dengan sapi Zebu (Ongole?) yang menghasilkan sapi PO. (b) Diwyanto (2008:174) menyebutkan penyebaran

sapi SO ke Jawa pada tahun 1915, 1919 dan 1929.

Tabel 1 (lanjutan)

Tahun Kebijakan Keterangan

1912 Diwyanto (2008:174) dan Sudardjat dan Pambudy (2003:40 ) menyebut sebagai dimulainya campur tangan pemerintah di bidang peternakan dengan dikeluarkannya Ordonansi No. 432 Thn 1912.

Ordonansi No. 432 Thn 1912 mengatur tentang

Pengawasan Pemerintah dalam bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan.

1917 s/d 1920 Terjadi impor besar-besaran sapi bibit Ongole dari India (Sudardjat & Pambudy 2003:157).

1936 Semua sapi jantan Jawa harus di kebiri dan sapi betina Jawa harus disilang dengan sapi SO (Harjosubroto et al., 1997:248).

Mulainya ”Kontrak Sumba.”

1955 Untuk memperbaiki performance sapi Madura, disilangkan dengan sapi Red Danish (Red Deen) melalui inseminasi buatan (Pane 1993:23)

Tidak ada catatan yang jelas hasilnya. Penduduk menolak keturunannya, karena tidak dapat untuk karapan sapi. 8 Juli 1967 Ditetapkannya Undang-undang No. 6 Tahun 1967

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.

1974/1975 (a) Sektor swasta mengimpor bibit sapi Brahman 523 ekor, Santa gertrudis 563 ekor dan Charolais 8 ekor (Sudardjat dan Pambudy 2003:165). (b) Dimulainya program Panca Usaha Ternak Potong

(PUTP).

Tidak disebutkan siapa, dimana dan untuk apa.

3 April 1976 Peresmian pengoperasian Sentra Inseminasi Buatan Lembang.

Sejak tahun 1978 berganti nama menjadi Balai

Inseminasi Buatan Lembang. 1976 s/d 2000 Bangsa sapi yang pernah digunakan untuk produksi

semen beku di BIB Lembang adalah Bali, Ongole, FH, Brangus, Hereford, Simental, Charolais, Limousin, Santa Gertrudis, Belmond Red, American Milking Zebu, Draught Master, Brangus, Taurindicus, Charbra dan Angus (BIB Lembang 2001:33).

1980-an Diwyanto (2008:175 )menyebutkan dimulainya kebijakan persilangan sapi potong. Tidak kurang 10 bangsa sapi potong diimpor, baik berupa semen beku ataupun ternak hidup, dengan tujuan yang tidak jelas. 1984 Ditjen Peternakan menetapkan sapi pejantan IB

adalah Bali, Ongole, FH, Brahman, Simental, Limousin, Brangus dan Taurindicus, yang lain tidak dilanjutkan.

1988 Ditetapkan standar mutu bibit sapi untuk sapi Aceh, Madura, Bali, Ongole, PO, Brahman lokal dan Perah lokal (Ditjennak1993:568-570) dengan No. Kode: SPI-NAK/01/43/ 1988.

Keputusan Menteri Pertanian No. 358/Kpts/ TN.410/5/1988 tanggal 30 Mei 1988 tentang Standar Pertanian Indonesia Bidang Peternakan (SPINAK)

Tabel 1 (lanjutan)

Tahun Kebijakan Keterangan

1989 (a) Produksi semen beku sapi Hereford dihentikan. (b) Dimulai produksi semen beku sapi Brangus. (c) Semen beku Limousin dan Simental makin

diminati peternak.

1997/1998 (a) NTB mengimpor 2.200 ekor induk sapi Brahman dari Australia untuk disilangkan dengan sapi Brangus.

(b) Program “Brangusisasi” ini tidak mempunyai cacatan yang jelas.

(c) Saat ini sudah tidak ditemukan lagi sapi Brahman di Lombok (Dahlanuddin et al., 2008:38). 1999 Ditetapkannya jabatan fungsional Pengawas Bibit

Ternak (Wasbitnak).

SK MENKO WASBANGPAN No. 61 Thn 1999 Tanggal 30 September 1999.

2000 Semen beku sapi Ongole tidak diproduksi lagi, karena kurang diminati peternak.

2001 Dimulainya impor sapi bakalan Brahman Cross dan pengembangan sapi betina eks impor Brahman Cross. 2006 Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS)

ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2006,

Permentan No. 36/Permentan/ OT.140/8/2006

2008 (a) Penetapan prosedur baku pelaksanaan produksi sapi bibit pada usaha pembibitan sapi potong; (b) Penetapan juknis pengembangan perbibitan

ternak sapi Brahman cross eks-impor;

Peraturan Dirjen Peternakan No. 0423 Thn 2008 Peraturan Dirjen Peternakan No. 26181 Thn 2008 2009 (a) Penetapan UU No. 18 Thn 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan;

(b) Fasilitasi kredit usaha pembibitan sapi (KUPS); (c) Penetapan pedoman pelaksanaan KUPS; (d) Pedoman peningkatan mutu genetik sapi Bali;

Permenkeu No.131 Thn 2009 Permentan No. 40 Thn 2009 Peraturan Dirjen Peternakan No. 12004 Thn 2009 2010 (a) Penetapan rumpun sapi Bali

(b) Penetapan juknis pengembangan perbibitan sapi melalui kelompok

(c) Penetapan juknis pengembangan perbibitan sapi potong

Kepmentan No. 325 Thn 2010 Peraturan Dirjen Peternakan No. 07056 Thn 2010 Peraturan Dirjen Peternakan No. 13026 Thn 2010

Berdasarkan kronologis tindakan pemerintah di atas, terlihat ketidakjelasan arah dan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan.

Berkaitan dengan persilangan antara sapi Ongole (murni) dengan sapi Jawa, Pane (1993:2) menyatakan bahwa sangat disayangkan jika hingga saat ini tidak ada data yang lengkap tentang hasil pemurnian sapi Ongole di Sumba dan turunannya, Peranakan Ongole (PO) yang ada di Jawa. Hal ini mengakibatkan tujuan perbaikan mutu genetik sapi-sapi tersebut menjadi kabur. Termasuk kasus

lain seperti, persilangan antara sapi Madura dengan Santa Gertrudis yang menghasilkan sapi Madrali, sapi Grati hasil persilangan antara Friesian Holstein

dengan PO (Pane 1993: 24). Bahkan sapi PO, walaupun sudah menjadi suatu jenis tersendiri, tetapi kemampuan produksinya belum diketahui. Demikian pula komposisi darahnya. Hal ini sangat disayangkan karena sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, seharusnya diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya (Pane 1993: 23).

Inseminasi Buatan merupakan salah satu instrumen dalam penerapan kebijakan di bidang perbibitan sapi. Sebagaimana dinyatakan oleh Skjervold (1982:13-14), bahwa selama dua dekade terakhir IB telah menjadi cara perkawinan yang paling penting, dan lebih jauh IB telah memberikan dimensi baru pada pembibitan ternak sapi.” Inseminasi Buatan bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu genetik ternak yang diinseminasi dan (2) meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul. Implikasi dari penerapan IB ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas ternak turunannya, sekaligus dapat meningkatkan populasi ternak yang bersangkutan. Di lain pihak, dengan IB memungkinkan peternak untuk melakukan persilangan secara bebas tanpa harus memperhatikan arah kebijakan perbibitan (Gordon 2004:51).

Inseminasi BuatandanSejarah Perkembangannya

Menurut Wiener (1994:191 dan Shebu et al. 2010:123), inseminasi buatan adalah “technique of inserting semen, and the associated sperm, into the female

reproductive tract for purpose of conception.” Istilah IB juga sering digunakan

untuk menggambarkan keseluruhan proses termasuk proses pengenceran dan penyimpanan semen. Dalam sistem perbibitan nasional (Ditbit 2006:7), disebutkan bahwa IB adalah teknik memasukkan mani/semen ke dalam alat reproduksi ternak betina yang sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak menjadi bunting. Secara teknis, IB adalah proses penempatan semen ke dalam alat reproduksi betina dengan bantuan manusia dengan tujuan agar ternak betina tersebut bunting (Noor, tanpa tahun:1-3). Lebih jauh dikatakan, bahwa IB juga suatu teknik untuk mempercepat penyebaran gen-gen dari ternak unggul ke turunannya.

Beberapa keuntungan penerapan IB diungkapkan, misalnya menurut Gordon (2004:51) yang menyatakan bahwa teknologi IB telah (1) memungkinkan dilakukannya progeny testing pada sapi pejantan dalam skala besar, (2)

memungkinkan berkembangnya perdagangan secara internasional dikarenakan adanya semen beku (frozen semen) yang dikemas dalam pipa plastik (plastic straw), (3) mencegah menyebarnya penyakit reproduksi menular, (4) memungkinkan satu ejakulasi dapat digunakan untuk menginseminasi secara maksimal, (5) membuat efisiensi penggunaan pejantan, khususnya pejantan unggul (elite bull) dan (6) menunjang program perkawinan silang (crossbreeding) antara sapi jenis unggul (exotic breeds) dengan sapi lokal. Khusus untuk ternak potong, dimungkinkannya dilakukan sinkronisasi perkawinan sehingga dapat dihasilkan anak sapi yang sesuai dengan waktu yang diharapkan. Sedangkan menurut Foote (1981:13-39), keuntungan IB adalah (1) perbaikan genetik dimungkinkan untuk sifat-sifat kuantitatif melalui seleksi pejantan secara intensif, (2) dapat mengurangi frekuensi lethal genes yang resesif, (3) dapat mengontrol beberapa penyakit tertentu, terutama penyakit yang dapat menular, (4) pejantan yang digunakan bebas dari penyakit menular yang spesifik, (5) ekonomis dalam pelayanan, (6) mengurangi resiko bahaya keganasan sapi pejantan di lahan usaha (farm), (7) pencatatan yang lebih lengkap, akurat dan terpelihara dan (8) keberhasilan penerapan IB memberikan fondasi untuk keberhasilan teknik pemuliabiakan yang lebih maju.

Beberapa kelemahan penerapan IB antara lain adalah (1) jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjadi media penyebaran penyakit, (2) jika lokasi akseptor IB jauh dan sarana komunikasi sulit, maka tidak ekonomis (Foote 1981:13) dan (3) dapat mengacaukan program perbibitan jika implementasinya tidak terkontrol atau tidak tercatat secara lengkap dan akurat (Pane 1993:2; Foote 1981:13 dan Shebu et al. 2010:127).

Pada awal penerapannya, kebijakan IB adalah ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah dan sapi potong. Untuk sapi perah ditempuh melalui grading up dengan mendatangkan pejantan unggul (proven bull) dari luar negeri. Sedangkan untuk sapi potong, melalui grading up

ternak asli seperti sapi Bali dan Ongole dan melalui persilangan dengan sapi potong dari luar negeri. Akan tetapi, menurut Noor (tanpa tahun:1-3), IB di Indonesia lebih ditekankan untuk peningkatan populasi ternak, bukan ditujukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Lebih lanjut dikatakan oleh Noor bahwa, program IB akan berhasil baik jika diikuti dengan sistem manajemen dan sistem pencatatan (recording) yang baik. Saat ini IB telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada tahun

2010 adalah 13.6 juta ekor. Berdasarkan data populasi sapi tahun 2008, jumlah sapi betina dewasa yang potensial di IB adalah 5,2 juta (42,03%). Saat ini jumlah akseptor IB sekitar 1,85 juta (35,7%) (Ditjennak 2009b:76 dan 190). Jadi ini masih memungkinkan untuk bisa ditingkatkan.

Menurut Diwyanto (2008:177), penerapan IB pada sapi potong di Indonesia saat ini adalah mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Di negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong hanya terbatas pada kelompok elit (foundation stock) untuk tujuan menghasilkan bibit (breeding stock). Lebih jauh juga dikatakan bahwa keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporannya yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB, praktis belum banyak dievaluasi.

Produksi semen nasional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi semen nasional dalam kurun waktu 2001 -2010

No. Bangsa sapi

Produksi semen (dosis)

BBIB Singosari BIB Lembang Jumlah (%) 1. Bali 411.889 - 411.889 2,1 2. Ongole 168.741 217.999 386.740 2,0 3. Brahman 442.745 801.320 1.244.065 6,5 4. Madura 89.463 - 89.463 0,5 Jumlah: 1.112.838 1.019.319 2.132.157 11,1 5. Simental 3.650.240 4.056.278 7.706.518 40,1 6. Limousin 6.171.912 2.809.972 8.981.884 46,7 7. Angus 33.916 226.935 260.851 1,4 8. Brangus 83.696 70.403 154.099 0,8 Jumlah: 9.939.764 7.163.588 17.103.352 88,9 Total: 11.052.602 8.182.907 19.235.509 (100)

Sumber: Direktorat Perbibitan

Berdasarkan Tabel 2 diatas, dapat dinyatakan bahwa jumlah produksi semen sapi asing jauh lebih besar, yaitu 88,9% dibanding dengan jumlah semen sapi asli maupun lokal Indonesia, yaitu hanya 11,1%.

Pengorganisasian Inseminasi Buatan

Berdasarkan pedoman pelaksanaan IB (Ditjennak 2005), program Inseminasi Buatan melibatkan banyak institusi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Swasta berkaitan dengan penyediaan peralatan dan bahan seperti

Container, Insemination gun, N2 cair dan lain-lain. Untuk masyarakat, beberapa

(seperti di Kabupaten Gunung Kidul, terdapat paguyuban inseminator) dan kelompok IB (kelembagaan para akseptor IB).

Khusus untuk Pemerintah, melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah. Direktorat Jenderal Peternakan c.q. Direktorat Perbibitan yang berkoordinasi dengan Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia adalah sebagai pengambil kebijakan di bidang perbibitan secara umum dan Inseminasi Buatan. Di samping itu, masih termasuk Pemerintah Pusat adalah Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang dan Balai Inseminasi Buatan Lembang sebagai produsen semen. Secara umum, Pemerintah Pusat mempunyai tugas (1) membuat program IB nasional, (2) melakukan supervisi pelaksanaan IB di daerah, (3) melakukan evaluasi IB secara nasional, (4) melakukan koordinasi dan (5) memproduksi dan mendistribusikan semen.