• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah Penyuluhan pertama kali digunakan untuk menggambarkan program pendidikan orang dewasa (adult education programmes) di Inggris pada paruh-kedua abad 19; program ini membantu untuk memperluas (to expand or to extend) kerja universitas di luar kampus dan ke dalam komunitas terdekat (neighbouring community). Istilah tersebut selanjutnya diadopsi di Amerika, sementara di UK (Britain) sendiri diganti dengan istilah “advisory Service” pada abad 20 (Wikipedia 2009:2).

Dari segi konsep, makna penyuluhan dapat ditelusuri dari beragam istilah yang telah digunakan oleh berbagai kalangan selama ini. Ada banyak istilah penyuluhan yang digunakan di negara-negara lain. Di Inggris pada tahun 1840-an, menurut van den Ban dan Hawkins (1999:23-26) dan Wikipedia (2009:1-2), menggunakan istilah university extension atau extension of the university. Dalam konteks ini, (1) sasaran pengajaran di universitas tidak hanya terbatas di lingkungan kampus, tetapi dapat diperluas hingga semua pihak yang hidup di lingkungan manapun, dan (2) penyuluhan dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang dewasa yang menempatkan pengajar sebagai staf universitas. Sejak abad ke-20 istilah ”penyuluhan pertanian” digunakan secara umum di Amerika Serikat. Lebih jauh dikatakan, di Belanda menggunakan istilah

voorlichting yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang

menemukan jalannya. Istilah ini juga digunakan di Indonesia yang diterjemahkan sebagai ”penyuluhan.” Di Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata ”perkembangan.” Bahasa Inggris dan Jerman menggunakan istilah beratung yang berarti seorang pakar dapat memberikan petunjuk atau nasehat kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya. Dalam pendidikan kesehatan, Jerman juga menggunakan istilah aufklärung yang berarti pencerahan. Kata lain yang lazim digunakan adalah erziehung yang artinya mirip dengan pendidikan di Amerika Serikat. Sedangkan di Austria dikenal dengan istilah förderung yang berarti menggiring seseorang ke arah yang diinginkan, kata tersebut mirip dengan istilah yang digunakan di Korea yakni bimbingan pedesaan. Perancis menggunakan istilah vulgarisation yang menekankan pentingnya penyederhanaan pesan bagi orang awam. Di Spanyol menggunakan istilah capacitation (memperbaiki keterampilan) untuk menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan kemampuan manusia yang dapat diartikan dengan pelatihan. Wikipedia (2009:2) menambahkan, bahwa di Thailand dan Laos menggunakan istilah song-suem

(mempromosikan); dan di Persia menggunakan istilah tarjiv dan gostaresh

(mempromosikan dan memperluas). Oleh karena itu, Mardikanto (1993:11-18) mengklasifikasikan konsep penyuluhan (pertanian) menjadi lima, yaitu (1) penyuluhan pertanian sebagai proses penyebarluasan informasi, (2) penyuluhan pertanian sebagai proses penerangan, (3) penyuluhan pertanian sebagai proses perubahan perilaku, (4) penyuluhan pertanian sebagai proses pendidikan, dan (5) penyuluhan pertanian sebagai proses rekayasa sosial.

Pengertian penyuluhan menurut beberapa literatur adalah sebagai berikut, di antaranya menurut Boone (1989:1), penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan nonformal, dan ini merupakan suatu lapangan praktek pendidikan profesional. Menurut Slamet (2003:18) pengertian penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Lebih lanjut, Slamet (2003:45) juga memberikan pengertian penyuluhan sebagai program pendidikan luar sekolah yang bertujuan (1) memberdayakan sasaran, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, (3) membangun masyarakat madani, (4) sebagai sistem yang berfungsi secara berkelanjutan, tidak bersifat ad-hoc, (5) sebagai program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.

Sedangkan Mardikanto (1993:14) memberikan pengertian penyuluhan (pertanian) sebagai suatu proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) di kalangan masyarakat (petani), agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Di sisi lain, untuk memisahkan penyuluhan pertanian dengan program pertanian, Slamet (2003:39) mendefinisikan penyuluhan sebagai industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (nonformal) dan informasi pertanian kepada petani dan pihak-pihak lain yang memerlukan. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 3 dinyatakan bahwa ”Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya dan meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.”

van den Ban dan Hawkins (1999:25) menyatakan bahwa di antara pengertian-pengertian penyuluhan yang ada, masih ditemukan persamaan

persepsi, yaitu penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya

memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dalam

SKB (1996:6), yang dimaksud penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatan sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian.

Dalam konteks perubahan terencana (planned change), Lippit et al., (1958:122) menyebutkan tahap-tahap perubahan terencana, yaitu tahap 1: sistem klien menemukan kebutuhan untuk memperoleh pertolongan, kadang-kadang dengan stimulan oleh agen perubahan, tahap 2: hubungan pertolongan ditetapkan dan didefinisikan, tahap 3: persoalan perubahan diidentifikasi dan diklarifikasi, tahap 4: kemungkinan alternatif untuk perubahan diuji; sasaran atau tujuan perubahan ditetapkan, tahap 5: upaya-upaya perubahan dalam ”situasi nyata” dilakukan, tahap 6: dilakukan generalisasi dan stabilisasi perubahan dan tahap 7: hubungan pertolongan diakhiri atau hubungan lain ditetapkan.

Tujuan utama penyuluhan pertanian menurut Slamet (2003:20) adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan (oleh pihak penyuluh) yang akan menyebabkan perbaikan mutu hidup para keluarga petani. Sedangkan menurut Boone (1989:1), tujuannya adalah untuk (1) mengajar orang, sesuai dengan konteks dan keadaan kehidupannya, bagaimana mengidentifikasi dan menilai kebutuhan dan masalah mereka; (2) membantu mereka dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk secara efektif mengatasi kebutuhan dan masalah mereka tersebut; (3) memberi inspirasi mereka untuk bertindak.

Kegiatan penyuluhan menurut SKB (1996:6) meliputi:

(1) Menyajikan/memberikan informasi-informasi tentang teknologi, pengetahuan, perkembangan pertanian, pemasaran dan sebagainya yang intinya sebagai kegiatan penerangan;

(2) Mendidik masyarakat pedesaan tentang pemanfaatan dan operasionalisasi teknologi dan pengetahuan yang sesuai dan lebih efisien;

(4) Membantu masyarakat pedesaan agar memiliki pendapat yang rasional (masuk akal) dan mampu mengambil keputusan dengan tepat;

(5) Menggerakkan masyarakat pedesaan agar lebih dinamis menuju

perubahan;

(6) Membantu masyarakat pedesaan agar mampu berusahatani dan mampu meningkatkan produksi pertanian yang diusahakan.

Empat Generasi Penyuluhan di Asia

Perkembangan pelayanan penyuluhan di negara-negara Asia saat ini, berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Namun, walaupun bervariasi, masih mungkin diidentifikasi suatu sekuen umum yang terdiri empat periode atau generasi (Wikipedia 2009:3-4), yaitu:

(a) Colonial agriculture: Stasiun Percobaan didirikan di banyak negara Asia oleh penguasa kolonial. Fokus perhatian biasanya untuk komoditas ekspor seperti karet, teh, kapas dan gula. Pelayanan teknis disediakan untuk manajer perkebunan dan pemilik lahan yang luas. Bantuan untuk petani kecil yang berusahatani secara subsisten jarang dilakukan, kecuali pada saat terjadi krisis.

(b) Diverse top-down extension: Setelah merdeka, pelayanan penyuluhan berdasarkan komoditi muncul dari sisa peninggalan sistem kolonial, dengan menetapkan target produksi sebagai bagian dari rencana pembangunan lima tahun (REPELITA). Juga, berbagai program mulai dikenalkan untuk memenuhi kebutuhan petani kecil dengan dukungan dana bantuan asing. (c) Unified top-down extension: Selama tahun 1970-an dan 1980-an, sistem

Latihan dan Kunjungan (Training and Visit) diperkenalkan oleh Bank Dunia. Organisasi yang ada pada waktu itu digabung menjadi satu pelayanan yang bersifat nasional. Pesan-pesan yang bersifat reguler disampaikan melalui kelompok petani, untuk mempromosikan adopsi teknologi “green

revolution.

(d) Diverse bottom-up extension: Ketika bantuan dari Bank Dunia berakhir, sistem LAKU tidak digunakan lagi di banyak negara, meninggalkan suatu program dan proyek-proyek kecil yang didanai dari berbagai macam sumber. Jatuhnya perencanaan terpusat, ditambah lagi dengan tumbuhnya kesadaran terhadap keberlanjutan (sustainability) dan kesetaraan, maka telah melahirkan pendekatan partisipatif yang secara bertahap menggantikan pendekatan top-down.

Empat generasi penyuluhan tersebut terbangun dengan baik di beberapa negara, sedangkan di beberapa tempat baru dimulai. Sementara itu, pendekatan partisipatif sepertinya akan terus berlangsung dan menyebar dalam beberapa tahun ke depan, dan tidak mungkin memprediksi masa depan penyuluhan dalam jangka waktu panjang. Dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu, penyuluhan pertanian kurang mendapat dukungan yang memadai dari lembaga donor. Di antara para akademisi yang bekerja di lapangan, akhir-akhir ini berkesimpulan bahwa penyuluhan pertanian butuh pembaharuan sebagai suatu praktik yang

profesional. Penulis lain telah mengusulkan gagasan tentang penyuluhan

sebagai suatu konsep yang berbeda, dan lebih suka berpikir dalam bentuk

knowledge system” di mana petani dilihat sebagai “expert” daripada sebagai

adopter.

Paradigma Baru Penyuluhan

Menurut Padmodihardjo (2004:1-8) penyuluhan pertanian harus ditata kembali berkaitan dengan adanya perubahan context dan content dari pembangunan. Perubahan context pembangunan mencakup (1) perubahan pengelolaan pembangunan, (2) kebebasan petani, (3) tuntutan pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan (4) keputusan Indonesia meratifikasi perjanjian WTO. Perubahan content pembangunan pertanian berkaitan dengan tujuannya. Sebelum masa krisis, pembangunan pertanian bertujuan untuk “meningkatkan produksi,” maka yang dibangun adalah usahataninya (on-farm). Pembangunan pertanian setelah masa krisis tujuannya adalah untuk “meningkatkan pendapatan” petani sehingga perlu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Untuk ini pembangunan pertanian yang berorientasi pada agribisnis, yang meliputi subsistem hulu sampai hilir (sarana prasarana, budidaya, pengolahan dan pemasaran) secara terpadu, simultan dan harmonis perlu dilakukan.

Paradigma penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk menghadapi era agribisnis (Puskaji 2004:11-13) adalah ”memposisikan petani sebagai fokus kegiatan pembangunan pertanian,” yaitu (1) petani sebagai pelaku utama/subyek, (2) petani sebagai manajer usahataninya sendiri dan (3) petani yang mandiri (mempunyai potensi kemampuan mengambil keputusan sendiri dalam merencanakan, mengelola dan mengembangkan usahataninya demi kesejahteraan dirinya dan keluarga dan masyarakat sekitarnya). Dengan demikian, fungsi penyuluh adalah sebagai seorang fasilitator. Menurut Slamet (2003:56-67) paradigma baru penyuluhan mencakup (1) penyuluhan sebagai

jasa informasi, (2) pentingnya aspek lokalitas, (3) berorientasi pada agribisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme dan (8) akuntabilitas.

Dalam kontek penerapan manajemen mutu terpadu, penyuluhan (pendidikan nonformal) dipersepsikan sebagai industri jasa atau industri pelayanan dan bukan sebagai proses produksi. Unsur utama dari penerapan manajemen mutu terpadu ini adalah (1) fokus pada pelanggan, (2) perbaikan pada proses secara sistematik, (3) pemikiran jangka panjang, (4) pengembangan sumberdaya manusia dan (5) komitmen pada mutu (Slamet 1996:3).

Setiap sistem penyuluhan dapat digambarkan dengan melihat dua aspek berikut, yaitu “bagaimana komunikasi terjadi” dan “mengapa itu terjadi.” Hal ini tidak berarti bahwa sistem paternalistik selalu bersifat persuasif. Begitu pula, kegiatan yang bersifat partisipatif tidak selalu berarti pendidikan. Menurut Wikipedia (2009:5-6) ada empat kombinasi yang mungkin bisa terjadi, yang masing-masing merupakan suatu paradigma penyuluhan yang berbeda, yaitu: (a) Technology Transfer (persuasive+paternalistic). Paradigma ini telah

terjadi pada masa kolonial, dan muncul lagi pada tahun 1970-an dan 1980-an ketika sistem LAKU diberlakuk1980-an di negara-negara Asia. Tr1980-ansfer teknologi menggunakan suatu pendekatan top-down yang diberikan dengan rekomendasi khusus kepada para petani tentang cara-cara yang harus mereka adopsi.

(b) Advisory Work (persuasive+participatory). Paradigma ini dapat dilihat saat ini, yaitu di mana organisasi Pemerintah atau perusahaan konsultasi swasta yang merespons pertanyaan petani berkaitan dengan formula-formula teknis. Ini juga mengambil bentuk dari proyek-proyek yang dibiayai oleh lembaga donor ataupun LSM yang menggunakan pendekatan partisipatif untuk mempromosikan suatu paket teknologi yang telah ditetapkan sebelumnya.

(c) Human Resource Development (educational+paternalistic). Paradigma ini telah mendominasi penyuluhan awal di negara-negara Eropa dan Amerika Utara, ketika universitas-universitas memberikan pelatihan kepada masyarakat pedesaan yang miskin untuk hadir dalam kursus dengan jam penuh (full-time courses). Ini masih terus berlanjut sampai hari ini dalam aktivitas pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi seluruh dunia. Di sini diberlakukan metode pembelajaran top-down, tetapi

peserta diharapkan membuat keputusan untuk mereka sendiri bagaimana menggunakan pengetahuan yang mereka terima.

(d) Facilitation for Empowerment (educational+participatory). Paradigma ini melibatkan metode seperti belajar berdasarkan pengalaman (experiental learning) dan pertukaran pengalaman dari petani ke petani. Pengetahuan ditingkatkan melalui proses interaktif dan peserta didorong untuk membuat keputusannya sendiri. Contoh yang baik dari penerapan paradigma ini di Asia adalah Sekolah Lapang (farmer field schools=FFS) atau pengembangan teknologi secara partisipatif (participatory technology development=PTD).

Perlu dicatat bahwa ada beberapa ketidaksepakatan tentang apakah konsep dan istilah penyuluhan melingkupi semua paradigma di atas atau tidak. Beberapa ahli yakin bahwa istilah penyuluhan harus dibatasi pada pendekatan persuasif, sementara yang lain yakin bahwa itu hanya digunakan untuk aktivitas pendidikan. Menurut Wikipedia (2009:6), Paulo Freire berargumentasi bahwa istilah “penyuluhan” dan “partisipasi” adalah berlawanan. Ada alasan filosofis dibalik ketidak-setujuan ini. Namun demikian, dari sudut pandang praktek, proses komunikasi yang membentuk masing-masing paradigma di atas, saat ini sedang dilaksanakan atas nama penyuluhan di beberapa bagian dunia dan yang lainnya. Secara pragmatis, jika tidak secara ideologis, semua aktivitas ini adalah disebut Penyuluhan Pertanian.

Penyuluhan yang tepat adalah penyuluhan yang dirancang berdasarkan (1) analisis isi (content area dan process area), (2) penetapan konsep yang sesuai dengan kebutuhan sasaran (karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong dan model peranan) dan (3) perumusan tujuan (tujuan program, tujuan umum dan tujuan khusus yang terkait dengan arah kebijakan pemerintah di bidang perbibitan yang diimplementasikan melalui penerapan IB). Dengan demikian, substansi pelatihan (penyuluhan) dapat mempertemukan dua kepentingan yaitu, antara tujuan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan dan kebutuhan dan harapan peternak. Selanjutnya, diharapkan penyuluh dapat merubah atau membentuk perilaku peternak sapi potong ke arah perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kebijakan di bidang perbibitan sapi potong, dan inseminator dapat memberikan pelayanan IB yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan, sesuai dengan harapan dan kebutuhan peternak sapi potong yang perilakunya sudah dibentuk oleh penyuluh.

Menurut Lionberger & Gwin (1982:8) menyatakan bahwa respons terhadap suatu inovasi sangat berbeda antara orang-perorang dan masyarakat yang satu dengan yang lain, serta peubah-peubahnya juga berbeda. Hal ini mengindikasikan diperlukannya pendekatan yang berbeda dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

Pelayanan yang Bermutu