• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi IB diperkenalkan di Indonesia pada tahun limapuluhan. Kemudian mulai dilakukan uji-coba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969. Namun kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976 bersamaan dengan diresmikannya Sentra Inseminasi Buatan Lembang. Sebagai suatu inovasi teknologi di bidang reproduksi ternak, IB tidak langsung diterima oleh peternak.

Inovasi menurut Rogers (2003:11) adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu individu atau beberapa individu. Inseminasi Buatan sebagai salah satu teknologi reproduksi, masuk pada kategori

technological innovation.” Menurut Rogers (2003:12-15, 35) setiap teknologi

terdiri dua komponen, yaitu (1) suatu perangkat keras (hardware) yang terdiri dari peralatan dan (2) suatu perangkat lunak (software) yang merupakan informasi ataupun pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya. Dalam konteks IB, yang termasuk perangkat keras seperti frozen semen,

container, insemination gun dan lain-lain, yang berwujud benda atau fisik.

Sedangkan yang termasuk perangkat lunak adalah selain pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya, juga pengetahuan peternak tentang apa yang harus dilakukan untuk memperoleh pelayanan IB serta pasca pelayanan IB.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan inovasi mulai dari ”pengenalan” sampai dengan mengambil ”keputusan” apakah menerima inovasi tersebut ataupun menolaknya. Begitu juga setelah mengambil keputusan, diperlukan waktu untuk ”konfirmasi” apakah akan diteruskan menerima ataupun berhenti. Bagi yang menolak, mungkin akan terus menolak ataupun pada akhirnya menerima setelah melihat banyak bukti yang berhasil (Rogers & Shoemaker 1995:102).

Proses individu mengambil suatu keputusan inovasi, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Model proses keputusan inovasi (Rogers & Shomaker 1995: 102). Dalam Gambar 1 tersebut jelas terlihat setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat maupun kecepatan proses adopsi inovasi, yaitu latar belakang peternak, baik yang berkaitan dengan individu (karakteristik internal) maupun sistem sosial (karakteristik eksternal), proses komunikasi dan sifat dari inovasinya serta dimensi waktu.

Proses Adopsi Inovasi

Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Menurut Lionberger dan Gwin (1982:60-62), sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima (awareness, interest, evaluation, trial dan adoption). Tahapan proses adopsi oleh individu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

a.Ganti b.Kecewa

(LATAR BELAKANG) (PROSES) (KONSEKUENSI)

PEUBAH PENERIMA SUMBER KOMUNIKASI

1.Sifat-sifat pribadi 2.Sifat-sifat sosial 3.Kebutuhan akan inovasi 4.Dan lain-lain

PENGENALAN PERSUASI KEPUTUSAN KONFIRMASI ADOPSI

TERUSKAN

HENTIKAN

SISTEM SOSIAL SIFAT INOVASI MENOLAK

1.Norma-norma sistem 2.Toleransi terhadap perubahan 3.Kesatuan komunikasi 4.Dan lain-lain 1.Keuntungan relatif 2.Kompatibilitas 3.Kompleksitas 4.Trialabilitas 5.observabilitas ADOPSI LAMBAT TERUS MENOLAK INFORMASI W A K T U

Gambar 2. Tahapan proses adopsi oleh individu (Lionberger & Gwin 1982:61)

Pada tahap awareness, seseorang menjadi peduli terhadap gagasan, produk, ataupun cara baru ketika melihatnya untuk pertama kali. Orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan ataupun informasi tentang hal baru tersebut. Pada tahap interest, muncul ketertarikan terhadap hal yang baru tersebut. Pada tahap ini, informasi yang bersifat umum tidak cukup, tetapi dia mulai ingin mengetahui apa yang sesungguhnya tentang hal tersebut, bagaimana hal itu akan bekerja dan sebagainya. Orang tersebut membutuhkan informasi lebih lanjut dan secara aktif mencari informasi tambahan yang lebih rinci. Pada tahap

evaluation, sebagai calon adopter yang sudah mengumpulkan informasi, maka

orang tersebut mulai menimbang-nimbang antara pro dan kontra dari gagasan baru tersebut, dan ini terkait pada keadaan mental dari orang yang bersangkutan, dikarenakan dia harus memutuskan dua hal, yaitu (1) apakah ini sesuatu yang baik dan (2) apakah ini baik untuk saya. Pada tahap trial, seseorang mulai mencoba gagasan ataupun cara baru tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa pola yang umum yang dilakukan pada tahap ini adalah seseorang pada awalnya mencoba sedikit demi sedikit, dan jika semuanya berjalan dengan baik, maka dia akan mencoba lebih banyak. Akhirnya, jika percobaan permulaan berhasil, yang biasanya dilakukan oleh seseorang pada usahanya sendiri dan sering setelah mengamati atau berkonsultasi dengan yang lain, maka dia akan mengadopsi inovasi tersebut untuk digunakan seterusnya. Atau, bisa juga dia sama sekali tidak menggunakan inovasi tersebut. Pada tahap

adoption, seseorang memutuskan bahwa suatu inovasi cukup baik untuk

digunakan dalam skala penuh, dan akan dipertahankan sampai ada inovasi lagi (Lionberger & Gwin 1982:61-62).

Namun, tidak ada kesepakatan di antara para peneliti bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan hasil dari sekuens pengaruh yang bekerja saat itu atau sebagai sesuatu yang terjadi secara instan. Lebih jauh dikatakan, ada variasi dalam proses adopsi, yaitu tidak semua orang mengalami semua tahapan secara persis urutannya dalam mengambil keputusan (Lionberger & Gwin 1982:62).

Proses adopsi adalah bersifat individual, dan hal ini akan menyebar ke anggota masyarakat yang lain dalam proses yang dikenal sebagai difusi inovasi. Proses Difusi Inovasi

Difusi adalah suatu proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan sepanjang waktu melalui saluran tertentu kepada anggota dari suatu sistem sosial. Unsur utama dari difusi ini adalah (1) suatu inovasi, (2) menggunakan saluran komunikasi tertentu , (3) dalam suatu jangka waktu dan (4) di antara para anggota sistem sosial (Rogers 2003:10-37; Nasution 2002:124).

Inovasi. Dari unsur inovasi, beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) inovasi teknologi, informasi dan ketidakpastian, (2) klaster teknologi dan (3) karakteristik inovasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan inovasi adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu individu atau beberapa individu. Anggapan ”kebaruan” suatu ”gagasan, tindakan atau obyek” akan menentukan bagaimana orang bereaksi. Sebagai suatu ”technological innovation,” inovasi menciptakan semacam ketidakpastian dalam pikiran seorang adopter potensial (Rogers 2003:13). Oleh karena itu dibutuhkan banyak informasi untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Suatu klaster teknologi terdiri dari satu atau lebih unsur teknologi yang dapat dibedakan dan dianggap mempunyai kemiripan dengan inovasi lain. Klaster teknologi adalah batas-batas sekitar suatu inovasi teknologi. Hal ini penting karena menyangkut suatu konsep dan metodologi dari inovasi teknologi tersebut. Karakteristik inovasi, sebagaimana mereka persepsikan, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi. Beberapa hal yang terkait dengan ini adalah (1) kelebihan/keutamaan relatif (relative advantages), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) dapat dicoba (trialability) dan (5) dapat dilihat (observability). Penjelasan berikut adalah dari Nasution (2002:125):

1. Keuntungan relatif (relative advantages), yaitu apakah inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang menerima inovasi tersebut.

2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak diadopsi sesuai dengan nilai-nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lama, kebutuhan, selera, adat-istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan; 3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada

sebab selain sukar dipahami, juga cenderung dirasakan sebagai tambahan beban baru.

4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu suatu inovasi akan lebih cepat diterima, bila dapat dicobakan terlebih dahulu dalam ukuran kecil sebelum orang terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah hal yang wajar, karena seseorang akan selalu berupaya menghindari resiko yang besar terhadap hal baru.

5. Dapat dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah untuk mempertimbangkan untuk menerimanya, ketimbang bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat dibayangkan.

Saluran komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lainnya, dalam rangka mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. Difusi adalah suatu jenis komunikasi khusus di mana isi pesan yang saling dipertukarkan adalah berkaitan dengan gagasan baru. Prosesnya melibatkan (1) suatu inovasi, (2) individu atau satuan lain adopsi yang mempunyai pengetahuan tentang inovasi atau berpengalaman menerapkan inovasi tersebut, (3) individu lain atau satuan lain yang belum berpengalaman menerapkan inovasi tersebut dan (4) saluran komunikasi yang menghubungkan kedua satuan tersebut. Jadi, saluran komunikasi adalah suatu tindakan dimana pesan diperoleh dari satu individu ke individu yang lain.

Dimensi waktu. Waktu adalah unsur ketiga utama dari suatu proses difusi. Dimensi waktu tidak bisa diabaikan, hal ini terkait (1) dalam innovation process, individu melewati dari pengetahuan awal tentang inovasi sampai kepada menerima atau menolak inovasi, (2) bisa diperbandingkan antara yang relatif cepat atau lambat dalam mengadopsi suatu inovasi dan (3) kecepatan mengadopsi suatu inovasi dalam suatu sistem, biasanya diukur dari jumlah anggota yang mengadopsi inovasi tersebut dalam periode waktu tertentu.

Anggota sistem sosial. Penyebar-serapan (difusi) inovasi terjadi secara terus-menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu yang berikutnya, dan dari bidang tertentu ke bidang lainnya melalui anggota sistem sosial. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain (Nasution

2002:123). Rogers (2003:24) menyatakan bahwa difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Struktur sosial dari sistem akan mempengaruhi difusi inovasi dengan beberapa cara. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi adalah proses komunikasi dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Oleas et al. (2010:43) menambahkan peran dari opinion leaders. Proses Komunikasi

Seperti dinyatakan oleh Rogers (2003:17), bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana peserta (participants) menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lain dalam rangka untuk memperoleh pemahaman bersama. Dalam proses pengambilan keputusan inovasi, terlihat bahwa informasi dari ”sumber komunikasi” sangat diperlukan sejak proses ”pengenalan,” ”persuasi” dan pengambilan ”keputusan.” Begitu juga ketika proses konfirmasi berlangsung.

Ross (1979:12) mendefinisikan komunikasi dengan banyak pendekatan, yaitu (1) suatu proses saling berhubungan, mengendalikan satu dengan yang lainnya dan saling memahami, (2) interaksi sosial yang menggunakan lambang dan pesan, (3) pengetahuan tentang perilaku mengirimkan pesan kepada penerima dengan maksud menyadarkan dan merubah perilaku penerima, (4) kemampuan berbahasa dengan banyak lambang dan berhubungan dengan perilaku dalam suatu sistem sosial, (5) fungsi sosial tentang perilaku, (6) komunikasi terjadi kapan saja dimana seseorang menunjukkan pesan yang berhubungan dengan perilaku dan (7) komunikasi manusia melibatkan segala sesuatu yang mengandung arti. Ditambahkan kemudian, bahwa semua komunikasi terdiri hanya 35% verbal dan sisanya 65% adalah bahasa nonverbal. Dalam konteks nonverbal ini, peranan budaya sangat besar. Bahkan tiap-tiap komunitas mungkin mempunyai sistem komunikasi nonverbal sendiri. Di sini pentingnya untuk mengamati secara langsung proses komunikasi suatu komunitas.

Saluran komunikasi (communication channel) adalah cara (the means) dimana pesan-pesan diperoleh dari seseorang ke orang lainnya. Beberapa contoh saluran komunikasi adalah media massa, seperti radio, televisi, suratkabar dan lain-lain, yang memungkinkan satu sumber atau sedikit sumber dapat mencapai banyak pendengar (Rogers 2003:18). Di lain pihak, saluran antar pribadi (interpersonal channels), adalah lebih efektif dalam mempengaruhi seseorang untuk menerima suatu gagasan baru, khususnya jika saluran antar pribadi menghubungkan dua atau lebih individu yang memiliki status

sosial-ekonomi, pendidikan dan pandangan yang sama. Saluran-antar-pribadi melibatkan pertukaran melalui ”pertemuan langsung” antara dua individu atau lebih. Dalam penyuluhan pertanian di Indonesia, hampir semua saluran komunikasi tersebut di atas pernah digunakan.

Sistem Sosial dan Perubahan Sosial

Ada dua pendekatan dalam melihat suatu kelompok di masyarakat, yaitu (1) dari sudut psikologi sosial yang sering disebut dengan istilah ”dinamika kelompok” dan (2) dari sudut ilmu sosiologi, yang sering disebut sebagai pendekatan ”sistem sosial.” Menurut Rogers (2003:23), sistem sosial adalah ”a set of interrelated units that are engaged in joint problem-solving to accomplish a

common goal” (suatu susunan satuan yang saling terkait, bergabung dalam

pemecahan masalah untuk mencapai tujuan bersama). Anggota atau satuan dari suatu sistem sosial bisa bersifat individu-individu, kelompok informal, organisasi dan/atau subsistem sosial.

Menurut Loomis (1960:5) unsur-unsur pokok sistem sosial adalah (1) tujuan (goal), (2) keyakinan (belief/knowledge), (3) sentimen/perasaan (sentiment/ feeling), (4) norma (norm), (5) sanksi (sanctions), (6) peranan/kedudukan (status/roles), (7) kewenangan/kedudukan (power/authority), (8) jenjang sosial (social rank), (9) fasilitas (facility) dan (10) tekanan dan ketegangan (stress and strain). Lebih jauh dikatakan, bahwa secara teoritis, kelompok sebagai suatu sistem sosial harus mempunyai kesepuluh unsur ini. Jika ada yang kurang atau tidak ada, maka itu merupakan kelemahan kelompok tersebut, karena masing-masing unsur tersebut adalah sebagai peubah yang mempunyai pengaruh pada interaksi anggota dalam kelompok, juga akan berpengaruh pada perilaku individu dan perilaku kelompok.

Dengan pendekatan proses, maka masing-masing unsur menjelaskan proses (1) pencapaian sasaran dan menyertai aktivitas yang bersifat laten, yang mengartikulasikan unsur tujuan (end, goal atau objective) dan mempunyai fungsi pencapaian (achieving), (2) pemetaan cognitive dan validasi sebagai artikulasi unsur keyakinan (belief/knowledge) yang mempunyai fungsi mengetahui

(knowing), (3) manajemen tegang dan komunikasi sentimen, yang

mengartikulasikan unsur sentimen/perasaan (sentiment) yang mempunyai fungsi perasaan (feeling), (4) evaluasi, yang mengartikulasikan unsur norma (norm), yang mempunyai fungsi penormaan, penstandaran dan pemolaan (norming, standardizing, patterning), (5) penerapan sanksi, yang mengartikulasikan unsur

sanksi (sanctions) yang mempunyai fungsi memberi sanksi (sanctioing), (6) performans status-peran, yang mengartikulasikan unsur peranan/kedudukan (status/roles), yang mempunyai fungsi pembagian fungsi (dividing of functions), (7) pembuat keputusan dan inisiasi tindakan, yang mengartikulasikan unsur kewenangan/kedudukan (power/authority), yang mempunyai fungsi pengendalian (controlling), (8) evaluasi pelaku dan alokasi status-peran, yang mengartikulasi-kan unsur jenjang sosial (social rank), yang mempunyai fungsi penetapan tingkatan (ranking) dan (9) pemanfaatan fasilitas, yang mengartikulasikan unsur fasilitas (facility), yang mempunyai fungsi fasilitasi (facilitating);

Rogers (2003:30-31), menyatakan bahwa setiap inovasi akan mempunyai konsekuensi. Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi terhadap individu ataupun sistem sosial sebagai hasil dari penerimaan (adopsi) ataupun penolakan (rejeksi) suatu inovasi. Menurutnya, setidaknya ada tiga klasifikasi konsekusensi inovasi, yaitu (1) antara konsekuensi diinginkan dan tidak diinginkan. Ini tergantung apakah suatu inovasi di dalam suatu sistem sosial, berfungsi atau tidak, (2) antara konsekuensi langsung dan tidak langsung. Hal ini tergantung apakah perubahan individu ataupun sistem sosial terjadi segera setelah diresponsnya suatu inovasi (direct consequence), atau merupakan hasil tidak langsung (second-order) dari konsekuensi langsung suatu inovasi dan (3) antara konsekuensi dapat diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi. Hal ini tergantung apakah perubahan ini dikenali dan yang dimaksud oleh anggota dari sistem sosial atau tidak.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:140-141), sebagian besar studi difusi inovasi menekankan pada perubahan teknis yang kecil dan khusus. Sedikit saja perhatian diberikan terhadap perubahan yang besar dalam struktur sosial atau cara hidup masyarakat. Dengan demikian perhatian lebih banyak ditujukan pada inovasi bagian pinggir (periferal) daripada yang di pusat dari suatu sistem sosial. Lebih jauh, dinyatakan, bahwa perubahan individu dan kelompok merupakan pusat perhatian pada penelitian difusi inovasi. Perubahan kelembagaan dan masyarakat jarang diteliti, padahal perubahan sosial yang demikian sangat penting, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan.

Perubahan sosial secara konseptual adalah sebagai suatu proses, terencana ataupun tidak direncanakan secara kualitatif ataupun kuantitatif perubahan di dalam fenomena sosial, yang dapat digambarkan dalam suatu susunan kontinum enam bagian dari keterkaitan antar komponen-komponen

identitas, level, durasi, arah, magnitut dan tingkat kecepatan perubahan (Vago 1989:24). Menurut Rogers (2003:6) difusi adalah sejenis dengan perubahan sosial, yang didefinisikan sebagai proses perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial.

Menurut Vago (1989:10-14) beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, yaitu (1) Penduduk. Perubahan dalam ukuran (jumlah), komposisi, distribusi penduduk akan mempengaruhi perubahan sosial, (2)

Konflik. Banyak perubahan sosial dihasilkan oleh terjadinya konflik antar

kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat muncul antar kelas sosial, penduduk dari daerah yang berbeda, dan rasial serta kelompok-kelompok etnis, (3)

Determinasi ekonomi. Kepemilikan modal, akan menentukan organisasi dari

masyarakat bukan pemilik modal. Struktur kelas dan susunan kelembagaan, juga nilai-nilai budaya, keyakinan, agama, dogma dan gagasan sistem yang lain, adalah benar-benar merefleksikan dasar ekonomi masyarakat, (4) Inovasi. Inovasi merujuk kepada suatu cara baru dalam melakukan sesuatu, (5) Difusi. Diffusi adalah proses di mana suatu inovasi dan sifat-sifat budaya lain menyebar dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya dan (6) The Legal System. Melalui proses berkelanjutan, regulasi, deregulasi dan penegakan hukum secara selektif,

legal system adalah suatu instrumen dalam perubahan sosial.

Berkenaan dengan inovasi, Vago (1989:12-13) menyatakan bahwa ada tiga tipe dasar inovasi yang sering menyebabkan perubahan sosial, yaitu (1) teknologi baru, (2) budaya baru dan (3) bentuk baru dari struktur sosial. Dalam konteks ini, IB merupakan inovasi teknologi. Pengaruh teknologi ini mempunyai akibat yang besar terhadap kehidupan individu-individu dalam masyarakat, terhadap nilai-nilai sosial, terhadap struktur dan fungsi dari kelembagaan sosial, dan terhadap organisasi politik dalam masyarakat (Vago, 1989:87).

Latar belakang peternak, sistem sosial, proses komunikasi dan sifat suatu inovasi di atas akan menentukan tingkat penerapan maupun kecepatan adopsi suatu inovasi.

Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi

Keputusan seseorang untuk menerima ataupun menolak suatu inovasi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan, menurut Lionberger dan Gwin (1982:5) dipengaruhi oleh (1) sebagian dari faktor individu, (2) sebagian dari situasi dimana dia berada dan (3) sifat dari inovasi tersebut. Faktor individu yang mempengaruhi adalah merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diturunkan

(inherited characteristics) dan pengalaman belajar (learned experiences) (Lionberger & Gwin 1982:8).

Beberapa faktor individu (personality variables) yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi (perubahan), menurut Rogers (2003:272-274), mencakup (1) rasa empati, (2) sikap dogmatis, (3) kemampuan melakukan abstraksi, (4) rasionalitas, (5) kecerdasan, (6) sikap terhadap perubahan, (7) sikap terhadap ketidakpastian, (8) sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, (9) fatalisme dan (10) aspirasi. Faktor situasi di mana individu tersebut berada, menurut Lionberger dan Gwin (1982:10-13) terdiri dari (1) family, (2) friendship

groups, (3) locality groups, (4) religious groups, (5) reference groups dan (6)

special interest groups. Hasil penelitian Ginting (1984: 84) tentang respons

peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak - yang mencerminkan tingkat adopsi inovasi IB- adalah 35,33% sangat setuju dan 43,33% setuju. Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: inovator 10%, early adopter

20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%.

Khusus untuk waktu yang dibutuhkan dimana suatu inovasi diadopsi oleh sebagian anggota dari suatu sistem sosial, Rogers (2003:206-207) menyebutnya sebagai rate of adoption. Tingkat kecepatan adopsi inovasi ini dipengaruhi oleh (1) sifat-sifat yang melekat pada inovasi (relative advantage, compatibility, complexity, trialability dan observability), (2) jenis keputusan inovasi (optional, collective atau authority), (3) saluran komunikasi (misal: media massa, interpersonal), (4) sistem sosial dan (5) intensitas upaya promosi oleh agen perubahan (penyuluh). Sebagai contoh, Lionberger dan Gwin (1982:63) menyatakan bahwa dibutuhkan waktu lima tahun bagi petani di Iowa untuk mau menggunakan (mengadopsi) benih jagung hibrida, dan dibutuhkan waktu sekitar 12-14 tahun untuk semua petani menggunakan benih jagung hibrida tersebut. Adapun hasil penelitian Ali-Olubandwa et al. (2010:26) tentang perbaikan teknologi produksi jagung pada petani skala kecil di Kenya, menunjukkan bahwa terendah 17,2% (Busia District) dan tertinggi 56,7% (Lugari District) responden yang mengadopsi paket teknologi tersebut secara penuh (100%).

Menurut Nasution (2002:125), perbedaan kecepatan proses adopsi, antara lain dapat dijelaskan dengan persepsi mereka terhadap karakteristik inovasi.

Persepsi

Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi. Persepsi juga mempengaruhi keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) pesan yang diterima dan makna yang diberikan (DeVito 2000: 75). Menurut Tubb dan Moss (2005:34), sebagai komunikator, kita bergantung pada persepsi dalam hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Hal ini berati, bahwa dalam proses mengadopsi inovasi IB, peternak juga dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang IB dan hal-hal lain terkait dengan IB.

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Dijelaskan, bahwa ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu (1) Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya. (2) Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang. (3) Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik akan menciptakan pesan. (4) Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya.

Dalam penelitian Ginting (1984:51) menyatakan, bahwa persepsi terhadap IB adalah pemberian arti/makna yang diberikan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak terhadap IB dalam pernyataan setuju atau tidak setuju. Dalam hal ini, terdapat 62% jawaban peternak yang

menyatakan setuju tentang IB, ini berarti peternak memberikan makna yang positif terhadap gagasan tersebut.

Penelitian Terkait Adopsi Inovasi