• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Perdaga nga n Bebas

Perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan merupaka n konsep ekonomi yang merujuk kepada sistem perdagangan barang dan jasa antar negara tanpa adanya intervensi pemerintah dalam bentuk tariff dan hambatan perdagangan lainya, seperti kuota, subs udi, dan pajak (Krugman dan Obstfeld, 2000; Husted dan Melvin, 2004). Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, kebijakan perdagagan bebas dengan menghapuskan berbagai intervensi dan hambatan perdagangan diyakini dapat memperluas akses pasar yang diperlukan untuk mengembangkan ekspor (Wibowo, 2009). Perdagangan bebas, disamping akan meningkatkan impor negara yang membuka pasarnya melalui penghapusan tarif, juga akan meningkatan ekspor, sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama periode 1999-2009 perdagangan telah menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi dunia sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5 da n 6. Selama periode tersebut total perdagangan dunia meningkat hampir tiga kali lipat dari US$ 12 trilyun pada tahun 1999 menjadi sekitar US$ 33 trilyun pada tahun 2009. Selama periode yang sama PDB dunia meningkat dari US$ 31 trilyun pada tahun 1999 menjadi US$ 58 trilyun pada tahun 2009.

Hardo no et al (2004) mengemukakan bahwa perdagangan bebas, minimum akan memberikan lima keuntungan yaitu: (1) akases pasar akan lebih luas karena liberalisasi perdagangan cende rung menciptaka n pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling

menunjang, sehingga dapat diperoleh efisiensi; (2) iklim usaha lebih kompetitif, sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya; (3) mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sebagaa akibat dari adanya arus perdangangan dan investasi yang lebih bebas; (4) signal harga yang dihasilkan lebih “benar”, sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; dan (5) kesejahteraan kosumen baik ditingkat individu maupun perusahaan akan meningkat. Kesejahteraan individu meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga relaif lebih murah sehingga daya beli (purchasing power)

bertambah, sementara dipihak lain perusahaan memperoleh keuntungan dari ke muda han akses untuk mendapat sumber bahan baku, ko mpo nen, dan jasa yang lebih kompetitif (Wibowo, 2009).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 USD Triliun

Negara maju Negara Emerging dan Berkembang

Sumber: IMF, 2010

32 0 5 10 15 20 25 30 35 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 T riliu n U S $ Total Perdagangan Ekspor Sumber: WTO, 2010.

Gambar 6. Perkembangan Ekspor dan Total Perdagangan Dunia Tahun 1999-2009

Kebijakan perdagangan bebas pertama kali diprakarsai oleh negara-negara Eropa dan Amerika setelah berakhirnya Perang Dunia II. Sistem perdagangan bebas multilateral pada awal pembentukannya disebut dengan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yaitu suatu perjanj ian internasional mengenai tarif dan perdagangan. Selama tiga dekade sejak kesepakatan GATT (1950-1980) sistem multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional (Krueger,1999; Krugman dan Obstfeld, 2000). Namun sejak akhir 1980-an, kebijakan perdagangan bebas mulai bergeser dari sistem multiteral ke sistem regional melalui pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs), baik dalam bentuk kesepakatan pemberian konsesi tarif (Prefential Tariff Arranggements),

perdagangan bebas regional (Regional Free Trade ) maupun pe nyatuan sistem pabean (Costums Union) (Wibowo, 2009).

Berkembang dan meluasnya berbagai kesepakatan RTAs yang dimulai sejak awal tahun 1990-an dipicu oleh lamba nnya penyelesaian sistem perdagangan multilateral dalam kerangka WTO, sehingga fenomena munculnya berbagai

bentuk RTAs menimbulkan banyak perdebatan diantara ahli ekonomi mengenai relevansi RTAs dan masa depan sistem multilateral di bawah kerangka GATT/WTO. Terkait de ngan isu tersebut, terdapat dua kubu yang pro da n ko ntra atas meluasnya fenomena RTAs tersebut. Kubu yang pro terhadap kebijakan perdagangan bebas regional (Bergsten, 1997; Baldwin,1997; Ethier,1998; dan Lawrence,1999) mengemukakan bahwa RTAs adalah langka h maju menuju perdagangan bebas multilateral dan akan memperkuat eksistensi WTO serta sistem perda gangan internasional. Sementara itu, Michalak dan Gibb (1997), juga mengemukakan pendapat yang hampir sama bahwa regionalisasi perdagangan merupaka n salah satu strategi awal bagi sebuah negara sebelum melibatkan diri dalam proses perdagangan multiteral. Disamping itu, secara politis RTAs akan lebih mudah dikelola oleh sebuah pe merintah diba ndingka n de ngan sistem multilateral yang komplek dan berlarut larut (Desker, 2004). Dengan RTAs diharapkan negara-negara di suatu kawasan dapat mengintegrasikan ekonomi mereka kedalam sebuah sistem eko nomi yang lebih terbuka de ngan melakukan perdagangan intra-kawasan (Wibowo, 2009).

Sementara itu kelompok yang kontra terhadap kebijakan perdagangan bebas regional (Bhagwati,1995; Krueger,1995; da n Panagariya,1999) berpendapat bahwa RTAs justru akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral karena akan memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota RTAs, tetapi di sisi lainnya memproteksi pasar bagi negara-ne gara di luar angota RTAs. Bhagwati (1995) mengeluarkan istilah yang sampai sekarang seringkali diingat oleh berbagai pihak yang memahami kebijakan perdagangan sebagai efek

34 barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan

Preferential Trade Area (PTA).

Pembentuka n Preferential Trade Area antara sebuah eko nomi besar de ngan ekonomi negara-negara berkembang seperti NAFTA, bertentangan de ngan sistem perdagangan bebas multilateral, sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang (Bhagwati da n Panagariya, 1996). Oleh karena itu, PTA akan lebih sesuai dengan sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif sama dan telah memiliki hubungan pe rda gangan secara tradisional, seperti MERCOSUR, COMESA, AFTA, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negara-negara Amerika Selatan, negara-negara-negara-negara Afrika bagian Selatan dan negara-negara- negara-negara anggota ASEAN. Jika PTA dilakuka n antara ne gara maju de ngan negra berkembang, maka cakupan produk maupun subtansi kerjasama diantara keduanya harus memasuka n aspek ke rjasama eko nomi yang lebih luas di luar perdagangan termasuk kerjasama dalam bentuk Capacity Bulding dan Technical Assistance dari negara maju ke negara berke mbang yang sepka t membe ntuk PTA tersebut.

Sementara itu, sistem perdagangan bebas multilateral dimulai sejak adanya kesepakatan GATT yang dibentuk pada tahun 1948. Selanjutnya, setelah berakhirnya Putaran Uruguay tahun 1994, GATT diagantika n dengan WTO

(World Trade Organization), yang dibentuk pada tahun 1995. Indonesia sebagai anggota GATT, selanjutnya meratifikasi pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga Indo nesia sebagai negara anggota dan

sekaligus bagian dari pendiri WTO memiliki kewajiban untuk memenuhi semua perjanjian yang disepakati dalam WTO.

Prinsip prinsip perdagangan multilateral yang dianut dalam GATT/WTO (WTO, 2010) adalah:

1. Trade without discrimination, yang berarti bahwa perdagangan dilakukan tanpa diskriminasi, sehingga semua negara anggota WTO berhak atas perlakuan yang sama atau Most-favoured Nation (MFN).

2. Free trade, yang berarti penghapusan dan penurunan hambatan perdagangan ba ik tarif maupun non dilakukan secara bertahap melalui proses negosiasi. 3. Predictable through binding and transparency, artinya suatu negara (negara

anggota) tidak boleh memberlakukan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif secara sepihak. Prinsip ini juga mengandung makna bahwa tingkat tarif dan komitmen untuk membuka pasar domestik bersifat mengikat (binding) dan untuk diketahui (notification) oleh semua anggota WTO.

4. Fair competion trade, artinya persaingan pe rda gangan harus dilakukan secara sehat.

5. Encouranging development and economic reform, yang berarti bahwa sistem perda gangan dibawah aturan WTO harus memberikan fleksibilitas kepada kelompok negara berkembang untuk melaksanakan kesepakatan WTO. Disamping itu, prinsip ini juga memberikan perlakuan kepada kelompok negara berkembang agar diberi bantuan teknis dan konsesi perdagangan tertentu guna mendukung pembagunan ekonomi nasionalnya.

Sampai saat ini perundingan perdagangan multilateral telah dilakukan sebanyak sepuluh (10) kali putaran, dimulai tahun 1947 di Geneva hingga putaran

36 terakhir yang dikenal dengan putarn Doha atau Doha Development Agenda/DDA (2001-sekarang) seperti terlihat pada tabel 12. Pada awalnya perundingan GATT yang diikuti oleh bebe rapa negara anggota yang terutama dari kelompok negara industri maju, .hanya membahas penurunan tarif perdagangan barang. Namun dalam perkembangan selanjutnya topik perundingan GATT diperluas hingga mencakup hampir semua aspek perdagangan, seperti tarif, tekstil, produk pertanian, sumberdaya alam, perlind ungan hak intelektual, investasi, jasa, dan lain- lain (Wibowo, 2009). Perkembangan perundingan dan ruang lingkup yang dibahas dalam GATT disajika n pada tabel 12. Putaran Doha atau DDA adalah merupakan putaran perundingan perdagangan bebas multilateral yang paling lama dalam sejarah WTO yaitu sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Disamping putaran Doha, Putaran Uruguay ada lah juga putaran perundinga n yang terbesar dalam catatan sejarah GATT, selain memakan waktu yang lama yaitu lebih dari tujuh tahun (1986-1994), tetapi juga membahas hampir semua aspek liberalisasi perdagangan internasional yang dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju.

Hasil yang paling menonjol dari putaran Uruguay antara lain adalah disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement of Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan (Trade-related Intelectual Property Rights/TRIPS), perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Mesures/TRIMSs) dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) (Wibowo, 2009). Putaran Uruguay juga telah berhasil menurunkan tingkat tarif produk manufaktur di negara-negara indutri secara sugnifikan dari 6.3 persen menjadi 3.9 persen atau

penurunan sekitar 40 persen. Sedangka n di negara- negara industri sedang berkembang, tarif manufaktur diturunkan dari rata-rata 15.3 persen menjadi 12.3 persen atau penurunan sebesar 30 persen (OECD,1998). Selanjut nya berdasarkan hasil studi yang dilakuka n oleh OECD (1998), menyimpulkan bahwa liberalisasi perdagangan barang berdasarka n hasil Putaran Uruguay akan meningkatkan GDP dunia sebesar US$ 94 Milyar setiap tahunya (dihitung pada tahun 1992), dan apabila ditambah dengan hasil liberalisasi di sektor investasi, maka kenaikan GDP dunia tersebut mencapai US$ 214 Milyar per tahun atau sekitar 1 persen dari total output dunia pada 1992. Kesimpulan lainnya dari hasil studi yang dilakukan oleh OECD tersebut juga menytakan ba hwa manfaat liberalisasi perdagangan akan dinikmati oleh negara-negara berkembang.

Di sektor pertanian, Uruguay Round Agreement on Agriculture (URAA) telah disepakati oleh negara-negara GATT/WTO. Berdasarkan URAA, hambatan non-tarif dalam perdagangan produk pertanian digantikan dengan tarif yang meningkat (bound tariffs), dan disepakati untuk memperluas akses pasar dengan mengurangi subsidi domestik dan subsidi eskpor (Wibowo, 2009). Menurut Malian (2004) ada 3 kesepakatan penting di sektor pertanian yang dihasilkan da lam putaran Uruguay, yaitu:

1. Penurunan tarif di ne gara-negara berkembang sebesar 24 persen selama 10 tahun. Sementara itu, penurunan tarif di negara-negara maju rata-rata sebesar 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif selama 6 tahun. 2. Subs idi do mestik yang ada di negara- negara maju diturunka n sebesar 20

persen tanpa batas waktu, dan bagi negara berkembang subsidi domestik di turunkan sebesar 13.3 persen selama 10 tahun. Selanjutnya, subsidi domestik

38 dibawah 5 persen yang ada di ne negara maju da n 10 pe rsen di ne gara-negara berkembang dari total nilai produk pertanian diperbolehkan.

3. Subsidi ekspor di negara-negara maju yang mencakup 24 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 36 persen. Sedangkan unt uk negara-negara berkembang yang mencakup 16 persen dari jumlah komoditi ekspor yang disubsidi harus diturunkan sebesar 20 persen selama 10 tahun.

Meskipun kesepakatan dalam sektor pertanian tersebut telah dicapai melalui Putran Uruguay, pada kenyataannya masih banyak negara maju yang memproteksi sektor pertaniannya secara berlebihan. Menurut Duncan et al, (1999) beberapa fakta empirirs menunjukkan bahwa proteksi terhadap komoditi pertanian di negara-negara maju cukup besar yaitu di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang berkisar antara 116-463 persen. Pada tahun 1998, ketiga negara tersebut memberikan subsidi ekspor kepada produk pertaniannya masing- masing sebesar US$101.5 Milyar (Amerika Serikat), US$ 142.2 milyar (Uni Eropa), dan US$ 56.8 milyar (Jepang). Selanjut nya OECD (1998) juga mencatat bahwa negara-negara anggota OECD harus menanggung rata-rata sekitar 35 persen dari nilai total produksi sektor pertaniannya untuk memproteksi pasar komoditi pertanian tersebut. Tingginya proteksi sektor pertanian di negara-negara maju sangat merugikan produsen di negara berkembang karena tertutupnya akses pasar untuk ekspor dan penurunan harga komoditi pertanian (Wibowo, 2009). Malian (2004) juga mencatat beberapa kelemahan dalam perjanjian sektor pertanian di WTO, yaitu : (1) akses pasar ke negara maju relatif sulit karena sejak awal mereka telah memiliki ”initial tariff rate” yang jauh lebih tinggi; (2) de ngan kekuatan kapital

yang dimiliki, ne gara-negara maju telah menyediakan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi untuk menorong ekspor dari surplus produksi komoditi pertanian yang dimiliki; dan (3) dalam perjanjian WTO tidak terdapat fleksibilitas yang memadai bagi negara- negara be rke mbang untuk melakukan penyesuaian tarif yang sejalan dengan perkembangan permasalahan dan lingkungan setrategis perda gangan ko mod iti di negara-negara tersebut.

Sejak dibentuknya WTO tahun 1995 dan dihasilkannnya Putaran Doha, di bulan Nopember 2001, WTO memulai babak perundingan baru yang disebut dengan Doha Development Agenda (DDA). Cakupan agenda yang dirundingkan lebih luas dan lebih sulit dalam mencapai keepka tan diantara gap yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang. Agenda yang dirundingkan mencakup: perdagangan produk pertanian, produk non pertanian, investasi, jasa, isu lingkungan, dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO. Menurut Wibowo (2009), perundingan di sektor pertanian mencakup tiga isu penting yaitu: (1) perluasan akses pasar melalui penurunan tarif; (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang kompetitif; dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar. Berdasarkan program kerja Doha atau juga sering disebut dengan ”Paket Juli”

1. Subsidi domestik di negara-negara maju khusunya Eropa dan Amerika Serikat harus dipotong sebesar 20 persen dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian di sektor pertanian, dan membatasi subsidinya sebesar 5 persen dari total produksi pertanian untuk kategori blue box.

perundingan ketiga pilar sektor pertanian tersebut dilakukan atas dasar (Wibowo, 2009):

40 2. Semua subsidi ekspor akan dihapuska n da n dilakuka n secara pa ralel dengan

penghapusan elemen subsidi program yaitu: kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi.

3. Untuk akses pasar, dilakukan penurunan tarif dengan menggunaka n formula bertingkat (tiered formula) terhadap tarif terikat (bound tariff). Dengan fomula tersebut, maka akan memangkas tarif untuk beberapa produk yang bound tariff nya masih tinggi seperti seperti komoditi beras dan gula di Indonesia.

Paket Juli 2004 juga memberikan pengecualian perubahan pada beberapa jenis produk (Wibowo, 2009), yaitu: (1) produk khusus (special products) bagi negara berkembang dapat menentukan jumlah produk khusus berdasarkan kriteria: ketahanan pa ngan (food security); (2) ketahanan kehidupan masyarakat pedesaan

(livelihood security) dan pembangunan masyarakat pedesaan (rural development). Namun demikian, produk yang masuk dalam kategori produk khusus (special product) oleh suatu ne gara (negara berke mba ng), ne gara tersebut tetap harus menyediakan dalam jumlah presentase tarif tertentu atas produk pertaniannya untuk membuka akses pasar impornya atau mengikuti ketentuan Tariff Rate Quotas (TRQs). Dengan demikian, Indonesia misalnya, tetap terkena ketentuan untuk membuka pasar impor atas produk seperti gula dan beras melalui penerapan sistem kuota tarif. Di lain pihak, negara–negara maju juga diberikan fleksibilitas untuk memasukan produk pertanian tertentu ke dalam kategori produk sensitif (sensitive product), sehingga mereka masih memiliki peluang untuk memproteksi komoditi pertaniannya dari ancaman masuknya komoditi pertanian yang sama dari negara berkembang.

Menur ut Achterbo sch et.al (2004), perundingan DDA diperkirakan hanya memberikan dampak relatif kecil terhadap GDP Indonesia, karena sektor pertanian di Indo nesia suda h cukup liberal, dimana tarif impor komoditi pertanian telah diturunkan menjadi 0 – 5 persen, kecuali komoditi beras dan gula pasir, dan subsidi input pertanian telah dicabut sejak tahun 1998. Oleh sebab itu, dengan mengacu pada kerangka teori perdagangan internasional, maka kebijakan proteksi terhadap beras dan gula hanya akan berakibat pada penurunan kesejahteraaan terutama bagi konsumen yang notabene sebagian besar adalah petani padi atau tebu itu sendiri. Kebijakan pembatasan impor yang akan menyebabkan kenaikan harga di pasar domestik harus dihindari, karena selain tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani juga akan menambah beban masyarakat miskin (Wibowo, 2009). Oleh sebab itu, pilihan terbaik bagi Indonesia adalah tetap melanjutkan upaya liberalisasi perdagangan, termasuk di sektor pertanian, dan mengikuti perundingan DAA untuk memperjuangkan agar segala bentuk subsidi pertanian di negara maju dapat dihapuskan (Erwidodo dan Ratnawati, 2004).

Pada tahun 2006, ketua Committee on Agriculture-Special Session (CoA-SS) mengeluarkan draft text modalits perundingan Bidang Pertanian yang ditujukan untuk mencapai hasil yang seimbang. Selanjutnya pada bulan Juli 2008, pembahasan draft text ketua Revisi- ke-3 pada Putaran Tingkat menteri (PTM) di Geneva tidak mencapai kesepakatan mengenai full modalities di bidang isu utama mod alitas pe rundingan pe rtanian da n non pertanian. Salah satu isu yang ba nyak diperdebatkan dan ditentang negara maju khususnya Amerika Serikat adalah

42 Tabe l 12. P utaran Perundingan General Agreement on Tariff and Trade

Tahun Te mpat/ Nama Perunding an

Topik Nasional Juml ah Negar a Peserta

1947 Geneva Tarif 23

1949 Annecy, Perancis Tarif 13

1951 Torquay, Inggris Tarif 38

1956 Geneva Tarif 26

1960-1961 Geneva/Dillon Round Tarif 26

1964-1967 Geneva/Kennedy

Round

Tarif dan anti du mping 62

1973-1979 Geneva/Tokyo Round Tarif, non-tarif dan kerangka perjanjian

102

1986-1994 Geneva/Uruguay

Round

Tarif, non-tarif, jasa, hak cipta intelektual, penyelesaian sengketa, tekstil, pertanian, pembentukan WTO, d ll.

123

1995-2000 Doha-Qatar/Doha

Round

Menghasilkan Doha Develop ment Agenda

(DDA-WTO) yang mencakup isu : (Agirulture), non-pertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation.

123

2001-sekarang DDA-WTO Round Isu yang dibahas mencakup:

pertanian (Agirulture), non-pertanian (Non Agricuture Market Acces-NAMA), services, TRIPs, Rules, Trade and Environment, dan Trade Facilitation

153

Sumber: WTO, 2011

Sampai akhir tahun 2009 putaran DDA-WTO tidak mencapai kesepakatan yang disebabka n oleh ada nya pe rtentangan yang cukup be sar diantara negara maju dan negara berkembang terutama di bidang akses pasar bidang pertanian. Setelah mengalami kegagalan, maka negara anggota melakukan berbagai pertemuan dan konsultasi informal yang bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen untuk menyelesaikan perundingan. Pada berbagai pertemuan yang dilakuka n diteka nka n pentingnya segera menyelesaikan Putaran Doha sebagai putaran yang dapat

menciptakan sistem perdagangan yang adil dan seimbang bagi sektor pertanian dengan meningkatkan peluang akses pasar produk pertanian, pengurangan subsidi domestik serta penghapusan subsidi ekspor (Kementerian Perdagangan, 2010).