• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia

2.2 Kebijakan Privatisasi di Indonesia

Kecendrungan liberalisasi ekonomi sebenarnya bisa dilihat sejak awal Orde Baru berdiri. Hal ini ditandai dengan kembali bergabungnya Indonesia menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia. Indonesia sendiri sebenarnya telah terdaftar menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia sejak tahun 1954. Untuk memperlihatkan dukungannya terhadap kebijakan Neoliberalisme, Pemerintahan Orde Baru kemudian mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing Nomor I tahun 1967, yang disempurnakan dengan UU Nomor VI tahun 1968 dan UU Nomor XI tahun 1971.18

Paham Neoliberalisme makin mengemuka sejak tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. IMF (Internasional Monetary Funds) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara), subsidi terus- menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk

Dominasi modal asing dalam perekonomian jauh melampaui borjuis domestik. Bahkan seluruh sektor industri strategis, yang di Indonesia tak berkembang luas, seperti industri logam, pertambangan, barang logam, industri kimia pun didominasi asing.

18 Koran

melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Pemerintah mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Setelah 1991-1992, deregulasi dan liberalisasi mulai melambat dengan naiknya kelompok baru, yang dikenal dengan sebutan konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin, yang memunculkan kritik luas bahkan di kalangan komunitas Neoliberal. Walaupun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi BUMN tidak terjadi. Sejumlah badan usaha milik negara yang masih menguasai sektor-sektor penting, antara lain, Perusahaan Listrik Negara (listrik), Pertamina (migas), Krakatau Steel (baja), dan bank-bank pemerintah.19

Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberi kesempatan bagi lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendesak agenda deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang sebelumnya kehilangan momentum. Saat krisis keuangan tambah memburuk ditandai dengan kejatuhan rupiah pada pertengahan tahun 1997, modal asing mendapatkan momentumnya di tengah borjuasi nasional yang sedang kolaps menghadapi krisis sehingga tak ada jalan lain, Presiden Soeharto meminta bantuan IMF(Internasional Monetary Funds) dan lembaga- lembaga keuangan internasional lainnya untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Intervensi modal asing tak terbendung lagi, perangkap hutang dan ketergantungan seluruh sektor ekonomi modern telah membuahkan

19

Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia, 1986-1992, Jakarta: KPG, 2002.

hasilnya. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, dan pemerintah Indonesia pun setuju menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Funds), dan Bank Pembangunan Asia. Misalnya, dalam surat kepada Direktur IMF (Internasional Monetary Funds) tanggal 31 Oktober 1997, yang sekaligus merupakan

Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) dalam rangka mendapatkan pinjaman siaga dari IMF (Internasional Monetary Funds), pemerintah Indonesia bersedia melaksanakan sejumlah program kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan selama tiga tahun. Satu diantaranya melakukan reformasi struktural, termasuk deregulasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).20

Pemerintah menyatakan akan mengambil sejumlah langkah yang mendukung kompetisi di tingkat domestik dengan cara mempercepat privatisasi dan memperbesar peran swasta dalam penyediaan infrastruktur.21

20

Hisako Motoyama dan Nurina Widagdo, Power Sector Restructuring in Indonesia: A Premininary Study for Advocacy Purposes, Washingtong, DC: Friends of the Earth and Bank Information Center, 1999.

21

Ibid.

Untuk melaksanakan privatisasi, pemerintah mulai mencabut aturan yang membatasi kepemilikan saham maksimal 49 persen oleh investor asing untuk perusahaan yang tercatat di bursa saham, serta membentuk komite privatisasi. Restrukturisasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mulai mendapat bentuk nyata ketika rencana pemerintah yang lebih rinci mengenai langkah dan strategi privatisasi BUMN disampaikan kepada IMF (Internasional Monetary Funds) melalui Letter of Intent 10 April 1998.

Program privatisasi sendiri ternyata tidak berhasil memenuhi tenggat waktu sebagaimana telah disepakati Pemerintah Indonesia dan IMF (Internasional Monetary Funds). Pemerintah berdalih bahwa situasi pasar kurang mendukung jika dilakukan penjualan saham pemerintah di sejumlah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Walaupun demikian, pada awal 1999, pemerintah menyatakan telah berhasil menjual saham-sahamnya di perusahaan semen dan pabrik pengolahan makanan senilai 200 juta dollar Amerika Serikat.

Pada saat bersamaan, Bank Dunia menyetujui pinjaman untuk empat program penyesuaian struktural antara tahun 1998-1999, yaitu Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat, Policy Reform Support Loan II (PRSL II) sebesar 500 juta dollar Amerika Serikat, Social Safety Net Adjusment Loan (SSNL) sebesar 600 juta dollar Amerika Serikat, dan Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL) sebesar 300 juta dollar Amerika Serikat. Baik PRSL dan PRSL II maupun WATSAL merupakan pinjaman program yang bertujuan mendorong pelaksanaan deregulasi, liberalisasi, dan peningkatan peran serta pihak swasta di berbagai sektor ekonomi, keuangan, perbankan, dan infrastruktur, termasuk kelistrikan dan air bersih. Sementara untuk mendukung program privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pada Januari 1999 Bank Pembangunan Asia menyetujui pemberian bantuan teknis sebesar 2,47 juta dollar Amerika Serikat untuk menyusun rencana reformasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka peningkatan efisiensi dan privatisasi.22

22 Sugeng Bahagijo (ed.),

Walaupun program privatisasi tidak berjalan sebagaimana direncanakan semula saat krisis terjadi, komitmen pemerintahan Megawati untuk privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tetap tidak berkurang. Laporan kemajuan

White Paper yang disusun Pemerintah Indonesia pada 2004 menyatakan bahwa sepuluh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) telah diswastanisasi pada 2003- 2004, dan sampai dengan Juni 2004 kegiatan itu telah memberikan pendapatan sebesar 3,25 triliun rupiah. Secara keseluruhan sepanjang tahun 1997-2004 pemerintah telah melakukan privatisasi terhadap 22 BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Kepemilikan saham pemerintah di sebagian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dijual tersebut masih dipertahankan rata-rata diatas 50 persen23

Tahun

.

Tabel 1

Privatisasi BUMN Indonesia (1997-2004)

BUMN Bagian yang

Dijual (%) Hasil (miliar) Sisa Saham RI (%) 1997 PT Aneka Tambang Tbk 35 Rp 603 miliar 65 1998 PT Semen Gresik Tbk 14 Rp 1.317 miliar 51

1999 PT Pelindo II 49 US$ 190 juta

1999 PT Pelindo III 51 US$ 157 juta

1999 PT Telkom Tbk 9,62 Rp3.188 miliar

2001 PT Kimia Farma Tbk

9,2 Rp 110 miliar 90,8

2001 PT Indofarma 19,8 Rp 150 miliar 80,2

2001 PT Socfindo 30 US$ 45,4 juta 10

2001 PT Telkom Tbk 11,9 Rp 3.100 miliar 54

23 Kantor Menteri Perekonomian,

2002 PT Indosat Tbk 8,06 41,94 Rp 967 miliar US$ 608,4 juta 15 2002 PT Telkom Tbk 3,1 Rp 1.100 miliar 51 2002 PT tambang Batubara Bukit Asam Tbk 15 1,26 Rp 156 miliar 84 2002 PT WNI 41,99 Rp 255 miliar 0 2003 PT Bank Mandiri Tbk 20 Rp 2.547 miliar 80 2003 PT Indocement Tbk 16,67 Rp 1.157 miliar 0 2003 PT BRI Tbk 30 15 Rp 2.512 miliar 59,5 2003 PT PGN Tbk 20 19 Rp 1.235 miliar 61 2004 PT Pembangunan Perumahan 49 Rp 60,49 miliar 51 2004 PT Adhi Karya 24,5 24,5 Rp 65 miliar 51 2004 PT Bank Mandiri Tbk 10 Rp 2.844 miliar 69,5 2004 PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk 12,5 Rp 180 miliar 65

Berbeda dengan sektor keuangan, perbankan, dan industri lain, privatisasi di sektor listrik dan air tidak dilakukan melalui penjualan saham BUMN atau BUMD. Privatisasi di sektor kelistrikan dan air bersih dijalankan secara bertahap dengan mengubah kebijakan-kebijakan sektoral dan aturan perundang-undangan

melalui program reformasi structural yang mendapat dana pinjaman lembaga- lembaga keuangan internasional. Tujuan akhir dari program tersebut adalah memisahkan negara dengan penyedia jasa infrastruktur dan menciptakan kompetisi yang sehat di tingkat sektoral.

Dokumen terkait