• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia

2.3 Privatisasi dan Jebakan Hutang Luar Negeri

Penyebar luasan paham Neoliberalisme lewat kebijakan Lembaga keuangan internasional ke negara dunia ketiga adalah melalui strategi pemberian hutang, yaitu hutang yang diberikan secara terus menerus tanpa ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana hutang tersebut yang mengakibatkan pemerintahan nasional negara dunia ketiga menjadi kecanduan dan akhirnya tidak mempunyai kemampuan untuk menolak perubahan sistem ekonomi nasionalnya dengan mekanisme SAP (structural Adjustment Program). Dengan SAP (structural Adjustment Program) inilah pemilik modal besar di Internasional mampu merubah sistem ekonomi yang sudah ada menjadi sistem ekonomi yang sesuai dengan keinginan mereka dalam mengembangkan investasi dan keuntungan. Salah satu dari program SAP (structural Adjustment Program) adalah kebijakan privatisasi.

Dalam konteks Indonesia, masalah hutang luar negeri sangat memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Selain memikul hutang luar negeri sebesar 150 milyar dollar Amerika Serikat di awal krisis (per Desember 1998), Indonesia juga memikul beban hutang dalam negeri sebesar 600 trilyun rupiah. Secara keseluruhan Indonesia menanggung beban hutang sebesar 2100 trilyun rupiah. Akibat volume hutang luar negeri sebesar itu, Indonesia praktis

terpuruk menjadi negara pengutang terbesar nomor lima dunia, dengan volume hutang sebesar 232 milyar dollar Amerika Serikat. Urutan pertama adalah Brasil, dengan volume hutang luar negeri sebesar 232 milyar dollar Amerika Serikat. Sedangkan urutan kedua adalah Rusia, dengan volume hutang luar negeri 183 milyar Amerika Serikat. Urutan ketiga adalah mexico, dengan volume hutang luar negeri 159 milyar dollar Amerika Serikat. Urutan keempat adalah Cina, dengan volume hutang luar negeri 154 millyar dollar Amerika Serikat (1998)24

Berbicara mengenai konsepsi hutang, selama ini banyak yang tidak menyadari bahwa konsepsi hutang yang dianut oleh pemerintah Indonesia cendrung sangat didominasi oleh pandangan para ekonom Neoliberal. Sesuai dengan pandangan umum yang dianut oleh para pengikut Reagen dan Thatcher, pembuatan hutang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal:25

1. Untuk menutupi kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (saving investment gap).

2. Khusus untuk luar negeri, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan oleh sindikat negara-negara kreditur dan lembaga keuangan multilateral

Menurut paham ekonomi Neoliberal, tuntutan pemotongan hutang dapat menyebabkan semakin merosotnya kepercayaan para investor kepada Indonesia. Dengan sikap seperti ini, para ekonom Neoliberalisme sesungguhnya sudah memiliki jawaban terhadap hampir semua persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia, bahkan jauh sebelum mereka melakukan riset dan analisis. Kuncinya

24

World Development Report 2000/2001 tahun 1998.

25

Internet, Susan George, A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elites Economic and Emerging Opportunities For Struktural Change.

sederhana, how to make a market friendly decision?. Jika dikaitkan dengan persoalan hutang luar negeri, menjadi mudah dimengerti jika para ekonom Neoliberal cendrung memaksakan cara pandang mereka yang cendrung melihat hutang semata-mata sebagai sebuah fenomena ekonomi.

Persoalan penyelesaian hutang luar negeri, yang hingga saat ini mendekati angka 134,4 milyar dollar Amerika Serikat (2003), yang lebih dari setengahnya adalah hutang pemerintah, sangat membebani perekonomian Indonesia. Apalagi dari tahun ke tahun ketergantungan terhadap hutang luar negeri semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox, yaitu kondisi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai cicilan hutang, dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Jadinya, hutang luar negeri semakin membebani APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Pemerintah Indonesia terus terang mengakui bahwa hutang luar negeri merupakan beban bagi pembangunan nasional.26

Klaim lembaga keuangan internasional tersebut bukannya tidak mendasar. IMF (International Monetary Funds) mencatat hutang luar negeri Indonesia terus berkurang dari 81 persen PDB (Produk Domestik Bruto) tahun 2001menjadi 53 Beban utang yang sangat besar itu telah mengurangi fleksibelitas pemerintah pemerintah untuk dapat mengalokasikan dana, baik dalam menstimuli roda pembangunan melalui kebijakan fiskal maupun mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, di pihak lain, lembaga keuangan internasional tetap bersikukuh bahwa hutang Indonesia aman (technically sustainable).

26 Harian

persen pada 2004. IMF (International Monetary Funds) hanya memberi catatan bahwa bila laju aliran penanaman modal asing langsung dan investasi dalam bentuk modal jangka pendek gagal diwujudkan, maka kecendrungan sangat baik ini bisa memburuk lagi. Dengan kata lain, IMF (International Monetary Funds) menyarankan Indonesia untuk terus menambah hutangnya untuk pertumbuhan perekonomian, dan untuk mengatasi masalah perekonomian dalam negeri pemerintah disarankan untuk mencabut atau mengurangi subsidi bahan bakar minyak.

Dalam literature mainstream (neoliberal), pelumnas bagi pertumbuhan ekonomi adalah hutang dan akses terhadap pasar modal, sehingga kepercayaan investor harus tetap terjaga. Masalah hutang Indonesia yang baik-baik saja itu sebenarnya dapat dibantah dengan terus meningkatnya pembayaran hutang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya. Dalam tataran teknis (dinilai melalui kemampuan membayar), utang Indonesia memang terlihat turun. Namun demikian, bila rupiah terdepresiasi maka rasio hutang akan naik lagi. Itu merupakan posisi sangat rentan, karena 70 persen dari pergerakan mata uang rupiah berhubungan dengan faktor eksternal, seperti harga minyak dan dinamika di pasar internasional yang sangat didominasi oleh mata uang asing, khususnya dollar.

Tabel 2

Kewajiban Pembayaran Utang Indonesia (dalam US$ miliar)

Pembayaran 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Pokok Hutang Jangka Panjang 14,9 13,0 11,2 11,7 9,3 7,9 10,5 12,9 13,8 Bunga Hutang Jangka Panjang 5,1 5,1 5,6 4,6 5,7 4,6 3,2 3,4 4,7 Bunga Hutang Jangka Pendek 1,5 1,6 1,3 9,9 1,2 8,6 0,6 6,4 …

Sumber : ADB Key Indicators 2005

Selama tiga dasawarsa, Bank Dunia terus mengeluarkan pinjaman baru walaupun mengetahui bahwa sebagian dana dalam jumlah cukup besar dikorup. Rakyat Indonesia terus menanggung beban pembayaran kembali, ditambah bunga, padahal dana tersebut tidak pernah digunakan untuk tujuan pembangunan. Bahkan, lebih jauh lagi sebagai kreditur, lembaga-lembaga keuangan internasional sudah banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman tersebut, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek dan belanja proyek, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari negara kreditur, dan konsesi- konsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut. Belum lagi keuntungan yang dikeruk dari hasil kolonialisme Barat terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Dokumen terkait