• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia

BAB II Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia

2.5 Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia

Beberapa tahun pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, privatisasi menjadi sebuah tren dalam pergulatan ekonomi Indonesia. Bagi para pendukung privatisasi, mereka memakai kesuksesan Margareth Teacher pada tahun 1979 yang mendorong perekonomian Inggris melalui kebijakan privatisasi. Sedangkan di kubu yang kontra terhadap pendekatan ini menganggap privatisasi hanyalah derivasi dari skenario besar ekonomi liberal yang kontra produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat kecil.

Mahalnya biaya jasa publik, seperti kesehatan dan pendidikan menjadi dampak langsung dari adanya konsep privatisasi. Ada sebuah keyakinan dalam perjalanan tren privatisasi yang dalam ruang idealita memang sebenarnya baik, yaitu mendorong pasar kompetitif yang berujung pada efisiensi ekonomi. Tetapi, Apa terjadi di Inggris tidak dapat disamakan dengan kondisi bangsa Indonesia. Ketika itu rakyat di Inggris sudah mencapai tingkat kemapanan yang cukup, sehingga daya beli mereka tinggi. Hal ini tentu saja mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah dalam pengelolaan ekonomi.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, Privatisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan dan penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan melepaskan harga dan biayanya kepada mekanisme pasar. Privatisasi pendidikan juga merupakan salah satu bentuk program privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ada 3 faktor pendorong mengapa pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan, antara lain:

1. Keterbatasan anggaran pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan

Kebijakan privatisasi pendidikan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang dialami oleh negara Indonesia, yang di antaranya mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak.

Akibat keterbatasan anggaran pemerintah yang dikarenakan krisis keuangan, menyebabkan alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pendanaan pendidikan yang minim di Indonesia dianggap sebagai sumber utama rendahnya taraf pendidikan nasional. Beberapa permasalahan, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid

drop out, serta guru yang tidak berkualitas, disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu ditunjukkan data Balitbang 2003 bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata

hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 Sekolah Menengah Atas ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).27

Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy

(PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.28

Untuk kualitas guru dilihat dari kelayakan mengajar, dalam tahun 2002 hingga tahun 2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut: untuk Sekolah Dasar yang layak mengajar hanya 21,07 persen (negeri) dan 28,94persen (swasta), untuk Sekolah Menengah Pertama 54,12 persen (negeri) dan 60,99 persen (swasta), untuk Sekolah Menengah Atas 65,29 persen (negeri) dan 64,73 persen (swasta), serta untuk Sekolah Menengah Kejuruan yang layak mengajar 55,49 persen (negeri) dan 58,26 persen (swasta).29

Kelayakan mengajar itu disini berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen pendidikan nasional pada tahun 1998 menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru Sekolah Dasar hanya 13,8 persen yang berpendidikan diploma D2-

27

Harian Republika, 13 Juli 2005

28

Harian Kompas, 5 September 2001

29

Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru Sekolah menengah pertama/MTs baru 38,8 persen yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah atas, dari 337.503 guru, baru 57,8 persen yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86 persen yang berpendidikan S2 ke atas (3,48 persen berpendidikan S3).

Rendahnya anggaran untuk pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang. Sebanyak 25 persen komponen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) habis untuk membayar utang. Meskipun Presiden telah membubarkan CGI pada 24 Januari 2007, namun setidaknya 3 kreditor besar (World Bank, ADB, dan Jepang) tetap dipertahankan. Selama ini, cicilannya hampir 50 triliun rupiah pertahun. Hal inilah yang mendasari pemikiran pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia.30

Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2005 hanya 5,82 persen yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25 persen belanja dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)31

30

Harian Kompas, 10 Mei 2005

. Kemudian untuk tahun 2007, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 90,10 triliun rupiah atau 11.8 persen dari total nilai anggaran 763,6 triliun rupiah. Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (hutang) yang pada kuartal ketiga tahun 2006 sudah mencapai sebesar 128,369 miliar dollar Amerika Serikat yang terdiri dari hutang luar negeri mencapai 77,347 miliar dollar Amerika

31

Serikat dan utang swasta 51,022 miliar dollar Amerika Serikat. Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2006 mencapai 2,510 miliar dollar Amerika Serikat atau 30 persen dari total pengeluaran pemerintah32

Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, privatisasi dianggap sebuah cara terbaik untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan, termasuk mengurangi beban negara. Kepemilikan negara/pemerintah mengakibatkan sektor pendidikan dikelola dengan buruk dan beroperasi tidak efisien, sehingga mengakibatkan defisit anggaran; pelayanan yang diberikan kurang memuaskan dan tidak berkualitas.

. Kenyataan inilah yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas semakin jauh.

33

Oleh karena itu hanya dengan privatisasi dunia pendidikan dapat memperoleh anggaran dana yang memadai, sehingga pendidikan nasional akan maju dan mendunia, khususnya perguruan tinggi akan menuju world class university. Hal ini dikarenakan, dengan menyerahkan penyelenggara pendidikan kepada masyarakat (pihak swasta) maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara tetapi mendapat dana tambahan dari masyarakat (swasta).

Para ekonom pendukung privatisasi pendidikan yakin bahwa sektor swasta dapat beroperasi lebih efisien dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara/pemerintah tidak dapat menetapkan tujuan dengan jelas oleh karena begitu banyaknya sektor yang harus diperhatikan pemerintah.

32

www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007

33

Selain itu, privatisasi pendidikan lewat BHP (Badan Hukum Pendidikan) akan menjadi kekuatan moral bagi pembangunan nasional.

2. Peranan lembaga internasional lewat kebijakan SAP (Structural Adjusment Programe).

Ideologi Neoliberalisme kini telah dikemas dalam bahasa pasar yang menarik yaitu globalisasi. Untuk mewujudkan ide globalisasi diperlukan agen- agen khususnya agar dapat diterima oleh negara-negara berkembang. Agen-agen itu berupa lembaga internasional. Mereka bertugas melakukan propaganda besar- besaran dan menjadi agen pemasaran globalisasi. Lembaga-lembaga ini dianggap dapat membantu negara-negara miskin maupun berkembang dalam mengatasi keterbatasan anggaran akibat krisis ekonomi dengan memberi pinjaman dan resep pemulihan ekonomi.

Nama dari program paham Neoliberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP (Struktural Adjusment Program). Program penyesuaian strukural merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF (International Monetary Funds), termasuk WTO (World Trade Organization). Neoliberal adalah ideologinya, dan SAP (Struktural Adjusment Program) adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global. SAP (Struktural Adjusment Program) akan selalu menjalankan program mereka yang terumuskan dalam deregulasi, penghapusan subsidi dan privatisasi.

Lembaga-lembaga internasional, seperti IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia dan WTO (World Trade Organization) selalu menerapkan

kebijakan SAP (Struktural Adjusment Program) ini terhadap negara-negara yang mengalami masalah dalam hal keuangan. Negara-negara harus melakukan tiga hal: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Ketiganya merupakan pilar utama dari konsep pemulihan ekonomi bagi negara-negara berkembang.

Sesungguhnya, maksud dari SAP (Struktural Adjusment Program) adalah mengurangi peran pemerintah dalam sektor ekonomi sekaligus membatasi belanja pemerintah dalam rangka mencapai stabilitas neraca pembayaran melalui pemotongan pengeluaran, salah satu di antaranya subsidi, termasuk subsidi bagi badan-badan usaha milik negara. Karena itu, program privatisasi sektor publik menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan SAP (Struktural Adjusment Program), baik di negara berkembang maupun di negara dalam masa transisi ekonomi.34

Liberalisasi sektor pendidikan di dunia international difasilitasi oleh WTO (World Trade Organization) dalam General Agreement on trade in Services

Hal ini dikarenakan subsidi yang diberikan kepada sektor publik dianggap sebagai penyebab dari meningkatnya pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan defisit anggaran.

Karakter ketertundukan terhadap ideologi Neoliberalisme sudah sangat jelas tercermin dalam tindakan pemerintah Indonesia, karena Indonesia sendiri salah satu negara yang antusias menyambut liberalisasi perdagangan jasa pendidikan. Pendidikan dimasukkan dalam kerangka perdagangan jasa karena pendidikan telah terbukti sebagai sebuah industri yang sangat menguntungkan, dan siap dinegosiasikan (ripe to negotiate) sebagai sebuah komoditas dalam arus perdagangan internasional.

34

SAPRIN, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of Structural Adjusment Participatory Review International Network, London: Zed Books, 2004.

(GATS) yang bertujuan untuk membuka akses pasar terhadap sektor jasa. Inisiatif banyak berawal dari negara-negara maju yang telah merasakan keuntungan begitu besar dari penyediaan jasa selama 20 tahun terakhir.

Pendidikan dimasukkan dalam sektor jasa ini bersama 11 bidang jasa lain. Liberalisasi memungkinkan institusi pendidikan asing maupun tenaga pengajarnya untuk mengelola jasa pendidikan di Indonesia dan menyediakannya bagi seluruh warga negara Indonesia. Begitu pula sebaliknya, institusi pendidikan di Indonesia pun diberikan fasilitas serupa atas basis most favored nation (MFN).

Dalam pertemuan di Jenewa, Desember 2004, Indonesia telah melakukan

initial request (permintaan pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain) dan

initial offer (penyerahan sektor-sektor di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) kepada negara-negara anggota WTO (World Trade Organization) lainnya.

Ada tiga negara yang menjadi eksportir jasa pendidikan yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Negara-negara inilah yang akan paling diuntungkan dalam liberalisasi jasa pendidikan. Tidak mengherankan jika tiga negara tersebut saat ini sangat agresif menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO (World Trade Organization) dengan beberapa model perdagangan jasa pendidikan yang akan digunakan sesuai dengan kerangka GATS (General Agreement on trade in Services) adalah :

1. Cross border supply dimana perguruan tinggi asing menawarkan kuliah- kuliah melalui internet dan on-line degree programme

2. Consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di perguruan tinggi luar negeri

3. Commercial presence di mana perguruan tinggi asing membentuk partner,

subsidary atau twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal

4. Presence of natural persons di mana dosen dari perguruan tinggi asing mengajar di perguruan tinggi lokal.

Komitmen liberalisasi sektor pendidikan dalam GATS (General Agreement on trade in Services) memang berfokus pada pendidikan tinggi (higher education) dan pendidikan untuk orang dewasa (adult education). Pendidikan tinggi Indonesia sendiri kini tidak lagi dikategorikan sebagai layanan publik, tetapi lebih pada sektor semi-profit. Akibatnya pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih kompatibel dengan sistem pasar bebas dan akan dapat terus dituntut pembukaan akses pasarnya dalam GATS (General Agreement on trade in Services).

Pembukaan akses pasar di bidang jasa pendidikan di Indonesia kemudian akan mendapatkan legalitasnya jika Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, karena dalam pasal 6 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan bahwa lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan Badan Hukum Pendidikan baru di Indonesia bekerjasama dengan Badan Hukum Pendidikan yang keseluruhan anggota Majelis Wali Amanatnya (MWA) berwarganegara Indonesia.

3. Kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri sebagai akibat arus globalisasi yang menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar.

Globalisasi jika dipandang sebagai sebuah proses westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang Americanised) dipahami sebagai sebuah dinamika, dimana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme,) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.35

Globalisasi akan menimbulkan persaingan yang tajam. Maka untuk meningkatkan daya saing nasional dibutuhkan perguruan tinggi yang dapat membangun masyarakat madani yang demokratis dan mampu bersaing secara

Globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar sehingga peningkatkan kualitas pendidikan sangat diperlukan sekali, agar dapat membekali peserta didik dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk menghadapi era pasar bebas. Pendidikan kemungkinan adalah vaksin terbaik dan satu-satunya untuk melawan dampak terburuk yang diakibatkan oleh globalisasi. Karena itu, perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan.

35

global. Untuk itu perguruan tinggi harus memperoleh kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar. Penekannya ada pada adanya proses globalisasi.

Akhirnya dari ketiga faktor diatas kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Bahan Hukum yang kemudian disusul diterbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 155 tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung menjadi Bahan Hukum Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi yang menimbulkan persaingan yang tajam.

Dokumen terkait