• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia

2.6 Legitimasi Privatisasi Pendidikan di Indonesia

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian melahirkan RUU BHP (Rancangan Undang Badan Hukum Pendidikan). Penerapan kebijakan privatisasi pendidikan mendapat legalitasnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian memunculkan Rancangan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).

Penguatan kebijakan privatisasi pendidikan itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan beberapa pasal pendukung, antara lain:

a. Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

b. Dalam. Pasal 12 ayat 2 (b) memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku. c. Pasal 24, yang menyebutkan bahwa:

1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

2. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

d. Pasal 46 ayat 1, menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

e. Pasal 50 ayat (1), yang menyebutkan bahwa: Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan dilembaganya.

f. Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa:

1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

f. Pasal 54 tentang peran masyarakat dalam pendidikan, menyebutkan: 1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta

perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan

2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut kemudian memunculkan RUU BHP (Rancangan Undang Badan Hukum Pendidikan). Kemunculan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) didasari oleh Pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada ayat 1 menyebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Kemudian pada ayat 4 disebutkan bahwa ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.

Dalam Rancangan Undang-Undang tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP (Badan Hukum Pendidikan).

Konsep Badan Hukum Pendidikan sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, sehingga peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah peran serta masyarakat itu cenderung disalah artikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika Rancangan Undang-Undang ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Padahal, dalam prinsip Rancangan Badan Hukum Pendidikan dengan jelas mengatakan bahwa Non diskriminasi,

yaitu memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik dan peserta didik secara berkeadilan, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonomi.

Pelegalan kebijakan privatisasi dapat dilihat dari beberapa pasal Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan sebagai berikut:

1. Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi: Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom.

2. Pasal 22 ayat 3, yaitu pada bagian pendanaan dan kekayaan, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan berlakunya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu. Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.

Terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (Badan Hukum Pendidikan). Mekanisme tersebut dapat dilihat dengan adanya Manajemen Basis Sekolah (MBS) dan Otonomi Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dan perguruan tinggi dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan

1. Manajemen Basis Sekolah (MBS)

Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

Manajemen Basis Sekolah (MBS) dipandang sebagai strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Manajemen Basis Sekolah (MBS) pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. Manajemen Basis Sekolah (MBS) memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.

Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu,

Manajemen Basis Sekolah (MBS) dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya Manajemen Basis Sekolah (MBS) adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.

Para pendukung Manajemen Basis Sekolah (MBS) berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakan-nya.

Dalam rangka penerapan Manajemen Basis Sekolah (MBS) di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.

2. Otonomi Pendidikan Tinggi

Otonomi kampus dilatar belakangi oleh krisis ekonomi yang dialami Indonesia yang kemudian mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Hal ini mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Di lain pihak, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar. Karena itu, perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan.

Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara tetapi dari dana masyarakat, sehingga mereka memiliki hak untuk mengawasi kinerja universitas. Selanjutnya, dikenal lima pilar paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu mutu, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Otonomi kampus, di antaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional.

Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebut, pemerintah harus mendorong otonomi kampus. Otonomi kampus dilegalkan melalui Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 24 ayat (2), bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

Tahap awal dari proses otonomi kampus itu adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai

stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.

Perubahan format perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan memungkinkan otonomi seluas-luasnya, sebab dengan Badan Hukum Pendidikan ini perguruan tinggi memiliki otonomi yang luas. Dengan demikian, rektor lebih kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi. Otonomi ini menjadi prasyarat bagi kreativitas dan inovasi untuk menuju world class university. Untuk mencapai universitas bertaraf dunia, perguruan tinggi memang harus berbenah dalam tata kelola dan tata pamong, yakni dengan menerapkan format Badan Hukum Pendidikan.

Otonomi kampus, di antaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional. Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebutlah maka pemerintah mendorong otonomi kampus. Tahap awal dari proses otonomi kampus itu adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.

Konsekuensi perguruan tinggi badan hukum mengharuskan Pengelolaan perguruan tinggi Secara Bisnis (Profesional) yang menyebabkan:

1. Pemerintah tidak boleh mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk mendanai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN)

2. Peningkatan partisispasi masyarakat melalui kenaikan uang kuliah dengan mekanisme subsidi silang

3. Kegiatan Usaha Perguruan Tinggi dengan mendirikan Unit Usaha, yaitu

Auxiliary Enterprises (Berhubungan dengan Tridharma) dan Commercial Ventures, misalnya: asrama, toko, kantin, dan lain-lain.

4. Seluruh dosen dan karyawan Pegawai Negeri Sipil berubah status menjadi pegawai Perguruan Tinggi bersangkutan.

Selain mekanisme Manajemen Basis Sekolah dan Otonomi Perguruan tinggi, pengadaan guru kontrak juga merupakan salah satu bentuk implementasi kebijakan privatisasi pendidikan. Sistem kontrak ini makin banyak terjadi, antara lain untuk tenaga guru di daerah-daerah terpencil, dengan tingkat penggajian minim dan bahkan pembayaran gaji yang tertunda-tunda. Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya diluar itu.36

36

3. Sistem Guru Kontrak

Sistem guru kontrak saat ini telah diterapkan di Indonesia. Sistem ini dianggap lebih efektif dibandingkan pengangkatan sebagai pegawai tetap. Melalui kontrak, pemantauan terhadap kinerja guru menjadi lebih terpantau. Jika mereka sudah tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai pengajar, bisa dilakukan pemutusan kontrak.

Memang dalam tataran konsep keefektifan dalam proses belajar-mengajar dapat terjadi, tetapi dalam pelaksanaannya ada beberapa permasalahan yang dijumpai dalam penerapan sistem guru kontrak, antara lain:

1. Gaji yang diterima para guru kontrak tergolong sangat kecil. Apa yang mereka terima perbulan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan kontrak semacam itu, guru tentunya menjadi tidak termotivasi. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) per bulan sebesar 1,5 juta rupiah. Guru bantu 460 ribu rupiah, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata 10 ribu rupiah per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.37

37Harian

Republika, 13 Juli 2005

Padahal Pasal 40 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas mengatakan Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai serta penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.

2. Selain tidak termotivasi, kontrak tersebut akan membuat guru memilih profesi lain. Kalau itu terjadi, pasti membuat dunia pendidikan semakin kekurangan tenaga pendidik. Jika banyak guru yang beralih profesi, bagaimana mungkin mutu pendidikan bisa menjadi semakin baik.

Persoalan yang tidak kalah penting adalah kualitas guru kontrak dalam aktivitas belajar-mengajar. Pertanyaan menarik yang dapat diambil yaitu apakah guru kontrak sudah memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Dokumen terkait