• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan energi rata-rata untuk produksi biodiesel (Q in ) menggunakan static-mixer adalah 1812,60 kJ/kg, sedangkan bila menggunakan blade agitator adalah 2212,32

kJ/kg. Energi transesterifikasi terkecil didapat pada suhu operasi (static-mixer) 65

o

C

yaitu 56,01 kJ/kg. Dari hasil percobaan static-mixer pada suhu 50, 55, 55, 60, 65,

dan 70

o

C dihasilkan rasio energi masing-masing 3,67 , 3,3, 3,65, 3,73, 3,75, dan

3,34. Rasio energi dalam pengolahan biodiesel dengan menggunakan static-mixer

2,4 kali lebih tinggi dibandingkan menggunkan blade agitator. Hal ini menunjukan

bahwa reaktor static-mixer dapat mengurangi konsumsi energi (meningkatkan

efisiensi proses transesterifikasi). Dari hasil analisis kehilangan panas terlihat bahwa

kehilangan terbesar terjadi pada pipa untuk saluran sirkulasi reaktan (116,57 kJ/kg)

disusul dengan dinding tangki (73,98 kJ), tutup atas (38,47 kJ), static-mixer (27,72

kJ), dan tutup bawah (8,38 kJ).

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan bakar minyak berbasis fosil seperti solar, premium (bensin), premix dan minyak tanah sangat memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional antara lain untuk transportasi, industri, mesin pertanian, dan keperluan rumah tangga. Dilihat dari kebutuhan energi nasional, sekitar lima puluh persen bahan bakar tersebut dipasok dari bahan bakar yang berasal dari minyak bumi, sedangkan sebagian lagi dipenuhi dari sumber energi lain seperti batu bara, gas bumi, panas bumi dan tenaga air. Sumber energi terbarukan (renewable energy) seperti biomassa sejauh ini belum banyak dimanfaatkan sehingga menyebabkan bauran energi (energy mix) dirasakan masih timpang.

Bauran energi di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi nasional adalah: minyak bumi 52 %, gas bumi 29 %, batu bara 15 %, PLTA 3 %, panas bumi 1 % dan energi terbarukan 0,2 %. Ketimpangan ini dimungkinkan karena penguasaan teknologi yang belum maksimal dan sistem pengelolaan energi yang kurang baik (Komara, 2007). Pada tahun 2025 direncanakan target bauran energi berubah dengan penurunan penggunaan minyak bumi dan peningkatan penggunaan sumber energi gas, batu bara, dan energi baru terbarukan seperti terlihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bauran energi Indonesia tahun 2006 dan proyeksinya tahun 2025 (Perpres No. 5 Tahun 2006)

Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%)

2 Kebutuhan energi bersifat primer dan selalu beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan industri dan produksi kendaraan transportasi yang terus meningkat mengakibatkan kenaikan permintaan bahan bakar dari minyak bumi. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang terus dipacu dan membaik, bisa dipastikan konsumsi energi juga akan meningkat. Data terakhir konsumsi BBM (bensin, solar, dan minyak tanah) pada tahun 2009 disajikan dalam Tabel 1. Dalam tabel tersebut disajikan data konsumsi bahan bakar menurut sektor (industri, rumah tangga, dan transportasi) dan terlihat bahwa jenis BBM solar merupakan jumlah terbanyak dikonsumsi dengan jumlah 122,25 kL, sedangkan dilihat dari sektor maka sektor transportasi mengkonsumsi BBM kedua terbanyak yaitu 35,05 % setelah sektor industri.

Tabel 1. Data Konsumsi BBM Indonesia Tahun 2008 Konsumsi Menurut Jenis (Juta kL)

Jenis BBM bersubsidi Bensin Solar Minyak tanah Jumlah Jumlah 114,79 122,25 46,83 283,87

Konsumsi Menurut Sektor (%) Sektor Industri Transportasi Rumah

tangga

komersial Lain-lain Jumlah Jumlah 39,84 35,05 15,50 5,06 4,55 100 Sumber : Pusdatin KESDM (2009).

Sebagian dari kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi oleh minyak impor dan saat ini impor BBM mencapai 30 persen dari kebutuhan dalam negeri (Ariati, 2007). Angka tersebut relatif tinggi karena Indonesia merupakan negara penghasil minyak mentah. Di sisi lain laju peningkatan konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri yang semakin tinggi menyebabkan jumlah impor bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2010 diperkirakan akan meningkat 40 persen dari kebutuhan dalam negeri. Oleh sebab itu, ketergantungan impor Indonesia terhadap komoditas BBM dan minyak mentah akan terus meningkat. Di sisi lain cadangan minyak bumi Indonesia terbatas.

Untuk mengurangi jumlah penggunaan BBM, pemerintah telah mengeluarkan peraturan antara lain INPRES No.1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, dan

3 PERPRES No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional yang menjelaskan target pemerintah di bidang konversi energi melalui pemanfaatan sumber energi alternatif. Biodiesel berpotensi menggantikan solar dan bisa menjadi solusi permasalahan bahan bakar minyak (BBM) di masa mendatang.

Informasi yang menyatakan FAME (biodiesel) dengan stabilitas oksidasi dan termal yang lebih rendah dibanding petroleum diesel telah mendorong beberapa fihak untuk melakukan hydrogenated vegetable oil (HVO) agar stabilitas oksidasi dan oksidasi termal lebih baik dari peroleum diesel. dengan pertimbangan bila tidak dilakukan akan membuat FAME (biodiesel) akan tidak kompetitif dengan HVO. Sebenarnya reaksi oksidasi ini terjadi karena pengaruh oksigen atmosfir dalam biodiesel (autoxidation). Proses ini berlangsung selama transportasi dan penyimpanan biodiesel dan dalam tangki bahan bakar di kendaraan.

Biodiesel termasuk golongan alkil ester dengan nama kimia alkil ester mempunyai kemiripan sifat dengan solar. Biodiesel merupakan salah satu jenis bahan bakar pengganti solar yang yang berasal dari minyak nabati yang bahan bakunya bisa diperbaharui dengan cara budidaya. Beberapa sumber minyak nabati yang bisa digunakan sebagai sumber bahan biodiesel adalah biji sawit, biji jarak, biji nyamplung, kelapa, kedelai dan lainnya. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar untuk mesin diesel mempunyai beberapa keuntungan antara lain bisa mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak dunia, menjadikan substitusi bahan bakar solar (biosolar) dan bisa mengurangi emisi gas buang kendaraan (Wirawan, et al., 2008; Carraretto, et. al., 2004). Biodiesel merupakan metil ester (fatty acid methyl ester) yang diproses dengan cara transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewan dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel (Mettelbach dan Remschmidt, 2004; Knothe, 2005).

Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar substitusi solar harus diikuti dengan pengembangan teknologi proses yang efisien dan ekonomis. Hal ini sejalan dengan road map biodiesel yang mengharuskan menerapkan teknologi

4 yang lebih maju sejalan dengan waktu (Ariyati, 2007). Proses transesterifikasi tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan katalis atau tanpa katalis. Katalis yang digunakan dalam proses transesterifikasi (catalytic transesterification) bisa terdiri dari katalis asam, basa, dan biokatalis (enzim), sedangkan untuk untuk proses transesterifikasi tanpa katalis (non-catalytic transesterification) bisa diproses pada tekanan atmosfir dan kondisi tekanan tinggi (supercritical). Secara skematis metode-metode transesterifikasi dapat dilihat dalam Gambar 2.

Sejauh ini teknik produksi biodiesel komersil umumnya dilakukan dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa. Salah satu masalah yang dihadapi dalam menghasilkan biodiesel dengan metode ini adalah laju reaksi atau efektifitas proses transesterifikasi yang masih relatif lambat sehingga berimplikasi terhadap jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses relatif besar (Carraretto et al., 2004; Mootabadi et al., 2008; Ajav dan Akingbehin, 2002). Untuk lebih mendapatkan proses yang lebih efisien dari proses katalis basa ini, maka perlu dikembangkan suatu rekayasa proses yang lebih efisien diilihat dari pemakaian energi, laju reaksi, waktu reaksi.

Masalah dalam proses transesterifikasi katalis basa tersebut adalah sukar bercampurnya trigliserida dan metanol. Dengan mekanisme pencampuran biasa menggunakan blade agitator, frekuensi tumbukan kurang optimal bila dilakukan

Gambar 2. Opsi proses transesterifikasi (Joeliangsih, 2008; Mettelbach dan Remschmidt, 2004)

5 pada putaran (rpm) yang rendah. Bahan-bahan tersebut bisa bereaksi atau proses reaksi bisa mengarah ke kanan bila diterapkan mekanisme pengadukan yang amat kuat (vigorous stirring) dan suhu yang relatif tinggi (Darnoko dan Cheryan, 2000a). Dengan kata lain dibutuhkan putaran (rpm) yang amat tinggi, di mana sebagai konsekuensinya memerlukan daya (horse power / hp) yang cukup besar.

Untuk memperbaiki rekayasa proses ini maka perlu dikembangkan suatu proses pengolahan biodiesel dengan katalis basa yang mempunyai sistem pengadukan (stirring) yang lebih intensif sehingga laju reaksi lebih tinggi dari yang sudah dicapai, konstanta reaksi (k) lebih tinggi, dan energi aktivasi (Ea) yang lebih rendah. Untuk pengembangan rekayasa proses ini diperlukan suatu pendekatan rancangan peralatan yang baru. Salah satu pendekatannya adalah pemanfatan sistem pengadukan static-mixer pada reaktor biodiesel.

Rasio energi (perbandingan energi output – input) di dalam suatu proses pengolahan biodiesel dapat dijadikan suatu ukuran nilai efisiensi ekonomis dan teknis selama proses berlangsung sehingga dapat dijadikan cara untuk menentukan metode yang terbaik dalam pengolahan biodiesel (Costa, 2006; Mootabadi, et al., 2008; Spath dan Mann, 2000 ). Semakin tinggi nilai rasio energi maka akan semakin efisien energi yang digunakan untuk poduksi biodiesel. Penelitian yang membahas analisis rasio energi dari pengolahan biodiesel masih belum banyak dilakukan. Sejauh ini penelitian rasio energi biodesel dilakukan dengan menggunakan reaktor konvensional (blade agitator). Dalam penelitian ini akan dilakukan proses transesterifikasi dengan menggunakan reaktor static-mixer di samping itu juga dihitung energi input untuk pemanasan awal minyak dan purifikasi (pencucian dan pengeringan).

1.2 Rumusan Masalah

Sistematika perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodisel dengan katalis basa masih menghasilkan laju reaksi yang rendah sehingga waktu reaksi transesterifikasi relatif masih lama (1-2 jam pada kondisi reaksi T 65 oC dan tekanan atmosfir).

6 Metode pengadukan yang banyak diterapkan masih menggunakan metode pengadukan (mixing) konvensional dalam proses produksi biodisel (blade agitator); akibatnya bila pengadukan kurang kuat mengakibatkan efektifitas reaksi (frekuensi) tumbukan berkurang serta menghasilkan nilai konstanta reaksi (k) yang relatif kecil,

Konversi biodiesel (metil ester) dari minyak nabati (triglserida) dengan katalis basa dipengaruhi pengadukan (vigorous stiring), semakin tinggi rpm produksi semakin tinggi produksi/laju pembentukan metil ester. Pengadukan yang efektif diperkirakan dapat meningkatkan reaksi tumbukan, laju reaksi, dan meningkatkan konstanta reaksi pada proses produksi biodiesel.

1.3 Kerangka Pemikiran

Waktu reaksi yang relatif lama dan konsumsi energi yang tinggi merupakan kendala dalam pengolahan biodiesel dari minyak nabati dengan metode katalitik basa. Lamanya reaksi disebabkan laju reaksi pembentukan metil ester (biodiesel) masih lambat. Lambatnya pembentukan metil ester ini erat kaitannya dengan mekanisme pengadukan yang selama ini digunakan. Umumnya pengolahan biodiesel menggunakan reaktor yang dilengkapi dengan blade agitator untuk melangsungkan reaksi transesterifikasi. Persoalan dengan sistem pengadukan bahan seperti ini adalah dua fase bahan dalam reaksi sulit bercampur. Bila putaran blade agitator tidak tinggi akan memberikan efek pencampuran yang tidak maksimal (laju reaksi yang lambat), sehingga sulit untuk mendapatkan waktu reaksi yang singkat.

Untuk memecahkan masalah ini diperlukan suatu rekayasa proses dengan suatu mekanisme sehingga proses dapat dilangsungkan dengan waktu yang relatif singkat dan jumlah energi yang lebih kecil. Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah dengan penerapan sistem pengadukan statis (static-mixer). Mekanisme pengadukan dengan static-mixer adalah suatu sistem pengadukan yang menggabungkan mekanisme pencampuran bahan dengan cara dividing (membagi), rotating (memutar), channeling (menghubungkan), diverting (membelokan), dan recombining (menggabung kembali) aliran atau bahan yang dicampur. Secara skematis skema kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 3.

7 Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian

8 Sejauh ini penelitian pengolahan biodiesel dengan menggunakan static-mixer masih terbatas. Thompson (2007) melakukan penelitian pengolahan biodiesel (canola metil ester) dari minyak canola menggunakan static-mixer skala 30 ml dengan melihat pengaruh berbagai konsentrasi katalis. Reaktor static-mixer merupakan reaktor skala laboratorium dengan lebar elemen 4,9 mm dan panjang 300 mm. Hasil penelitian menunjukkan waktu pengolahan metil ester yang terbaik (total gliserol terendah) dicapai pada suhu 60 oC, konsentrasi katalis 1,5 % dengan waktu proses 30 menit.

Untuk memperbaiki rekayasa proses ini diperlukan suatu rancangan peralatan yang baru yaitu reaktor static mixer yang mampu memberikan konstanta reaksi yang lebih tinggi dan memberikan efisiensi energi (rasio energi output-input) yang tinggi.

1.4 Hipotesis

Tiga hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Konstanta laju reaksi (k) dan frekuensi tumbukan (A) dapat meningkat dengan sistem pengadukan static-mixer

2. Waktu reaksi pembentukan biodiesel (fatty acid methyl ester atau FAME) dengan static-mixer akan lebih singkat dibandingkan waktu reaksi menggunakan blade agitator

3. Konsumsi energi dapat berkurang dengan penerapan static-mixer dalam reaktor pengolahan biodiesel

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji reaksi pengolahan biodiesel dari minyak sawit dengan reaktor static-mixer sehingga diperoleh waktu transesterifikasi lebih singkat dan kebutuhan energi pengolahan relatif lebih kecil dibandingkan reaktor blade agitator. Secara spesifik tujuan penelitian adalah untuk:

1. Menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor

9

static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70oC pada

tingkat suhu yang sama pada tekanan atmosfir. Sebagai pembanding proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator dilakukan.

2. Mengkaji kebutuhan energi transesterifikasi, kebutuhan energi pemanasan awal dan purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit (refined bleached deodorized palm olein RBDPO).

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk 1) memberikan informasi karakteristik transesterifikasi biodiesel dengan reaktor static-mixer, 2) memberikan informasi rancangan sebagai bahan scale up reaktor, dan 3) memberikan alternatif rancangan pengolahan biodiesel dengan waktu yang lebih singkat dan energi pengolahan biodiesel lebih kecil.

1.7 Ruang Lingkup dan Outline Disertasi

Penelitian ini mengkaji pembuatan biodiesel dengan menggunakan sistem pengadukan static-mixer. Dalam proses pembuatan biodiesel tersebut digunakan bahan baku (feedstock) trigliserida (TG) dari minyak goreng sawit (RBDPO), methanol (MeOH) dengan bantuan katalis KOH. Percobaan dilakukan dengan mengunakan reaktor static-mixer dengan mereaksikan reaktan (TG, MeOH, dan katalis sebanyak 16,5 liter (kapasitas maksimum reaktor 23 liter). Secara garis besar pembuatan biodiesel terdiri dari tahap proses pemanasan awal minyak, proses transesterifikasi, dan proses purifikasi (pencucian dan pengeringan). Untuk memvalidasi hasil proses transesterifikasi dengan static-mixer maka dilakukan juga percobaan yang sama dengan menggunakan reaktor blade agitator. Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 3 pembahasan, yaitu:

Pertama, pembahasan mengenai uji performansi (keseimbangan massa) dan analisis pindah panas reaktor static-mixer. Analisis pindah panas yang diamati dalam reaktor pada bagian pipa, dinding tangki, tutup atas, tutup bawah, dan static-mixer.

10 Kedua, pembahasan mengenai kajian tentang menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, and 70oC pada tekanan atmosfir. Hasilnya dibandingkan dengan hasil yang dicoba dengan menggunakan reaktor blade agitator pada kondisi percobaan yang sama.

Ketiga, pembahasan mengenai analisis kebutuhan energi pemanasan awal, energi transesterifikasi, dan energi untuk purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit RBDPO. Penelitian dilakukan dengan menggunakan reaktor static-mixer yang dioperasikan pada suhu 50, 55, 60, 65, and 70oC. Percobaan dengan kondisi yang sama juga dilakukan dengan reaktor blade agitator untuk memvalidasi efisiensi energi.

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan secara kimiawi dinyatakan sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari golongan lipida (Darnoko, et al., 2001; Tapasvi, et al., 2005; Ma dan Hanna, 1999). Biodiesel didefinisikan sebagai monoalkil ester rantai panjang dari asam lemak yang diderivasi dari bahan yang dapat diperbaharui (renewable feedstocks), seperti minyak nabati dan lemak hewan, untuk penggunaan penyundutan kompresi (compression-ignition) dari mesin diesel (Krawczyk, 1996). Biodiesel dianggap sebagai bahan bakar pengganti (alternatif) dari bahan bakar konvensional diesel solar yang tersusun dari metil ester asam lemak (FAME).

Terminologi biodiesel berasal dari persetujuan Department of Energy (DOE), The Environmental Protection Agency (EPA) dan The American Society of Testing Materials (ASTM) sebagai salah satu energi alternatif untuk mesin diesel (ASTM, 2002; DOE, 2009; EPA 2009 ). Istilah bio merujuk kepada bahan terbarukan dan bahan hayati yang berbeda dari solar yang berbahan baku minyak bumi. Dalam kenyataannya, biodiesel bisa digunakan murni (100 % metil ester) atau sebagai campuran dengan perbandingan tertentu dengan bahan bakar solar. Dalam istilah perdagangan campuran biodiesel dengan solar dinamakan dengan notasi BXX. Misalnya bila campuran biosolar mengandung 5 % atau 10 % solar maka notasi masing-masing biosolar dinyatakan sebagai B5 dan B10.

Biodiesel merupakan monoalkil ester (misal: fatty acid methyl ester/FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel (Krawczyk, 1996; Mittelbach, and Reshmidt, 2004; Knothe, 2005). Sehubungan dengan proses transesterifikasi ini proses pengolahan banyak diteliti dan dikembangkan untuk mendapatkan proses yang lebih efisien.

12 2.2 Proses Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi memegang peranan penting dalam pengolahan biodiesel dari minyak nabati (trigliserida atau TG). Reaksi transesterifikasi disebut juga reaksi alkoholisis dan proses ini sering dikaitkan dengan proses untuk mengurangi viskositas trigliserida (TG) (Otera, 1993). Reaksi transesterifikasi secara umum dinyatakan sebagi berikut (persamaan 1):

Bila methanol (MeOH) digunakan dalam reaksi di atas maka reaksinya disebut metanolisis dan reaksinya bisa dilihat seperti pada Gambar 4. Untuk menjadikan biodiesel, minyak nabati diproses secara kimia dengan cara transesterifikasi dengan keberadaan alkohol (metanol atau etanol) dan katalis (basa atau asam) untuk menghasilkan alkil ester (biodiesel) dan gliserol sebagai hasil samping. H2C O C O R1 HC O C O R2 H2C O C O R3 3CH3OH MeOH H3C O C O R1 H3C O C O R2 H3C O C O R3 H2C OH HC OH H2C OH TG FAME GL ... [2]

Gambar 4. Reaksi alkoholisis TG dengan MeOH reaksi keseluruhan pers. [2]; tiga reaksi berurutan dan reversibel pers. [3] (R1,2,3 = asam lemak)

Trigliserida (TG) sebagai komponen utama dari minyak nabati bila direaksikan dengan dengan alkohol (misal methanol), maka ketiga rantai asam lemak akan dibebaskan dari skeleton gliserol dan bergabung dengan methanol untuk menghasilkan asam lemak alkil ester (misal asam lemak metil ester atau

TG + CH3OH DG + CH3COOR1

DG + CH3OH MG + CH3COOR2 ……...[3] MG + CH3OH GL + CH3COOR3.

RCOOR1 + R2OH RCOOR2 + R1OH ……….…..…..[1]

13 FAME). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reaksi balik (reversible) yang membentuk tiga molar FAME dan satu molar gliserol (GL) dari satu molar trigliserida (TG) dan tiga molar methanol. Digliserida (DG) dan monogliserida (MG) merupakan hasil reaksi antara (intermediate). Terdapat dua jenis proses transesterifikasi yaitu transesterifikasi dengan katalis dan transesterifikasi tanpa katalis. Katalis diharapkan dapat mempengaruhi laju reaksi dalam memproduksi biodiesel secara katalitik pada skala komersial.

2.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Transesterifikasi

Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodesel merupakan suatu proses bertahap dan reversible. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain: 1) Homogenisasi reaksi (keseragaman pencampuran), 2) molar rasio antara methanol and minyak nabati, 3) suhu reaksi, 4) tekanan dalam reaksi, 5) waktu reaksi, dan 6) jenis katalis (Mettelbach dan Reshmidt, 2004).

2.2.1.1 Homogenisasi Reaksi (Pencampuran)

Homogenisasi campuran dalam reaksi merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi efektifitas reaksi karena dari kondisi ini maka reaksi tumbukan akan terjadi yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju reaksi, konstanta reaksi, energi aktivasi dan lama reaksi. Transesterifikasi tidak akan berlangsung baik bila campuran bahan tidak dihomogenisasi terutama selama tahap awal proses. Pengadukan yang kuat (vigorous stirring) merupakan salah satu metode homogenisasi yang cukup berhasil untuk proses yang dilakukan secara batch dan kontinyu (darnoko dan Cheryan, 2000)..

2.2.1.2 Rasio Molar

Rasio molar antara methanol dan minyak nabati tergantung dari jenis katalis yang digunakan. Untuk menjamin reaksi transesterifikasi berlangsung ke arah kanan maka direkomendasikan menggunakan katalis berlebih. Menurut Freedman et al.,(1986), perbandingan rasio molar 6 : 1 dari methanol terhadap katalis basa bisa digunakan untuk mendapat rendemen ester yang maksimum. Rasio molar yang digunakan biasanya tidak melebihi perbandingan ini, dan bila

14 jumlah alkohol terlalu berlebih maka akan berakibat menganggu pemisahan gliserol (Srivasta dan Prasad, 2000). Rasio molar untuk proses transesterifikasi dengan katalis asam perbandingannya direkomendasikan bisa mencapai 30 : 1 (Mittelbach dan Reshmidt, 2004).

2.2.1.3 Suhu Reaksi

Transesterifikasi dapat dilakukan pada berbagai tingkatan suhu tergantung dari jenis minyak nabati yang digunakan. Dalam proses metanolisis kastor oil menjadi metil risinoleat, reaksi akan berlangsung memuaskan bila dioperasikan pada suhu 20 – 35oC dengan rasio molar 6 :1 and 12 : 1 menggunakan NaOH sebagai katalis (Fredman et al., 1984). Untuk transesterifikasi minyak kedelai dengan metanol molar ratio yang digunakan adalah 6 : 1 dengan 1 % NaOH, untuk berbagai suhu transesterifikasi (Fredman et al., 1986). Setelah satu jam proses ester yang terbentuk adalah 94,87 % dan 64 % untuk suhu 45 dan 32 oC. Suhu reaksi mempengaruhi laju reaksi dan ester yang terbentuk. Yamazaki et al., (2007) menjelaskan flowrate produksi FAME meningkat dari 0,1 g/menit mulai pada suhu 250 oC menjadi 1,0 g/menit pada suhu 330 oC.

2.2.1.4 Waktu Reaksi

Laju produksi metil ester sangat dipengaruhi oleh waktu reaksi transesterifikasi. Fredman et al. (1984) melaporkan bahwa transesterifikasi minyak kacang, cotton seed, minyak bunga matahari, dan kedelai dengan rasio molar metanol terhadap minyak 6 : 1 dengan katalis sodium methoxide pada suhu 60oC. Hasil pengamatan menunjukkan setelah 1 menit diperoleh hasil metil ester 80 % dan mencapai maksimum setelah waktu reaksi 1 jam dengan hasil metil ester 93 -98 % (Fredman et al., 1986). Ma dan Hanna (1999) juga melaporkan bahwa pengaruh waktu reaksi dalam proses transesterifikasi lemak hewan dengan hasil metil ester 1 – 38 %. Laju produksi metil ester mencapai maksimum setelah waktu berjalan 15 menit (Fredman et al., 1984). Yuswono et al. (2008) mengolah minyak minyak CPO dengan rasio molar metanol terhadap minyak 6 : 1 (katalis NaOH) dengan hasil metil ester 97 – 99 % dalam waktu 1 jam dengan

15 penghitungan waktu reaksi dimulai saat suhu bahan secara keseluruhan telah mencapai 70 oC

2.2.1.5 Tekanan Reaksi

Metil ester dapat direaksikan dalam kondisi tekanan rendah dan tinggi. Secara komersil produksi biodiesel dari minyak nabati dilangsungkan pada tekanan rendah guna mengurangi biaya pengolahan dan keamanan dan umumnya dilakukan pada tekanan atmosfir. Proses produksi biodiesel dengan tekanan tinggi dapat dilangsungkan di atas tekanan 100 bar pada suhu 250 oC dengan kelipatan 7 hingga 8 molar ekses dalam keberadaan katalis basa (Gerpen dan Knothe, 2005). Tekanan reaksi yang tinggi ini juga bisa dilakukan pada transesterifikasi tanpa katalis yang dilakukan pada tekanan 8,09 MPa dan suhu optimal 350 oC (Kusdiana dan Saka, 2000). Keuntungan penggunaan tekanan tinggi dalam proses transesterifikasi adalah bahan baku yang mengandung lebih 20 % FFA dapat diolah tanpa perlakuan pendahuluan serta dapat menghasilkan gliserol kandungan tinggi dapat dihasilkan sebagai hasil samping (Kusdiana dan Saka, 2000 Kusdiana dan Saka, 2000). Pendekatan yang diusulkan Mittelbach dan Junek (1986) yaitu penggunaan tekanan rendah merupakan rekomendasi yang sudah banyak diterapkan dan berhasil dilakukan dalam mengolah biodiesel.

2.2.1.6 Jenis Katalis

Untuk mencapai hasil atau rendemen yang maksimum, transesterifikasi biasanya dilangsungkan dengan keberadaan katalis baik katalis basa (alkali) ataupun asam. Katalis basa yang sering digunakan adalah NaOH dan KOH. Katalis NaOH sering digunakan karena lebih reaktif dan murah. Katalis dari kompon logam, silikat, dan enzim atau biokatalis seperti enzim lipase bisa juga digunakan dalam sintesis biodiesel. Jumlah optimum alkali basa yang baik digunakan berkisar anatar 0,5-1,0 % dari berat minyak nabati (Fredman et al., 1984). Katalis asam bisa juga digunakan untuk proses produksi biodiesel. Transesterifikasi dengan katalis asam lebih lambat dari katalis basa. Katalis asam