BAB III ANALISA SITUASI
3.2. Permasalahan Mendasar
3.2.7. Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Remaja yang Tidak Terpenuhi
WHO mendefinisikan masa remaja adalah periode antara usia 10 - 19 tahun. Periode ini merupakan masa peralihan dari anak - anak ke masa dewasa yang ditandai oleh berbagai perubahan fisik, psikologis dan sosial. Indonesia memiliki 60 juta penduduk usia remaja dengan kebutuhan yang sangat beragam, namun perhatian yang
57
diberikan terhadap kelompok ini sangat terbatas dan sumber daya sangat terbatas. Kebijakan yang ada juga membatasi penyedia pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja yang belum menikah. Pelayanan yang tersedia terbatas kepada peyediaan informasi, tetapi data menunjukkan bahwa pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi masih terbatas terbatas. Pengetahuan remaja untuk hal-hal yang bersifat umum memang cukup tinggi seperti pengetahuan mengenai satu jenis metode kontrasepsi, pil, suntik dan kondom yang berada ada kisaran lebih dari 80 persen. Namun kurang dari 50 persen remaja mengetahui secara benar aspek kesehatan reproduksi yang lebih khusus, seperti pengetahuan mengenai masa subur. Hanya 53,3 persen dari perempuan dan 51,6 persen pria belum menikah usia 15 - 24 mengetahui bahwa kehamilan dapat terjadi setelah sekali hubungan seksual (BKKBN, BPS, & R.I., 2018). Apalagi pengetahuan tentang pil kontrasepsi darurat, satu - satunya metode kontrasepsi hormonal yang dapat dikonsumsi perempuan (maksimal 72 jam pertama) setelah melakukan hubungan seks berisiko sangat minimal. Secara tidak langsung hal ini menandakan adanya kebutuhan untuk metode kontrasepsi pada remaja aktif seksual walaupun mereka belum menikah. Data ini juga menunjukkan bahwa remaja di Indonesia tidak terpapar pada informasi tentang kontrasepsi secara memadai (BKKBN, BPS, & R.I., 2018; Budiharsana, 2017).
Penurunan tingkat fertilitas yang paling dominan terjadi pada tingkat fertilitas kelompok usia 15 - 19 tahun dari 48 per 1000 di tahun 2012 (BKKBN, R.I., DHS, & International, 2013) menjadi 36 per 1000 di tahun 2017(BKKBN, BPS, R.I., et al., 2018). Walaupun penurunan ini merupakan hal yang menggembirakan dan banyak dinanti, namun hal ini perlu dianalisis lebih mendalam lagi apa penyebab terjadinya penurunan ini, terutama karena akses ke pelayanan kontrasepsi di antara kelompok muda sangat terbatas seperti yang ditetapkan di dalam UU Nomor 52 tahun 2009 mengenai Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga(Republik Indonesia, 2009b).
58
Gambar 3.22.
Fertilitas Remaja dan Persentase yang Pernah Melahirkan
Sumber: SDKI 1994, 1997, 2002, 2007, 2012 dan 2017
Indonesia menghadapi permasalahan perkawinan anak dan remaja yang cukup serius. Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya perkawinan anak. UU Nomor 7 tahun 1974 mengenai Perkawinan mengizinkan penikahan dengan izin orang tua dilakukan pada saat perempuan berusia minimal 16 tahun dan laki - laki berusia 19 tahun. Data SDKI 2017 menunjukkan bahwa 7 persen dari perempuan usia 15 - 19 tahun telah menjadi ibu pada usia tersebut, dimana 5 persen sudah pernah melahirkan dan 2 persen sedang hamil pada saat dilakukan survei. Perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak. Risiko komplikasi kehamilan dan kelahiran mengancam jika terjadi kehamilan segera setelah menarche, sedangkan secara fisik, mental dan sosial anak belum siap untuk mengalami kehamilan dan menjalani proses kelahiran. Kehamilan menjadi penyebab utama kematian pengantin anak perempuan usia 15 - 19 tahun, menjadi penyebab berakhirnya pendidikan formal, dan menjadi penghalang meniti kesempatan karir (UNFPA, 2012).
61 62 51 51 48 36 11,2 12,2 10,4 8,5 9,5 7,1 0 10 20 30 40 50 60 70 1994 1997 2002 2007 2012 2017
59
Gambar 3.23.
Indikator Kesehatan Anak Menurut Umur Ibu Pada Ulang Tahun Pertama
Sumber: Finlay, Ozaltin, and Canning (2011)
Studi oleh Finlay et al. (2011) menganalisis data dari 118 survei demografi dan kesehatan dari 55 negara dengan pendapatan rendah dan menengah dengan total 176.583 anak. Studi menganalisis angka kematian dan status gizi anak. Gambar 3.24 menunjukkan bahwa prevalensi status kesehatan anak yang buruk menurun dengan meningkatnya usia ibu. Penurunan prevalensi kasus ini khususnya signifikan pada kasus stunting, anemia dan gizi kurang, tetapi juga ditemukan pada kasus diare, kematian bayi dan wasting. Di Indonesia, secara umum kehamilan diharapkan terjadi dalam ikatan pernikahan. Oleh karena itu, usia pernikahan menjadi indikator yang penting untuk melihat awal keterpaparan kepada kehamilan. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa median usia menikah telah mengalami kenaikan, dari 17,1 tahun pada 1991 menjadi 20,1 tahun pada 2012 dan menjadi 21,8 di tahun 2017. Median meningkat seiring dengan tingkat pendidikan dan kuintil kekayaan.
60
Gambar 3.24.
Tren Median Usia Menikah, 1991 - 2017
Sumber: SDKI 1991,1994, 1997, 2002, 2007, 2012 dan 2017
Meskipun median usia menikah sudah meningkat, perkawinan anak masih banyak terjadi di Indonesia (25 persen), terutama di daerah perdesaan, sedangkan jumlah kehamilan usia dini sangat bervariasi dari provinsi ke provinsi. Perkawinan anak ini sering kali diawali oleh kehamilan di luar nikah yang kemudian menyebabkan dilakukannya perkawinan anak.
Hasil Susenas 2017 menemukan angka kejadian perkawinan anak (usia di bawah 19 tahun) masih sekitar 35 persen, dan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan (43 persen : 28 persen) (BPS, 2017b). Jelas ada hubungan antara perkawinan anak dan tingkat pendidikan. Anak perempuan cenderung tidak melanjutkan sekolah setelah dinikahkan. Persentase perkawinan anak yang hanya berpendidikan SD/sederajat (40,5 persen) delapan kali lebih tinggi dari pada anak yang lulus SLTA/sederajat (5,0 persen) (BPS & UNICEF, 2016). Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki risiko empat kali lebih rendah untuk tidak menyelesaikan SLTP/sederajat atau setara (BPS and UNICEF, 2018 dalam Budiharsana 2018). Meskipun begitu, tetap ada kesenjangan yang cukup besar dalam tingkat fertilitas antara remaja yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan. Di daerah perdesaan proporsi yang telah menjadi ibu adalah dua kali proporsi di daerah perkotaan (5 persen untuk wilayah perkotaan dan 10 persen untuk perdesaan) (BKKBN, BPS, & R.I., 2018). 17,1 18,1 18,6 19,2 19,8 20,1 21,8 0 5 10 15 20 25 1991 1994 1997 2002 2007 2012 2017
61
Gambar 3.25.
Median Usia Melahirkan Pertama Menurut Karakteristik Sosio-Demografi
Sumber: SDKI 2017
Selain usia kawin, faktor lain yang mempengaruhi tingkat fertilitas adalah usia melahirkan anak pertama. Wanita yang menikah pada usia muda, akan memiliki kecenderungan melahirkan anak pada usia muda dimana kondisi secara fisik belum siap. Gambar 3.25 menunjukkan median usia melahirkan pertama di antara perempuan usia 25 - 49 tahun menurut karakteristik sosio demografi. Median usia melahirkan pertama lebih tinggi pada perempuan yang tinggal di perkotaaan dibandingkan dengan perdesaan. Median usia melahirkan pertama juga meningkat seiring dengan tingkat pendidikan dan tingkat kekayaan.
Data juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan aktivitas seksual di kalangan remaja. Analisis lanjut SDKI 2012 untuk 6 provinsi di Jawa (Budiharsana, 2017) melaporkan bahwa 4,1 persen remaja mengaku sudah aktif seksual dari total 5.150 remaja usia 15 - 24 tahun yang belum menikah. Mayoritas remaja yang aktif seksual adalah remaja laki-laki (79,7 persen). Remaja berusia kurang dari 20 tahun ternyata sekitar 26,7 persen dari total remaja 15 - 24 tahun, dan hampir separuhnya (47,1 persen) berusia kurang dari atau sama dengan 18 tahun saat pertama kali berhubungan seksual. Dari jumlah keseluruhan remaja 15 - 24 tahun ini, 76,4 persen atau tiga perempatnya sudah pernah berhubungan seks sebelum usia 22 tahun, termasuk 16,8 persen sudah tinggal serumah (kohabitasi). Lebih dari sepertiga (36,5 persen) menyatakan pertama kali berhubungan seks di rumah sendiri.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja 2017 (BKKBN, BPS, & R.I., 2018) juga melaporkan bahwa sekitar 1,5 persen perempuan dan 7,6 persen laki - laki belum kawin
23,5 21,4 19,6 19,7 20,4 21,3 24 27,4 21,3 21,4 21,9 22,5 24,6 22,4 0 5 10 15 20 25 30
62
di usia 15 - 24 tahun melakukan hubungan seksual pra nikah. Hanya sedikit perbedaan dalam pengalaman seksual menurut umur dan tempat tinggal, namun perempuan belum menikah yang tidak lulus sekolah dasar memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk melakukan hubungan seksual pra nikah dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi.