• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BACKGROUND STUDY RPJMN BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN BACKGROUND STUDY RPJMN BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

KAJIAN BACKGROUND STUDY RPJMN 2020 – 2024 BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI

TA 2018

©2018 Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

(3)

3

SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM A. PENANGGUNG

JAWAB

: Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas.

B. TIM PENYUSUN REKOMENDASI KEBIJAKAN (TPRK)

Ketua : Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas.

Sekretaris : Kepala Sub Direktorat Keluarga Berencana, Kementerian PPN/Bappenas.

Anggota : 1. Kepala Biro Perencanaan dan Data, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 2. Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi,

Kementerian Pemuda dan Olahraga;

3. Kepala Biro Perencanaan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;

4. Kepala Sub Direktorat Keluarga Berencana, Kementerian PPN/Bappenas;

5. Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan Perempuan dan Pengarustamaan Gender, Kementerian PPN/Bappenas;

6. Kepala Sub Direktorat Perlindungan Anak, Kementerian PPN/Bappenas;

7. Kepala Sub Direktorat Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas;

8. Mahendra Arfan Azhar, S.Sos, M.Si, Kementerian PPN/Bappenas;

9. Ir. Ani Pudyastuti, MA, Kementerian PPN/Bappenas;s

10. Qurrota A’yun, S.Si, MPH, Kementerian PPN/Bappenas;

11. Indah Erniawati, S.Sos, MSP, Kementerian PPN/Bappenas;

12. Icha Puspitasari, S. Si, Kementerian PPN/Bappenas

C. TENAGA PENDUKUNG

: 1. Edy Budi Utomo, Kementerian PPN/Bappenas; 2. Marliana NL Manik, S.Sos, Kementerian

PPN/Bappenas;

3. Sulaeman, Kementerian PPN/Bappenas;

4. Rati Handayani, SKM, Kementerian PPN/Bappenas;

(4)

4

KATA PENGANTAR

Menjelang akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019, Kementerian PPN/BAPPENAS menyusun kajian background study untuk berbagai topik yang akan digunakan dalam mengembangkan rekomendasi arah kebijakan dan prioritas program RPJMN 2020 - 2024 mendatang. RPJMN 2015 - 2019 merupakan periode terakhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005 - 2025. Salah satu topik background study yang disusun adalah mengenai Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.

Berdasarkan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas RI Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas, Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga mempunyai tugas melaksanakan pengoordinasian, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta pemantauan, evaluasi, dan pengendalian perencanaan pembangunan nasional di bidang keluarga, perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, pemuda dan olahraga. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga melakukan fungsi perencanaan dan penyusunan program pembangunan nasional bidang KB dan Kesehatan Reproduksi melalui kegiatan kajian.

Kajian ini dilakukan dalam rangka menyiapkan rumusan Rancangan Teknokratik Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024. Sebagai bagian dari policy research, kegiatan background study ini merupakan dokumen semacam ‘naskah akademik’ (working paper), yang memuat sejumlah rekomendasi kebijakan berkaitan dengan penyusunan RPJMN 2020 - 2024 Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

Akhir kata, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada tim penyusun yang telah membantu penyelesaian laporan ini dan berbagai pihak lainnya.

Jakarta, Januari 2019 Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga

Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

(5)

5

RINGKASAN EKSEKUTIF

Background study dengan topik Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi ini disusun untuk memberi gambaran mengenai situasi program KB terakhir, pelaksanaan kebijakan keluarga berencana dan program, tantangan yang dihadapi serta rekomendasi untuk arah kebijakan, strategi dan program mendatang, termasuk target yang diusulkan.

Hasil SDKI 2017 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan tingkat fertilitas total dari 3,6 pada tahun 2012 menjadi 3,4 pada tahun 2017. Namun di pihak lain terjadi tren penurunan penggunaan kontrasepsi modern dari 57,9 persen menjadi 57,2 persen. Penurunan fertilitas sebagian besar terjadi karena menurunnya angka kelahiran pada kelompok umur 15 -19 tahun dan 20 - 24 tahun. Penurunan ini perlu di analisis lebih lanjut untuk mengetahui faktor - faktor apa yang berkontribusi mengingat tidak ada perubahan mendasar dalam program untuk remaja dan kelompok yang belum menikah.

Penggunaan metode jangka panjang juga menunjukkan peningkatan yang disebabkan karena peningkatan penggunaan implant. Metode kontrasepsi modern yang paling banyak digunakan adalah suntik (29 persen) dan pil (12 persen). Temuan yang paling mencolok adalah peningkatan penggunaan metode tradisional menjadi 6,4 persen (BKKBN, BPS et al. 2018). Peningkatan penggunaan kontrasepsi modern kuintil sosio - ekonomi terendah, peningkatan tidak terjadi pada kuintil kekayaan yang lebih tinggi. Sebaliknya, pada kelompok ini terjadi penurunan dalam penggunaan kontrasepsi modern. Di kelompok dengan pendapatan tertinggi, terjadi peningkatan dalam penggunaan metode kontrasepsi tradisional hingga hampir mencapai 10 persen. Peningkatan penggunaan metode kontrasepsi tradisional selama lima tahun terakhir perlu dianalisis lebih lanjut untuk memahami implikasinya.

Kebutuhan KB yang tidak terpenuhi menurun menjadi 10,6 persen, tetapi penurunan ini belum dapat mencapai target. Adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi menunjukkan bahwa ada permintaan untuk layanan yang tidak dapat terealisasikan, baik itu karena informasi dan layanan yang tidak memadai atau karena hambatan finansial. Kebutuhan yang tidak terpenuhi bahkan sangat tinggi pada kelompok usia 45 - 49 tahun hingga mencapai 20,9 persen untuk membatasi dan 2,7 persen untuk menjarangkan. Temuan lain adalah tingginya tingkat putus pakai dari 27 persen di tahun 2012 menjadi 34 persen pada di 2017. Ini berarti sepertiga dari perempuan yang mulai menggunakan metode kontrasepsi dalam lima tahun sebelum survei menghentikan penggunaannya dalam 12 bulan setelah mulai pemakaian.

Sejak pelaksanaan JKN pada tahun 2014, BKKBN memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan kontrasepsi untuk semua pengguna JKN, tidak hanya untuk

(6)

6

kelompok termiskin. Beban pengadaan yang lebih besar ini membutuhkan kemampuan untuk memperkirakan kebutuhan komoditas KB yang baik untuk memastikan ketersediaan kontrasepsi sepanjang tahun.

Penggunaan kontrasepsi di Indonesia sudah cukup tinggi dan dianggap sudah mencapai hard core. Untuk meningkatkan penggunaan kontrasepsi lebih lanjut memerlukan pendekatan yang terfokus dan strategis yang efektif. Upaya untuk mempromosikan metode kontrasepsi jangka panjang harus memperhatikan bahwa keputusan menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang adalah keputusan yang besar bagi akseptor KB, pesan yang konsisten dari motivator atau petugas kesehatan sangat penting untuk mendorong dan memastikan adopsi metode kontrasepsi jangka panjang.

Koordinasi di antara berbagai pihak dalam program keluarga berencana juga menjadi tantangan. Undang - undang tentang pemerintahan daerah menetapkan bahwa program kependudukan dan keluarga berencana merupakan kewenangan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklah kantor dinas kependudukan dan keluarga berencana di kabupaten. Sejak Undang - undang ini dilaksanakan ditemukan berbagai bentuk dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana di daerah. Di tingkat provinsi, selain Kantor Perwakilan BKKBN terbentuk pula dinas Kependudukan dan KB yang yang berdiri sendiri atau bergabung dengan kewenangan lainnya. Keberadaan berbagai institusi ini memberikan kesan adanya dualisme dalam pelayanan keluarga berencana. Di sisi lain, keterlibatan sektor kesehatan dalam program KB juga dirasakan rendah. Terlebih karena pelayanan KB tidak termasuk dalam standar pelayanan minimum di bidang kesehatan yang mengakibatkan rendahnya prioritas daerah untuk keluarga berencana.

Jumlah tenaga kesehatan, khususnya bidan, umumnya cukup memadai. Namun secara distribusi tenaga kesehatan tidak merata dan sering terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Ketersediaan bidan di fasilitas kesehatan di masyarakat tinggi. Distribusi tenaga kesehatan di wilayah timur Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan distribusi tenaga di wilayah lain di Indonesia. Hal ini terlah terjadi sejak lama dan mengindikasikan perlunya kebijakan memperhatikan kebutuhan khusus wilayah sesuai dengan karakteristiknya.

Adanya skema pembiayaan JKN telah meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan ibu dan anak. Namun, pemanfaatannya untuk layanan keluarga berencana masih terbatas. Implementasi JKN mengubah layanan di tingkat pelayanan dasar yang mengharuskan BPJS Kesehatan berjejaring dengan layanan kesehatan swasta. Saat ini dari 80.000 titik pelayanan yang ada, hanya 25.000 yang memiliki jejaring dengan BPJS. Situasi ini diperkirakan memiliki dampak yang signifikan dalam upaya penyediaan keluarga berencana.

(7)

7

Masalah lain yang masih ditemui adalah pengadaan dan distribusi komoditas KB. Beberapa masalah yang ditemui selama ini dalam pengelolaan rantai pasok komoditas KB di antaranya lemahnya penerapan standar pengadaan, penyimpanan maupun pencacatan di gudang tempat penyimpanan komoditas KB; standar jumlah maksimum dan minimum untuk setiap jenis kontrasepsi yang harus tersedia di tempat pelayanan dan gudang penyimpanan tidak diterapkan secara seragam, pengiriman kontrasepsi menggunakan metode push yang berdasarkan pendekatan jumlah sasaran yang ditetapkan oleh BKKBN, tidak berdasarkan kebutuhan daerah, hal ini sering menyebabkan terjadinya kesenjangan antara jenis komoditas yang dibutuhkan dengan ketersediaannya.

Pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi untuk remaja dan individu yang belum menikah merupakan salah satu isu yang belum tertangani. Studi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi tidak memadai, khususnya untuk informasi yang bersifat khusus. Walaupun terjadi penurunan angka fertilitas remaja pada kelompok umur 15 - 19 tahun, perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor yang berperan dibalik penurunan tersebut di balik pengurangan kesuburan.

Arah kebijakan yang diusulkan untuk RPJMN mendatang adalah meningkatkan kualitas dan pemerataan akses ke pelayanan Keluarga berencana dan Kesehatan reproduksi yang tersegmentasi dan menguatkan advokasi dan KIE KB, Kesehatan Reproduksi dan Pembangunan Keluarga. Kebijakan lainnya adalah menguatkan regulasi, kelembagaan dan tata kelola serta kerjasama lintas sektor dalam program KB antara lain dengan rebranding program KB menjadi perencanaan keluarga sehingga KB diarahkan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kesejahteraaan keluarga. Rekomendasi kebijakan lainnya untuk menjawab kebutuhan kesehatan reproduksi remaja dan memastikan tertanganinya berbagai permasalahan kesehatan reproduksi yang terabaikan serta menguatkan dan mengintegrasikan data dan informasi keluarga berencana.

(8)

8 DAFTAR ISI

Susunan Keanggotan Tim ... 3

Kata Pengantar ... 4 Ringkasan Eksekutif ... 5 Daftar Isi ... 8 Daftar Tabel ... 11 Daftar Gambar ... 12 BAB I PENDAHULUAN ... 13 1.1. Latar Belakang ... 13 1.2. Tujuan ... 16 1.2.1. Tujuan Umum ... 16 1.2.2. Tujuan Khusus ... 16 1.3. Keluaran ... 16 1.4. Ruang Lingkup ... 17 1.5. Sistematika Laporan ... 17 1.6. Jadwal Pelaksanaan ... 18

BAB II KERANGKA KERJA/METODOLOGI ... 20

2.1. Kerangka Teori ... 20

2.2. Metode Kajian ... 21

2.2.1. Pengumpulan Data... 21

2.2.2. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ... 22

2.3. Cakupan Kajian ... 24

BAB III ANALISA SITUASI ... 26

3.1. Pelaksanaan RPJMN 2015 -2019 ... 26

3.2. Permasalahan Mendasar ... 29

3.2.1. Penggunaan Kontrasepsi dan Tingkat Fertilitas ... 31

3.2.2. Disparitas Dalam Tingkat Fertilitas dan Penggunaan Kontrasepsi ... 33

3.2.3. Jenis Metode Kontrasepsi yang Digunakan ... 38

3.2.4. Kebutuhan KB yang Tidak Terpenuhi dan Putus Pakai ... 43

3.2.5. Pengetahuan Mengenai Metode Kontrasepsi ... 48

(9)

9

3.2.7. Kebutuhan Kesehatan Reproduksi Remaja yang Tidak Terpenuhi ... 56

3.3. Isu Strategis ... 62

3.3.1. Kebutuhan untuk Meningkatkan Permintaan Terhadap Progam KB ... 62

3.3.2. Pemenuhan Kebutuhan Pelayanan KB yang Berkualitas ... 64

3.3.3. Kebutuhan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja dan Individu yang Belum Menikah yang Terabaikan ... 65

3.3.4. Pelayanan KB di Era Jaminan Kesehatan Nasional ... 67

3.3.5. Pengelolaan Rantai Pasok Komoditas KB ... 69

3.3.6. Kelembagaan dan Kapasitas dalam Pengelolaan Program KB: Kelembagaan di Tingkat Pusat dan Daerah untuk Program KB dan Kesehatan Reproduksi ... 70

3.3.7. Pemanfaatan Data untuk Perencanaan Program ... 72

3.3.8. Penanganan Masalah Kehamilan yang Tidak Diinginkan dan Gagal KB ... 72

BAB IV REKOMENDASI ARAH KEBIJAKAN ... 74

4.1. Sasaran Kebijakan RPJMN Tahun 2020 - 2024 ... 74

4.2. Arah Kebijakan RPJMN Tahun 2020 - 2024 ... 75

4.3. Strategi Pembangunan RPJMN Tahun 2020 - 2024 ... 76

4.4. Indikator dan Target Pembangunan RPJMN Tahun 2020 - 2024 ... 79

BAB V MEKANISME PELAKSANAAN ... 82

5.1. Kerangka Regulasi dan Pendanaan ... 82

5.1.1. Kerangka Regulasi... 82

5.1.2. Kerangka Pendanaan ... 83

5.2. Kerangka Kelembagaan (Peran dan Rekomendasi Mekanisme Pelaksanaan Kelembagaan di Kementerian/Lembaga) ... 83

5.2.1. Peran Kementerian dan Lembaga ... 84

5.3. Pelaksanaan di Daerah ... 85

5.4. Pemantauan dan Evaluasi ... 87

BAB VI PENUTUP ... 88

6.1. Kesimpulan ... 88

6.2. Rekomendasi ... 91

(10)

10 Daftar Tabel

Tabel 1.1.Waktu Pelaksanaan Kegiatan.. ... 18 Tabel 3.1. Sasaran Pembangunan Kependudukan dan KB dalam RPJMN 2015 - 2019 ... 32 Tabel 3.2. Median Kegagalan Kontrasepsi Menurut Metode ... 40 Tabel 3.3. Penyebab Kematian Ibu Menurut Studi Follow-Up Sensus Penduduk 2010 (N=7524) ... 50 Tabel 3.4. Proporsi KEK perempuan 15-49 tahun, Riskesdas 2013 dan Riskesdas 2018 ... 53 Tabel 3.5. Kualifikasi, Distribusi dan Kompetensi Tenaga Kesehatan ... 55 Tabel 4.1. Usulan Sasaran Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi RPJM 2020 - 2024... ... 81 Tabel 5.1. Pemetaan Peran Kementerian dan Lembaga dalam Program KB dan Kesehatan Reproduksi... ... 84

(11)

11

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Perubahan Paradigma Pendekatan Pembangunan Keluarga ... 16

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Determinan Fertilitas ... 20

Gambar 2.2. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ... 23

Gambar 2.3. Kerangka Pikir RPJMN 2020 - 2024 ... 24

Gambar 3.1. Tren TFR dan pemakaian kontrasepsi di Indonesia, tahun 1967 - 2017 ... 31

Gambar 3.2. Tren Angka Kelahiran Menurut Kelompok Umur, 1997 - 2017 ... 34

Gambar 3.3. Tingkat Fertilitas Menurut Provinsi Tahun 2012 dan 2017 ... 35

Gambar 3.4. Sebaran Angka Fertilitas Total Menurut Provinsi tahun 2013 dan 2017 ... 35

Gambar 3.5. Tren Fertilitas Total dan Fertilitas yang Diinginkan, 1991-2017 ... 36

Gambar 3.6. Penggunaan Kontrasepsi Modern Menurut Provinsi Tahun 2012 dan 2017 ... 37

Gambar 3.7. Penggunaan Kontrasepsi Modern dan Tradisional Menurut Kuintil Kekayaan Tahun 2012 dan 2017 ... 38

Gambar 3.8. Jenis Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia 1997 - 2017 ... 39

Gambar 3.9. Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Indonesia, 1997 – 2017... ... 41

Gambar 3.10. Penggunaan Kontrasepsi Modern dan Penggunaan Medote Jangka Panjang Menurut Kuintil Kekayaan tahun 2017 ... 42

Gambar 3.11. Kebutuhan Pelayanan KB yang Tidak Terpenuhi Tahun 2012 dan 2017 ... 43

Gambar 3.12. Kebutuhan Yang Tidak Terpenuhi Menurut Kelompok Umur... ... 44

Gambar 3.13. Penggunaan Kontrasepsi Menurut Jenis pada Perempuan Menikah Usia 40 - 44 Tahun ... 44

Gambar 3.14. Penggunaan Kontrasepsi Menurut Jenis pada Perempuan Menikah Usia 45 - 49 Tahun ... 45

Gambar 3.15. Penggunaan Metode Kontrasepsi Tradisional Menurut Provinsi Tahun 2017... ... 46

Gambar 3.16. Tren Tingkat Putus Pakai KB Tahun 2007 - 2017... ... 47

Gambar 3.17. Tren Angka Kematian Ibu di Indonesia dan Target SDGs... 50

Gambar 3.18. Angka Kematian Ibu Menurut Kelompok Umur... 51

Gambar 3.19. Kontinuum Pelayanan Kesehatan Reproduksi ... 54

Gambar 3.20. Rasio Ketersediaan Bidan di Desa... ... 54

(12)

12

Gambar 3.22. Fertilitas Remaja dan Persentase yang Pernah Melahirkan ... 58 Gambar 3.23. Indikator Kesehatan Anak Menurut Umur Ibu Pada Ulang Tahun Pertama... ... 59 Gambar 3.24. Tren Median Usia Menikah, 1991 - 2017... ... 60 Gambar 3.25. Median Usia Melahirkan Pertama Menurut Karakteristik Sosio-Demografi... ... 61 Gambar 3.26. Fertilitas Remaja dan Persentase yang Pernah Melahirkan ... 58

(13)

13

BAB I

PENDAHULUAN

BAB I - PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan tersebut dapat terwujud apabila proses pembangunan didukung oleh semua lapisan masyarakat, meliputi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.

Keberhasilan pembangunan keluarga, perempuan, anak, pemuda dan olahraga sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang berkualitas, berkesinambungan dan menyeluruh serta dukungan seluruh lapisan masyarakat. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan keluarga, perempuan, anak, pemuda dan olahraga perlu disusun dengan baik, yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan bidang-bidang yang lain.

Untuk menjaga kesinambungan dan keterkaitan pembangunan, maka perencanaan kebijakan disusun secara berkesinambungan berdasarkan tahapan-tahapan pembangunan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 1 ayat (3), bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan tahapan pembangunan lima tahunan yang bersifat sinergis dan disusun sesuai dengan visi-misi Presiden terpilih. Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 4 ayat (2), bahwa RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJPN, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga

(14)

14

dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Adapun untuk memperoleh dukungan semua lapisan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, maka penyusunan RPJMN dilakukan secara partisipatif melalui proses politik dan proses teknokratis. Secara teoritis, kebijakan pembangunan yang diformulasikan secara partisipatif akan memperoleh dukungan yang lebih besar dibanding kebijakan yang diformulasikan secara elitis apalagi otoritatif (Wibawa, 1994). Pada proses politik akan dilakukan melalui penyampaian visi, misi calon presiden, sedangkan pada proses teknokratis dilakukan melalui kajian yang melibatkan seluruh stakeholder pembangunan dengan memperhatikan atau mempertimbangkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN berjalan dan aspirasi masyarakat.

Saat ini, pelaksanaan RPJMN 2015 - 2019 telah memasuki tahun keempat. Untuk menjaga kesinambungan pembangunan lima tahunan, maka perlu disiapkan tahapan RPJMN 2020 - 2024. Persiapan tersebut tentunya perlu dilakukan secara utuh dan terintegrasi melalui suatu perencanaan teknokratis yang partisipatif dengan tetap mengacu pada proses politik yang demokratis. Untuk itu Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga akan melakukan background study pembangunan keluarga, perempuan, anak, pemuda dan olahraga dalam rangka penyusunan RPJMN 2020-2024, salah satunya Background Study bidang Keluarga Berencana.

Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil mengembangkan Program Keluarga Berencana (KB). Program KB di Indonesia mulai dikembangkan di akhir tahun 1960an untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat (Adioetomo, 2005). Pada saat program KB diperkenalkan Angka Fertilitas Total (TFR) di Indonesia adalah 5,6 anak per wanita usia subur (WUS). Dalam periode berikutnya, sejalan dengan meningkatkan penggunaan kontrasepsi, penerimaan atas nilai keluarga kecil serta meningkatnya usia perkawinan, terjadi penurunan dramatis dalam angka fertilitas. Data SDKI 2017 melaporkan TFR sebesar 2.4 anak per WUS. Bahkan TFR di beberapa provinsi seperti Jawa Timur, Jakarta dan Bali, telah mencapai replacement level sebesar 2.1 anak per WUS. (BKKBN, BPS, R.I., & USAID, 2018).

Namun, keberhasilan pengembangan program KB mengalami penurunan intensitas sejak pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di tahun 2000. Ini terlihat dengan adanya stagnasi dalam pencapaian berbagai indikator program KB di mana hampir

(15)

15

dari lebih dua dekade penggunaan kontrasepsi modern yang berada pada kisaran 57 persen. Indonesia tidak berhasil mencapai tujuan MDG 5b yang berhubungan dengan pencapaian program KB (Bappenas, 2010) serta tidak berhasil mencapai berbagai target nasional yang disepakati sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019 (Republik Indonesia, 2015a).

Program KB yang pada awalnya dilaksanakan dalam sistem sentralistis, mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya dalam konteks desentralisasi. Isu lain yang menjadi tantangan dalam program adalah berbagai faktor dari konteks lokal yang beragam, kapasitas petugas dan sistem kesehatan yang berbeda di berbagai daerah. Selama periode ini juga terjadi perubahan besar dalam metode KB yang digunakan dari metode jangka panjang IUD dan sterilisasi ke metode jangka pendek. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh preferensi petugas kesehatan dibandingkan dengan kebutuhan yang sebenarnya.

SDKI 2017 menunjukkan bahwa tren penggunaan kontrasepsi modern sedikit menurun dari 57.9 persen menjadi 57,2 persen. Meskipun penggunaan metode jangka panjang meningkat terutama karena peningkatan penggunaan implant. Metode modern yang paling banyak digunakan adalah suntikan (29 persen) dan pil (12 persen). Temuan yang paling menonjol adalah terjadinya peningkatan penggunaan metode tradisional menjadi 6,4 persen (BKKBN, BPS, R.I., et al., 2018) Pencapaian indikator ini perlu dianalisis secara mendalam untuk memahami implikasi lebih lanjut.

Penyusunan background study dengan topik KB dan Kesehatan Reproduksi ini akan

digunakan untuk menyusun rekomendasi lebih lanjut mengenai prioritas dan arah kebijakan yang akan dimuat di dalam RPJMN 2020 - 2024, yang merupakan tahap terakhir dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 - 2025 (Republik Indonesia, 2015a). Kegiatan ini dilaksanakan sesuai dengan tugas Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga yang tertuang dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 20 Tahun 2016 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan dilaksanakannya background study ini, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan RPJMN 2020-2024 sehingga pembangunan Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.

(16)

16 1.2. Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Kajian ini bertujuan untuk menyusun konsep sasaran, arah kebijakan, program dan kegiatan prioritas pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi sebagai bahan masukan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke empat (RPJMN IV) periode tahun 2020 - 2024.

1.2.2. Tujuan Khusus

a. Melakukan analisa situasi, meliputi identifikasi permasalahan, tantangan, hambatan, peluang, kekuatan, dan isu strategis bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

b. Melakukan analisa evaluasi kinerja pembangunan tahun 2015-2019 untuk mengetahui capaian pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

c. Melakukan analisa kebijakan, meliputi review kebijakan pembangunan lima tahun pada RPJMN 2015-2019 dan review peraturan perundang-undangan terkait pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

d. Melakukan benchmarking pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi. e. Melakukan perumusan sasaran dan arah kebijakan pembangunan bidang KB dan

Kesehatan Reproduksi.

f. Melakukan perumusan program dan kegiatan prioritas pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

1.3. Keluaran

Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu rumusan sasaran, arah kebijakan, program dan kegiatan prioritas pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi tahun 2024 yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penyusunan RPJMN 2020-2024 bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

Di samping itu, kajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan lainnya terutama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dalam

(17)

17

merumuskan sasaran, arah kebijakan dan strategi sebagai bahan penyusunan Rencana Strategis Kementerian dan Lembaga.

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan Kajian Background Study RPJMN 2020 - 2024 adalah:

a. Melaksanakan analisa situasi (kebijakan, program, pelaksanaan dan tantangan) dalam program pembangunan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi: 1) Identifikasi isu strategis berupa isu - isu yang belum dapat diselesaikan dalam

pelaksanaan RPJMN 2015 - 2019, isu - isu strategis RPJMN 2015 - 2019 yang masih relevan untuk dilanjutkan dalam RPJMN 2020 - 2024, serta isu-isu strategis baru yang akan dihadapi dalam RPJMN 2020 - 2024.

2) Identifikasi pencapaian pembangunan saat ini dan gambaran kondisi masing -masing isu pembangunan KB dan Kesehatan Reproduksi.

3) Identifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan KB dan Kesehatan Reproduksi.

b. Penyusunan Rancangan Sasaran Pembangunan KB dan Kesehatan Reproduksi Tahun 2020 – 2024.

c. Perumusan kerangka konsep program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi serta keterkaitannya dengan sektor terkait lainnya termasuk kesehatan, pendidikan dan pembangunan keluarga.

1.5. Sistematika Laporan

Dalam buku Kajian Background Study Penyusunan RPJMN 2020-2024 Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi ini akan disampaikan dengan sistematika berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan latar belakang, tujuan, keluaran, ruang lingkup, sistematika pelaporan dan jadwal pelaksanaan kegiatan Kajian Background Study RPJMN 2020 - 2024 Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

(18)

18 BAB II KERANGKA KERJA/METODOLOGI

Bagian ini menjelaskan kerangka teori, cakupan kerja dan metodologi yang digunakan dalam penyusunan kegiatan Kajian Background Study RPJMN 2020 - 2024 Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

BAB III ANALISA SITUASI

Bagian ini menjelaskan mengenai kondisi eksisting capaian pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi, upaya yang dilaksanakan dan best practices dan tantangan global di setiap isu pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi. BAB IV REKOMENDASI ARAH KEBIJAKAN

Bagian ini menjelaskan mengenai sasaran dan arah kebijakan, strategi pembangunan, indikator dan target pembangunan 2020 – 2024 di bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

BAB V MEKANISME PELAKSANAAN

Bagian ini memuat rancangan kerangka regulasi dan pendanaan serta kerangka kelembagaan yang diperlukan dalam penyusunan kegiatan Kajian Background Study RPJMN 2020-2024 Bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

BAB VI PENUTUP

Bagian ini memuat kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil kegiatan Focus Group Discussion maupun workshop di pusat maupun daerah, serta rekomendasi untuk penyusunan rancangan teknokratik RPJM 2020-2024 yang akan datang.

1.6. Jadwal Pelaksanaan

Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan terhitung bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2018 dengan tahapan sesuai dengan jadwal berikut:

Tabel 1.1

Waktu Pelaksanaan Kegiatan

No Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

(19)

19 No Kegiatan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2. Pembahasan dan penyempurnaan kerangka acuan kerja. X 3. Penyusunan agenda, identifikasi dan pemilihan narasumber serta tenaga ahli

X X X

4. Rapat/Diskusi Terfokus Bidang keluarga,

perempuan, anak, pemuda dan olahraga

X X X X X X

5. Studi pustaka dan Analisis Data

X X X X X X X X X

6. Workshop Tingkat Pusat X X X

7. Workshop di Daerah X X

8. Pembahasan hasil Workshop

X X X X X

9. Penyusunan Laporan Awal dan Tengah

X X

10. Seminar awal hasil kajian X

11. Seminar akhir hasil kajian X

12. Penyusunan dan Pembahasan Laporan Akhir

(20)

20

BAB II

KERANGKA KERJA/METODOLOGI

2.1 Kerangka Teori

Penyusunan Background Study KB dan Kesehatan Reproduksi memfokuskan pada program KB sebagai bagian penting dalam upaya pembangunan dan perencanaan keluarga disamping KB sebagai komponen penting dalam hak kesehatan kesehatan reproduksi masyarakat.

Gambar 2.1.

Kerangka Konsep Determinan Fertilitas

Dalam penulisan background study ini, mengadaptasi konsep proximate determinants of fertility untuk membatasi lingkup pembahasan. Konsep ini merupakan adaptasi dari model variabel antara yang disusun oleh Davis and Blake (Davis & Blake, 1956) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bongaarts (Bongaarts, 1978). Determinan langsung fertilitas mengacu kepada faktor biologis dan perilaku yang dipengaruhi oleh determinan tidak langsung yang mempengaruhi tingkat fertilitas. Karakteristik utama determinan langsung adalah kemampuannya untuk secara langsung untuk mempengaruhi fertilitas seperti penggunaan kontrasepsi, metode kontrasepsi yang digunakan serta efektivitas kontrasepsi. Determinan langsung ini dipengaruhi oleh oleh faktor sosio - ekonomi, budaya dan lingkungan yang mempengaruhi sikap seperti kapan perempuan mulai menjadi ibu dan besar keluarga ideal

(21)

21

yang diinginkan. Kerangka konsep ini dikombinasikan dengan konsep determinan sistemik oleh Mundigo (Mundingo, 2006) yang menjelaskan konteks dimana berbagai determinan tersebut saling mempengaruhi. Determinan sistemik mengacu kepada kondisi yang mempengaruhi berbagai determinan langsung maupun antara, seperti aspek legal dan kebijakan yang mengenai penggunaan kontrasepsi.

Faktor-faktor yang yang digambarkan dalam kerangka konsep ini dibahas dalam analisis situasi di bab selanjutnya. Pencapaian indikator yang menjadi sasaran RPJMN 2015-2019 dibandingkan dengan situasi terakhir berdasarkan data terakhir, dilanjutkan dengan tantangan dan isu strategis yang masih dan akan dihadapi di dalam RPJMN mendatang. Pembahasan juga memuat rekomendasi arah kebijakan dan program utama, serta usulan indikator dan target.

2.2. Metode Kajian

Metodologi yang digunakan dalam background study ini adalah deskriptif - analitis dengan dukungan review kebijakan perencanaan dan pelaksanaannya, diperkuat dengan pendalaman materi melalui serial diskusi dengan melibatkan pemangku kepentingan di bidang KB dan Kesehatan Reproduksi. Penyusunan background study dilakukan melalui berbagai proses pengumpulan data yang meliputi tinjauan dokumen, Focus Group Discussion FGD (Diskusi Kelompok Terarah) dan konsultasi individu dengan berbagai nara sumber.

2.2.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan dan penggalian informasi dilakukan melalui kajian literatur, diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) dan wawancara mendalam serta konsultasi dengan berbagai informan dan nara sumber lainnya:

1. Kajian literatur yang dilakukan meliputi berbagai dokumen resmi pemerintah, laporan hasil studi di tingkat global, nasional, maupun lokal, berbagai makalah akademik, pedoman dan publikasi lainnya yang diterbitkan oleh insititusi pemerintah, mitra pembangunan dan lembaga non pemerintah terkait program KB.

2. Focus Group Discussion (FGD). Secara keseluruhan tujuh FGD dilakukan di tingkat pusat dan daerah selama periode Juli hingga September 2018. Kegiatan FGD melibatkan berbagai pakar sebagai sebagai narasumber dan diikuti oleh

(22)

22

peserta dari kementerian dan lembaga pemerintahan, mitra pembangunan, akademisi, perwakilan lembaga non pemerintah serta mitra pembangunan lainnya terkait program KB. Tiga FGD dilakukan di tingkat pusat dan empat FGD dilakukan di provinsi DIY dan Kalimantan Tengah untuk menggali informasi mengenai berbagai aspek perencanaan dan pengelolaan program KB. Ketujuh FGD membahas berbagai topik umum seperti tantangan dan peluang dalam perkembangan program KB di Indonesia, maupun topik yang lebih khusus yaitu pemenuhan kebutuhan akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas (supply side), permintaan terhadap KB (demand side), kelembagaan KB dan kerjasama lintas sektor serta pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi remaja yang tidak terpenuhi. Tujuan umum dari pelaksanaan FGD adalah:

 Mendapatkan masukan mengenai analisis situasi terakhir pelaksanaan program KB dan Kesehatan Reproduksi serta tantangannya dalam lima tahun ke depan.

 Mengidentifikasi isu strategis untuk RPJMN 2020 - 2024 di bidang KB dan rekomendasi arah kebijakan, strategi dan program utama.

 Menyusun kerangka konsep pengembangan program KB dan Kesehatan Reproduksi serta keterkaitannya dengan sektor pembangunan lainnya. 3. Wawancara mendalam dengan beberapa narasumber utama di tingkat pusat

maupun di daerah dilakukan untuk menggali informasi lebih mendalam mengenai isu strategis, serta arah kebijakan dan program utama yang perlu menjadi fokus pembahasan dalam background study di bidang KB dan Kesehatan Reproduksi

2.2.2. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

Adapun tahapan pelaksanaan background study ini dapat dilihat pada diagram alir di Gambar 2.2. Berdasarkan alur gambar tersebut, tahap analisa situasi dilakukan untuk identifikasi tantangan, hambatan, peluang, kekuatan, dan isu strategis sehingga dapat dirumuskan permasalahan di bidang KB dan Kesehatan Reproduksi. Tahap review awal ini meliputi identifikasi capaian kinerja pembangunan tahun 2015-2019 yang dapat dijadikan acuan sebagai landasan awal dalam merumuskan kebijakan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi tahun 2020-2024. Selain itu

(23)

23

melakukan review kebijakan pembangunan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi, baik di pusat maupun di daerah.

Gambar 2.2.

Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

Tahap serial diskusi (roundtable discussion) dilakukan untuk mendalami isu strategis dan arah kebijakan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi ke depan dengan melibatkan pakar, praktisi dan pemangku kepentingan terkait, dengan memperhatikan acuan dokumen RPJMN 2004 - 2009, RPJMN 2010 - 2014, RPJMN 2015 - 2019 dan RPJPN 2005 - 2025. Diharapkan dari serial diskusi yang dilakukan dapat diperoleh informasi sebagai masukan perumusan kebijakan. Sementara tahap perumusan dilakukan dengan memperhatian hasil-hasil analisa situasi, review awal, dan serial diskusi. Hasil akhir dari tahap ini adalah dihasilkannya draft RPJMN 2020 - 2024 bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

Tahap diskusi dengan mitra dilakukan untuk proses pematangan, pemantapan, pengayaan, dan penajaman draft RPJMN 2020 - 2024 bidang KB dan Kesehatan Reproduksi dengan melibatkan stakeholders terkait. Hasil akhir dari tahapan ini adalah penyempurnaan draft RPJMN 2020 - 2024 bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

(24)

24

Gambar 2.3.

Kerangka Pikir RPJMN 2020 - 2024

2.3. Cakupan Kajian

Cakupan kajian pelaksanaan background study bidang KB dan Kesehatan Reproduksi terdiri dari rincian sebagai berikut:

1. Pengumpulan dan pengolahan basis data sebagai bahan untuk analisa situasi yang meliputi: permasalahan, tantangan, hambatan, peluang, kekuatan, dan isu strategis dalam pembangunan di bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

2. Evaluasi kinerja pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi tahun 2015 - 2019 sebagai landasan kondisi awal dalam penyusunan RPJMN 2020-2024.

3. Inventarisasi kebijakan pembangunan dan peraturan perundang - undangan yang terkait dengan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi, baik di pusat maupun di daerah.

4. Penulusuran bahan pustaka melalui buku dan web site sebagai bahan benchmarking kebijakan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi.

(25)

25

5. Diskusi dan workshop di tingkat pusat dengan melibatkan Kementerian/Lembaga, dan stakeholders terkait dalam rangka mengumpulkan data dan informasi terkait dengan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi tahun 2020 - 2024.

6. Koordinasi dengan daerah di 2 (dua) provinsi, yaitu: Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Kalimantan Tengah, dalam rangka menjaring aspirasi dari daerah terkait dengan pembangunan bidang KB dan Kesehatan Reproduksi tahun 2020 – 2024.

(26)

26

BAB III

ANALISA SITUASI

3.1. Pelaksanaan RPJMN 2015 – 2019

Upaya untuk mewujudkan keluarga kecil berkualitas dan penduduk tumbuh seimbang dilakukan melalui Program Keluarga Berencana (KB). Pelaksanaan Program KB telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 1,49 persen (SP 2010) menjadi 1,43 persen (Supas 2015) dan menurunkan angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) dari 2,60 (SDKI 2012) menjadi 2,40 (SDKI 2017). Capaian tersebut didukung oleh meningkatnya Prevalensi Pemakaian Kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) semua cara dari 61,90 persen (SDKI 2012) menjadi 63,60 persen (SDKI 2017), serta menurunnya persentase kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) dari 11,40 persen (SDKI 2012) menjadi 10,60 persen (SDKI 2017).

Meskipun CPR semua cara meningkat dan TFR menurun, CPR cara modern ternyata mengalami penurunan dari 57,9 persen (SDKI 2012) menjadi 57,2 persen (SDKI 2017). Hal ini mengindikasikan belum meratanya akses pelayanan KB yang efektif dan berkualitas. Pengetahuan dan pemahaman pasangan usia subur (PUS) tentang semua jenis metode kontrasepsi modern baru mencapai 17,2 persen (SKAP 2017), CPR cara modern masih didominasi oleh penggunaan metode kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil), persentase peserta KB aktif Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) baru mencapai 23,40 persen (SDKI 2017), dan tingkat putus pakai kontrasepsi masih cukup tinggi sebesar 22,30 persen (SDKI 2017). Tingginya tingkat putus pakai juga terlihat dari fluktuasi jumlah peserta KB aktif setiap tahunnya yang berkisar antara 35 - 36 juta dan tidak mengalami peningkatan. Data sampai dengan April 2018 menunjukkan bahwa jumlah peserta KB aktif baru mencapai 34,71 juta, menurun dari tahun 2017 yang sudah mencapai 35,82 juta, sementara jumlah peserta KB baru juga baru mencapai 1,94 juta (Statistik Rutin, BKKBN). Lebih lanjut, pemahaman remaja dan calon pengantin mengenai kesehatan reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga merupakan hal sangat penting dalam upaya mengendalikan jumlah kelahiran dan menurunkan resiko kematian ibu melahirkan. Berdasarkan data SDKI, Age Specific Fertility Rate (ASFR)/Angka Kelahiran Menurut Kelompok Umur 15 - 19 telah mencapai 36 kelahiran, menurun dari 2012 sebesar 48 kelahiran dan median usia kawin pertama perempuan telah mencapai angka 21,8 (SDKI, 2017). Namun demikian, terdapat

(27)

27

indikasi peningkatan perilaku beresiko pada remaja seperti seks bebas dan penggunaan kontrasepsi darurat, serta penggunaan napza dan psikotropika.

Sementara berdasarkan kajian dan analisis terhadap kebijakan saat ini, Pasal 71 UU Kesehatan no 36 Tahun 2009 (Republik Indonesia, 2009a) mendefiniskan Kesehatan Reproduksi sebagai keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki- laki dan perempuan. Kesehatan reproduksi meliputi periode sebelum kehamilan, saat hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan. Selain itu juga meliputi aspek pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan kesehatan sistem reproduksi. Upaya kesehatan reproduksi yang disebutkan dalam undang-undang ini meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dan ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Selanjutnya pasal 73 menyebutkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana yang dimaksud disini bertujuan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur sehingga membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.

Program kesehatan remaja merupakan salah satu kelompok yang cenderung terabaikan dalam berbagai program kesehatan. UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 136 menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi. Upaya pemeliharaan kesehatan remaja juga meliputi reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat. Disebutkan pula bahwa pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja sehingga remaja mampu hidup sehat dan bertanggung jawab. Namun demikian ditemukan beberapa ketidak-konsistenan dalam berbagai peraturan perundangan yang tidak melindungi kelompok anak dan remaja. Undang - Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia nikah untuk laki-laki adalah 19 tahun dan 16 tahun untuk perempuan. Sementara Undang - Undang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak menetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Undang - Undang Perkawinan juga bertentangan dengan berbagai ketentuan internasional mengenai penghapusan perkawinan anak yang menyatakan bahwa perkawinan anak dan kehamilan usia

(28)

28

dini merupakan praktik yang merugikan dan membahayakan perempuan dari segi medis maupun psikis.

Secara hukum, remaja yang belum menikah juga memiliki keterbatasan dalam mengakses pelayanan keluarga berencana karena bukan menjadi bagian dari sasaran program pelayanan keluarga berencana nasional seperti disebutkan di dalam UU Nomor 52 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pasal 21 di mana program KB hanya ditujukan kepada calon atau pasangan suami isteri. Realita yang ada menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan remaja yang belum menikah namun aktif secara seksual serta terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan sekelompok perempuan mengakses pelayanan aborsi tidak aman yang dapat membahayakan jiwanya.

Undang - Undang yang secara khusus memuat penjelasan pengenai keluarga berencana adalah Undang - Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengenai Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana dan mengatur hak dan kewajiban dalam program keluarga berencana. Pada tahun 2014, Undang - Undang Nomor 23 tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah disahkan. Undang - Undang tentang Pemerintah Daerah ini mengatur penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam kaitannya dengan program KB, Undang-Undang ini menetapkan kewenangan dalam pelaksanaan program KB di daerah. Di dalam Undang - Undang disebutkan bahwa kesehatan merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, sementara keluarga berencana merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Dengan status sebagai urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, bentuk institusi yang bertanggung jawab terhadap program KB menjadi beragam dan tergantung oleh kebijakan daerah. Pada umumnya kewenangan pengelolaan program KB bergabung dengan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak walaupun di beberapa daerah dapat bergabung dengan berbagai program lainnya. Implikasinya di antaranya berdampak kepada pendanaan program KB yang kecil dan kurang menjadi prioritas pemerintah daerah. Ini juga menyebabkan terbatasnya dana program KB untuk berbagai kegiatan seperti untuk peningkatan permintaan masyarakat dan peningkatan kualitas layanan KB. Di beberapa provinsi terbentuk Badan Keluarga Berencana dan Pelindungan Perempuan di tingkat provinsi, sehingga terdapat semacam dualisme program KB di tingkat ini. Meskipun setiap institusi memiliki peran yang

(29)

29

berbeda, namun pada kenyataannya keberadaan kedua instansi di tingkat provinsi ini cukup membingungkan bagi para pemangku kepentingan daerah karena kurangnya koordinasi. Badan KB dan PP provinsi yang merupakan bagian dari pemerintah provinsi ini juga dirasakan kurang terpapar dengan kebijakan KB pusat.

Pada tahun 2014 pemerintah menetapkan Undang - Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan memperkuat fungsi legal serta kewenangan dan tanggungjawab desa dengan peningkatan transfer fiskal ke desa untuk pemenuhan kebutuhan administrasi, pembangunan desa serta pemberdayaan masyarakat. Undang - Undang ini membangun kerangka institusional yang baru untuk pengembangan masyarakat di Indonesia. Disahkannya Undang - Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat memberikan peluang untuk pengembangan program KB(Republik Indonesia, 2015b).

Rencana strategis BKKBN tahun 2015 - 2019 menekankan arah kebijakan yang terfokus untuk merevitalisasi program KB melalui pembinaan dan peningkatan kemandirian KB, promosi dan penggerakan masyarakat yang didukung dengan pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk, peningkatan pemanfaatan sistem informasi manajemen berbasis teknologi, pelatihan dan pengembangan serta peningkatan kualitas manajemen program. Bersamaan dengan itu, untuk meningkatkan pelayanan program KB, Kementerian Kesehatan RI mengembangkan Rencana Aksi Nasional Pelayanan KB dengan strategi utama yaitu penguatan komitmen pemangku kepentingan, peningkatan ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas pelayanan KB termasuk KIE dan konseling, peningkatan permintaan melalui perubahan nilai tentang jumlah anak ideal, penurunan unmet need melalui peningkatan akses, konseling dan penguatan KB pasca salin serta penurunan ketidak-berlangsungan penggunaan kontrasepsi melalui metode kontrasepsi jangka panjang. Meskipun kebijakan dan pedoman mengenai program KB tersedia, namun dalam pelaksanaannya berbagai tantangan ditemukan dalam penyelenggaraan program KB di Indonesia.

3.2. Permasalahan Mendasar

Sub bab ini membahas analisa situasi serta permasalahan mendasar dan capaian program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Program Keluarga Berencana pada awalnya diperkenalkan di Indonesia sebagai upaya penurunan fertilitas dan pengendalian penduduk mengingat laju pertumbuhan penduduk yang pesat namun kualitasnya yang rendah (Hull, 2007). Sejak pelaksanaan International Conference on Population and Development

(30)

30

(ICPD) di Kairo tahun 1994, diperkenalkan konsep kependudukan dan pembangunan, dimana terjadi pergeseran fokus kebijakan kependudukan tidak hanya melihat jumlah tetapi lebih menekankan kepada meningkatkan kehidupan individu dan menghormati hak asasi mereka. Pada konferensi ini disepakati rencana aksi yang menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi adalah bagian dari hak hak asasi setiap individu, dan dicapai konsensus untuk menyediakan akses universal pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana (UNFPA, 1994).

Dua puluh lima tahun setelah pelaksanaan ICPD, telah banyak pencapaian yang dicapai khususnya yang terkait dengan akses ke pendidikan khususnya bagi remaja perempuan, penurunan angka kematian balita dan bayi. Namun berbagai agenda belum terpenuhi, terutama yang berkaitan dengan kematian ibu dan akses universal pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB. Kesehatan maternal dan KB terus menjadi permasalahan mendasar di Indonesia. Berbagai program yang dilakukan tidak berhasil mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional maupun komitmen global yang disebutkan dalam MDG. Angka Kematian Ibu terakhir adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015) jauh di atas tujuan MDG 2015 untuk menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2015) dan tujuan SDGs 3.1 untuk menurunkan AKI menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Program juga KB terkait dengan indicator SDG 3.7 untuk memastikan akses universal ke pelayanan kesehatan reproduksi serta indicator 5.6 yang terfokus kepada pemenuhan hak reproduksi seperti yang disepakati di dalam program aksi ICPD dan Beijing platform.

Program Keluarga Berencana sangat erat hubungannya dengan status kesehatan kesehatan perempuan. Oleh karena itu program KB memiliki dimensi kependudukan dan dimensi kesehatan. Dari aspek kependudukan, kebutuhan untuk mengendalikan jumlah penduduk merupakan keprihatinan yang menjadi dasar pelaksanaan program keluarga berencana di awal perkembangannya (Hull, 2007). Sedangkan dari aspek kesehatan, program keluarga berencana merupakan komponen penting dari kesehatan reproduksi.

Penggunaan kontrasepsi diketahui berkontribusi dalam menurunkan beban kematian ibu dan bayi baru lahir. Studi menunjukkan bahwa bahwa status kesehatan ibu dan bayi lahir terpengaruh secara negatif jika kehamilan terlalu banyak, terjadi pada usia yang terlalu muda atau terlalu tua dan jarak kehamilan terlalu dekat. Faktor ini dikenal sebagai faktor risiko, “empat terlalu” (Choolani & Ratnam, 1995). Faktor risiko ini dapat dimodifikasi dengan penggunaan kontrasepsi (Ian, 2017; Upadhyay & Robey, 1999). Penggunaan kontrasepsi juga dapat berdampak menurunkan tingkat kematian ibu dan bayi paru lahir dengan mencegah

(31)

31

terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan dapat menyebabkan perempuan yang tidak menginginkan kehamilannya mencari pelayanan aborsi yang seringkali dilakukan secara tidak aman yang dapat menyebabkan kematian atau kesakitan ibu (WHO, 2003).

Background study ini akan membahas kedua aspek program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, baik dari aspek kependudukan dan pembangunan keluarga, maupun dari aspek peran keluarga berencana dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi.

3.2.1. Penggunaan Kontrasepsi dan Tingkat Fertilitas

Gambar 3.1 menunjukkan tren Angka Fertilitas Total dan pemakaian kontrasepsi di program Keluarga Berencana yang mulai dikembangkan di Indonesia di awal tahun 1970an hingga saat ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terjadi stagnasi pada tingkat fertilitas total (Total Fertility Rate/TFR) sejak tahun 2000 yang diperkirakan merupakan dampak dari diterapkannya kebijakan otomoni daerah. Stagnasi pada TFR ini sejalan dengan perlambatan intensitas pengembangan program KB yang ditandai dengan stagnasi pada tingkat penggunaan kontrasepsi.

Gambar 3.1.

Tren TFR dan pemakaian kontrasepsi di Indonesia, tahun 1967 - 2017

Sumber: Sensus Penduduk tahun 1980, 2000; SDKI 1991, 1994, 1997, 1997, 2002/3, 2007, 2012, 2018

(32)

32

Tabel 3.1 menunjukkan target RPJMN 2015 - 2019 dan pencapaiannya hingga tahun 2017 (Republik Indonesia, 2015a). Secara umum data terakhir di tahun 2017 menunjukkan bahwa sebagian besar sasaran RPJMN 2015 - 2019 belum dapat dicapai, kecuali untuk fertilitas remaja usia 15 - 19 tahun, peningkatan median usia kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi jangka panjang. Bahkan tingkat putus pakai pemakaian kontrasepsi menunjukkan terjadinya peningkatan yang mengindikasikan berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan KB.

Tabel 3.1.

Sasaran Pembangunan Kependudukan dan KB dalam RPJMN 2015 - 2019

No Indikator Status Awal Target

2019

Angka Capaian Terakhir Sasaran pembangunan kependudukan dan keluarga berencana 1 Laju Pertumbuhan

Penduduk

1.49 1.19 1.061

2 Angka Kelahiran total 2,6 2,3 2.42

3 Angka penggunaan kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) semua cara 61,9 66,0 63,62

4 Tingkat putus pakai kontrasepsi 27,1 24,6 34.02 5 Penggunaan kontrasepsi jangka panjang (persen) 18,3 23,5 23,42 6 Kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet needs)

11,4 9,9 10,62

7 Angka kelahiran pada remaja usia 15 - 19

(33)

33

No Indikator Status Awal Target

2019

Angka Capaian Terakhir Sasaran pembangunan kependudukan dan keluarga berencana

tahun (per 1000

perempuan usia 15 - 19 tahun)

8 Median usia kawin pertama 21 20,1 21,82 9 Pengetahuan PUS mengenai metode kontrasepsi modern minimal 4 jenis 78,8 85 95,93

Sumber: 1Proyeksi Penduduk Indonesia 2015 - 2045; 2SDKI 2017, 3SKAP 2018

Penurunan TFR yang terjadi dalam lima tahun terakhir tidak disertai dengan peningkatan metode kontrasepsi modern, bahkan terjadi sedikit penurunan prevalensi dari 57.9 persen di tahun 2012 menjadi 57.2 persen di tahun 2017. Beberapa pakar berpendapat bahwa tingkat penggunaan KB yang tinggi di Indonesia telah mencapai hard core dimana untuk meningkat pemakaian diperlukan upaya yang lebih keras dengan metode penggarapan yang efektif. Di pihak lain terjadi peningkatan penggunaan metode tradisional menjadi 6 persen, (Gambar 3.1) yang merupakan tingkat yang tertinggi selama ini. Angka penggunaan metode tradisional ini dilaporkan lebih tinggi di daerah perkotaan sebesar 8 persen dibandingkan dengan daerah perdesaan sebesar 4,9 persen. Disparitas penggunaan metode tradisional antar provinsi cukup tinggi, berkisar dari 1,5 persen di NTB hingga 18,6 persen di DIY.

3.2.2. Disparitas Dalam Tingkat Fertilitas dan Penggunaan Kontrasepsi

Pada dua dekade terakhir terjadi penurunan angka kelahiran pada kelompok usia 15 - 19 tahun dan 20 - 24 tahun (Gambar 3.2), khususnya pada lima tahun terakhir. Puncak kelahiran bergeser pada kelompok 25 - 29 tahun. Sejalan dengan peningkatan tingkat pendidikan perempuan, terjadinya peningkatan usia perkawinan yang

(34)

34

berkontribusi kepada penurunan fertilitas remaja. Median usia pernikahan perempuan di daerah perkotaan adalah 23 tahun sedangkan di perdesaan 21 tahun (BKKBN, BPS, Kemenkes R.I., & USAID, 2018).

Gambar 3.2.

Tren Angka Kelahiran Menurut Kelompok Umur, 1997 - 2017

Sumber: SDKI 2017

Gambar 3.3 menunjukkan tingkat fertilitas menurut provinsi pada tahun 2012 dan 2017. Sebagian besar provinsi mengalami penurunan tingkat fertilitas kecuali provinsi NTT, Maluku, Bengkulu dan DIY. Provinsi Jawa Timur dan Bali telah mencapai replacement fertility1 sebesar 2,1 anak per WUS. Sementara itu, provinsi di wilayah timur Indonesia seperti NTT, Maluku, Papua dan Papua Barat tetap memiliki TFR di atas 3 anak per perempuan usia subur.

1 Replacement fertility adalah tingkat Fertilitas yang dibutuhkan untuk menpertahankan jumlah populasi tetap

sama antar generasi 36 111 138 103 63 20 4 0 20 40 60 80 100 120 140 160 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 1997 2002 2007 2012 2017

(35)

35 Gambar 3.3.

Tingkat Fertilitas Menurut Provinsi Tahun 2012 dan 2017

Sumber: SDKI 2012 dan SDKI 2017

Kesenjangan antar provinsi dan antar kabupaten/kota cukup tinggi. TFR di provinsi di wilayah Timur Indonesia serta sebagian di Sumatera lebih besar daripada TFR Indonesia. Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat mengalami tingkat penurunan TFR yang cukup signifikan. TFR di NTT dan Maluku mengalami kenaikan menurut data SDKI 2017 menjadi masing - masing 3,4 dan 3,3 anak per WUS. TFR di kedua provinsi itu selalu lebih tinggi di atas rata - rata nasional.

Gambar 3.4.

Sebaran Angka Fertilitas Total Menurut Provinsi tahun 2013 dan 2017

(36)

36

Peta pada Gambar 3.4 di atas menunjukkan sebaran Angka Fertilitas Total menurut provinsi. Peta ini menunjukkan bahwa secara umum terjadi penurunan Fertilitas di sebagaian besar wilayah Indonesia, namun demikian Angka Fertilitas Total di wilayah timur Indonesia tetap tinggi pada kisaran lebih dari 3.

Gambar 3.5.

Tren Fertilitas Total dan Fertilitas yang Diinginkan, 1991-2017

Sumber : SDKI 1997, 2002, 2007, 2012,2017

Gambar 3.5 menunjukkan tren tingkat Fertilitas sebenarnya dibandingkan dengan fertilitas yang diinginkan (Total Wanted Fertility Rate/TWFR). Angka Fertilitas yang diinginkan mencerminkan angka fertilitas yang terjadi jika semua kelahiran yang tidak diharapkan dapat dicegah. Angka fertilitas yang diinginkan konsisten lebih rendah dari angka kelahiran yang sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa norma untuk memiliki jumlah anak yang lebih kecil sudah terbentuk, namun tidak terealisasi karena berbagai alasan. Perlu diperhatikan pula bahwa hasil SDKI 2017 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkatan jumlah anak yang diinginkan menjadi 2,1 (BKKBN, BPS, Kemenkes R.I., et al., 2018).

Meskipun terjadi peningkatan total penggunaan kontrasepsi dari 61,9 persen menjadi 63,6 persen, tetapi tingkat penggunaan kontrasepsi modern mengalami penurunan sebesar 0,7 persen menjadi 57,2 persen. Secara umum terjadi penurunan kontrasepsi modern di 21 dari 34 provinsi. Disparitas penggunaan kontrasepsi modern antar provinsi juga cukup besar. Penggunaan kontrasepsi modern tertinggi ditemukan di

2,5 2,4 2,4 2,2 2,2 2,0 2,1 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,6 0,3

SDKI 1991 SDKI 1994 SDKI 1997 SDKI 2002 SDKI 2007 SDKI 2012 SDKI 2017

Kesenjangan Fertilitas sebenarnya Fertilitas yang diinginkan 3 2,9 2,8 2,6 2,6 2,6 2,4

(37)

37

Kalimantan Tengah (69,4 persen) sedangkan terendah di Papua (35,9 persen) (Gambar 3.6).

Gambar 3.6.

Penggunaan Kontrasepsi Modern Menurut Provinsi Tahun 2012 dan 2017

Sumber: SDKI 2012 dan 2017

Gambar 3.7 menunjukkan pemakaian kontrasepsi modern dan tradisional menurut tingkat kuintil kekayaan berdasarkan data SDKI 2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes R.I., & International, 2013) dan 2017 (BKKBN, BPS, Kemenkes R.I., et al., 2018). Dapat dilihat di gambar ini bahwa peningkatan persentase penggunaan metode kontrasepsi modern hanya terjadi di kelompok dengan kuintil pendapatan terbawah (Q1), dikelompok lainnya tidak terjadi peningkatan, bahkan terjadi penurunan penggunaan metode kontrasepsi modern di kelompok kuintil kekayaan 3, 4 dan 5. Pada kuintil pendapatan teratas (Q5) terjadi peningkatan penggunaan kontrasepsi tradisional hingga hampir mencapai 10 persen. Peningkatan penggunaan kontrasepsi tradisional pada lima tahun terakhir perlu lebih dicermati. Tingkat penggunaan metode kontrasepsi modern terendah ditemukan ditemukan di kelompok dengan kuntil kekayaan tertinggi.

69,4 35,9 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 Kalim an ta n … Be n gku lu Jamb i Ban gka Be litu n g Su law es i Uta ra G o ro n ta lo Jawa Te n gah Kalim an ta n t im u r Ban ten NTB DK I J ak ar ta Ma lu ku Uta ra Su law es i Bar at Su law es i T e n ggara Ke p u lau an Ria u N TT Pa p u a B ar at 2012 2017

(38)

38

Gambar 3.7.

Penggunaan Kontrasepsi Modern dan Tradisional Menurut Kuintil Kekayaan Tahun 2012 dan 2017

Sumber: SDKI 2012 dan 2017

3.2.3. Jenis Metode Kontrasepsi yang Digunakan

Dalam dua dekade terakhir, terjadi pergeseran metode kontrasepsi yang digunakan di Indonesia. Metode jangka pendek berangsur menjadi pilihan utama pengguna KB di Indonesia. Data tahun 2017, menunjukkan bahwa hampir semua provinsi mengalami pergeseran penggunaan ke arah metode suntik. Angka nasional juga menunjukkan metode KB yang paling banyak digunakan adalah suntik (29,9 persen) yang diikuti oleh oleh pil (12 persen), AKDR dan implant masing - masing sebesar 4,7 persen. Namun demikian terlepas dari kondisi terjadi, data terakhir menunjukkan untuk pertama kalinya sejak tahun 1997, terjadi peningkatan cakupan kepesertaaan KB untuk metode jangka panjang (MKJP). Peningkatan dalam penggunaan MKJP terbesar terjadi pada peningkatan penggunaan implant. Studi yang dilakukan oleh Weaver dkk. (2013) melaporkan bahwa meningkatnya keberadaan tenaga kesehatan khususnya bidan melalui program bidan di desa berkontribusi pada penyediaan kontrasepsi suntik dan meskipun program tersebut tidak berkontribusi kepada peningkatan penggunaan kontrasepsi namun diketahui juga bahwa keberadaan bidan memfasilitasi pergeseran dari penggunaan kontrasepsi oral ke metode suntik (Weaver et al., 2013). 53,0 56,3 61,4 61,4 60,2 59,6 58,7 56,3 55,4 52,3 3,2 4,4 2,9 4,8 3,6 5,9 4,3 6,8 5,9 9,8 0 10 20 30 40 50 60 70 2012 2017 2012 2017 2012 2017 2012 2017 2012 2017 modern trad Q1 Q2 Q3 Q4 Q5

(39)

39

Selain itu, ada kecenderungan tenaga kesehatan mengarahkan perempuan untuk menggunakan metode suntik saja karena karena berbagai alasan, termasuk keuntungan finansial, kurangnya promosi dan dukungan metode jangka panjang bahkan bagi mereka yang sudah tidak menginginkan anak lagi serta kurangnya ketersediaan atau akses ke pemilihan metode lainnya (Hull & Mosley, 2009). Penggunaan kontrasepsi hormonal, baik itu pil maupun suntik, menjadi keprihatinan dalam pengelolaan program KB karena kemungkinan kegagalan kontrasepsi yang lebih tinggi. Perempuan yang tidak menginginkan anak lagilebih sesuai menggunakan kontrasepsi jangka panjang (Hull & Mosley, 2009).

Analisis mengenai penggunaan metode kontrasepsi modern yang sesuai usia ibu dan jumlah anak hidup merupakan indikator penting capaian program Keluarga Berencana. Kebutuhan perempuan terhadap metode kontrasepsi yang sesuai tergantung atas usia, jumlah paritasnya serta jenis kebutuhan berKB, apakah untuk memperpanjang jarak antar kelahiran (spacing) atau untuk membatasi jumlah anak (limiting).

Gambar 3.8.

Jenis Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia 1997 - 2017

Sumber: SDKI 1997, 2002/03, 2007, 2012, 2017

Gambar 3.8 menunjukkan jenis penggunaan kontrasepsi di Indonesia dari tahun 1997 hingga 2017. Adanya kecenderungan penggunaan metode jangka pendek, khususnya metode suntik, mengindikasikan rendahnya pengetahuan akseptor terkait metode lain

8,1 6,2 4,9 3,9 4,7 6,0 4,3 2,8 3,3 4,7 21,1 27,8 31,8 31,9 29,0 15,4 13,2 13,2 13,6 12,1 2,7 3,7 4,0 4,0 6,4 0 10 20 30 40 50 60 70

IDHS 1997 IDHS 2002 IDHS 2007 IDHS 2012 IDHS 2017

(40)

40

yang lebih tepat guna. Adanya kecenderungan penggunaan kontrasepsi hormonal, baik itu pil maupun suntik, menjadi salah satu keprihatinan karena kemungkinan kegagalan kontrasepsi yang lebih tinggi dan untuk sebagian besar perempuan yang tidak menginginkan anak lagi lebih sesuai menggunakan metode jangka panjang (Hull & Mosley, 2009).

Gambar 3.8 memperlihatkan bahwa meskipun angka penggunaan kontrasepsi pada pria telah mengalami peningkatan dari 1,6 persen (SDKI 1997) menjadi 2,7 persen (SDKI 2017), namun prevalensinya selalu lebih rendah daripada metode tradisional. Angka prevalensi metode operasi pria (MOP) periode 1997 - 2017 konstan sebesar 0.2 persen. Padahal biaya MOP lebih murah serta waktu yang dibutuhkan lebih sedikit daripada MOW. Kondom sedikit mengalami kenaikan dari 1,3 persen (1997) menjadi 2,5 persen (2017). Kondom tidak hanya berfungsi sebagai kontrasepsi namun dapat melindungi dari penyebaran penyakit infeksi menular seksual (IMS).

Penggunaan kontrasepsi pria pernah menjadi salah satu sasaran dalam RPJMN hingga tahun 2000 - 2004, namun setelah itu tidak menjadi sasaran dalam pembangunan KB. Rendahnya perhatian yang diberikan kepada penggunaan metode pria ini menggambarkan keterbatasan pengetahuan, serta aspek kesetaraan gender. Metode jangka panjang memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode jangka pendek. Tabel 3.2 menunjukkan median angka kegagalan kontrasepsi dalam setahun pertama penggunaan suatu metode kontrasepsi tertentu, bersadarkan studi yang dilakukan oleh Guttmacher institute (Polis et al., 2016) yang menggunakan hasil survei demografi dan kesehatan dari 43 negara, termasuk Indonesia.

Tabel 3.2.

Median Kegagalan Kontrasepsi Menurut Metode

Metode Median Kegagalan Kontrasepsi* (95% CI) pada 12 bulan pertama pemakaian metode tertentu

Implant 0,6 (0,0-2,4)

IUD 1,4 (0,0-2,4)

Suntik 1,7 (0,6-2,9)

Pil 5,5 (3,5-7,3)

(41)

41

Metode Median Kegagalan Kontrasepsi* (95% CI) pada 12 bulan pertama pemakaian metode tertentu Senggama terputus 13,4 (9,1-17,1) Pantang berkala 13,9 (9,2-19,3)

*jumlah kasus kegagalan kontrasepsi per 100 Sumber: (Polis et al., 2016)

Kegagalan kontrasepsi diukur sebagai median menurut jumlah kejadian per 100 pengguna kontrasepsi. Median kegagalan kontrasepsi ditemukan terendah pada pengguna kontrasepsi jangka panjang seperti implan dan IUD. Perbedaan antara suntik dan implant tidak besar. Kegagalan kontrasepsi ditemukan lebih tinggi di antara pengguna kontrasepsi jangka pendek, dan tertinggi pada pengguna kontrasepsi tradisional.

Gambar 3.1.

Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Indonesia, 1997 – 2017

Sumber : SDKI 1997, 2002, 2007, 2012,2017

Gambar 3.9 menunjukkan tren proporsi penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang dibandingkan dengan penggunaan kontrasepsi modern. Terlihat bahwa terjadi

57,4 60,3 61,4 61,9 63,6 54,7 56,7 57,4 57,9 57,2 32,0 25,7 19,0 18,3 23,4 0 10 20 30 40 50 60 70 1997 2002 2007 2012 2017 CPR Modern CPR %MKJP

Gambar

Gambar  3.1  menunjukkan  tren  Angka  Fertilitas  Total  dan  pemakaian  kontrasepsi di program Keluarga Berencana yang mulai dikembangkan di Indonesia di  awal  tahun  1970an  hingga  saat  ini
Tabel  3.1  menunjukkan  target  RPJMN  2015  -  2019  dan  pencapaiannya  hingga  tahun  2017  (Republik  Indonesia,  2015a)
Gambar  3.8  memperlihatkan  bahwa  meskipun  angka  penggunaan  kontrasepsi  pada pria telah mengalami peningkatan dari 1,6 persen (SDKI 1997) menjadi 2,7 persen  (SDKI  2017),  namun  prevalensinya  selalu  lebih  rendah  daripada  metode  tradisional
Gambar 3.9  menunjukkan tren proporsi penggunaan  metode kontrasepsi jangka  panjang dibandingkan dengan penggunaan kontrasepsi  modern
+4

Referensi

Dokumen terkait

Lebih lanjut Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam munasnya pada tahun 1983 tentang kependudukan, kesehatan dan keluarga berencana memutuskan bahwa ber-KB tidaklah

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya banggakan, Dalam kesempatan ini pula, BKKBN akan melakukan Peresmian Sertifikasi Penyuluh Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan

TANTANGAN & MASALAH KESEHATAN MASYARAKAT ARAH DAN KEBIJAKAN RPJMN 2020-2024 PENINGKATAN KESEHATAN IBU, ANAK, KELUARGA BERENCANA (KB) DAN KESEHATAN REPRODUKSI

Pelaksanaan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) selama ini belum berjalan optimal baik dalam aspek garapan Pendewasaan Usia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Pelaksanaan Program Pembangunan Keluarga Kependudukan dan Keluarga Berencana Kota Samarinda menunjukkan bahwa program BANGGA KENCANA ini

Oleh karena itu, sasaran utama pembangunan urusan keluarga berencana dan keluarga sejahtera adalah terkendalinya angka kelahiran melalui peningkatan peserta KB

APLIKASI PEMBANGUNAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA PADA BALAI PENYULUHAN KB KECAMATAN MANDASTANA BERBASIS WEBSITE Yuliyanti1, Dian Agustini2, Erfan Karyadiputra3 1 Teknik informatika,