• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. DOA BERSAMA SEBAGAI SARANA PEMBINAAN IMAN

D. Kebutuhan Rohani Anak

Melahirkan anak-anak itu tidaklah sulit. Memberikan kebutuhan jasmani, seperti tempat tinggal, makan, minum, kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari untuk sekolah, bermain, dan belajar memang sudah menjadi kewajiban orang tua untuk merawat anak-anaknya dengan memberikan kehidupan yang layak. Namun, banyak pula dari keluarga-keluarga terlalu berfokus pada hal moril saja. Sehingga anak-anak kurang mendapat pendidikan rohani. Karena dengan gizi yang cukuppun, tidak menjamin kebutuhan rohani anak akan terpenuhi. Yang baik itu bukan materi, dan kepusan psikis, melainkan juga iman, harapan, dan kasih. Kebutuhan rohani anak mutlak harus diberikan kepada anak untuk perkembangan imannya. Anak-anak harus dibimbing demi perkembangan imannya.

Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga (Mat 19:14).

Dalam kutipan tersebut jelas bahwa anak-anak sangat tertarik dengan Yesus. Anak-anak memiliki tempat istimewa dalam hati Allah. Di sini, orang dewasa mempunyai tanggungjawab yang besar untuk memelihara serta memperhatikan pertumbuhan anak-anak Allah. Pertama, adanya suatu perintah yang positif untuk menyambut anak-anak dalam nama-Nya. Kedua, adanya suatu peringatan yang negatif agar jangan menyesatkan mereka sehingga menyebabkan mereka jatuh ke dalam dosa.

Kebutuhan rohani anak ini pertama-tama tentunya haruslah dipenuhi oleh kedua orang tua dan keluarga. Karena itulah orang tua harus memberikan teladan kepada anak-anaknya dengan memberikan contoh yang baik. Jika orang tua

menginginkan anaknya menjadi orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus memberikan teladan kerajinan, keramahan, kesalehan. Orang tua yang menginginkan anaknya menghargai sesama haruslah terlebih dahulu membuktikan bahwa mereka berdua saling menghargai dan juga menghargai anak-anaknya.

Dalam keluarga yang sehat, sebagai pemberi teladan bagi anak-anaknya, orang tua bukanlah orang-orang yang sempurna. Karena itu orang tua tidak perlu berpura-pura dapat hidup sempurna. Mereka sebaiknya bersedia mengakui kesalahan, tidak malu meminta maaf bila berbuat salah dan tidak enggan memberikan maaf kepada anak-anak mereka. Dengan memberikan kesempatan yang bagus bagi anak-anak untuk melihat kerendahan hati mereka (Komisi Pendampingan Keluarga KAS. 2006:8).

1. Kedisiplinan

Salah satu penghasil keberhasilan adalah kedispilan. Orang yang hidup dengan disiplin lebih berpeluang meraik keberhasilan daripada orang yang hanya hidup seenaknya. Kedisplinan itu merupakan hasil dari berbagai latihan yang dilakukan secara teratur dan dalam waktu yang lama. Sayangnya banyak orang tua mungkin karena rasa sayangnya tidak menumbuhkan kedisiplinan pada anak-anak mereka. Akibatnya anak-anak itu hidup tidak teratur dan sulit mencapai keberhasilan. Disiplin pada hakekatnya tidak berupa hukuman, tapi untuk koreksi dan latihan membimbing ke tindakan masa depan. Dengan demikian untuk mengarahkan kepada tujuan yang sebenarnya, disiplin harus lebih kompleks dan lebih luas daripada hukuman saja. Dalam usaha menanamkan disiplin pada anak,

satu hal sangat menentukan. Orang tua harus dapat membedakan antara keinginan dan perbuatan. Dalam hal perbuatan, orang tua turun tangan dan membatasi bila itu diperlukan. Tetapi jika dalam hal keinginan dan harapan-harapan, orang tua memberi kebebasan yang tentunya harus bertanggung jawab. Penanaman disiplin ini untuk mengatur perilaku anak, agar menjadi anak yang baik (Alex Sobur. 1985:43).

2. Pendampingan

Yang dibutuhkan oleh anak-anak bukanlah sekedar pedoman, nasehat dan pengarahan atau “dogma” melainkan juga kehadiran pendamping yang baik, yakni pendamping yang memahami perkembangan zaman maupun jiwa anak-anak. Teladan utama bagi semua pendamping kristiani adalah Tuhan Yesus sendiri. Dialah gembala yang baik, gembala yang mengenal dan dikenal semua domba-Nya.

3. Persahabatan

Orang tua sebaiknya berusaha menjalin persahabatan dengan anak-anaknya. Menurut Larry Grabb, persahabatan semacam itu akan terjalin bila anak-anak tahu bahwa orang tua sungguh-sungguh mencintai dan menyukai mereka. Anak-anak tahu bahwa orang tua mau menerima segala kekurangan mereka. Anak-anak mengalami bahwa orang tua menghargai mereka. Anak-anak cenderung mempercayai orang tua yang sungguh-sungguh mempercayai orang tua yang sungguh-sungguh mempercayai mereka. Anak-anak yang didengarkan cenderung mau mendengarkan. Anak-anak yang mengalami bahwa mereka dipahami

biasanya mau memahami. Anak-anak yang dianggap baik oleh orang tuanya cenderung menganggap orang tua mereka sebagai orang tua yang baik. (Komisi Pendampingan Keluarga KAS. 2006:7-8).

4. Tahapan Perkembangan Iman

Seperti segi-segi lain dari kepribadian anak, iman anak juga berkembang dalam beberapa tahapan. Menurut buku Pendidikan Anak dalam Keluarga

(Komisi Pendampingan KAS 2006: 12-13), tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tahapan usia 0-3 tahun.

Tahapan ini disebut tahapan primal. Benih iman pada kurun hidup paling dini ini terbentuk oleh rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya dan oleh rasa aman yang dialaminya di tengah lingkungannya. Seluruh interaksi timbal balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang dicintai dan dihargai.

b. Tahapan usia 3 -7 tahun.

Tahapan ini disebut tahapan intuitif proyektif. Unsur terpenting pada tahapanini ialah intuisi si anak, yang sifatnya belum rasional. Intuisi tersebut dipakainya untuk memaknai dunia di sekitarnya. Intuisi itu memungkinkannya menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh para tokoh kunci yakni ayah,

ibu, pengasuh, paman, bibi, kakek, nenek, pastor, suster dan sebagainya. Maka, pada tahapan ini si anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai sang tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, kakek, nenek, pastor, suster atau tokoh yang berpengaruh lain. Pada tahap ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat pada tokoh-tokoh kunci tersebut. Usaha-usaha untuk mengembangkan iman seorang anak pada tahapan usia ini seyogyanya dilaksanakan dnegan cara yang sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang nyata. Usaha-usaha pembinaan iman pada tahapan ini hendaknya lebih mengandalkan keteladanan, melalui perilaku yang nyata dari tokoh kunci.

c. Tahapan usia 7-12 tahun.

Tahapan ini disebut tahapan mitis literal. Pada tahapan ini yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya bina iman, sekolah, atau kelompok sekolah minggu. Kelompok atau institusi tersebut berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran itu paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima olehnya secara harfiah. Usaha-usaha pengembangan iman pada tahapan ini seyogyanya tetap dilaksanakan dengan cara sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran.