• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECERDASAN ARTIFISIAL TIDAK

DAPAT DIKATAKAN

SEBAGAI SUBJEK

HUKUM YANG MEMILIKI

HAK DAN KEWAJIBAN,

KARENA KECERDASAN

ARTIFISIAL ADALAH

PRODUK TEKNOLOGI

DARI MANUSIA.

hukum terhadap subjek hukum (manusia dan badan yang dibentuk oleh manusia) ditentukan oleh seberapa aktif peran pemerintah dan komunitas dalam penerapan penerapan tersebut. Kebijakan di lingkup nasional maupun internasional yang memiliki dampak langsung terhadap Kecerdasan Artifisial, baik dari segi peraturan dan kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah maupun instrumen konvensi internasional atau resolusi yang diadopsi di organisasi-organisasi internasional.

Dari segi konstitusi, konsep pengaturan hukum terhadap Kecerdasan Artifisial dijelaskan dalam bagan yang ditampilkan pada Gambar 3-2.

Gambar 3-2 Konsep Pengetahuan Hukum

3. 2. 1. PENERAPAN PERMENKOMINFO NOMOR 4 TAHUN 2016

Bahwa kondisi hukum positif yang berlaku di Indonesia sudah memiliki beberapa aturan yang secara ruang lingkup sudah cukup untuk mengatur mengenai keamanan informasi, namun sampai sekarang belum terimplementasi dengan baik, sehingga peta jalan jangka pendek pertama adalah memastikan peraturan ini dapat dijalankan secara optimal.

Sesuai Peraturan Presiden Nomor 133 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara dalam Pasal 56 disebutkan pelaksanaan seluruh tugas dan fungsi di bidang keamanan informasi, pengamanan pemanfaatan jaringan telekomunikasi berbasis protokol internet, dan keamanan jaringan dan infrastruktur telekomunikasi pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah menjadi kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sehingga pengaturan tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kemenkominfo selanjutnya akan dilaksanakan oleh BSSN.

Dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika serta BSSN menjadi pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan transisi dan penegakan peraturan yang maksimal agar manajemen pengamanan informasi dapat terwujud secara maksimal.

3. 2. 2. PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DAN PERATURAN BPPT TENTANG AUDIT DAN KLIRING TEKNOLOGI

Pasal 59 dan Pasal 60 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen (“Keppres No. 103/2001”) mengatur bahwa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (“BPPT”) dapat menjalankan fungsi pemantauan, pengkajian, dan kebijakan nasional di bidang teknologi.

Dengan demikian,memungkinkan adanya rencana cepat untuk mengamankan sistem informasi yang sudah ada, yakni memaksimalkan peran BPPT sebagai lembaga yang dapat membuat kebijakan dan audit teknologi, sehingga dipandang mendesak perlunya peraturan mengenai audit teknologi, termasuk Kecerdasan Artifisial sampai ada badan yang khusus ditugasi masalah ini.

3. 2. PROGRAM-PROGRAM INISIATIF

3. 2. 3. PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI (“RUU PDP”)

Data tidak dapat dipisahkan dari Kecerdasan Artifisial sehingga pengesahan peraturan ini akan sangat berdampak pada pelaksanaan pengembangan Kecerdasan Artifisial sendiri yang mengedepankan unsur keamanan dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga manajemen data menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan dan dapat secara signifikan diakomodasi landasan hukumnya melalui rancangan peraturan ini. Dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika bertanggung jawab untuk memastikan pengesahan rancangan undang-undang ini agar dapat segera dibentuk.

3. 2. 4. PENGESAHAN STRATEGI NASIONAL KECERDASAN ARTIFISIAL MENJADI PERATURAN PRESIDEN.

Pengesahan ini akan menimbulkan pengikatan secara hukum untuk setiap stakeholders mewujudkan setiap target yang dibentuk dari strategi nasional Kecerdasan Artifisial. Adapun peraturan ini dimasukkan ke dalam rencana jangka menengah karena dari segi pembuatan peraturan sendiri dapat memakan waktu lebih dari 1 tahun. Dalam hal ini inisiator dapat dilakukan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk dapat menginisiasi dalam pembuatan draft peraturan presiden sampai diundangkan.

3. 2. 5. PEMBENTUKAN KOMISI ETIKA

Komisi Etika yang diamanatkan Pasal 39 UU 11/2019 terbentuk berfungsi sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap Kecerdasan Artifisial yang mengarahkan kebijakan nasional dan memastikan pengembangan Kecerdasan Artifisial sesuai dengan strategi nasional dan kepentingan nasional.

Komisi Etika sudah diamanatkan berdasarkan Pasal 39 UU No. 11/2019 yang mana komisi tersebut bersifat tidak tetap (ad hoc), keanggotaannya lintas bidang ilmu, dan memiliki tupoksi:

1. Menelaah dan menetapkan kelayakan etik;

2. Mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan kode etik penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan sesuai dengan bidang ilmu;

dan

3. Dapat melakukan pemeriksaan dan pemberian sanksi apabila terjadi pelanggaran kode etik penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan.

Dalam konteks ini sesuai dengan amanah, inisiator pembentukan komisi etik dapat dipimpin oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

dengan pembantuan oleh BPPT untuk pembuatan kode etik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengawasan oleh komisi etik.

3. 2. 6. PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEAMANAN DAN KETAHANAN SIBER

Penggunaan ruang siber dan teknologinya yang terus berkembang memiliki banyak manfaat positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat pada berbagai aspek kehidupan, namun jika penggunaan ini dilakukan tanpa adanya kontrol yang baik, hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat merugikan pihak lain.

Negara Indonesia saat ini masih belum memiliki pengaturan yang memadai mengenai keamanan siber. Peraturan yang ada masih banyak memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam melindungi infrastruktur siber dan keamanan siber bagi masyarakat, maka perlu adanya pengaturan secara khusus yang mampu mencakup keseluruhan aspek tentang keamanan siber yang dituangkan dalam Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber.

Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber sangat diperlukan sebagai landasan hukum pengamanan siber di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan mengatur keamanan Kecerdasan Artifisial itu sendiri dan mengkondisikan lingkungan tempat Kecerdasan Artifisial yang aman.

Dalam hal ini Badan Siber dan Sandi Negara merupakan institusi pelaksana untuk mewujudkan pengesahan ini.

3. 2. 7. PEMBENTUKAN ORGANISASI YANG MEMBANTU ORKESTRASI PERKEMBANGAN KECERDASAN ARTIFISIAL

Dalam rangka mendukung upaya Quad-Helix untuk perkembangan Kecerdasan Artifisial, maka diperlukan adanya optimalisasi dan keseimbangan pengawasan dan dukungan perkembangan Kecerdasan Artifisial Indonesia, maka diperlukan adanya hubungan kolaboratif yang maksimal antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat yang di orkestrasi Kementerian/Lembaga dan Komisi Etik (pengawasan dan pengambil kebijakan) dan organisasi di luar poros pemerintah yang memiliki fungsi suportif dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam kebijakan dan regulasi. Pembentukan organisasi dapat diamanatkan dalam Peraturan Presiden terkait dengan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial. Pembentukan ini dapat dibantu oleh unsur pemerintah (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dengan dibantu BPPT) dan unsur non-pemerintah (Pelaku usaha dan akademisi perguruan tinggi).

3. 2. 8. OPTIMALISASI FUNGSI PENGAWASAN DAN REGULASI DARI PEMERINTAH DAN STAKEHOLDERS YANG LAIN

Perwujudan ekosistem Kecerdasan Artifisial akan maksimal jika adanya

kolaborasi antara pemerintah sebagai regulator/pembuat peraturan perundang-undangan dengan stakeholders yang lain seperti akademisi, pelaku usaha, dan unsur-unsur terkait lainnya. Dalam hal ini atas usulan pembentukan komisi etik dan pembentukan organisasi yang membantu orkestrasi pengembangan ekosistem Kecerdasan Artifisial, maka perlu kolaborasi yang maksimal sehingga peraturan yang dibentuk oleh pemerintah atau pengawasan oleh komisi etik sejalan dan relevan dengan perkembangan Kecerdasan Artifisial yang dibantu oleh organisasi yang tidak berbentuk lembaga negara. Dalam hal ini diperlukan peran serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mengkoordinasi hubungan antara pemerintah dengan organisasi non-lembaga pemerintah agar regulasi dan kebijakan yang dibentuk masih tidak lari dari kode etik yang sudah dibentuk dan relevan untuk diterapkan di dunia pengembangan Kecerdasan Artifisial yang tidak membatasi inovasi, namun memastikan tetap berada dalam koridor etika.

4. 1. 1. PEMENUHAN KEBUTUHAN NASIONAL AKAN TALENTA DI BIDANG KECERDASAN ARTIFISIAL

Masuknya era revolusi industri 4.0 pada saat ini dengan karakteristik teknologi menggunakan Kecerdasan Artifisial (KA) telah mengubah banyak aspek kehidupan. Perkembangan ini menuntut penyesuaian yang mendasar bagi masyarakat saat ini.

Tumbuhnya industri yang menggunakan KA sebagai pengungkit proses bisnisnya semakin banyak (industri pengguna KA), seiring dengan itu tumbuh juga industri yang membuat dan menyediakan produk berbasis KA (industri pengembang solusi berbasis KA) dan industri yang membuat teknologi baru berbasis KA (industri pengembang teknologi KA). Pertumbuhan ini berpengaruh pada kebutuhan talenta KA yang unggul untuk mendukung industri tersebut. Kebutuhan talenta KA ini bukan hanya berasal dari dalam negeri tetapi juga berasal dari luar negeri (diaspora).

Talenta KA bisa berasal dari lulusan pendidikan formal (lembaga pendidikan dimulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi) maupun pendidikan non formal (lembaga pelatihan). Pola penyebaran antara lulusan pendidikan dan pekerjaan di bidang KA yang akan bekerja sebagai pekerja tingkat dasar, pekerja tingkat menengah dan pekerja tingkat lanjut; hal ini dijelaskan pada Gambar 4-1 di bawah ini.

BAB 4