BAB II TINJAUAN PUSTAKA
B. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Emosi
Kata emosi selalu dikaitkan dengan setiap kegiatan atau pergolakan
pikiran, perasaan ataupun nafsu. Namun Crow & Crow (dalam Sobur, 2003)
mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri
individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam)
terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan
individu.
Serupa dengan pengertian di atas, Daniel Goleman (2000)
menyimpulkan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak.
Semua emosi pada dasarnya melibatkan perubahan fisik yang tampak
maupun yang tersembunyi, baik yang dapat diketahui atau tidak, seperti
denyut jantung, tekanan darah, malu, sesak nafas, gemetar, menangis, dan
lain sebagainya. Berikut adalah beberapa golongan emosi dasar menurut
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati,
berang, tersinggung, tindak kekerasan dan kebencian
patologis.
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani
diri, putus asa, kesepian, ditolak, kalau menjadi
patologis, depresi berat.
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, khawatir, sebagai
patologis, fobia dan panik.
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,
bangga, kenikmatan indrawi, rasa terpesona, rasa puas,
senang, kegirangan luar biasa.
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.
f. Terkejut : terkesiap, terkejut, terpana.
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
h. malu : malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, rasa salah.
2. Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan
dari Universitas Yale pada tahun 1990. Salovey dan Mayer menjelaskan
istilah kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan
maknanya, dan mengontrol perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektualnya (dalam Stein & Book, 2004).
Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Sepaham dengan pengertian di atas, Stein & Book (2004)
merumuskan bahwa dalam percakapan sehari-hari, kecerdasan emosi
biasanya disebut sebagai “street smarts (pintar)” atau kemampuan khusus yang kita sebut “akal sehat”, termasuk dalam kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, kemampuan untuk memahami dengan spontan
apa yang dibutuhkan orang lain dengan kelebihan dan kekurangan mereka,
kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan, serta kemampuan untuk
menjadi orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan orang
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Salovey (dalam Goleman, 2000) memperluas konsep dasar kecerdasan
emosi dalam lima wilayah utama, yaitu:
a. Kemampuan mengenali emosi diri
Kesadarandiri, dalam artian mengenali perasaan sewaktu perasaan
itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Orang yang memiliki
keyakinan lebih tentang perasaannya adalah pilot yang handal dalam
kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi
dalam perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan
keputusan masalah pribadi.
b. Kemampuan mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat
adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang yang
pandai dalam keterampilan ini akan lebih cepat bangkit dari
kemerosotan (sedih, murung) daripada mereka yang kurang terampil
mengelola emosinya.
c. Kemampuan memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang
sangat penting dalam kaitan untuk memotifasi diri sendiri dan
menguasai diri sendiri, member perhatian, dan untuk berkreasi. Orang
yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran
emosional, merupakan “keterampilanbergaul” dasar. Orang-orang yang
empatik lebih mampu melihat sinyal-sinyal social yang mengisyaratkan
apa yang dibutuhkan orang lain.
e. Kemampuan membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Orang yang hebat dalam keterampilan ini
akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang
mulus dengan orang lain.
Ada juga seorang pakar psikologi Israel kelahiran Amerika, Dr.
Reuven Bar-On (dalam Stein & Book, 2004) yang menemukan cara untuk
merangkum kecerdasan emosi dengan membagi EQ (emotional quotient)
kedalam lima area atau ranah yang menyeluruh, yaitu:
a. Ranah intrapribadi
Terkait dengan kemampuan kita untuk mengenal dan
mengendalikan diri sendiri. Ini melingkupi kesadaran diri, sikap asertif,
kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.
b. Ranah antarpribadi
Berkaitan dengan keterampilan bergaul yang kita miliki,
kemampuan kita berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain.
c. Ranah penyesuaian diri
Berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis,
dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Hal ini terdiri dari
uji realitas, sikap fleksibel, serta pemecahan masalah.
d. Ranah pengendalian stress
Terkait dengan kemampuan kita untuk tahan menghadapi stress
dan mengendalikan impuls. Meliputi ketahanan menanggung stress dan
pengendalian impuls.
e. Ranah suasana hati umum
Terdiri dari optimism dan kebahagiaan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Menurut Yusuf & Sugandhi (2011) sebagai sumber yang telah diolah
maka dibuat sistematika baru mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan emosi sebagai berikut:
a. Faktor keluarga
Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap
perkembangan anak, karena keluarga merupakan kelompok sosial
pertama yang menjadi pusat identitas anak. Kemampuan mengontrol
emosi diperoleh melalui peniruan dan latihan atau pembiasaan orang
tua. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang
sehat dan stabil. Namun apabila kebiasaan orang tua dalam
mengekspresikan emosinya kurang stabil (seperti: marah-marah, mudah
mengeluh, kecewa, dll), maka perkembangan emosi anak cenderung
kurang stabil dan tidak sehat. Pada peran panti asuhan yang merupakan
lembaga yang memberikan pelayanan pengganti fungsi keluarga, anak
yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit mendapatkan perhatian
yang sama dari bapak atau ibu pengasuh mereka, karena mereka harus
berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Selain itu
mereka mengalami kekurangan akan kasih sayang, begitu juga
kurangnya perhatian dikarenakan figur pengasuh yang lebih dan selalu
berganti-ganti.
b. Faktor lingkungan sekolah
Salah satu tujuan sekolah adalah menata dan mengembangkan
iklim sosio-emosional siswa. Kondisi yang mendukung hal tersebut
adalah adanya hubungan interpersonal yang positif antar pimpinan,
guru, staf, dan siswa; sikap dan perlakuan guru terhadap siswa yang
penuh kasih sayang dan respek terhadap pribadi siswa; dan
kepemimpinan kepala sekolah yang berwibawa dan bijak.
c. Faktor teman sebaya (peer group)
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak dan
mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan dirinya. Melalui
kelompok sebaya, anak dapat memenuhi kebutuhannya untuk belajar
merespon dan menerima pendapat serta perasaan orang lain, belajar
tentang norma kelompok, dan memperoleh pengakuan dan penerimaan
sosial. Contohnya pada usia sekolah dasar anak mulai menyadari bahwa
pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak
disenangi oleh orang lain, oleh karenanya, dia mulai belajar untuk
mengendalikan dan mengontrol emosinya.
C. Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta