i
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA REMAJA YANG BERTEMPAT TINGGAL DI PANTI SOSIAL
ASUHAN ANAK YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk memenuhi salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Progam Studi Psikologi
Oleh:
Enditha Sukma Permatasari
NIM: 059114051
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii
iii 059114051
iv
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Hasyr : 18)
“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah”
(Thomas Alva Edison)
“Tidak ada rahasia untuk sukses. Ini adalah hasil sebuah persiapan, kerja keras, dan belajar dari kesalahan.”
v
Kupersembahkan karya sederhana ini teruntuk :
TUHANKU, tanpaMU semuanya tak kan mungkin.
AYAH IBU TERCINTA, terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, do’a dan pengorbanannya yang selalu mengiringi
setiaplangkahku.
SAUDARA DAN SAHABATKU TERSAYANG, terima kasih atas kasih sayang, semangat, dan doanya.
vi
vii
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA REMAJA YANG BERTEMPAT TINGGAL DI PANTI SOSIAL
ASUHAN ANAK YOGYAKARTA
Enditha Sukma Permatasari
ABSTRAK
Ada faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar selain faktor inteligensi yaitu kecerdasan emosi, untuk mendukung hal tersebut, dipengaruhi juga dengan ada tidaknya stimulasi mental oleh orang tua di rumah. Kondisi dimana para remaja tinggal selain di sekolah juga berpengaruh besar terhadap perkembangan sosio emosi remaja tersebut. Lalu bagaimana dengan mereka yang terpisah dari orang tua, khususnya yang bertempat tinggal di panti asuhan yang hanya memiliki relasi dengan teman dan staff pengurus panti? Hipotesis penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosi dan prestasi belajar remaja panti asuhan rendah, serta ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar remaja panti asuhan. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-18 tahun yang bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta. Dalam penelitian ini menggunakan dua metode pengambilan data yaitu metode skala dan metode dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan kuantitatif korelasional. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecerdasan emosi remaja panti asuhan tinggi (69,76%), dan tingkat prestasi belajar remaja panti asuhan sedang (69,7%). Hasil uji korelasi antara kecerdasan emosi dan prestasi belajar menunjukkan korelasi negatif dan tidak signifikan (r = -0,046, p = 0,77). Bertentangan dengan hipotesis, ternyata tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar remaja yang bertempat tinggal di panti asuhan. Diduga kecerdasan emosi subjek tinggi akibat adanya progam bimbingan, sedangkan prestasi belajar rendah karena tidak adanya afeksi yang diperoleh dari orang tua sendiri.
viii
THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND LEARNING ACHIEVEMENT IN TEENAGERS WHO ARE LIVING IN
ORPHANAGE CHILDREN SOCIAL CARE YOGYAKARTA
Enditha Sukma Permatasari
ABSTRACT
There is another factor that affects the learning achievement instead of intelligence factor, which is emotional intelligence. To support it, it is affected also with is there any mental stimulation by parents at home or not. The condition where the teenagers live outside the school has a significance influence also to the development of their socio-emotional. How about the teenagers who live separated with their parents? Especially for them who live in an orphanage which is have a relation with friends and the staffs only. The hypothesis of this research is the low emotional intelligence level and the learning achievement of the orphanage teenagers. The subjects of this research are 16-18 year-old teenagers who are living in orphanage. In this research, there are two data collection methods that are used; scale and documentation method. The analysis data is done by using statistic descriptive and correlational quantitative. The result showed that the level of emotional intelligence of them is high (69.76%), and at average level of learning achievement (69.7%). The correlation test result between emotional intelligence and learning achievement showed a negative correlation and not significant (r = -0,046, p = 0, 77). In contradiction with the hypothesis, it turns out that there is no correlation between learning achievement and emotional intelligence of teenagers who live in orphanage. It is estimated that the high emotional intelligence from the subjects is caused by the result of counseling program; whereas the low learning achievement is caused by there is no affection from their real parents.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Enditha Sukma Permatasari
Nomor Mahasiswa : 059114051
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar pada Remaja yang Bertempat Tinggal di Panti Sosial
Asuhan Anak Yogyakarta
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 10 September 2012
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : Hubungan Kecerdasan Emosi
Dengan Prestasi Belajar Pada Remaja Yang Bertempat Tinggal Di Panti Sosial
Asuhan Anak Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan Skripsi ini tidak akan
berhasil tanpa bimbingan, petunjuk, bantuan dan dukungan yang sangat berharga
dari berbagai pihak yang membantu. Oleh karena itu pada kesempatan ini
perkenankan penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Orang tuaku, tak terkatakan segala rasa terima kasihku untuk Bapak Ibu
tercinta atas segala cinta, kesabaran, dukungan dan semangat Bapak dan Ibu.
Karya kecil ini aku persembahkan untuk kepada Bapak dan Ibu yang tidak
pernah henti-hentinya memberi dukungan dan semangat yang tidak pernah
padam. Bakti Ananda untuk Bapak Ibu.
2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayaniselaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma
3. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi selaku Kaprodi Psikologi Universitas Sanata
Dharma
4. Ibu Aquilina Tantri Arini S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing Akademik
xi
5. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya atas bimbingan dan saran yang diberikan
selama proses penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dra. Endang Iriyanti, MA, selaku Kepala Panti PSAA Yogyakarta atas ijin
dan segala bantuannya dalam proses pengambilan data dalam penelitian ini.
7. Segenap keluarga besar EMI atas segala kebersamaan dan persaudaraan.
8. Teman-temanku yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu atas dorongan,
bantuan maupun pemberian spirit sehingga dapat kami selesaikan.
Saya merasa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu saya mohon
maaf atas kesalahan dan kelalaian yang telah saya perbuat baik sikap, tutur kata
maupaun tulisan. Saya menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
sempurnanya tulisan ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih
Yogyakarta, 10 September 2012
Penulis
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...
HALAMAN PENGESAHAN ...
HALAMAN MOTTO... ...
HALAMAN PERSEMBAHAN...
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...
ABSTRAK ...
ABSTRACT ...
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I PENDAHULUAN ...
A.Latar Belakang Masalah ...
xiii
1. Pengertian Belajar ...
2. Pengertian Prestasi Belajar ...
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar ...
B.Kecerdasan Emosi ...
1. Pengertian Emosi ...
2. Pengertian Kecerdasan Emosi ...
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi ...
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi ...
C.Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta...
1. Pengertian Remaja ...
2. Ciri-ciri Masa Remaja ...
3. Remaja Penghuni Panti Sosial Asuhan Anak...
D. Kerangka Konseptual ...
E. Hipotesis Penelitian ...
BAB III METODE PENELITIAN ...
A.Jenis Penelitian ...
B.Identifikasi variabel penelitian ...
1. Variabel Bebas ...
2. Variabel tergantung ...
C.Definisi Operasional ...
D.Subjek dan Lokasi Penelitian ...
E. Metode Pengambilan Data ...
xiv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...
A.Pelaksanaan Penelitian ...
B.Analisis Data Penelitian ...
1. Uji Asumsi ...
2. Deskripsi Data Penelitian ...
3. Analisis Korelasi Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar
Remaja Panti Asuhan ...
1. Bagi pihak PSAA Yogyakarta ...
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ...
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Eksplikasi Konstruk ... 45
Tabel 2. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi ... 46
Tabel 3. Skala Kecerdasan Emosi ... 47
Tabel 4. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Untuk Uji Coba ... 49
Tabel 5. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba ... 51
Tabel 6. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba ... 52
Tabel 7. Reliabilitas Statistik ... 53
Tabel 8. Hasil Uji Normalitas ... 57
Tabel 9. Hasil Uji Linieritas ... 58
Tabel 10. Deskripsi Statistik Kecerdasan Emosi ... 59
Tabel 11. Kategori Skor Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan ... 60
Tabel 12. Deskripsi Statistik Prestasi Belajar ... 61
Tabel 13. Kategori Skor Prestasi Belajar Remaja Panti Asuhan ... 61
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Uji Coba ... 74
Lampiran B. Penelitian ... 89
Lampiran C. Daftar Nilai Rap... 99
Lampiran D. Hasil Uji Korelasi Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar .... 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan
kualitas sumber daya manusia, baik secara insan maupun kelompok
manusia. Banyak orang berpendapat bahwa seseorang yang memiliki
status pendidikan tinggi maka orang tersebut akan mendapatkan jaminan
pekerjaan yang baik dan mendapatkan penghasilan yang tinggi pula, dan
begitupun sebaliknya. Pada jaman sekarang ini masyarakat sudah
memahami pentingnya pendidikan bagi hidup mereka, terlihat dari upaya
mereka untuk mensekolahkan putra putrinya sampai ke tingkatan yang
paling tinggi yaitu Universitas. Melalui sekolah proses pendidikan dapat
diterapkan kepada para siswa, mereka dapat belajar berbagai macam hal
disana sesuai dengan tingkatannya.
Dalam pendidikan formal, belajar menghasilkan perubahan yang
sifatnya positif sehingga pada akhirnya akan didapat keterampilan,
kecakapan, dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut
tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi
belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar. Proses belajar yang
terjadi pada individu memang merupakan suatu hal yang penting, karena
melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Slameto (2010) belajar adalah
suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri
seseorang. Untuk mengetahui perubahan tersebut dibutuhkan penilaian.
Penilaian terhadap hasil belajar ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh
mana perubahan terjadi dalam pencapaian sasaran belajar. Hal inilah yang
disebut sebagai prestasi belajar. Prestasi belajar menurut Winkel (1997)
adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang siswa
dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang
dicapainya.
Banyak anggapan yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang
dalam belajar terkait dengan tingkat inteligensinya. Untuk meraih prestasi
belajar yang tinggi dalam belajar orang tersebut harus memiliki
Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi pula. Pernyataan di atas beralasan,
karena pada kasus-kasus tertentu sering ditemukan bahwa anak dengan
inteligensi rendah atau di bawah rata-rata cenderung mengalami kesukaran
dalam belajar. Karena cara berpikirnya lambat, anak pun mengalami
kesukaran beradaptasi dengan teman-teman sekelasnya.
Ada suatu fenomena yang memperlihatkan bahwa tidak sedikit siswa
yang tidak dapat memperoleh prestasi belajar sesuai dengan kemampuan
memperoleh prestasi belajar yang rendah, begitupun sebaliknya, ada siswa
yang memiliki kemampuan inteligensi rata-rata normal maupun di
bawahnya dapat meraih prestasi belajar yang tinggi. Menurut Monk
(dalam Djamarah, 2008) seseorang yang memperoleh prestasi-prestasi di
bawah kemampuan inteligensinya disebut dengan underachiever.
Berdasarkan penelitian di negeri Belanda dan negara-negara lain
ditemukan bahwa kurang lebih 30% dari anak sekolah dasar maupun
sekolah menengah adalah underachiever, disebabkan oleh
masalah-masalah sosial dan emosional (Djamarah, 2008). Dalam temuan hasil
observasi Hadinoto (dalam Djamarah, 2008) menyatakan bahwa masalah
underachiever di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
adalah kurangnya fasilitas belajar, kurangnya stimulasi mental oleh orang
tua di rumah, dan keadaan gizi anak tersebut.
Hal ini jelas membuktikan bahwa ada faktor lain yang
mempengaruhi prestasi belajar dan faktor inteligensi bukan satu-satunya
yang menentukan keberhasilan seseorang. Menurut Goleman (2000),
kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain,
diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ)
yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati
Kemunculan istilah kecerdasan emosi dalam pendidikan, bagi
sebagian orang dianggap sebagai jawaban atas fenomena tersebut. Teori
Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru
terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru
dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa
kecerdasan emosi tidak kalah penting dengan IQ. Banyak bukti
memperlihatkan bahwa orang yang secara emosi cakap, yang mengetahui
dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu
membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, memiliki
keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, seperti hubungan asmara dan
persahabatan atau dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang
menentukan keberhasilan dalam politik organisasi (Goleman, 2000).
Lalu bagaimana pengaruhnya jika terjadi pada remaja yang terkenal
sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Hurlock (1980)
sering menyebutnya sebagai masa badai dan tekanan (stress and strom)
karena pada masa ini remaja dihadapkan pada perubahan-perubahan yang
membuatnya bingung. Tidak hanya perubahan emosional dan fisik yang
berkembang pesat, tetapi juga perubahan lingkungan yang memaksa
remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan. Selain
rumah, sekolah adalah tempat dimana mereka hampir menghabiskan
waktunya setiap harinya, tempat dimana mereka juga belajar beradaptasi
dengan lingkungan sosial. Banyak tuntutan dari orang tua maupun guru
menyebabkan remaja tertekan jika mereka tidak mampu untuk memenuhi
harapan-harapan tersebut.
Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosi pada diri remaja yang
sedang mengalami perubahan atau peralihan ini, ada penelitian pada
skripsi yang berjudul Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Efikasi
Diri dengan Prestasi Belajar Siswa SMK YPKK I Sleman (Aryani, 2007)
dan Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar pada
Siswa Kelas II SMUN I Mlati Sleman (Arum, 2005). Dalam kedua
penelitian tersebut terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosi
dan prestasi belajar. Namun penelitian ini diteliti pada subjek remaja yang
berada pada lingkungan sekolah pada umumnya dan mereka berada pada
pengawasan orang tua dalam belajarnya karena mereka tinggal dengan
mereka. Seperti yang dijelaskan di atas, banyak faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar, dan salah satunya adalah ada tidaknya
stimulasi mental oleh orang tua di rumah.
Kondisi dimana para remaja ini tinggal selain di sekolah juga
berpengaruh besar terhadap perkembangan sosio emosi remaja tersebut.
Lalu bagaimana dengan mereka yang terpisah dari orang tua, seperti
tinggal dengan saudara yang lain atau tinggal sendiri di kos. Walau
terpisah dengan orang tua, mereka tetap mendapat dukungan secara penuh
berupa fasilitas dan sarana belajar serta komunikasi dengan keluarga
terdekat maupun melalui media telepon bila mereka terpisahkan oleh jarak.
penuh seperti yang dijelaskan di atas, khususnya yang bertempat tinggal di
Panti Asuhan yang hanya memiliki relasi dengan teman dan staff pengurus
panti. Anak-anak yang pada masa awal menjadi yatim atau anak panti
asuhan biasanya memiliki rasa takut, minder, cemas, gelisah dan fustrasi.
Kondisi emosional ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek
perkembangan lainnya seperti keterlambatan dalam perkembangan fisik,
motorik, intelektual, dan sosialnya jika anak tersebut terus merasa seperti
itu (dalam Kementerian Sosial RI, 2008). Anak asuh yang dalam masa
awal perkembangannya mengalami kondisi emosional seperti yang
dijelaskan di atas, akan memiliki kecenderungan bersifat menarik diri,
mementingkan diri sendiri serta sangat menuntut pertolongan atau
perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diduga bahwa tingkat
kecerdasan emosi remaja panti asuhan adalah rendah, dan karena kondisi
emosinya tersebut maka tingkat prestasi belajarnya akan terpengaruh juga.
Dengan latar belakang subjek yang bertempat tinggal di panti asuhan
apakah hasil penelitian juga akan sama seperti pada penelitian sebelumnya,
oleh karena itu, dalam penyusunan penelitian ini penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian lanjutan dengan judul: “Hubungan antara
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada remaja yang bertempat
B. Masalah Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di
atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. “Bagaimanakah kondisi kecerdasan emosi remaja yang bertempat
tinggal di panti asuhan?”
2. “Bagaimanakah prestasi belajar remaja yang bertempat tinggal di panti
asuhan?”
3. “Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar
pada remaja yang bertempat tinggal di panti sosial asuhan anak
Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk melihat apakah
ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar pada
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat,
antara lain ialah :
1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan bagi psikologi pendidikan dan psikologi
perkembangan.
2. Dari segi praktis, penelitian ini akan bermanfaat bagi:
a. Bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan pengetahuan yang
berkaitan dengan psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan
b. Bagi praktisi pendidikan, penelitian ini dapat memberikan informasi
yang berkaitan dengan prestasi belajar dan kecerdasan emosional.
c. Bagi pihak panti, penelitian ini dapat membantu memberikan
referensi serta pemahaman baru saat proses pendampingan anak asuh
dalam proses pembelajaran atau pendidikan serta sebagai bahan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Prestasi Belajar 1.Pengertian Belajar
Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari perbuatan belajar, karena
belajar merupakan suatu proses, sedangkan prestasi belajar adalah hasil dari
proses pembelajaran tersebut.
Dalam keseluruhan proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan
pokok yang dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan. Berhasil
tidaknya tujuan pendidikan tersebut bergantung kepada bagaimana proses
belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didiknya.
James O. Whittaker (dalam Djamarah, 2008) merumuskan belajar
sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan
atau pengalaman. Senada dengan hal tersebut, Cronbach (dalam Djamarah,
2008) berpendapat bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan
oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Slameto (2010)
mendefinisikan belajar sebagai proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungan.
Dari semua definisi belajar yang diutarakan para ahli di atas dapat
dipahami bahwa proses belajar melibatkan dua hal yaitu jiwa dan raga.
Maksudnya adalah gerak raga yang ditumbulkan harus sejalan dengan
proses jiwa untuk mendapatkan perubahan, perubahan yang dimaksud
bukanlah perubahan fisik tetapi perubahan jiwa. Dengan demikian,
perubahan fisik akibat patah tangan, sengatan serangga, ataupun perubahan
tingkah laku karena orang mabuk bukanlah termasuk perubahan dalam
pengertian belajar. Oleh sebab itu, perubahan sebagai hasil dari proses
belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Slameto (2010) juga menandai perubahan tingkah laku dalam pengertian
belajar, sebagai berikut:
a. Perubahan terjadi secara sadar
Seseorang yang belajar akan menyadari adanya perubahan dalam
dirinya. Misalnya, seseorang akan menyadari bahwa kecakapannya
bertambah, pengetahuannya bertambah, kebiasaannya bertambah. Jadi
perubahan tingkah laku yang terjadi karena kondisi mabuk atau tidak
sadar tidak dapat dikatakan perubahan dalam pengertian belajar karena
orang yang bersangkutan tidak menyadari adanya perubahan.
b. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara
berkesinambungan dan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan
menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan
menulis, maka ia mengalami perubahan dari tidak dapat menulis menjadi
dapat menulis. Perubahan ini berlangsung terus sehingga kemampuan
menulisnya meningkat.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Perubahan dalam belajar terjadi karena tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud
perubahan bersifat aktif adalah perubahan yang terjadi tidak dengan
sendirinya tapi dengan usaha individu itu sendiri.
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang terjadi dalam proses belajar bersifat menetap atau
permanen. Berarti tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat
menetap. Misalnya, seorang anak yang belajar bermain bola,
kemampuannya setelah belajar tidak akan hilang melainkan akan terus
meningkat jika anak tersebut melatih kemampuannya.
e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai.
Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang
benar-benar disadari. Misalnya, seseorang belajar bahasa Inggris, sebelumnya
sudah menetapkan kemampuan atau kecakapan apa yang akan dicapai
dengan belajar bahasa Inggris. Dengan demikian, perbuatan belajar yang
dilakukan senantiasa terarah kepada tingkah laku yang telah
f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Saat seseorang belajar sesuatu maka sebagai hasilnya dia akan
mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap,
keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.
Jadi, dalam proses belajar selalu diikuti dengan perubahan
pengetahuan dan tingkah laku yang terus berkembang dalam setiap diri
individu. Selama perubahan belajar terus berlangsung dalam diri individu
maka akan memunculkan prestasi dalam belajarnya.
2. Pengertian Prestasi Belajar
Salah satu proses terpenting dalam belajar adalah belajar di sekolah.
Melalui lembaga resmi ini kapasitas belajar anak akan bertambah dengan
lingkungan yang baru, bersama teman-teman dan guru. Dari sekolah, siswa
yang belajar dapat memahami kemampuan dirinya berdasarkan prestasi
yang mereka hasilkan dalam proses belajar.
Arifin (dalam Sutjijoso dan Zarfiel, 2009) mendefinisikan prestasi
belajar sebagai hasil dari suatu usaha siswa yang menggambarkan sejauh
mana siswa telah mampu meraih tujuan yang telah ditetapkan dalam setiap
bidang studi. Menurut Bloom, prestasi belajar adalah suatu proses belajar
untuk menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman,
penerapan, kemampuan menganalisis, sintesis, dan evaluasi (Hapsari dalam
Sutjijoso dan Zarfiel, 2009). Dengan demikian, prestasi belajar adalah hasil
sekolah, ukuran prestasi belajar dilihat berdasarkan hasil belajarnya yang
tertuang dalam nilai raport.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah banyak sekali
faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Menurut Shertzer dan Stone (dalam
Winkel, 1997) serta Slameto (2010), sebagai sumber yang telah diolah
maka dibuat sistematika baru mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar dan prestasi belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:
a. Faktor internal
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu :
1) Faktor fisiologis
Dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor
yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera
a) Kesehatan badan
Untuk dapat menempuh studi yang baik siswa perlu
memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan
fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam
kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan
pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya.
Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat
meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang
teratur.
b) Pancaindera
Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapat
berlangsungnya belajar dengan baik. Dalam sistem pendidikan
dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling memegang
peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting,
karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia
dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran.
2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa, antara lain adalah :
a) Multiple Intelligence
Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa
mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang
dimiliki siswa. Menurut Binet hakikat inteligensi adalah
kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu
mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis
dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi
belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf
inteligensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai
prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang
memiliki taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan
memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah suatu
yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah
memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya.
Selain kecerdasan inteligensi yang dijelaskan diatas, ada
juga yang dikenal dengan istilah kecerdasan emosi. Menurut
Yusuf & Sugandhi (2011) emosi merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi tingkah laku individu, termasuk juga tingkah laku
belajar. Emosi yang positif (seperti senang, bergairah) akan
mempengaruhi individu untuk berkonsentrasi terhadap aktivitas
belajarnya. Sebaliknya, jika yang menyertai proses belajar itu
adalah emosi yang negatif (seperti tidak senang, kecewa), maka
proses belajar akan mengalami hambatan.
b) Sikap
Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri
dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam
terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang
baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.
c) Motivasi
Menurut Winkel (1997) motivasi belajar adalah
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari
kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar
itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi
belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual.
Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat
belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak
energi untuk melakukan kegiatan belajar.
b. Faktor eksternal
Menurut Shertzer dan Stone (dalam Winkel, 1997) serta Slameto
(2010), sebagai sumber yang telah diolah, selain faktor-faktor yang ada
dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang dapat mempengaruhi
1) Faktor lingkungan keluarga
a) Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih
berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik,
mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah.
b) Pendidikan orang tua
Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi
cenderung lebih memperhatikan dan memahami pentingnya
pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang
mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c) Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota
keluarga
Dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat
berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara
langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak
langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis. Kondisi ini
berbeda pada anak yang tinggal pada sebuah panti asuhan, yang
fisik umumya berbentuk asrama. Di dalam asrama terdapat satu
atau lebih petugas yang bertindak sebagai bapak atau ibu
pengasuh. Selain itu di dalam asrama juga terdapat anak asuh
dimana mereka dikelompokkan dalam jumlah yang besar dan
kelompok umur dan dikelompokkan antara 15 sampai dengan 20
orang. Struktur seperti ini membuat kurang meratanya
pengawasan dan bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga
dapat menghambat perkembangan diri anak.
2). Faktor lingkungan sekolah
a) Sarana dan prasarana
Kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP
akan membantu kelancaran proses belajar mengajar di sekolah;
selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar
sekolah juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar.
b) Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih
prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja
yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila
seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan
baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas
dan tenaga pendidik yang berkualitas , yang dapat memenihi rasa
ingintahuannya, hubungan dengan guru dan teman-temannya
berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim
belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong
c) Kurikulum dan metode mengajar
Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan
materi tersebut kepada siswa. Metrode pembelajaran yang lebih
interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran
serta siswa dalam kegiatan pembelajaran.
3) Faktor lingkungan masyarakat
a) Sosial budaya
Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan
mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik.
Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan
enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung
memandang rendah pekerjaan guru/pengajar.
b) Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung
kegiatan pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan
anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan
lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
Berdasarkan faktor-faktor yang dijelaskan di atas, penelitian akan
berfokus pada faktor psikologis dan faktor eksternal yang terdiri dari
menjelaskan secara terperinci mengenai hubungan antara kecerdasan
emosi dengan prestasi belajar pada remaja yang bertempat tinggal di panti
sosial asuhan anak.
B.Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Emosi
Kata emosi selalu dikaitkan dengan setiap kegiatan atau pergolakan
pikiran, perasaan ataupun nafsu. Namun Crow & Crow (dalam Sobur, 2003)
mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri
individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam)
terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan
individu.
Serupa dengan pengertian di atas, Daniel Goleman (2000)
menyimpulkan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak.
Semua emosi pada dasarnya melibatkan perubahan fisik yang tampak
maupun yang tersembunyi, baik yang dapat diketahui atau tidak, seperti
denyut jantung, tekanan darah, malu, sesak nafas, gemetar, menangis, dan
lain sebagainya. Berikut adalah beberapa golongan emosi dasar menurut
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati,
berang, tersinggung, tindak kekerasan dan kebencian
patologis.
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani
diri, putus asa, kesepian, ditolak, kalau menjadi
patologis, depresi berat.
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, khawatir, sebagai
patologis, fobia dan panik.
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,
bangga, kenikmatan indrawi, rasa terpesona, rasa puas,
senang, kegirangan luar biasa.
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.
f. Terkejut : terkesiap, terkejut, terpana.
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
h. malu : malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, rasa salah.
2. Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan
dari Universitas Yale pada tahun 1990. Salovey dan Mayer menjelaskan
istilah kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan
maknanya, dan mengontrol perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektualnya (dalam Stein & Book, 2004).
Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Sepaham dengan pengertian di atas, Stein & Book (2004)
merumuskan bahwa dalam percakapan sehari-hari, kecerdasan emosi
biasanya disebut sebagai “street smarts (pintar)” atau kemampuan khusus
yang kita sebut “akal sehat”, termasuk dalam kemampuan membaca
lingkungan politik dan sosial, kemampuan untuk memahami dengan spontan
apa yang dibutuhkan orang lain dengan kelebihan dan kekurangan mereka,
kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan, serta kemampuan untuk
menjadi orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan orang
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Salovey (dalam Goleman, 2000) memperluas konsep dasar kecerdasan
emosi dalam lima wilayah utama, yaitu:
a. Kemampuan mengenali emosi diri
Kesadarandiri, dalam artian mengenali perasaan sewaktu perasaan
itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Orang yang memiliki
keyakinan lebih tentang perasaannya adalah pilot yang handal dalam
kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi
dalam perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan
keputusan masalah pribadi.
b. Kemampuan mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat
adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang yang
pandai dalam keterampilan ini akan lebih cepat bangkit dari
kemerosotan (sedih, murung) daripada mereka yang kurang terampil
mengelola emosinya.
c. Kemampuan memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang
sangat penting dalam kaitan untuk memotifasi diri sendiri dan
menguasai diri sendiri, member perhatian, dan untuk berkreasi. Orang
yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran
emosional, merupakan “keterampilanbergaul” dasar. Orang-orang yang
empatik lebih mampu melihat sinyal-sinyal social yang mengisyaratkan
apa yang dibutuhkan orang lain.
e. Kemampuan membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Orang yang hebat dalam keterampilan ini
akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang
mulus dengan orang lain.
Ada juga seorang pakar psikologi Israel kelahiran Amerika, Dr.
Reuven Bar-On (dalam Stein & Book, 2004) yang menemukan cara untuk
merangkum kecerdasan emosi dengan membagi EQ (emotional quotient)
kedalam lima area atau ranah yang menyeluruh, yaitu:
a. Ranah intrapribadi
Terkait dengan kemampuan kita untuk mengenal dan
mengendalikan diri sendiri. Ini melingkupi kesadaran diri, sikap asertif,
kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.
b. Ranah antarpribadi
Berkaitan dengan keterampilan bergaul yang kita miliki,
kemampuan kita berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain.
c. Ranah penyesuaian diri
Berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis,
dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Hal ini terdiri dari
uji realitas, sikap fleksibel, serta pemecahan masalah.
d. Ranah pengendalian stress
Terkait dengan kemampuan kita untuk tahan menghadapi stress
dan mengendalikan impuls. Meliputi ketahanan menanggung stress dan
pengendalian impuls.
e. Ranah suasana hati umum
Terdiri dari optimism dan kebahagiaan.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Menurut Yusuf & Sugandhi (2011) sebagai sumber yang telah diolah
maka dibuat sistematika baru mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan emosi sebagai berikut:
a. Faktor keluarga
Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap
perkembangan anak, karena keluarga merupakan kelompok sosial
pertama yang menjadi pusat identitas anak. Kemampuan mengontrol
emosi diperoleh melalui peniruan dan latihan atau pembiasaan orang
tua. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang
sehat dan stabil. Namun apabila kebiasaan orang tua dalam
mengekspresikan emosinya kurang stabil (seperti: marah-marah, mudah
mengeluh, kecewa, dll), maka perkembangan emosi anak cenderung
kurang stabil dan tidak sehat. Pada peran panti asuhan yang merupakan
lembaga yang memberikan pelayanan pengganti fungsi keluarga, anak
yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit mendapatkan perhatian
yang sama dari bapak atau ibu pengasuh mereka, karena mereka harus
berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Selain itu
mereka mengalami kekurangan akan kasih sayang, begitu juga
kurangnya perhatian dikarenakan figur pengasuh yang lebih dan selalu
berganti-ganti.
b. Faktor lingkungan sekolah
Salah satu tujuan sekolah adalah menata dan mengembangkan
iklim sosio-emosional siswa. Kondisi yang mendukung hal tersebut
adalah adanya hubungan interpersonal yang positif antar pimpinan,
guru, staf, dan siswa; sikap dan perlakuan guru terhadap siswa yang
penuh kasih sayang dan respek terhadap pribadi siswa; dan
kepemimpinan kepala sekolah yang berwibawa dan bijak.
c. Faktor teman sebaya (peer group)
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak dan
mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan dirinya. Melalui
kelompok sebaya, anak dapat memenuhi kebutuhannya untuk belajar
merespon dan menerima pendapat serta perasaan orang lain, belajar
tentang norma kelompok, dan memperoleh pengakuan dan penerimaan
sosial. Contohnya pada usia sekolah dasar anak mulai menyadari bahwa
pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak
disenangi oleh orang lain, oleh karenanya, dia mulai belajar untuk
mengendalikan dan mengontrol emosinya.
C. Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta
1. Pengertian Remaja
Masa remaja disebut juga adolescence, yang dalam bahasa latin
berasal dari kata adolescere, yang berarti “to grow into adulthood”.
Rentang usianya antara 12/13-19/20 tahun (dalam Yusuf & Sugandhi,
2011). Adolesen merupakan periode transisi dari masa anak ke masa
dewasa, yang mana terjadi perubahan dalam aspek biologis, psikologis,
dan sosial. Yang menjadi tugas kunci remaja adalah persiapan menghadapi
masa dewasa.
2. Ciri-Ciri Masa Remaja
a. Perubahan pada Masa Remaja
Menurut Laurence Steinberg (dalam Yusuf & Sugandhi, 2011) ada
1) Biologis, seperti mulai matangnya alat reproduksi, tumbuhnya buah
dada pada wanita dan kumis pada pria.
2) Kognisi, yaitu kemampuan untuk memikirkan konsep-konsep yang
abstrak (seperti persaudaraan, demokrasi, dan moral), dan mampu
berpikir hipotetis (mampu memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi
berdasarkan pengalaman).
3) Sosial, yaitu perubahan dalam status sosial yang memungkinkan
remaja masuk keperan atau aktivitas terbaru, seperti bekerja atau
menikah.
b. Tugas Perkembangan
Berikut adalah tugas-tugas perkembangan pada masa remaja
menurut Havighurst (dalam Hurlock. 1980):
1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman
sebaya baik pria maupun wanita.
2) Mencapai peran sosial pria dan wanita.
3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif.
4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab.
5) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya.
6) Mempersiapkan karier ekonomi.
8) Memperoleh perangkat nilai dan system etis sebagai pegangan untuk
berperilaku, mengembangkan ideologi.
c. Identitas diri remaja menurut Erikson
Identitas diri individu berkembang pada usia remaja, pada tahap
perkembangan kelima, yaitu identity vs identity confusion yang dapat
juga disebut kebingungan identitas atau peran. Erikson mendefinisikan
identitas diri sebagai konsepsi tentang diri, nilai, penentuan tujuan, dan
keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang. Tugas utama pada
remaja adalah memecahkan krisis identitas, agar dapat menjadi orang
dewasa yang memahami dirinya secara utuh, serta memahami perannya
di masyarakat. Krisi identitas terjadi apabila remaja tidak dapat memilih
di antara berbagai alternatif yang bermakna. Dapat dipandang bahwa
remaja yang berhasil memiliki identitas diri yang matang atau sehat dan
tidak memiliki kebingungan, apabila sudah memiliki pemahaman dan
kemampuan untuk beradaptasi dengan dirinya sendiri serta peranannya
dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan nilai-nilai agama. Sedangkan
remaja yang gagal menemukan identitas dirinya cenderung
menampilkan perilaku menyimpang dan aneh-aneh pada lingkungan
3. Remaja Penghuni Panti Sosial Asuhan Anak
a. Pengertian Remaja Penghuni Panti Sosial Asuhan Anak
Menurut buku Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar Melalui
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) anak terlantar adalah anak-anak
yang karena sebab-sebab tertentu telah mengakibatkan kebutuhan
dasarnya tidak terpenuhi secara wajar, baik kebutuhan fisik, mental
maupun sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan Panti Sosial Asuhan
Anak (PSAA) adalah suatu lembaga pemerintah atau swasta yang
bertanggung jawab untuk menyelenggarakan alternatif pengasuhan
anak, perlindungan dan pelayanan sosial bagi anak selain orang tua atau
keluarganya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
penghuni panti asuhan adalah anak terlantar dengan rentang usia antara
12/13-19/20 tahun yang tidak memiliki kebutuhan dasar yang diasuh
oleh suatu lembaga dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
b. Situasi Remaja PSAA
Berdasarkan penelitian kualitas pengasuhan anak di panti sosial
asuhan anak yang dilakukan padatahun 2006 dan 2007 oleh Save the
Children dan Kementerian Sosial (Kemensos) dengan dukungan dari
Unicef. Penelitian dilakukan di enam provinsi yaitu Nangroe Aceh
Nusa Tenggara Barat, dan Maluku; termasuk satu panti percontohan
milik Kemensos di Pati, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk
menyediakan gambaran yang komprehensif tentang kualitas
pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) di Indonesia.
Beberapa temuan inti dari penelitian tersebut adalah:
1) Panti asuhan lebih berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan
akses pendidikan kepada anak dari pada sebagai lembaga alternatif
terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat diasuh oleh orangtua atau
keluarganya.
2) Anak-anak yang tinggal di panti umumnya (90%) masih memiliki
kedua orang tua dan dikirim ke panti dengan alasan utama untuk
melanjutkan pendidikan.
3) Berdasarkan tujuan panti ke arah pendidikan, anak-anak harus
tinggal lama di panti sampai lulus SLTA dan harus mengikuti
pembinaan daripada pengasuhan yang seharusnya mereka terima.
4) Pengurus panti tidak memiliki pengetahuan memadai tentang situasi
anak yang seharusnya diasuh di dalam panti, dan pengasuhan yang
idealnya diterima anak (Standar Nasional Pengasuhan Untuk
Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak).
Temuan dari penelitian di atas merupakan gambaran situasi secara
umum pada PSAA di seluruh Indonesia. Pada PSAA Yogyakarta, ibu
Endang Iriyanti sebagai kepala panti menjelaskan bahwa sasaran PSAA
perempuan usia 6-18 tahun, 2) yatim, piatu, yatim piatu dan terlantar, 3)
anak yang keluarganya tidak mampu memberikan perlindungan karena
kondisi khusus keluarga klien maupun lingkungan klien. Jenis
pelayanan yang diberikan adalah perlindungan dan pengasramaan,
kebutuhan dasar (pangan, pakaian, kesehatan, penguatan mental sosial,
keagamaan, penyaluran bakat dan minat) dan sasaran pendidikan formal
baik tingkat SD sampai dengan SLTA.
Latar belakang mereka menjadi penghuni PSAA Yogyakarta
beragam, diantaranya karena faktor ekonomi keluarga yang kurang,
memiliki orang tua yang mengalami gangguan jiwa atau cacat fisik,
memiliki orang tua sebagai tuna susila, dibuang oleh orang tua atau
kelarga, dan yatim piatu. Selain karena masa remaja dianggap sebagai
periode “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi
meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, ditambah
dengan latar belakang seperti dijelaskan di atas maka pihak PSAA
menyediakan bimbingan konseling untuk anak panti.
c. Situasi Khusus Perkembangan Emosi Remaja PSAA
Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar
memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan
reaksi emosional. Caranya adalah dengan membicarakan pelbagai
masalah pribadinya dengan orang lain. Dalam proses ini lingkungan
Makmur Sunusi (dalam Kementerian Sosial RI, 2008), Direktur
Jendral Pelayanan Sosial dan Rehabilitasi Sosial Depsos Rl mengatakan
bahwa, "Indonesia telah mengakui secara jelas bahwa keluarga adalah
lingkungan terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh dan penelitian ini
merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa kebutuhan
anak-anak yang memerlukan pengasuhan alternatif dipenuhi dengan
profesionalitas dan pengasuhan yang berkualitas dan panti asuhan
merupakan pilihan terakhir."
Pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang. Hampir
semua fokus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya
kebutuhan materi sehari-hari sementara kebutuhan emosional dan
pertumbuhan anak-anak tidak dipertimbangkan. Sekali anak-anak
memasuki panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal di sana
sampai lulus dari SMA kecuali mereka melanggar peraturan atau tidak
berprestasi di sekolah (dalam Kementerian Sosial RI, 2008).
Sebuah penelitian serupa yang dilakukan oleh Goldfard
(dalam Burns, 1993) menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam
suatu institusi, cenderung mengalami hambatan dalam perkembangan
kepribadiannya, misalnya cenderung untuk menarik diri dari
lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau mental. Peran PSAA
adalah sebagai lembaga yang memberikan pelayanan pengganti fungsi
keluarga. Penghuni PSAA biasanya sulit mendapatkan perhatian yang
berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Dalam
sebuah keluarga pada umumnya kemampuan mengontrol emosi
diperoleh melalui peniruan dan latihan atau pembiasaan orang tua,
berarti bagi penghuni PSAA proses peniruan dan latihan mengontrol
emosi ini mereka dapat dari para pengasuhnya.
Penghuni di PSAA Yogyakarta, tidak selalu mereka adalah yang
kehilangan orang tua ataupun salah satu orang tuanya, tetapi juga
penghuni yang terlantar karena sebab-sebab lainnya, seperti faktor
ekonomi keluarga yang kurang, memiliki orang tua yang mengalami
gangguan jiwa atau cacat fisik, memiliki orang tua sebagai tuna susila,
dibuang oleh orang tua atau kelarga, dan yatim piatu. Sehingga
sebab-sebab keberadaan mereka di panti asuhan dapat memberikan kesan
khusus pada perkembangan emosinya. Selain karena masa remaja
dianggap sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana
ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar, ditambah dengan latar belakang seperti dijelaskan di atas maka
pihak PSAA menyediakan bimbingan konseling untuk anak panti.
d. Situasi Khusus Terkait Perkembangan Belajar dan Prestasi Belajar
Remaja PSAA
Ada sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa regulasi
emosi sangat penting bagi keberhasilan akademik. Remaja yang sering
yang rendah, begitupun sebaliknya, anak yang sering mengalami emosi
yang positif cenderung memiliki prestasi belajar yang tinggi (dalam
Yusuf & Sugandhi, 2011).
Dalam lingkungan panti peran pengasuh sangat mempengaruhi
perkembangan anak asuh dari pengasuhan yang diberikan. hal tersebut
disebabkan karena pengasuh berkaitan dengan perilaku dan sikap
terhadap anak dalam menciptakan suatu iklim emosional pada
hubungan antara orang tua dan anak (Jaya, 2009)
D.Kerangka Konseptual
Faktor penting dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun
kecakapan intelektual, adalah kecerdasan emosi. Karena kecerdasan
intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi
gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan
kecerdasan emosi, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan
mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi
perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosi yang
berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan
dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat
yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada
tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Salah satu faktor pendukung dalam memperoleh prestasi belajar adalah
dukungan keluarga, dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu
semangat berpretasi bagi seseorang, seperti pujian atau nasihat misalnya,
layaknya seperti hubugan keluarga yang harmonis. Dalam penelitian
sebelumnya dengan topik yang yang sama hal ini telah terbukti bahwa anak
dengan kecerdasan emosi yang baik dan memiliki faktor pendukung seperti di
atas maka akan memperoleh prestasi belajar yang baik.
Kondisi tersebut berbeda pada anak yang tinggal di PSAA yang harus
berbagi tempat dengan anak yang lain dan harus menerima perhatian yang
terbagi dari para pengurus panti. Bisa jadi anak di PSAA memiliki kecerdasan
emosi yang baik namun jika tidak memiliki faktor pendukung seperti anak
pada umumnya yang tinggal dengan orang tua maupun kerabat dekat maka
apakah akan menghasilkan prestasi belajar yang baik pula.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
kemungkinan adanya faktor lain yang melengkapi kecerdasan emosi seseorang
Remaja Panti Asuhan
Kebutuhan dasar kurang terpenuhi: fisik, mental, sosial
Favorable:
Dapat mengenali emosi diri. Dapat mengelola emosi. Dapat memotivasi diri sendiri. Dapat mengenali emosi orang lain. Dapat membina hubungan.
Prestasi Belajar Rendah
Kecerdasan Emosi Tinggi Kecerdasan Emosi Rendah
Unfavorable:
E.Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Tingkat kecerdasan emosi remaja panti asuhan rendah.
2. Tingkat prestasi belajar remaja panti asuhan rendah.
3. Ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan ada dua, yaitu statistik
deskriptif dan metode penelitian kuantitatif korelasional. Yang dimaksud
statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendiskripsikan
terhadap objek yang diteliti tanpa membuat kesimpulan yang berlaku secara
umum (Sugiyono, 2007), sedangkan yang dimaksud dengan kuantitatif
korelasional adalah suatu metode penelitian yang bersifat menanyakan
hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini hanya digunakan
dua variabel yaitu variabel kecerdasan emosi dan variabel prestasi belajar.
B.Identifikasi variabel penelitian
Berdasarkan landasan teori yang ada serta rumusan hipotesis penelitian
maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas
Kecerdasan Emosi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur
emosinya dengan inteligensinya. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini
diukur sebagai variabel independent atau variabel bebas yang merupakan
variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel tergantung.
2. Variabel tergantung
Prestasi Belajar, yaitu hasil dari suatu pembelajaran. Dalam
penelitian ini prestasi belajar sebagai variabel tergantung yang merupakan
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel
bebas.
C. Definisi Operasional
1. Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dirumuskan berdasarkan aktivitas
belajar siswa dalam kegiatan akademik yang tertuang dalam nilai rata-rata
pada raport. Pada penelitian ini menggunakan nilai raport remaja SMK yang
bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta.
2. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengatur emosinya
dengan inteligensinya, meliputi mampu mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan
memiiki kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang
lain. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi,
dan dari pengukuran skala tersebut akan diperoleh nilai skor yang
menunjukkan semakin tinggi nilai skor skala maka semakin tinggi pula
D. Subjek dan Lokasi Penelitian
Pada tahun 1973, Kanwil Departemen Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta
mendirikan Panti Petirahan Anak ( PPA ) Kaliurang dengan menempati gedung
Peninggalan Belanda di Kawasan Kaliurang dengan Sasaran garap anak-anak
SD di wilayah D.I. Yogyakarta dengan Program Pelayanan Sosial dan
Peningkatan Gizi.
Terjadinya Erupsi Merapi di Yogyakarta pada tanggal 22 Nopember
1994, program Panti Petirahan Anak Yogyakarta di Kaliurang tidak dapat
dilaksanakan karena Wilayah Kaliurang dinyatakan sebagai Daerah Merah,
tidak diijinkan kegiatan jangka panjang apalagi yang melibatkan anak-anak
untuk beraktifitas di Wilayah Kaliurang. Untuk sementara kegiatan Panti
Petirahan Anak (PPA) Kaliurang dilaksanakan di Kantor Loka Bina Karya di
Dusun Klidon, Kalurahan Sukoharjo, Ngaglik , Sleman.
Pada tahun 1998 Kanwil Departemen Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta
mendapatkan Alokasi Dana Loan dari Jepang untuk membuat bangunan Panti
Petirahan Anak sebagai Pengganti PPA di Kaliurang, atas ijin dari Kraton
Yogyakarta maka lokasi Bangunan PPA di berikan Dusun Banjarharjo,
Bimomartani, Ngemplak, Sleman. Dan Sejak tanggal 1 April 1999 gedung
tersebut sudah dipakai untuk kegiatan pelayanan Panti Petirahan Anak
Yogyakarta.
Dengan adanya Otonomi daerah berdasar pertimbangan kebutuhan
masyarakat maka Tahun 2004 Panti Sosial Petirahan Anak Yogyakarta beralih
memiliki dua unit lokasi, yaitu Unit Bima di Bimomartani Kecamatan
Ngemplak Sleman dan Unit Budhi Bakti di Kecamatan Wonosari
Gunungkidul.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-18 tahun yang
bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta, terdiri dari siswa
SMK sebanyak 45 siswa dengan 23 siswa kelas X dan 22 siswa XI yang
berasal dari enam sekolah yang berbeda yaitu SMK Muhamadiyah
Cangkringan Sleman, SMK Muhamadiyah Playen, SMK Muhamadiyah
Wonosari, SMK N 1, SMK N 2, dan SMK N 3 Wonosari. Berdasarkan
keterangan di atas maka total populasi penelitian berjumlah 45 siswa. Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Oleh karena itu,
penelitian yang akan digunakan adalah penelitian populasi, diharapkan dengan
penelitian populasi ini peluang kesalahan generalisasi akan semakin kecil.
E. Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
dua macam, yaitu, metode skala untuk mengukur kecerdasan emosional dan
metode dokumentasi untuk mengukur prestasi belajar.
1. Skala Kecerdasan Emosi
Skala psikologi adalah suatu alat ukur psikologis yang stimulusnya
perilaku dari atribut yang hendak diukur (Azwar, 2007). Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan skala psikologi untuk mengukur variabel kecerdasan
emosi. Skala kecerdasan emosi terdiri dari aspek mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain
(empati), membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000) yang
berguna untuk mengukur sejauh mana kecerdasan emosi siswa SMK yang
bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta.
a. Definisi atribut
Goleman (2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional
life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya
(the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan
sosial.
Salovey (dalam Goleman, 2000) memperluas konsep dasar kecerdasan
emosi sebagai kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola
emosi diri, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengenali
emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan.
b. Definisi komponen atribut
Mengenali emosi diri : kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi, seperti peka akan suasana hati atau menyesuaikan
Mengelola emosi diri : menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan pas, seperti penguasaan diri; kendali diri; dan
mengatur suasana hati.
Memotivasi diri sendiri : perasaan antusiasme, gairah, keyakinan diri
dalam mencapai prestasi, kegigihan dalam menghadapi tantangan,
optimisme.
Mengenali emosi orang lain : kemampuan untuk memahami perasaan dan
pikiran orang lain, seperti empati (ikut merasakan), dan mampu membaca
pesan nonverbal.
Membina hubungan : kemampuan untuk berinteraksi dan bergaul baik
dengan orang lain, meliputi keterampilan bergaul dan tanggung jawab
sosial.
c. Eksplikasi konstruk
Azwar (2007) mengatakan bahwa salah satu cara yang dapat
memudahkan identifikasi tujuan dan kawasan ukur adalah dengan cara
menguraikan komponen-komponen yang ada dalam konsep teoritik
mengenai atribut yang hendak diukur. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia
lengkap (Daryanto, 1997), yang dimaksud komponen adalah bagian yang
merupakan satu kesatuan, jadi yang dimaksud komponen di sini adalah
bagian dari konstruk yang hendak diukur. Dan untuk penyusunan item pada
skala maka perlu adanya eksplikasi konstruk pada komponen yang diperoleh