• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kecerdasan emosi dengan prestasi belajar pada remaja yang bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan kecerdasan emosi dengan prestasi belajar pada remaja yang bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA REMAJA YANG BERTEMPAT TINGGAL DI PANTI SOSIAL

ASUHAN ANAK YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan Untuk memenuhi salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Progam Studi Psikologi

Oleh:

Enditha Sukma Permatasari

NIM: 059114051

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

(3)

iii 059114051

(4)

iv

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah

kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al Hasyr : 18)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah”

(Thomas Alva Edison)

“Tidak ada rahasia untuk sukses. Ini adalah hasil sebuah persiapan, kerja keras, dan belajar dari kesalahan.”

(5)

v

Kupersembahkan karya sederhana ini teruntuk :

TUHANKU, tanpaMU semuanya tak kan mungkin.

AYAH IBU TERCINTA, terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, do’a dan pengorbanannya yang selalu mengiringi

setiaplangkahku.

SAUDARA DAN SAHABATKU TERSAYANG, terima kasih atas kasih sayang, semangat, dan doanya.

(6)

vi

(7)

vii

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSI DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA REMAJA YANG BERTEMPAT TINGGAL DI PANTI SOSIAL

ASUHAN ANAK YOGYAKARTA

Enditha Sukma Permatasari

ABSTRAK

Ada faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar selain faktor inteligensi yaitu kecerdasan emosi, untuk mendukung hal tersebut, dipengaruhi juga dengan ada tidaknya stimulasi mental oleh orang tua di rumah. Kondisi dimana para remaja tinggal selain di sekolah juga berpengaruh besar terhadap perkembangan sosio emosi remaja tersebut. Lalu bagaimana dengan mereka yang terpisah dari orang tua, khususnya yang bertempat tinggal di panti asuhan yang hanya memiliki relasi dengan teman dan staff pengurus panti? Hipotesis penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosi dan prestasi belajar remaja panti asuhan rendah, serta ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar remaja panti asuhan. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-18 tahun yang bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta. Dalam penelitian ini menggunakan dua metode pengambilan data yaitu metode skala dan metode dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan kuantitatif korelasional. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecerdasan emosi remaja panti asuhan tinggi (69,76%), dan tingkat prestasi belajar remaja panti asuhan sedang (69,7%). Hasil uji korelasi antara kecerdasan emosi dan prestasi belajar menunjukkan korelasi negatif dan tidak signifikan (r = -0,046, p = 0,77). Bertentangan dengan hipotesis, ternyata tidak ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar remaja yang bertempat tinggal di panti asuhan. Diduga kecerdasan emosi subjek tinggi akibat adanya progam bimbingan, sedangkan prestasi belajar rendah karena tidak adanya afeksi yang diperoleh dari orang tua sendiri.

(8)

viii

THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND LEARNING ACHIEVEMENT IN TEENAGERS WHO ARE LIVING IN

ORPHANAGE CHILDREN SOCIAL CARE YOGYAKARTA

Enditha Sukma Permatasari

ABSTRACT

There is another factor that affects the learning achievement instead of intelligence factor, which is emotional intelligence. To support it, it is affected also with is there any mental stimulation by parents at home or not. The condition where the teenagers live outside the school has a significance influence also to the development of their socio-emotional. How about the teenagers who live separated with their parents? Especially for them who live in an orphanage which is have a relation with friends and the staffs only. The hypothesis of this research is the low emotional intelligence level and the learning achievement of the orphanage teenagers. The subjects of this research are 16-18 year-old teenagers who are living in orphanage. In this research, there are two data collection methods that are used; scale and documentation method. The analysis data is done by using statistic descriptive and correlational quantitative. The result showed that the level of emotional intelligence of them is high (69.76%), and at average level of learning achievement (69.7%). The correlation test result between emotional intelligence and learning achievement showed a negative correlation and not significant (r = -0,046, p = 0, 77). In contradiction with the hypothesis, it turns out that there is no correlation between learning achievement and emotional intelligence of teenagers who live in orphanage. It is estimated that the high emotional intelligence from the subjects is caused by the result of counseling program; whereas the low learning achievement is caused by there is no affection from their real parents.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Enditha Sukma Permatasari

Nomor Mahasiswa : 059114051

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar pada Remaja yang Bertempat Tinggal di Panti Sosial

Asuhan Anak Yogyakarta

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 10 September 2012

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : Hubungan Kecerdasan Emosi

Dengan Prestasi Belajar Pada Remaja Yang Bertempat Tinggal Di Panti Sosial

Asuhan Anak Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan Skripsi ini tidak akan

berhasil tanpa bimbingan, petunjuk, bantuan dan dukungan yang sangat berharga

dari berbagai pihak yang membantu. Oleh karena itu pada kesempatan ini

perkenankan penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Orang tuaku, tak terkatakan segala rasa terima kasihku untuk Bapak Ibu

tercinta atas segala cinta, kesabaran, dukungan dan semangat Bapak dan Ibu.

Karya kecil ini aku persembahkan untuk kepada Bapak dan Ibu yang tidak

pernah henti-hentinya memberi dukungan dan semangat yang tidak pernah

padam. Bakti Ananda untuk Bapak Ibu.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayaniselaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma

3. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi selaku Kaprodi Psikologi Universitas Sanata

Dharma

4. Ibu Aquilina Tantri Arini S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing Akademik

(11)

xi

5. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya atas bimbingan dan saran yang diberikan

selama proses penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Endang Iriyanti, MA, selaku Kepala Panti PSAA Yogyakarta atas ijin

dan segala bantuannya dalam proses pengambilan data dalam penelitian ini.

7. Segenap keluarga besar EMI atas segala kebersamaan dan persaudaraan.

8. Teman-temanku yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu atas dorongan,

bantuan maupun pemberian spirit sehingga dapat kami selesaikan.

Saya merasa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu saya mohon

maaf atas kesalahan dan kelalaian yang telah saya perbuat baik sikap, tutur kata

maupaun tulisan. Saya menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi

sempurnanya tulisan ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih

Yogyakarta, 10 September 2012

Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...

HALAMAN PENGESAHAN ...

HALAMAN MOTTO... ...

HALAMAN PERSEMBAHAN...

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

ABSTRAK ...

ABSTRACT ...

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

BAB I PENDAHULUAN ...

A.Latar Belakang Masalah ...

(13)

xiii

1. Pengertian Belajar ...

2. Pengertian Prestasi Belajar ...

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar ...

B.Kecerdasan Emosi ...

1. Pengertian Emosi ...

2. Pengertian Kecerdasan Emosi ...

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi ...

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi ...

C.Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta...

1. Pengertian Remaja ...

2. Ciri-ciri Masa Remaja ...

3. Remaja Penghuni Panti Sosial Asuhan Anak...

D. Kerangka Konseptual ...

E. Hipotesis Penelitian ...

BAB III METODE PENELITIAN ...

A.Jenis Penelitian ...

B.Identifikasi variabel penelitian ...

1. Variabel Bebas ...

2. Variabel tergantung ...

C.Definisi Operasional ...

D.Subjek dan Lokasi Penelitian ...

E. Metode Pengambilan Data ...

(14)

xiv

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...

A.Pelaksanaan Penelitian ...

B.Analisis Data Penelitian ...

1. Uji Asumsi ...

2. Deskripsi Data Penelitian ...

3. Analisis Korelasi Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar

Remaja Panti Asuhan ...

1. Bagi pihak PSAA Yogyakarta ...

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ...

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Eksplikasi Konstruk ... 45

Tabel 2. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi ... 46

Tabel 3. Skala Kecerdasan Emosi ... 47

Tabel 4. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Untuk Uji Coba ... 49

Tabel 5. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba ... 51

Tabel 6. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba ... 52

Tabel 7. Reliabilitas Statistik ... 53

Tabel 8. Hasil Uji Normalitas ... 57

Tabel 9. Hasil Uji Linieritas ... 58

Tabel 10. Deskripsi Statistik Kecerdasan Emosi ... 59

Tabel 11. Kategori Skor Kecerdasan Emosi Remaja Panti Asuhan ... 60

Tabel 12. Deskripsi Statistik Prestasi Belajar ... 61

Tabel 13. Kategori Skor Prestasi Belajar Remaja Panti Asuhan ... 61

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Uji Coba ... 74

Lampiran B. Penelitian ... 89

Lampiran C. Daftar Nilai Rap... 99

Lampiran D. Hasil Uji Korelasi Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar .... 102

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan

kualitas sumber daya manusia, baik secara insan maupun kelompok

manusia. Banyak orang berpendapat bahwa seseorang yang memiliki

status pendidikan tinggi maka orang tersebut akan mendapatkan jaminan

pekerjaan yang baik dan mendapatkan penghasilan yang tinggi pula, dan

begitupun sebaliknya. Pada jaman sekarang ini masyarakat sudah

memahami pentingnya pendidikan bagi hidup mereka, terlihat dari upaya

mereka untuk mensekolahkan putra putrinya sampai ke tingkatan yang

paling tinggi yaitu Universitas. Melalui sekolah proses pendidikan dapat

diterapkan kepada para siswa, mereka dapat belajar berbagai macam hal

disana sesuai dengan tingkatannya.

Dalam pendidikan formal, belajar menghasilkan perubahan yang

sifatnya positif sehingga pada akhirnya akan didapat keterampilan,

kecakapan, dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut

tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi

belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar. Proses belajar yang

terjadi pada individu memang merupakan suatu hal yang penting, karena

melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri

(18)

dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Slameto (2010) belajar adalah

suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri

seseorang. Untuk mengetahui perubahan tersebut dibutuhkan penilaian.

Penilaian terhadap hasil belajar ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh

mana perubahan terjadi dalam pencapaian sasaran belajar. Hal inilah yang

disebut sebagai prestasi belajar. Prestasi belajar menurut Winkel (1997)

adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang siswa

dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang

dicapainya.

Banyak anggapan yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang

dalam belajar terkait dengan tingkat inteligensinya. Untuk meraih prestasi

belajar yang tinggi dalam belajar orang tersebut harus memiliki

Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi pula. Pernyataan di atas beralasan,

karena pada kasus-kasus tertentu sering ditemukan bahwa anak dengan

inteligensi rendah atau di bawah rata-rata cenderung mengalami kesukaran

dalam belajar. Karena cara berpikirnya lambat, anak pun mengalami

kesukaran beradaptasi dengan teman-teman sekelasnya.

Ada suatu fenomena yang memperlihatkan bahwa tidak sedikit siswa

yang tidak dapat memperoleh prestasi belajar sesuai dengan kemampuan

(19)

memperoleh prestasi belajar yang rendah, begitupun sebaliknya, ada siswa

yang memiliki kemampuan inteligensi rata-rata normal maupun di

bawahnya dapat meraih prestasi belajar yang tinggi. Menurut Monk

(dalam Djamarah, 2008) seseorang yang memperoleh prestasi-prestasi di

bawah kemampuan inteligensinya disebut dengan underachiever.

Berdasarkan penelitian di negeri Belanda dan negara-negara lain

ditemukan bahwa kurang lebih 30% dari anak sekolah dasar maupun

sekolah menengah adalah underachiever, disebabkan oleh

masalah-masalah sosial dan emosional (Djamarah, 2008). Dalam temuan hasil

observasi Hadinoto (dalam Djamarah, 2008) menyatakan bahwa masalah

underachiever di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya

adalah kurangnya fasilitas belajar, kurangnya stimulasi mental oleh orang

tua di rumah, dan keadaan gizi anak tersebut.

Hal ini jelas membuktikan bahwa ada faktor lain yang

mempengaruhi prestasi belajar dan faktor inteligensi bukan satu-satunya

yang menentukan keberhasilan seseorang. Menurut Goleman (2000),

kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,

sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain,

diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ)

yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi,

mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati

(20)

Kemunculan istilah kecerdasan emosi dalam pendidikan, bagi

sebagian orang dianggap sebagai jawaban atas fenomena tersebut. Teori

Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru

terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru

dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa

kecerdasan emosi tidak kalah penting dengan IQ. Banyak bukti

memperlihatkan bahwa orang yang secara emosi cakap, yang mengetahui

dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu

membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, memiliki

keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, seperti hubungan asmara dan

persahabatan atau dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang

menentukan keberhasilan dalam politik organisasi (Goleman, 2000).

Lalu bagaimana pengaruhnya jika terjadi pada remaja yang terkenal

sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Hurlock (1980)

sering menyebutnya sebagai masa badai dan tekanan (stress and strom)

karena pada masa ini remaja dihadapkan pada perubahan-perubahan yang

membuatnya bingung. Tidak hanya perubahan emosional dan fisik yang

berkembang pesat, tetapi juga perubahan lingkungan yang memaksa

remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan. Selain

rumah, sekolah adalah tempat dimana mereka hampir menghabiskan

waktunya setiap harinya, tempat dimana mereka juga belajar beradaptasi

dengan lingkungan sosial. Banyak tuntutan dari orang tua maupun guru

(21)

menyebabkan remaja tertekan jika mereka tidak mampu untuk memenuhi

harapan-harapan tersebut.

Dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosi pada diri remaja yang

sedang mengalami perubahan atau peralihan ini, ada penelitian pada

skripsi yang berjudul Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Efikasi

Diri dengan Prestasi Belajar Siswa SMK YPKK I Sleman (Aryani, 2007)

dan Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar pada

Siswa Kelas II SMUN I Mlati Sleman (Arum, 2005). Dalam kedua

penelitian tersebut terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosi

dan prestasi belajar. Namun penelitian ini diteliti pada subjek remaja yang

berada pada lingkungan sekolah pada umumnya dan mereka berada pada

pengawasan orang tua dalam belajarnya karena mereka tinggal dengan

mereka. Seperti yang dijelaskan di atas, banyak faktor yang dapat

mempengaruhi prestasi belajar, dan salah satunya adalah ada tidaknya

stimulasi mental oleh orang tua di rumah.

Kondisi dimana para remaja ini tinggal selain di sekolah juga

berpengaruh besar terhadap perkembangan sosio emosi remaja tersebut.

Lalu bagaimana dengan mereka yang terpisah dari orang tua, seperti

tinggal dengan saudara yang lain atau tinggal sendiri di kos. Walau

terpisah dengan orang tua, mereka tetap mendapat dukungan secara penuh

berupa fasilitas dan sarana belajar serta komunikasi dengan keluarga

terdekat maupun melalui media telepon bila mereka terpisahkan oleh jarak.

(22)

penuh seperti yang dijelaskan di atas, khususnya yang bertempat tinggal di

Panti Asuhan yang hanya memiliki relasi dengan teman dan staff pengurus

panti. Anak-anak yang pada masa awal menjadi yatim atau anak panti

asuhan biasanya memiliki rasa takut, minder, cemas, gelisah dan fustrasi.

Kondisi emosional ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek

perkembangan lainnya seperti keterlambatan dalam perkembangan fisik,

motorik, intelektual, dan sosialnya jika anak tersebut terus merasa seperti

itu (dalam Kementerian Sosial RI, 2008). Anak asuh yang dalam masa

awal perkembangannya mengalami kondisi emosional seperti yang

dijelaskan di atas, akan memiliki kecenderungan bersifat menarik diri,

mementingkan diri sendiri serta sangat menuntut pertolongan atau

perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diduga bahwa tingkat

kecerdasan emosi remaja panti asuhan adalah rendah, dan karena kondisi

emosinya tersebut maka tingkat prestasi belajarnya akan terpengaruh juga.

Dengan latar belakang subjek yang bertempat tinggal di panti asuhan

apakah hasil penelitian juga akan sama seperti pada penelitian sebelumnya,

oleh karena itu, dalam penyusunan penelitian ini penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian lanjutan dengan judul: “Hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada remaja yang bertempat

(23)

B. Masalah Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di

atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. “Bagaimanakah kondisi kecerdasan emosi remaja yang bertempat

tinggal di panti asuhan?”

2. “Bagaimanakah prestasi belajar remaja yang bertempat tinggal di panti

asuhan?”

3. “Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar

pada remaja yang bertempat tinggal di panti sosial asuhan anak

Yogyakarta?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk melihat apakah

ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar pada

(24)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat,

antara lain ialah :

1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan bagi psikologi pendidikan dan psikologi

perkembangan.

2. Dari segi praktis, penelitian ini akan bermanfaat bagi:

a. Bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan pengetahuan yang

berkaitan dengan psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan

b. Bagi praktisi pendidikan, penelitian ini dapat memberikan informasi

yang berkaitan dengan prestasi belajar dan kecerdasan emosional.

c. Bagi pihak panti, penelitian ini dapat membantu memberikan

referensi serta pemahaman baru saat proses pendampingan anak asuh

dalam proses pembelajaran atau pendidikan serta sebagai bahan

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Prestasi Belajar 1.Pengertian Belajar

Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari perbuatan belajar, karena

belajar merupakan suatu proses, sedangkan prestasi belajar adalah hasil dari

proses pembelajaran tersebut.

Dalam keseluruhan proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan

pokok yang dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan. Berhasil

tidaknya tujuan pendidikan tersebut bergantung kepada bagaimana proses

belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didiknya.

James O. Whittaker (dalam Djamarah, 2008) merumuskan belajar

sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan

atau pengalaman. Senada dengan hal tersebut, Cronbach (dalam Djamarah,

2008) berpendapat bahwa belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan

oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Slameto (2010)

mendefinisikan belajar sebagai proses usaha yang dilakukan individu untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan

lingkungan.

(26)

Dari semua definisi belajar yang diutarakan para ahli di atas dapat

dipahami bahwa proses belajar melibatkan dua hal yaitu jiwa dan raga.

Maksudnya adalah gerak raga yang ditumbulkan harus sejalan dengan

proses jiwa untuk mendapatkan perubahan, perubahan yang dimaksud

bukanlah perubahan fisik tetapi perubahan jiwa. Dengan demikian,

perubahan fisik akibat patah tangan, sengatan serangga, ataupun perubahan

tingkah laku karena orang mabuk bukanlah termasuk perubahan dalam

pengertian belajar. Oleh sebab itu, perubahan sebagai hasil dari proses

belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Slameto (2010) juga menandai perubahan tingkah laku dalam pengertian

belajar, sebagai berikut:

a. Perubahan terjadi secara sadar

Seseorang yang belajar akan menyadari adanya perubahan dalam

dirinya. Misalnya, seseorang akan menyadari bahwa kecakapannya

bertambah, pengetahuannya bertambah, kebiasaannya bertambah. Jadi

perubahan tingkah laku yang terjadi karena kondisi mabuk atau tidak

sadar tidak dapat dikatakan perubahan dalam pengertian belajar karena

orang yang bersangkutan tidak menyadari adanya perubahan.

b. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional

Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara

berkesinambungan dan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan

menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan

(27)

menulis, maka ia mengalami perubahan dari tidak dapat menulis menjadi

dapat menulis. Perubahan ini berlangsung terus sehingga kemampuan

menulisnya meningkat.

c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif

Perubahan dalam belajar terjadi karena tujuan untuk memperoleh

sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud

perubahan bersifat aktif adalah perubahan yang terjadi tidak dengan

sendirinya tapi dengan usaha individu itu sendiri.

d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara

Perubahan yang terjadi dalam proses belajar bersifat menetap atau

permanen. Berarti tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat

menetap. Misalnya, seorang anak yang belajar bermain bola,

kemampuannya setelah belajar tidak akan hilang melainkan akan terus

meningkat jika anak tersebut melatih kemampuannya.

e. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah

Perubahan tingkah laku terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai.

Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang

benar-benar disadari. Misalnya, seseorang belajar bahasa Inggris, sebelumnya

sudah menetapkan kemampuan atau kecakapan apa yang akan dicapai

dengan belajar bahasa Inggris. Dengan demikian, perbuatan belajar yang

dilakukan senantiasa terarah kepada tingkah laku yang telah

(28)

f. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku

Saat seseorang belajar sesuatu maka sebagai hasilnya dia akan

mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap,

keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.

Jadi, dalam proses belajar selalu diikuti dengan perubahan

pengetahuan dan tingkah laku yang terus berkembang dalam setiap diri

individu. Selama perubahan belajar terus berlangsung dalam diri individu

maka akan memunculkan prestasi dalam belajarnya.

2. Pengertian Prestasi Belajar

Salah satu proses terpenting dalam belajar adalah belajar di sekolah.

Melalui lembaga resmi ini kapasitas belajar anak akan bertambah dengan

lingkungan yang baru, bersama teman-teman dan guru. Dari sekolah, siswa

yang belajar dapat memahami kemampuan dirinya berdasarkan prestasi

yang mereka hasilkan dalam proses belajar.

Arifin (dalam Sutjijoso dan Zarfiel, 2009) mendefinisikan prestasi

belajar sebagai hasil dari suatu usaha siswa yang menggambarkan sejauh

mana siswa telah mampu meraih tujuan yang telah ditetapkan dalam setiap

bidang studi. Menurut Bloom, prestasi belajar adalah suatu proses belajar

untuk menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan, pemahaman,

penerapan, kemampuan menganalisis, sintesis, dan evaluasi (Hapsari dalam

Sutjijoso dan Zarfiel, 2009). Dengan demikian, prestasi belajar adalah hasil

(29)

sekolah, ukuran prestasi belajar dilihat berdasarkan hasil belajarnya yang

tertuang dalam nilai raport.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah banyak sekali

faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Menurut Shertzer dan Stone (dalam

Winkel, 1997) serta Slameto (2010), sebagai sumber yang telah diolah

maka dibuat sistematika baru mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

belajar dan prestasi belajar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

a. Faktor internal

Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat

mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua

kelompok, yaitu :

1) Faktor fisiologis

Dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor

yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera

a) Kesehatan badan

Untuk dapat menempuh studi yang baik siswa perlu

memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan

fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam

(30)

kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan

pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya.

Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat

meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang

teratur.

b) Pancaindera

Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapat

berlangsungnya belajar dengan baik. Dalam sistem pendidikan

dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling memegang

peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting,

karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia

dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran.

2) Faktor psikologis

Ada banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi

belajar siswa, antara lain adalah :

a) Multiple Intelligence

Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa

mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang

dimiliki siswa. Menurut Binet hakikat inteligensi adalah

kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu

(31)

mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis

dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi

belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf

inteligensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai

prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang

memiliki taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan

memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah suatu

yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah

memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya.

Selain kecerdasan inteligensi yang dijelaskan diatas, ada

juga yang dikenal dengan istilah kecerdasan emosi. Menurut

Yusuf & Sugandhi (2011) emosi merupakan faktor dominan yang

mempengaruhi tingkah laku individu, termasuk juga tingkah laku

belajar. Emosi yang positif (seperti senang, bergairah) akan

mempengaruhi individu untuk berkonsentrasi terhadap aktivitas

belajarnya. Sebaliknya, jika yang menyertai proses belajar itu

adalah emosi yang negatif (seperti tidak senang, kecewa), maka

proses belajar akan mengalami hambatan.

b) Sikap

Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri

dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam

(32)

terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang

baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.

c) Motivasi

Menurut Winkel (1997) motivasi belajar adalah

keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang

menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari

kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar

itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi

belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual.

Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat

belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak

energi untuk melakukan kegiatan belajar.

b. Faktor eksternal

Menurut Shertzer dan Stone (dalam Winkel, 1997) serta Slameto

(2010), sebagai sumber yang telah diolah, selain faktor-faktor yang ada

dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang dapat mempengaruhi

(33)

1) Faktor lingkungan keluarga

a) Sosial ekonomi keluarga

Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih

berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik,

mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah.

b) Pendidikan orang tua

Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi

cenderung lebih memperhatikan dan memahami pentingnya

pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang

mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.

c) Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota

keluarga

Dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat

berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara

langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak

langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis. Kondisi ini

berbeda pada anak yang tinggal pada sebuah panti asuhan, yang

fisik umumya berbentuk asrama. Di dalam asrama terdapat satu

atau lebih petugas yang bertindak sebagai bapak atau ibu

pengasuh. Selain itu di dalam asrama juga terdapat anak asuh

dimana mereka dikelompokkan dalam jumlah yang besar dan

(34)

kelompok umur dan dikelompokkan antara 15 sampai dengan 20

orang. Struktur seperti ini membuat kurang meratanya

pengawasan dan bimbingan yang diberikan kepada anak sehingga

dapat menghambat perkembangan diri anak.

2). Faktor lingkungan sekolah

a) Sarana dan prasarana

Kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP

akan membantu kelancaran proses belajar mengajar di sekolah;

selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar

sekolah juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar.

b) Kompetensi guru dan siswa

Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih

prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja

yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila

seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan

baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas

dan tenaga pendidik yang berkualitas , yang dapat memenihi rasa

ingintahuannya, hubungan dengan guru dan teman-temannya

berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim

belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong

(35)

c) Kurikulum dan metode mengajar

Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan

materi tersebut kepada siswa. Metrode pembelajaran yang lebih

interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran

serta siswa dalam kegiatan pembelajaran.

3) Faktor lingkungan masyarakat

a) Sosial budaya

Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan

mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik.

Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan

enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung

memandang rendah pekerjaan guru/pengajar.

b) Partisipasi terhadap pendidikan

Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung

kegiatan pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan

anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan

lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu

pengetahuan.

Berdasarkan faktor-faktor yang dijelaskan di atas, penelitian akan

berfokus pada faktor psikologis dan faktor eksternal yang terdiri dari

(36)

menjelaskan secara terperinci mengenai hubungan antara kecerdasan

emosi dengan prestasi belajar pada remaja yang bertempat tinggal di panti

sosial asuhan anak.

B.Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Emosi

Kata emosi selalu dikaitkan dengan setiap kegiatan atau pergolakan

pikiran, perasaan ataupun nafsu. Namun Crow & Crow (dalam Sobur, 2003)

mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri

individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam)

terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan

individu.

Serupa dengan pengertian di atas, Daniel Goleman (2000)

menyimpulkan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan

pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian

kecenderungan untuk bertindak.

Semua emosi pada dasarnya melibatkan perubahan fisik yang tampak

maupun yang tersembunyi, baik yang dapat diketahui atau tidak, seperti

denyut jantung, tekanan darah, malu, sesak nafas, gemetar, menangis, dan

lain sebagainya. Berikut adalah beberapa golongan emosi dasar menurut

(37)

a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati,

berang, tersinggung, tindak kekerasan dan kebencian

patologis.

b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani

diri, putus asa, kesepian, ditolak, kalau menjadi

patologis, depresi berat.

c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut

sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, khawatir, sebagai

patologis, fobia dan panik.

d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur,

bangga, kenikmatan indrawi, rasa terpesona, rasa puas,

senang, kegirangan luar biasa.

e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan

hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.

f. Terkejut : terkesiap, terkejut, terpana.

g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka.

h. malu : malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, rasa salah.

2. Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan

(38)

dari Universitas Yale pada tahun 1990. Salovey dan Mayer menjelaskan

istilah kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,

membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan

maknanya, dan mengontrol perasaan secara mendalam sehingga membantu

perkembangan emosi dan intelektualnya (dalam Stein & Book, 2004).

Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan

seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our

emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)

melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati

dan keterampilan sosial.

Sepaham dengan pengertian di atas, Stein & Book (2004)

merumuskan bahwa dalam percakapan sehari-hari, kecerdasan emosi

biasanya disebut sebagai “street smarts (pintar)” atau kemampuan khusus

yang kita sebut “akal sehat”, termasuk dalam kemampuan membaca

lingkungan politik dan sosial, kemampuan untuk memahami dengan spontan

apa yang dibutuhkan orang lain dengan kelebihan dan kekurangan mereka,

kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan, serta kemampuan untuk

menjadi orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan orang

(39)

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Salovey (dalam Goleman, 2000) memperluas konsep dasar kecerdasan

emosi dalam lima wilayah utama, yaitu:

a. Kemampuan mengenali emosi diri

Kesadarandiri, dalam artian mengenali perasaan sewaktu perasaan

itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Orang yang memiliki

keyakinan lebih tentang perasaannya adalah pilot yang handal dalam

kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi

dalam perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan

keputusan masalah pribadi.

b. Kemampuan mengelola emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat

adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang yang

pandai dalam keterampilan ini akan lebih cepat bangkit dari

kemerosotan (sedih, murung) daripada mereka yang kurang terampil

mengelola emosinya.

c. Kemampuan memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang

sangat penting dalam kaitan untuk memotifasi diri sendiri dan

menguasai diri sendiri, member perhatian, dan untuk berkreasi. Orang

yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif

(40)

d. Kemampuan mengenali emosi orang lain

Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran

emosional, merupakan “keterampilanbergaul” dasar. Orang-orang yang

empatik lebih mampu melihat sinyal-sinyal social yang mengisyaratkan

apa yang dibutuhkan orang lain.

e. Kemampuan membina hubungan

Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Orang yang hebat dalam keterampilan ini

akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang

mulus dengan orang lain.

Ada juga seorang pakar psikologi Israel kelahiran Amerika, Dr.

Reuven Bar-On (dalam Stein & Book, 2004) yang menemukan cara untuk

merangkum kecerdasan emosi dengan membagi EQ (emotional quotient)

kedalam lima area atau ranah yang menyeluruh, yaitu:

a. Ranah intrapribadi

Terkait dengan kemampuan kita untuk mengenal dan

mengendalikan diri sendiri. Ini melingkupi kesadaran diri, sikap asertif,

kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.

b. Ranah antarpribadi

Berkaitan dengan keterampilan bergaul yang kita miliki,

kemampuan kita berinteraksi dan bergaul baik dengan orang lain.

(41)

c. Ranah penyesuaian diri

Berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis,

dan untuk memecahkan aneka masalah yang muncul. Hal ini terdiri dari

uji realitas, sikap fleksibel, serta pemecahan masalah.

d. Ranah pengendalian stress

Terkait dengan kemampuan kita untuk tahan menghadapi stress

dan mengendalikan impuls. Meliputi ketahanan menanggung stress dan

pengendalian impuls.

e. Ranah suasana hati umum

Terdiri dari optimism dan kebahagiaan.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi

Menurut Yusuf & Sugandhi (2011) sebagai sumber yang telah diolah

maka dibuat sistematika baru mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan emosi sebagai berikut:

a. Faktor keluarga

Keluarga dipandang sebagai faktor penentu utama terhadap

perkembangan anak, karena keluarga merupakan kelompok sosial

pertama yang menjadi pusat identitas anak. Kemampuan mengontrol

emosi diperoleh melalui peniruan dan latihan atau pembiasaan orang

tua. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang

(42)

sehat dan stabil. Namun apabila kebiasaan orang tua dalam

mengekspresikan emosinya kurang stabil (seperti: marah-marah, mudah

mengeluh, kecewa, dll), maka perkembangan emosi anak cenderung

kurang stabil dan tidak sehat. Pada peran panti asuhan yang merupakan

lembaga yang memberikan pelayanan pengganti fungsi keluarga, anak

yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit mendapatkan perhatian

yang sama dari bapak atau ibu pengasuh mereka, karena mereka harus

berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Selain itu

mereka mengalami kekurangan akan kasih sayang, begitu juga

kurangnya perhatian dikarenakan figur pengasuh yang lebih dan selalu

berganti-ganti.

b. Faktor lingkungan sekolah

Salah satu tujuan sekolah adalah menata dan mengembangkan

iklim sosio-emosional siswa. Kondisi yang mendukung hal tersebut

adalah adanya hubungan interpersonal yang positif antar pimpinan,

guru, staf, dan siswa; sikap dan perlakuan guru terhadap siswa yang

penuh kasih sayang dan respek terhadap pribadi siswa; dan

kepemimpinan kepala sekolah yang berwibawa dan bijak.

c. Faktor teman sebaya (peer group)

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak dan

mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan dirinya. Melalui

kelompok sebaya, anak dapat memenuhi kebutuhannya untuk belajar

(43)

merespon dan menerima pendapat serta perasaan orang lain, belajar

tentang norma kelompok, dan memperoleh pengakuan dan penerimaan

sosial. Contohnya pada usia sekolah dasar anak mulai menyadari bahwa

pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak

disenangi oleh orang lain, oleh karenanya, dia mulai belajar untuk

mengendalikan dan mengontrol emosinya.

C. Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta

1. Pengertian Remaja

Masa remaja disebut juga adolescence, yang dalam bahasa latin

berasal dari kata adolescere, yang berarti “to grow into adulthood”.

Rentang usianya antara 12/13-19/20 tahun (dalam Yusuf & Sugandhi,

2011). Adolesen merupakan periode transisi dari masa anak ke masa

dewasa, yang mana terjadi perubahan dalam aspek biologis, psikologis,

dan sosial. Yang menjadi tugas kunci remaja adalah persiapan menghadapi

masa dewasa.

2. Ciri-Ciri Masa Remaja

a. Perubahan pada Masa Remaja

Menurut Laurence Steinberg (dalam Yusuf & Sugandhi, 2011) ada

(44)

1) Biologis, seperti mulai matangnya alat reproduksi, tumbuhnya buah

dada pada wanita dan kumis pada pria.

2) Kognisi, yaitu kemampuan untuk memikirkan konsep-konsep yang

abstrak (seperti persaudaraan, demokrasi, dan moral), dan mampu

berpikir hipotetis (mampu memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi

berdasarkan pengalaman).

3) Sosial, yaitu perubahan dalam status sosial yang memungkinkan

remaja masuk keperan atau aktivitas terbaru, seperti bekerja atau

menikah.

b. Tugas Perkembangan

Berikut adalah tugas-tugas perkembangan pada masa remaja

menurut Havighurst (dalam Hurlock. 1980):

1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman

sebaya baik pria maupun wanita.

2) Mencapai peran sosial pria dan wanita.

3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara

efektif.

4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung

jawab.

5) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya.

6) Mempersiapkan karier ekonomi.

(45)

8) Memperoleh perangkat nilai dan system etis sebagai pegangan untuk

berperilaku, mengembangkan ideologi.

c. Identitas diri remaja menurut Erikson

Identitas diri individu berkembang pada usia remaja, pada tahap

perkembangan kelima, yaitu identity vs identity confusion yang dapat

juga disebut kebingungan identitas atau peran. Erikson mendefinisikan

identitas diri sebagai konsepsi tentang diri, nilai, penentuan tujuan, dan

keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang. Tugas utama pada

remaja adalah memecahkan krisis identitas, agar dapat menjadi orang

dewasa yang memahami dirinya secara utuh, serta memahami perannya

di masyarakat. Krisi identitas terjadi apabila remaja tidak dapat memilih

di antara berbagai alternatif yang bermakna. Dapat dipandang bahwa

remaja yang berhasil memiliki identitas diri yang matang atau sehat dan

tidak memiliki kebingungan, apabila sudah memiliki pemahaman dan

kemampuan untuk beradaptasi dengan dirinya sendiri serta peranannya

dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan nilai-nilai agama. Sedangkan

remaja yang gagal menemukan identitas dirinya cenderung

menampilkan perilaku menyimpang dan aneh-aneh pada lingkungan

(46)

3. Remaja Penghuni Panti Sosial Asuhan Anak

a. Pengertian Remaja Penghuni Panti Sosial Asuhan Anak

Menurut buku Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar Melalui

Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) anak terlantar adalah anak-anak

yang karena sebab-sebab tertentu telah mengakibatkan kebutuhan

dasarnya tidak terpenuhi secara wajar, baik kebutuhan fisik, mental

maupun sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan Panti Sosial Asuhan

Anak (PSAA) adalah suatu lembaga pemerintah atau swasta yang

bertanggung jawab untuk menyelenggarakan alternatif pengasuhan

anak, perlindungan dan pelayanan sosial bagi anak selain orang tua atau

keluarganya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja

penghuni panti asuhan adalah anak terlantar dengan rentang usia antara

12/13-19/20 tahun yang tidak memiliki kebutuhan dasar yang diasuh

oleh suatu lembaga dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

b. Situasi Remaja PSAA

Berdasarkan penelitian kualitas pengasuhan anak di panti sosial

asuhan anak yang dilakukan padatahun 2006 dan 2007 oleh Save the

Children dan Kementerian Sosial (Kemensos) dengan dukungan dari

Unicef. Penelitian dilakukan di enam provinsi yaitu Nangroe Aceh

(47)

Nusa Tenggara Barat, dan Maluku; termasuk satu panti percontohan

milik Kemensos di Pati, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk

menyediakan gambaran yang komprehensif tentang kualitas

pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) di Indonesia.

Beberapa temuan inti dari penelitian tersebut adalah:

1) Panti asuhan lebih berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan

akses pendidikan kepada anak dari pada sebagai lembaga alternatif

terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat diasuh oleh orangtua atau

keluarganya.

2) Anak-anak yang tinggal di panti umumnya (90%) masih memiliki

kedua orang tua dan dikirim ke panti dengan alasan utama untuk

melanjutkan pendidikan.

3) Berdasarkan tujuan panti ke arah pendidikan, anak-anak harus

tinggal lama di panti sampai lulus SLTA dan harus mengikuti

pembinaan daripada pengasuhan yang seharusnya mereka terima.

4) Pengurus panti tidak memiliki pengetahuan memadai tentang situasi

anak yang seharusnya diasuh di dalam panti, dan pengasuhan yang

idealnya diterima anak (Standar Nasional Pengasuhan Untuk

Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak).

Temuan dari penelitian di atas merupakan gambaran situasi secara

umum pada PSAA di seluruh Indonesia. Pada PSAA Yogyakarta, ibu

Endang Iriyanti sebagai kepala panti menjelaskan bahwa sasaran PSAA

(48)

perempuan usia 6-18 tahun, 2) yatim, piatu, yatim piatu dan terlantar, 3)

anak yang keluarganya tidak mampu memberikan perlindungan karena

kondisi khusus keluarga klien maupun lingkungan klien. Jenis

pelayanan yang diberikan adalah perlindungan dan pengasramaan,

kebutuhan dasar (pangan, pakaian, kesehatan, penguatan mental sosial,

keagamaan, penyaluran bakat dan minat) dan sasaran pendidikan formal

baik tingkat SD sampai dengan SLTA.

Latar belakang mereka menjadi penghuni PSAA Yogyakarta

beragam, diantaranya karena faktor ekonomi keluarga yang kurang,

memiliki orang tua yang mengalami gangguan jiwa atau cacat fisik,

memiliki orang tua sebagai tuna susila, dibuang oleh orang tua atau

kelarga, dan yatim piatu. Selain karena masa remaja dianggap sebagai

periode “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi

meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, ditambah

dengan latar belakang seperti dijelaskan di atas maka pihak PSAA

menyediakan bimbingan konseling untuk anak panti.

c. Situasi Khusus Perkembangan Emosi Remaja PSAA

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar

memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan

reaksi emosional. Caranya adalah dengan membicarakan pelbagai

masalah pribadinya dengan orang lain. Dalam proses ini lingkungan

(49)

Makmur Sunusi (dalam Kementerian Sosial RI, 2008), Direktur

Jendral Pelayanan Sosial dan Rehabilitasi Sosial Depsos Rl mengatakan

bahwa, "Indonesia telah mengakui secara jelas bahwa keluarga adalah

lingkungan terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh dan penelitian ini

merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa kebutuhan

anak-anak yang memerlukan pengasuhan alternatif dipenuhi dengan

profesionalitas dan pengasuhan yang berkualitas dan panti asuhan

merupakan pilihan terakhir."

Pengasuhan di panti asuhan ditemukan sangat kurang. Hampir

semua fokus ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya

kebutuhan materi sehari-hari sementara kebutuhan emosional dan

pertumbuhan anak-anak tidak dipertimbangkan. Sekali anak-anak

memasuki panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal di sana

sampai lulus dari SMA kecuali mereka melanggar peraturan atau tidak

berprestasi di sekolah (dalam Kementerian Sosial RI, 2008).

Sebuah penelitian serupa yang dilakukan oleh Goldfard

(dalam Burns, 1993) menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam

suatu institusi, cenderung mengalami hambatan dalam perkembangan

kepribadiannya, misalnya cenderung untuk menarik diri dari

lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau mental. Peran PSAA

adalah sebagai lembaga yang memberikan pelayanan pengganti fungsi

keluarga. Penghuni PSAA biasanya sulit mendapatkan perhatian yang

(50)

berbagi perhatian dengan begitu banyak anak asuh lainnya. Dalam

sebuah keluarga pada umumnya kemampuan mengontrol emosi

diperoleh melalui peniruan dan latihan atau pembiasaan orang tua,

berarti bagi penghuni PSAA proses peniruan dan latihan mengontrol

emosi ini mereka dapat dari para pengasuhnya.

Penghuni di PSAA Yogyakarta, tidak selalu mereka adalah yang

kehilangan orang tua ataupun salah satu orang tuanya, tetapi juga

penghuni yang terlantar karena sebab-sebab lainnya, seperti faktor

ekonomi keluarga yang kurang, memiliki orang tua yang mengalami

gangguan jiwa atau cacat fisik, memiliki orang tua sebagai tuna susila,

dibuang oleh orang tua atau kelarga, dan yatim piatu. Sehingga

sebab-sebab keberadaan mereka di panti asuhan dapat memberikan kesan

khusus pada perkembangan emosinya. Selain karena masa remaja

dianggap sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana

ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan

kelenjar, ditambah dengan latar belakang seperti dijelaskan di atas maka

pihak PSAA menyediakan bimbingan konseling untuk anak panti.

d. Situasi Khusus Terkait Perkembangan Belajar dan Prestasi Belajar

Remaja PSAA

Ada sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa regulasi

emosi sangat penting bagi keberhasilan akademik. Remaja yang sering

(51)

yang rendah, begitupun sebaliknya, anak yang sering mengalami emosi

yang positif cenderung memiliki prestasi belajar yang tinggi (dalam

Yusuf & Sugandhi, 2011).

Dalam lingkungan panti peran pengasuh sangat mempengaruhi

perkembangan anak asuh dari pengasuhan yang diberikan. hal tersebut

disebabkan karena pengasuh berkaitan dengan perilaku dan sikap

terhadap anak dalam menciptakan suatu iklim emosional pada

hubungan antara orang tua dan anak (Jaya, 2009)

D.Kerangka Konseptual

Faktor penting dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun

kecakapan intelektual, adalah kecerdasan emosi. Karena kecerdasan

intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi

gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan

kecerdasan emosi, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan

mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi

perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosi yang

berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan

dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat

(52)

yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada

tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.

Salah satu faktor pendukung dalam memperoleh prestasi belajar adalah

dukungan keluarga, dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu

semangat berpretasi bagi seseorang, seperti pujian atau nasihat misalnya,

layaknya seperti hubugan keluarga yang harmonis. Dalam penelitian

sebelumnya dengan topik yang yang sama hal ini telah terbukti bahwa anak

dengan kecerdasan emosi yang baik dan memiliki faktor pendukung seperti di

atas maka akan memperoleh prestasi belajar yang baik.

Kondisi tersebut berbeda pada anak yang tinggal di PSAA yang harus

berbagi tempat dengan anak yang lain dan harus menerima perhatian yang

terbagi dari para pengurus panti. Bisa jadi anak di PSAA memiliki kecerdasan

emosi yang baik namun jika tidak memiliki faktor pendukung seperti anak

pada umumnya yang tinggal dengan orang tua maupun kerabat dekat maka

apakah akan menghasilkan prestasi belajar yang baik pula.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat

kemungkinan adanya faktor lain yang melengkapi kecerdasan emosi seseorang

(53)

Remaja Panti Asuhan

Kebutuhan dasar kurang terpenuhi: fisik, mental, sosial

Favorable:

Dapat mengenali emosi diri. Dapat mengelola emosi. Dapat memotivasi diri sendiri. Dapat mengenali emosi orang lain. Dapat membina hubungan.

Prestasi Belajar Rendah

Kecerdasan Emosi Tinggi Kecerdasan Emosi Rendah

Unfavorable:

(54)

E.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Tingkat kecerdasan emosi remaja panti asuhan rendah.

2. Tingkat prestasi belajar remaja panti asuhan rendah.

3. Ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan ada dua, yaitu statistik

deskriptif dan metode penelitian kuantitatif korelasional. Yang dimaksud

statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendiskripsikan

terhadap objek yang diteliti tanpa membuat kesimpulan yang berlaku secara

umum (Sugiyono, 2007), sedangkan yang dimaksud dengan kuantitatif

korelasional adalah suatu metode penelitian yang bersifat menanyakan

hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini hanya digunakan

dua variabel yaitu variabel kecerdasan emosi dan variabel prestasi belajar.

B.Identifikasi variabel penelitian

Berdasarkan landasan teori yang ada serta rumusan hipotesis penelitian

maka yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas

Kecerdasan Emosi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur

emosinya dengan inteligensinya. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini

diukur sebagai variabel independent atau variabel bebas yang merupakan

variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau

timbulnya variabel tergantung.

(56)

2. Variabel tergantung

Prestasi Belajar, yaitu hasil dari suatu pembelajaran. Dalam

penelitian ini prestasi belajar sebagai variabel tergantung yang merupakan

variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel

bebas.

C. Definisi Operasional

1. Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dirumuskan berdasarkan aktivitas

belajar siswa dalam kegiatan akademik yang tertuang dalam nilai rata-rata

pada raport. Pada penelitian ini menggunakan nilai raport remaja SMK yang

bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta.

2. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengatur emosinya

dengan inteligensinya, meliputi mampu mengenali emosi diri, mengelola

emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan

memiiki kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang

lain. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi,

dan dari pengukuran skala tersebut akan diperoleh nilai skor yang

menunjukkan semakin tinggi nilai skor skala maka semakin tinggi pula

(57)

D. Subjek dan Lokasi Penelitian

Pada tahun 1973, Kanwil Departemen Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta

mendirikan Panti Petirahan Anak ( PPA ) Kaliurang dengan menempati gedung

Peninggalan Belanda di Kawasan Kaliurang dengan Sasaran garap anak-anak

SD di wilayah D.I. Yogyakarta dengan Program Pelayanan Sosial dan

Peningkatan Gizi.

Terjadinya Erupsi Merapi di Yogyakarta pada tanggal 22 Nopember

1994, program Panti Petirahan Anak Yogyakarta di Kaliurang tidak dapat

dilaksanakan karena Wilayah Kaliurang dinyatakan sebagai Daerah Merah,

tidak diijinkan kegiatan jangka panjang apalagi yang melibatkan anak-anak

untuk beraktifitas di Wilayah Kaliurang. Untuk sementara kegiatan Panti

Petirahan Anak (PPA) Kaliurang dilaksanakan di Kantor Loka Bina Karya di

Dusun Klidon, Kalurahan Sukoharjo, Ngaglik , Sleman.

Pada tahun 1998 Kanwil Departemen Sosial Provinsi D.I. Yogyakarta

mendapatkan Alokasi Dana Loan dari Jepang untuk membuat bangunan Panti

Petirahan Anak sebagai Pengganti PPA di Kaliurang, atas ijin dari Kraton

Yogyakarta maka lokasi Bangunan PPA di berikan Dusun Banjarharjo,

Bimomartani, Ngemplak, Sleman. Dan Sejak tanggal 1 April 1999 gedung

tersebut sudah dipakai untuk kegiatan pelayanan Panti Petirahan Anak

Yogyakarta.

Dengan adanya Otonomi daerah berdasar pertimbangan kebutuhan

masyarakat maka Tahun 2004 Panti Sosial Petirahan Anak Yogyakarta beralih

(58)

memiliki dua unit lokasi, yaitu Unit Bima di Bimomartani Kecamatan

Ngemplak Sleman dan Unit Budhi Bakti di Kecamatan Wonosari

Gunungkidul.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-18 tahun yang

bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta, terdiri dari siswa

SMK sebanyak 45 siswa dengan 23 siswa kelas X dan 22 siswa XI yang

berasal dari enam sekolah yang berbeda yaitu SMK Muhamadiyah

Cangkringan Sleman, SMK Muhamadiyah Playen, SMK Muhamadiyah

Wonosari, SMK N 1, SMK N 2, dan SMK N 3 Wonosari. Berdasarkan

keterangan di atas maka total populasi penelitian berjumlah 45 siswa. Populasi

adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk

dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Oleh karena itu,

penelitian yang akan digunakan adalah penelitian populasi, diharapkan dengan

penelitian populasi ini peluang kesalahan generalisasi akan semakin kecil.

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

dua macam, yaitu, metode skala untuk mengukur kecerdasan emosional dan

metode dokumentasi untuk mengukur prestasi belajar.

1. Skala Kecerdasan Emosi

Skala psikologi adalah suatu alat ukur psikologis yang stimulusnya

(59)

perilaku dari atribut yang hendak diukur (Azwar, 2007). Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan skala psikologi untuk mengukur variabel kecerdasan

emosi. Skala kecerdasan emosi terdiri dari aspek mengenali emosi diri,

mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain

(empati), membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000) yang

berguna untuk mengukur sejauh mana kecerdasan emosi siswa SMK yang

bertempat tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Yogyakarta.

a. Definisi atribut

Goleman (2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang

mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional

life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya

(the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan

kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan

sosial.

Salovey (dalam Goleman, 2000) memperluas konsep dasar kecerdasan

emosi sebagai kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola

emosi diri, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengenali

emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan.

b. Definisi komponen atribut

Mengenali emosi diri : kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu

perasaan itu terjadi, seperti peka akan suasana hati atau menyesuaikan

(60)

Mengelola emosi diri : menangani perasaan agar perasaan dapat

terungkap dengan pas, seperti penguasaan diri; kendali diri; dan

mengatur suasana hati.

Memotivasi diri sendiri : perasaan antusiasme, gairah, keyakinan diri

dalam mencapai prestasi, kegigihan dalam menghadapi tantangan,

optimisme.

Mengenali emosi orang lain : kemampuan untuk memahami perasaan dan

pikiran orang lain, seperti empati (ikut merasakan), dan mampu membaca

pesan nonverbal.

Membina hubungan : kemampuan untuk berinteraksi dan bergaul baik

dengan orang lain, meliputi keterampilan bergaul dan tanggung jawab

sosial.

c. Eksplikasi konstruk

Azwar (2007) mengatakan bahwa salah satu cara yang dapat

memudahkan identifikasi tujuan dan kawasan ukur adalah dengan cara

menguraikan komponen-komponen yang ada dalam konsep teoritik

mengenai atribut yang hendak diukur. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia

lengkap (Daryanto, 1997), yang dimaksud komponen adalah bagian yang

merupakan satu kesatuan, jadi yang dimaksud komponen di sini adalah

bagian dari konstruk yang hendak diukur. Dan untuk penyusunan item pada

skala maka perlu adanya eksplikasi konstruk pada komponen yang diperoleh

Gambar

Tabel 1
Tabel 2  Blue Print Skala Kecerdasan Emosi
Tabel 3 Skala Kecerdasan Emosi
Tabel 4 Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Untuk Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengaruh Faktor Kebudayaan, Sosial, Pribadi, dan Psikologis Terhadap Proses Keputusan Pembelian Produk Pizza (Studi pada Pizza HUT Cabang Jalan Jenderal Sudirman No.53

Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam

Analisis kelayakan ekonomi usaha agroindustri gula kelapa di Desa Langkap Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes secara ekonomi layak diusahakan dan menguntungkan dengan hasil

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh anestetikum kombinasi medetomidin dengan ketamin pada onset dan durasi anestesi, serta

Apakah peran obat-obatan? Karena penyebab belum diketahui dengan pasti, obat biasanya hanya ditujukan untuk menghilangkan gejala yang sangat mengganggu. Contoh paling

• Surat merupakan salah satu alat komunikasi tertulis yang berasal dari satu pihak dan ditujukan dari pihak lain untuk menyampaikan berita dengan demikian jelas bahwa surat

Seluruh keanggotaan Komite Audit adalah independen sehingga tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan Dewan