• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

B. Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Psikolog bernama Peter Salovey, yang berasal dari Universitas Harvard serta John Mayer, yang berasal dari University of New Hampshire. Tujuh tahun sebelum Salovey Mayer menerbitkan artikelmengenai konsep kecerdasan emosional, Gardner (1983) mengadakan penelitian dan menemukan bahwa ternyata seseorang memiliki kecerdasan interpersonal dan intrapersonal dalam dirinya (dalam McCleskey, 2012).

Akan tetapi, konsep kecerdasan emosional mulai dikenal sejak

Goleman menerbitkan buku berjudul: “Why it Can Matter than IQ” pada tahun 1995. Dalam bukunya, Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengelola perasaan diri sendiri maupun perasaan orang lain. Menurut Salovey dan Mayer (1990), kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memahami dan mengendalikan emosi diri sendiri maupun orang lain, dan menggunakannya untuk mengembangkan pikiran serta tindakan yang akan dilakukannya. Kondisi emosional seseorang mampu mempengaruhi pikiran, perkataan, serta perilaku seseorang, termasuk dalam

23

pekerjaan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Goleman (1998) bahwa kecerdasan emosional mampu mempengaruhi seseorang pada situasi kerja.

Beberapa tahun kemudian, Salovey dan Mayer (1997) memperbaharui definisinya mengenai kecerdasan emosional, menjadi kemampuan seseorang untuk mempersepsikan secara akurat, menilai, dan mengekspresikan emosi. Setelah Salovey dan Mayer, ada banyak peneliti yang mengusulkan definisi kecerdasan emosional, beberapa diantaranya adalah Ciarrochi dan Godsell (2005), Petrides dkk., (2007), Oyatzis (2009), Zeider et al., (2009), Gignac (2010), dan masih banyak lagi (McCleskey, 2012). Namun, dari banyaknya peneliti yang mengusulkan model kecerdasan emosional, model kecerdasan yang diusulkan Salovey dan Mayerlah yang dianggap paling umum diterima (McCleskey, 2014).

Beberapa tahun setelah itu, Boyatzis dan Goleman memperluas cakupan kecerdasan emosional mereka yang terkait dengan kompetensi sosial dan emosional seseorang di lingkungan kerja (dalam McCleskey, 2014). Akan tetapi, Conte dan Dean (2006, dalam McCleskey, 2014) menganggap bahwa kecerdasan emosional tidak dapat diteliti, karena dianggap memiliki validitas yang rendah. Pengukuran terhadap kecerdasan emosional juga dianggap rentan akan manipulasi ketika responden memberikan data (Grubb & McDaniel, 2007, dalam McCleskey, 2014).

Lain halnya dengan Conte dan Dean, Antonakis dan Dietz (2010) mengatakan bahwa penelitian terkait kecerdasan emosional masih memiliki peluang untuk dikembangkan, jika berdasarkan pada teori yang dicetuskan

oleh Salovey dan Mayer (2008). Salovey dan Mayer (2008) mengatakan bahwa jika seseorang ingin meneliti tentang kecerdasan emosional, ada beberapa saran yang diberikan, yaitu: 1) Sebaiknya peneliti menggunakan definisi yang sudah ada, dan tidak mengusulkan definisi baru, karena definisi baru yang diusulkan dianggap dapat mengacaukan konsep utama dari kecerdasan emosional. 2) Kecerdasan emosional hanya diteliti sebagai kemampuan. 3) Peneliti harus menetapkan batasan penelitian, yaitu hanya untuk meneliti aspek, pengetahuan emosional, kemampuan pengenalan wajah, tingkat kesadaran emosi, dan pengaturan diri emosional. 4) Memisahkannya dari sifat dan keterampilan kepribadian. 5) Peneliti juga harus melakukan pengembangan dan penelitian terkait teori kecerdasan emosional.

Penelitian ini menggunakan konsep teori Salovey dan Mayer digunakan karena teori ini merupakan teori yang paling umum digunakan dan paling mudah untuk dipahami. Selain itu, konsep ini juga dipercaya sebagai

“standar emas” untuk menentukan konsep kecerdasan emosional

(McCleskey, 2014). Schutte et al. (1997) juga mengatakan bahwa teori kecerdasan emosional yang dicetuskan oleh Salovey dan Mayer ini sesuai untuk melihat perkembangan emosi seseorang saat ini dari berbagai dimensi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengendalikan emosi yang ada dalam dirinya maupun

25

orang lain, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan pikiran dan tindakannya.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Salovey (1990, dalam Goleman, 1999), kecerdasan emosional terdiri dari:

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan menyadari perasaan yang sedang dirasakan. Seseorang yang mampu mengenali emosi dirinya akan mampu mengenali kelebihan maupun kekurangan yang dimilikinya.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengolah dan menunjukkan perasaan atau emosinya pada orang lain secara tepat.

c. Memotivasi diri sendiri

Memotivasi diri adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosi dalam diri yang kemudian digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

d. Mengenali emosi orang lain

Mengenali emosi orang lain merupakan kemampuan seseorang untuk memahami keadaan dan perasaan orang lain. Kemampuan ini

akan berdampak pada tumbuhnya rasa percaya seseorang terhadap orang lain.

e. Membina hubungan

Membina hubungan merupakan kemampuan seseorang untuk masuk dan bergabung dalam dinamika sosial di lingkungannya.

Selain Salovey, Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari 5 aspek, yaitu:

a. Kesadaran Diri

Kesadaran diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi yang dimilikinya, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dan memiliki keyakinan terkait harga diri dan kemampuan diri sendiri (Lihat bab 4)

b. Pengaturan Diri

Pengaturan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri sendiri, memelihara norma dan kejujuran, bertanggungjawab atas diri sendiri, menyesuaikan diri dalam menghadapi perubahan, mampu untuk menerima dan terbuka terhadap ide dan informasi baru.

c. Motivasi

Motivasi merupakan kemampuan seseorang untuk menjadi lebih baik, mampu menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelomok, memiliki kesiapan untuk menggunakan kesempatan atau peluang yang

27

ada, serta gigih untuk memperjuangkan tujuan meskipun banyak tantangan.

d. Empati

Empati merupakan kesadaran seseorang terkait perasaan, kebutuhan, dan kepentingan yang dimiliki orang lain.

e. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, bernegosiasi, bekerjasama, dan menciptakan sinergi dalam kelompok.

Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti menggunakan teori yang dicetuskan oleh Salovey dan Mayer (1990). Teori kecerdasan emosional yang dicetuskan oleh Salovey dan Mayer menjelaskan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan (ability) yang berfokus pada hubungan antara emosi dan kognisi seseorang. Sedangkan Al-Rfou (2012) mengatakan bahwa teori milik Goleman (1995) merupakan perpaduan antara kemampuan mental seseorang dan ciri kepribadian yang dimilikinya.

3. Dampak Kecerdasan Emosional

Buku “The Emotionally Intelligent Workplace” karangan Cary Cherniss

(2001) menjelaskan bahwa ternyata kecerdasan emosi memiliki peran yang penting dalam mengatasi permasalahan yang timbul dilingkup pekerjaan. Kecerdasan emosional dapat mempengaruhi efektivitas organisasi, seperti

kerjasama, komitmen karyawan, produktivitas, efisiensi, dan kualitas pelayanan. Organisasi yang memiliki karyawan dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu merespon berbagai konflik dengan baik dan menunjukkan kerjasama, komitmen, dan kreativitas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Druskat dan Wolff (2001) dan Paul (2006) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional memberikan kontribusi bermakna untuk membangun sebuah organisasi yang memiliki kecerdasan emosi. Masing-masing orang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkan kecerdasan emosi yang dimilikinya, sehingga dapat diterapkan dalam relasinya dengan orang lain di lingkup organisasi.

Nurdin (2009) dan Luca dan Tarricone (2001) juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mengelola konflik yang mungkin muncul dalam berelasi dengan orang lain. Senada dengan Nurdin, Patton (1998) juga mengatakan bahwa orang dengan kecerdasan emosional yang baik akan lebih mampu menghadapi tantangan, konflik, perubahan, ketidakpastian, serta situasi yang membuatnya kurang nyaman. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional akan melihat pekerjaan sebagai suatu tantangan dan bukan beban, sehingga dianggap akan berhasil dalam pekerjaannya.

29

Dokumen terkait