Skema 4.2 Prose Kerja Terapi Kelompok Assertiveness Training
2.3 Kecerdasan Emosional
Istilah “Kecerdasan emosional” (Emotional Intelligence) dipopulerkan oleh Daniel Goleman (2009) berdasarkan hasil penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan
intelektual. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan secara akurat, memahami dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk mengetahui dan menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, memahami emosi dan mengarahkan emosi (Hein, 1999). Kecerdasan emosional menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan emosional dan kemampuan sosialnya (Tridhonanto & Agency, 2002)
Kondisi emosi anak yang baik (Goleman, 2009) yaitu dapat mengutarakan perasaan mereka dengan jelas dan langsung, lebih dapat mengendalikan dorongan-dorongan dan keinginan mereka, tidak didominasi oleh emosi negative seperti rasa takut, kekhawatiran, rasa bersalah, rasa malu, kekecewaan, rasa putus asa, rasa tidak berdaya, ketergantungan, berbohong, putus asa; dapat menyeimbangkan perasaan dengan alasan, logika dan kenyataan; merasa percaya diri; independent (mandiri); bisa memotivasi diri; optimistis; mengerti perasaan orang lain; mau belajar yang lebih baik lagi; mampu bertanggung jawab; mampu bertahan melawan tekanan; mampu menyelesaikan konflik dengan baik; memahami rasa putus asa dengan baik; tidak terlibat dalam perilaku yang merusak diri seperti narkoba; memiliki banyak teman; kemampuan akademis lebih baik dan mampu menciptakan suasana aman, nyaman yang membuatnya lebih banyak belajar.
Pengelolaan emosi menjadi satu permasalahan yang sering dihadapi oleh siapapun terutama dalam situasi tertekan, sulit dan melibatkan emosi positif dan negatif. Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi ini khususnya yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat anak terbawa dan terpengaruh secara mendalam sehingga mengakibatkan tidak mampu lagi berpikir rasional (Ramadhani, 2008).
Ketika anak mengalami kemarahan, mampu menerima perasaan tersebut apa adanya dan tidak berusaha menolaknya namun berusaha untuk menyeimbangkannya secara konstruktif, maka ia mampu untuk meredakan rasa marah, kecewa tersebut sehingga tidak berlarut-larut berada dalam emosi negatif tersebut (Goleman, 2009). Seorang
anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi pasti memiliki orang tua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi pula. Anak belajar dan mencontoh orang tuanya sendiri dalam mengelola emosi.
Dengan kata lain, kecerdasan emosi diartikan sebagai kemampuan mengelola emosi melalui memonitor, mengenali dan memahami emosi diri sendiri dan orang lain sehingga dapat digunakan sesuai situasi dan kondisi. Kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) menentukan potensi anak untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan sosialnya, didasarkan pada 5 komponen yaitu kesadaran diri, pengelolaan perasaan, motivasi, empati dan kecakapan membina hubungan dengan orang lain, berikut dijelaskan dengan lebih jelas :
2.3.1 Kesadaran Diri
Untuk dapat merespon emosi orang lain dengan baik, terlebih dahulu anak mengenal dan merasakan emosi diri sendiri, memahami mengapa timbul emosi negatif dan positif. Dengan demikian anak akan mampu menghargai dirinya sendiri dalam mengambil suatu tindakan atau berespon terhadap suatu peristiwa. Pada usia anak, wajar jika seorang anak belum kenal betul dengan emosi-emosi yang dirasakannya. Anak sering kali mengungkapkan emosi mereka secara tidak langsung dan dengan cara-cara yang membingungkan orang tua. Pesan yang dimunculkan oleh anak tidak dapat ditangkap dan diartikan dengan baik oleh orang tua sehingga menimbulkan kesalahpahaman orang tua pada anak. Akibatnya, orang tua menjadi mudah marah dan emosi dan anakpun tidak mampu mengenali emosinya sendiri. Karena itulah, dengan membantu anak menjadi “kaca” baginya. Ketika anak murung, orang tua membantu dengan mendeskripsikan wajah dan perasannya. Dengan demikan anak belajar mengenali bahwa apa yang ia rasakan.
2.3.2 Mengelola dan mengekspresikan perasaan
Kemampuan mengelola emosi yaitu kemampuan anak untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan untuk mengelola emosi erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menghadapi rasa marah, frustasi, sedih, kekecewaan. Kemampuan ini dapat menghindari anak terperangkap dalam suasana emosinya sendiri, dapat berpikir secara rasional
dalam menghadapi masalah dan dapat mengungkapkan perasaan, pendapat secara positif. Orang tua dapat membantu untuk mengekspresikan perasaan anak. Berikan kesempatan anak untuk menangis ketika anak sedih atau kecewa, menjerit ketika anak takut, berteriak ketika anak marah. Kemampuan mengelola dan mengekspresikan perasaannya tidaklah tumbuh dengan sendirinya, membutuhkan peran serta dan bimbingan orang tua (Tridhonanto, 2002). Ciri lain dari kemampuan mengelola perasaannya menurut Suseno (2009) adalah anak mampu bersikap toleransi terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah lebih baik, dapat mengendallikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga, memiliki kemampuan mengatasi ketegangan dalam dirinya dan dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan.
2.3.3 Memotivasi diri
Yaitu kemampuan anak untuk memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, menumbuhkan optimis dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat anak mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, berusaha keras menghadapi hambatan besar, tidak mudah putus asa. Setiap masalah yang dihadapi membutuhkan kematangan emosional, dibutuhkan pemahaman akan tujuan menyelesaikan masalah. Ciri-ciri memotivasi diri menurut Suseno (2009) adalah motivasi diri selalu diiringi oleh rasa tanggung jawab yang tinggi, pemusatan pada tugas yang dikerjakan, dapat menguasai diri dan tidak bertindak impulsif dalam setiap menyelesaikan masalah.
2.3.4 Empati
Kemampuan untuk berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan anak menyelami perasaan orang lain (orang tua, saudara, teman, guru, dll) atau peka sehingga mampu bertenggang rasa, mampu membaca dan memahami perasaan orang lain dilihat dari bahasa non verbal, ekspresi wajah atau intonasi suara orang lain. Kemampuan lainnya yang dapat diasah adalah kemampuan menerima
pendapat orang lain, memahami kebutuhan dan kehendak orang lain yang mungkin berbeda dari pendapat pribadi dan mampu untuk mendengarkan perasaan orang lain secara aktif.
2.3.5 Ketrampilan Sosial/kerja sama dengan orang lain
Yaitu kemampuan anak untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut dan mampu mengatasi konflik-konflik interpersonal secara efektif. Seorang anak yang mempunyai kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa bersikap saling menghormati hak-hak orang lain. Untuk mencapai suatu tujuan yang baik sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (orang tua dan anak misalnya) dalam memecahkan masalah, membutuhkan ketrampilan berbicara tegas dalam komunikasi, memberi kesempatan orang lain untuk mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan secara bersama-sama dan menjalankannya bersama-sama pula. Beberapa ciri lain menurut Gottman (2008)adalah memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain, memiliki sifat bersahabat dengan teman sebaya, memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain, senang menolong orang lain dan bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
Goleman (2009) menjelaskan bahwa perilaku kecerdasan emosional (EQ) tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensinya, melainkan harus dari satu dimensi. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk mengelola kompetensi yang lain. Antara satu kompetensi dengan kompetensi lainnya saling berhubungan. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan mengelola emosi tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri, empati maupun kesadaran sosial.