Skema 4.2 Prose Kerja Terapi Kelompok Assertiveness Training
2.1 Tumbuh Kembang anak sekolah
Perkembangan anak usia sekolah adalah peningkatan kemampuan anak pada usia 6-12 tahun dalam berbagai hal termasuk interaksi dan prestasi belajar dalam menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Pencapaian kemampuan ini akan membuat anak bangga terhadap dirinya. Keberhasilan mengerjakan tugas perkembangan akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya di kemudian hari. Sebaliknya, kegagalan melaksanakan tugas perkembangan menimbulkan ketidakbahagiaan pada anak dan kesulitan dalam mengerjakan tugas perkembangan yang berikutnya (Hurlock, 2008).
Pada usia 6–12 tahun ini, anak berada pada masa usia sekolah dimana anak akan mulai belajar dan berperan serta dalam sebuah sistem belajar yang tersusun secara sistematis dalam jadwal yang ditetapkan oleh sekolah atau suatu lembaga pendidikan. Pada masa ini anak juga belajar menguasai kemampuan untuk bekerja dan mendapatkan keterampilan dewasa. Anak belajar bahwa mereka mampu untuk menguasai dan menyelesaikan tugasnya. Jika anak terlalu ditekan pada aturan dan kaidah tertentu, maka anak akan mengembangkan kepercayaan bahwa kewajiban adalah keharusan bagi mereka sehingga ditanggapai berlebihan terhadap dorongan bekerja anak. Anak yang produktif belajar menikmati kompetisi kerja dan kebanggaan dalam melakukan sesuatu yang baik (Kaplan & Saddock, 1996).
Perasaan ketidakmampuan dan inferioritas, suatu hasil negatif yang potensial dari stadium ini, disebabkan oleh beberapa sumber yaitu anak mungkin dibedakan disekolah, dikatakan kurang cerdas, diberikan perlindungan secara berlebihan dirumah, anak membandingkan dirinya sendiri sebagai anak yang tidak baik dibanding orang tuanya. Guru dan orang tua yang baik akan mendorong anak ke nilai-nilai ketekunan dan produktifitas, gigih dalam usaha mengatasi masalah sulit merupakan hal yang akan sangat membantu anak menciptakan kreatifitas industri dalam dirinya. Namun sebaliknya bila anak tidak mendapatkan bimbingan yang semestinya dari orang dewasa yang memahami perkembangan psikososial sehat maka anak akan berkembang rasa inferior atau rendah diri dalam dirinya.
Periode ini merupakan kelanjutan dari masa Pra Sekolah (3-5 tahun) yang ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif, memori, bahasa, pemikiran kritis, kreatifitas dan perkembangan emosi (Hurlock, 2008). Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. Masa ini disebut juga “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang remaja.
Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain (Ibung,2008). Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan, perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak–anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan–ketrampilan motorik, anak–anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak–anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang.
Pada tahap ini penting bagi anak untuk merasa diterima di lingkungan teman sebayanya. Anak yang memiliki perbedaan fisik dengan teman sebaya beresiko tumbuh menjadi anak yang sensitif dan kurang percaya diri (Ibung, 2008). Perbedaan fisik yang dapat menimbulkan rasa frustasi pada anak dan dapat mengganggu emosional anak diantaranya adalah kondisi fisik yang lemah, fisik yang tidak terlalu tinggi atau pendek dibanding teman sebaya, obesitas.
Menurut teori Piaget (dalam Stuart & Laraia, 2005) pemikiran anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkrit. Operasional adalah hubungan-hubungan logis antara konsep, sedangkan operasional konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objek dan peristiwa nyata dan dapat diukur. Masuknya anak ke sekolah dasar, diikuti oleh perkembangan kognitif yang besar. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar. Anak berusaha untuk tampil lebih baik dari teman-temannya agar mendapatkan perhatian dari orang tua, guru dan teman dengan belajar lebih giat lagi.
Dalam hal perkembangan memori di usia anak sekolah, tidak begitu terlihat peningkatan yang berarti. Memori jangka panjang sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan belajar anak ketika mempelajari dan mengingat informasi. Anak berusaha mengatasinya dengan cara pengulangan (Rehearsal), pengkategorian (organization), melakukan perbandingan (imagery) dan pemunculan kembali (Retrieval). Perlu dipahami bahwa disamping strategi peningkatan memori tersebut, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak seperti tingkat usia, sifat anak (sikap, motivasi dan kesehatan), serta pengetahuan yang diperoleh anak sebelumnya (Yusuf & Nurihsan, 2008).
Perkembangan pemikiran kritis pada anak usia sekolah juga mengalami kemajuan yang signifikan dimana anak mengembangkan pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak
mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu berfikir secara reflektif dan evaluatif. Sejalan dengan berkembangnya fungsi kognitif, berkembang pula kreativitas anak untuk menciptakan sesuatu yang baru melalui jalur pendidikan (Hurlock, 2008).
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat. Kesulitan anak dalam merangkai kata-kata dan menyampaikan pesan kepada teman atau orang dewasa menghalangi usahanya untuk berkomunikasi. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa kecewa dan mempengaruhi emosional anak (Gomma, 2006)
Dalam hal kemampuan sosialnya, anak menghadapi dunia sosial yang lebih luas lagi. Pada tahap ini, anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
Ungkapan emosional pada masa usia sekolah merupakan ungkapan yang menyenangkan, anak tertawa genit atau terbahak-bahak, mengejangkan tubuh atau berguling-guling di lantai dan menunjukkan pelepasan dorongan yang tertahan (Hurlock,2008). Tidak semua emosi pada usia ini menyenangkan. Banyak ledakan amarah terjadi dan anak menderita kekhawatiran dan perasaan kecewa. Dengan bertambah besarnya tubuh, anak-anak mulai mengungkapkan marah dalam bentuk
murung, menggerutu dan berbagai ungkapan kasar. Pada akhir masa kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadikan fase ini merupakan saat sulitnya emosi anak dihadapi orang tua (Gomma, 2006)
Sejumlah penelitian terbaru menemukan bahwa faktor IQ hanya dianggap menyumbangkan 20% menentukan keberhasilan anak, sedangkan sisanya lebih dipengaruhi oleh kematangan anak dalam mengelola emosi. Anak-anak yang memiliki kemampuan menguasai emosinya lebih percaya diri, lebih bahagia, popular, sukses di sekolahnya dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain dengan baik (Ramadhani,2008). Berikut akan dibahas lebih dalam tentang perkembangan emosi anak.