UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI KELOMPOK ASSERTIVENESS TRAINING
TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ASERTIF IBU
DALAM MENGELOLA EMOSI ANAK USIA SEKOLAH (7-12 thn)
DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA
BOGOR BARAT
Sidang Hasil
Diajukan sebagai persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keperawatan
Kekhususan Keperawatan Jiwa
Oleh:
Evin Novianti
NPM 0806446252
PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI KELOMPOK ASSERTIVENESS TRAINING
TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ASERTIF IBU
DALAM MENGELOLA EMOSI ANAK USIA SEKOLAH (7-12 thn)
DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA
BOGOR BARAT
Oleh:
Evin Novianti
NPM 0806446252
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
UNIVERSITAS INDONESIA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga proposal tesis dengan judul “Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola
emosi anak usia sekolah (7-12 tahun) di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Tahun 2010“ dapat terwujud tepat waktu yang dijadwalkan.
Penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat disusun. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat :
1. Ibu Dewi Irawaty,M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
2. Ibu Krisna Yetti, SKp,M.App.Sc, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Ibu Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc, selaku pembimbing I tesis yang telah membimbing penulis dengan sabar, tekun, bijaksana dan sangat cermat memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
4. Ibu Tuti Nuraini,SKp.MBioMed, selaku pembimbing II tesis, yang dengan sabar membimbing penulis, senantiasa meluangkan waktu, dan sangat cermat memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.
5. Ibu Herni Susanti, MN sebagai co-pembimbing yang membimbing penulis dengan sabar, tekun, bijaksana dan juga sangat cermat memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
semua pihak yang telah memberikan dukungan selama penyelesaian tesis ini
Semoga amal dan budi baik bapak dan ibu mendapat pahala yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa. Mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi upaya peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.
Jakarta, Juli 2010
Tesis, Juli 2010 Evin Novianti
Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah (7-12 tahun) di Kelurahan Balumbang Jaya Kota Bogor tahun 2010
x + 113 hal + 18 tabel + 5 skema + 13 lampiran Abstrak
Pada masa usia sekolah, anak belum mampu mengolah masalahnya dengan tepat, anak rentan berperilaku emosional. Tujuan penelitian memperoleh gambaran pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training (AT) terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah. Sampel pada kelompok intervensi dan kontrol masing-masing 32 orang. Terapi kelompok AT membantu ibu mengelola emosi anak melalui komunikasi asertif, dilakukan 6 sesi. Hasil penelitian memperlihatkan peningkatan kemampuan komunikasi asertif ibu pada kelompok yang mendapat AT meningkat secara bermakna (p-value<0,05). Pada kelompook ibu yang tidak mendapat AT, kemampuan komunikasi ibu menurun secara bermakna (p-value<0,05). Kemampuan anak mengelolaemosi meningkat bermakna (p-value<0,05) yang ibunya mengikuti AT, sedangkan pada kelompok yang ibunya tidak mendapat AT menurun bermakna (p-value<0,05). Terapi ini direkomendasikan pada pelayanan kesehatan di masyarakat khususnya anak usia sekolah.
Kata kunci: Kemampuan komunikasi orang tua, mengelola emosi, terapi kelompok Assertiveness Training.
UNIVERSITY OF INDONESIA Tesis, July 2010
Evin Novianti
The Influence of Assertiveness Training Group Therapy To Mother’s Ability of Communication to Arrange children emotion (7-12 years) In District of Balumbang Jaya, Bogor 2010
x + 110 page + 18 tables + 5 scheme + 13 appendixs
Abstract
The child not yet going to mix immediately the problem, it can be emotional. The aimed of this research was to get comprehensive picture about of influence Assertiveness Training (AT) group therapy to ability of assertive communication. A sample consist of 32 responden intervention, 32 control. AT group therapy help the mother to arrange their child emotion with assertive communication, done in six sessions. Results of this research showed significant increase parents ability of communication and impact to emotional quality of child (p-value<0,05). It recommended to do regulary of Assertiveness Training group therapy in the community based as community mental health for family who have school age to arrage emotion.
Keyword : ability of parent communication , arrange emotion, Assertiveness Training group therapy.
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Evin Novianti
NPM : 0806446252
Program Studi : Pasca Sarjana Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training Terhadap Kemampuan Komunikasi Asertif Ibu dalam Mengelola Emosi Anak Usia Sekolah (6-12 thn) di Balumbang Jaya Bogor Barat Tahun 2010.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 20 Juli 2009
Yang menyatakan
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Evin Novianti
NPM : 0806446252
Tanda tangan : ………
Hal
Skema 2.1 Rentang respon Asertif ... 29
Skema 3.1 Kerangka Teori Penelitian
………... 46
Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian
... 46
Skema 4.1 Desain penelitian
pre
dan
post test
... 72
Hal
Tabel 3.1
Definisi operasional variabel
independent
dan
dependent
………. 47
Tabel 4.1
Sampel penelitian di Balumbang Jaya………
55
Tabel 4.2
Tingkat reabilitas alpha……….
61
Tabel 4.3
Teknik analisa variabel penelitian………..
65
Tabel 5.1
Analisis ibu berdasarkan usia, pendapatan keluarga, jumlah anak pada
kel.intervensi & Kontrol ……...……….
72
Tabel 5.2
Distribusi karakteristik ibu menurut tingkat pendidikan, jenis kelamin,
status perkawinan………...
73
Tabel 5.3
Analisis kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum mendapat terapi
kelompok
Assertiveness Training
………...
74
Tabel 5.4
Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan
sesudah terapi kelompok
Assertiveness Training
pada kelompok yang
mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
………
76
Tabel 5.5
Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan
sesudah terapi kelompok
Assertiveness Training
pada kelompok yang
tidak mendapat
Assertiveness Training
………...…………...
77
Tabel 5.6
Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu antara kelompok
yang mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
dan yang tidak
mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
………
79
Tabel 5.7
Analisis selisih perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum
dan sesudah mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
………...
81
Tabel 5.8
Analisis kemampuan anak mengelola emosi anak sebelum ibu mendapat
terapi kelompok
Assertiveness Training
………...
83
Tabel 5.9
Analisis perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan
sesudah ibu mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
…………
84
Tabel 5.10 Analisis kemampuan anak mengelola emosi antara kelompok yang
ibunya mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
dan yang
tidak mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training
………...
85
Tabel 5.11 Analisis selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum
dan sesudah ibu diberikan terapi kelompok
Assertiveness Training
……..
85
Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan kognitif
ibu dalam berkomunikasi secara asertif……….
86
Tabel
5.13 Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan
psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif………..
87
Tabel 5.14 Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap sikap ibu dalam
berkomunikasi secara asertif………..
89
Lampiran 1. Penjelasan tentang penelitian Lampiran 2. Lembar persetujuan
Lampiran 3. Kuesioner A (Data diri ibu)
Lampiran 4. Kuesioner B (kemampuan komunikasi asertif ibu) Lampiran 5. Kuesioner C (kemampuan anak mengelola emosi) Lampiran 6. Kisi – kisi soal kemampuan komunikasi asertif ibu Lampiran 7. Kisi – kisi soal kemampuan anak mengelola emosi Lampiran 8. Modul Terapi Kelompok Assertiveness Training Lampiran 9. Keterangan Lulus Uji Etik
Lampiran 10. Keterangan Lulus Uji Kompetensi dan Expert Validity Lampiran 11. Surat Izin Penelitian FIK-UI
Lampiran 12. Surat Izin Penelitian Kecamatan Bogor Barat Lampiran 13. Daftar Riwayat Hidup Peneliti
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL………...
HALAMAN JUDUL...………...
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...
HALAMAN PENGESAHAN...
KATA PENGANTAR...
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...
ABSTRAK...………...
ABSTRACT...
DAFTAR ISI………...
DAFTAR TABEL...
DAFTAR SKEMA...
DAFTAR LAMPIRAN………...
Halaman
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
ix
x
xii
xiii
xiv
BAB I. PENDAHULUAN ...
1.1
Latar Belakang Masalah...
1.2
Rumusan Masalah...
1.3
Tujuan Penelitian...
1.4
Manfaat Penelitian...
1
1
10
11
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...
2.1
Tumbuh Kembang anak sekolah ……....………...
2.2
Perkembangan emosi anak usia sekolah………...………….…...
2.3
Kecerdasan Emosional………...……….……...
2.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak ....
2.5
Upaya mengingkatkan perkembangan emosi anak usia sekolah....
2.6
Terapi Kelompok
Assertiveness Training
pada orang tua………..
15
15
19
20
24
27
38
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN
DEFINISI OPERASIONAL ...
3.1
Kerangka Teori ………..
3.2
Kerangka Konsep Penelitian...
3.3
Hipotesis...
3.4
Definisi Operasional...
44
44
46
47
47
BAB IV METODE PENELITIAN ...
4.1
Desain Penelitian...
4.2
Populasi dan sampel ...
4.3
Tempat Penelitian...
4.4
Waktu Penelitian...
4.5
Etika Penelitian...
4.6
Alat Pengumpulan Data...
4.7
Uji coba instrumen...………....………
4.8
Prosedur pengumpulan data...
4.9
Analisa Data ...
50
50
52
52
55
56
57
60
61
63
BAB V HASIL PENELITIAN ……….
5.1 Pelaksanaan Terapi Kelompok
Assertiveness Training
………..
5.1.1 Persiapan ………...………..
5.1.2 Pelaksanaan………...………..
5.2 Hasil Penelitian……….
5.2.1 Karakteristik Ibu ……….
5.2.2 Kemampuan komunikasi asertif ibu ………...
5.2.3 Kemampuan anak mengelola emosi………
5.2.4 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan
Komunikasi asertif ibu………
67
68
70
70
71
71
74
82
86
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Pengaruh terapi kelompok
Assertiveness Training
terhadap
Kemampuan komunikasi asertif ibu ………
6.1.1 Pengaruh terapi kelompok
Assertiveness Training
terhadap kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi
asertif………..
6.1.2 Pengaruh terapi kelompok
Assertiveness Training
terhadap kemampuan psikomotor ibu dalam
berkomunikasi asertif ………
6.1.3 Pengaruh terapi kelompok
Assertiveness Training
terhadap kemampuan sikap ibu dalam berkomunikasi
asertif………
6.2 Pengaruh terapi kelompok
Assertiveness Training
terhadap
Kemampuan anak mengelola emosi………
6.3 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan
komunikasi asertif ibu ………
6.4 Keterbatasan penelitian .,……….
6.5 Implikasi hasil penelitian ………
90
90
93
96
98
102
108
108
BAB VII KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan………...
7.2 Saran……….
110
111
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pengertian Kesehatan terus
diperbarui sesuai dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam
masyarakat Indonesia. Undang – Undang Kesehatan terbaru tertuang di dalam UU RI
nomor 36 tahun 2009 pasal 1, dikatakan bahwa arti kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan jiwa sendiri menurut Jahoda (dalam Stuart & Laraia, 2005) mempunyai arti
dimana seseorang dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh dan
berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi
sesuai dengan kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan.
Berkembangnya kesehatan jiwa seseorang dimulai dari masa kehamilan, dimana pada
masa itu peran ibu terhadap bayi sangatlah besar. Kemampuan ibu beradaptasi
menghadapi perubahan-perubahan fisik dan psikologis selama masa kehamilan sangat
menentukan kualitas mental dari calon bayi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Ahmad
(2002, dalam Gomma, 2006) yang menyatakan keseimbangan fisik dan mental seorang
ibu memiliki pengaruh yang akan berlanjut sampai tahap melahirkan. Tentu saja
perkembangan jiwa tidak berhenti sampai tahap melahirkan melainkan sampai anak
tersebut menginjak masa pra sekolah, sekolah, remaja, dewasa muda, dewasa menengah,
dewasa tua dan dewasa akhir. Dalam perjalanan perkembangan jiwa tersebut akan
dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam maupun luar diri individu.
Ciri – ciri sehat jiwa menurut Jahoda (dalam Stuart & Laraia, 2005) adalah perilaku
positif terhadap diri sendiri, mampu tumbuh dan berkembang dan mampu mencapai
aktualisasi diri, mempunyai integritas diri, rasa otonomi yang positif, mampu
mengekspresikan realita secara tepat dan mampu menguasai lingkungan yang berubah.
Sedangkan ciri-ciri sehat jiwa menurut WHO (dalam Towsend & Mary, 2009) adalah
menyesuaikan diri secara konstruktif sesuai pada kenyataan, memperoleh kepuasan dari
usahannya, merasa lebih puas memberi daripada menerima, saling tolong menolong dan
memuaskan, menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang, mengarahkan
rasa bermusuhan pada penyelesaian masalah yang konstruktif dan mempunyai kasih
sayang. Dari pengertian dan ciri sehat jiwa, kesehatan jiwa adalah bagian yang
terintegrasi antara sehat fisik, mental dan sosial, berkembang selaras, harmonis dengan
perkembangan orang lain.
Setiap anak akan menjalani masa tumbuh kembangnya, yang tanpa disadari berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa di masa yang akan datang (Hartono, 2009). Masa
perkembangan yang paling mencolok terjadi pada masa anak sekolah dimana pada masa
ini anak sudah mulai memasuki sekolah dasar, suatu kegiatan yang menuntut
kemampuan sosial anak. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hurlock (2008) dimana
setiap upaya anak memenuhi tugas tumbuh kembangnya, anak kerap mendapat
stressor
baik secara fisik, psikologis maupun sosialnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Ibung (2008) menemukan bahwa diantara tingkatan tugas tumbuh kembang seseorang,
rentang usia sekolah (6-12 tahun) yang paling rentan mendapat stress dimana
kemampuan anak dalam mengatasi masalahnya masih terbatas sedangkan interaksi
sosial yang semakin luas menuntutnya untuk dapat berperilaku sesuai dengan
keingingan orang lain (teman, guru, orang tua, saudara, dll). Pada usia sekolah
pertumbuhan fisik anak sangat pesat, hal ini juga mempengaruhi kondisi psikis anak,
dimana anak dituntut untuk aktif di luar rumah dan membuktikan bahwa dirinya mampu
dan patut dibanggakan. Selain itu perkembangan emosi juga mulai berkembang, namun
di usia sekolah ini, anak belum mampu mengolahnya secara tepat sehingga anak lebih
rentan untuk berperilaku emosional.
Begitu banyak tugas tumbuh kembang dan masalah yang akan dihadapi anak di usia
sekolah, karenanya anak dituntut untuk meningkatkan kemampuan intelegensinya agar
berhasil di bidang akademik. Keberhasilan anak seolah-olah ditentukan hanya dari
faktor intelegensi, namun sebenarnya, dipengaruhi juga oleh kemampuan emosional
dimana anak mampu untuk mengelola emosinya dan menyelesaikan masalahnya, inilah
yang disebut dengan kecerdasan emosi. Pendapat ini dibenarkan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Goleman (1995 dalam Gottman, 2008) bahwa kecerdasan emosional
anak sama pentingnya dengan kecerdasan intelegensi. Faktor intelegensi hanya dianggap
menyumbangkan 20% saja dalam keberhasilan anak, sedangkan sisanya adalah
kecerdasan emosional. Penelitian Goleman (1995 dalam Gottman, 2008) membuktikan
bahwa anak dengan kemampuan mengelola emosi tinggi akan mampu menguasai emosi,
menjalin hubungan dengan orang lain. Perbandingan antara pengaruh
IQ
dan
EQ
inilah
dipercaya bahwa kemampuan anak mengelola emosi merupakan faktor yang ikut
menentukan dalam prestasi belajar dan kemampuan anak meraih kesuksesan di masa
yang akan datang.
Pengertian emosi untuk semua tingkat usia sama, yaitu suatu keadaan yang kompleks,
dapat berupa perasaan/pikiran ditandai oleh perubahan biologis dan psikologis
seseorang. Pada usia anak sekolah, lingkungan sosialnya semakin berkembang, disinilah
kemampuan mengelola emosi terlihat dalam keseharian anak berinteraksi dengan
lingkungannya (orang tua, guru, teman). Hal ini memperlihatkan bahwa emosi anak
pada tingkat sekolah menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian anak dan
penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya, dimana nantinya anak mampu
mengelola emosinya dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Bentuk reaksi emosi yang dimiliki anak sekolah tidak sama dengan orang dewasa,
menurut Hartono (2009) karena tuntutan sosial anak usia sekolah semakin luas dan
pengalaman anak terhadap situasi yang dapat membangkitkan emosi akan lebih beragam
maka respon emosi yang ditampilkan oleh anak juga berbeda. Emosi anak usia sekolah
menurut Sulungbudi (2006), berupa marah yang mungkin tidak meledak-ledak lagi
namun dikemas dalam bentuk lain seperti merajuk, menggerutu, mengomel, protes dan
sebagainya. Letak perbedaannya adalah di faktor penyebab tercetusnya reaksi emosi dan
bagaimana cara mengekspresikannya (Hurlock,2008). Emosi-emosi tersebut
sesungguhnya lazim terdapat pada anak usia sekolah, namun karena
stressor
yang besar
di masa sekolah dan kemampuan anak menyelesaikan masalahnya masih terbatas, anak
butuh lebih banyak bimbingan dan latihan mengendalikan emosinya.
Kondisi yang dapat memunculkan emosi di usia sekolah dapat berasal dari kondisi fisik /
kesehatan anak, suasana rumah, cara orang tua dalam mendidik anak, hubungan dengan
para anggota keluarga, hubungan dengan teman sebaya dan bimbingan orang tua
terhadap anak (Hurlock,2008). Sedangkan menurut Nurjanah (2008) faktor yang dapat
mempengaruhi emosi anak adalah karakteristik anak (usia, kondisi fisik, intelegensi,
jenis kelamin), kemampuan menghadapi dan menyelesaikan konflik sosial dan kondisi
lingkungan seperti keluarga, lingkungan fisik anak dan lingkungan sekolah anak.
Faktor-faktor dari dalam dan luar anak mempengaruhi emosi anak. Apabila anak mengalami
tuntutan dari berbagai pihak ditambah lagi dengan kurangnya pengalaman
menyelesaikan konflik, emosi yang muncul dapat saja berupa ledakan emosi atau
bahkan menutup rapat-rapat emosi tersebut maka anak cenderung membantah perintah
ibu, banyak protes, tidak mau mengikuti keinginan orang tua. Agar situasi tersebut tidak
berlangsung terus-menerus, dibutuhkan penataan lingkungan sekitar anak yaitu orang
tua, guru, pengasuh, teman, nenek, kakek, kakak atau adik.
Orang-orang di sekitar anak dapat menjadi pelatih anak dalam menyeimbangkan
emosinya (Gordon, 2009), namun pelatih emosi anak yang paling baik adalah orang tua,
karena sifat hubungan dipengaruhi oleh sikap percaya, suportif, terbuka dan bebas dari
rasa cemas. Orang tua merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat
identifikasi anak, orang tua adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu dan
berinteraksi dengan anak (Hurlock,2008). Sesuai dengan teori tumbuh kembang
psikoseksual dari Sigmund Freud (dalam Rosa,2008) mengatakan bahwa orang tua
berpengaruh pada perkembangan anak yang bersifat dramatik. Melalui proses belajar
yaitu melihat, meniru dan melakukan apa yang dilakukan orang tuanya, anak
mengadopsi perilaku orang tuanya. Menurut Tyaswanti (2009) dalam penelitiannya
tentang hubungan antara orang tua dengan kreatifitas anak, dikatakan bahwa hubungan
interpersonal orang tua dengan anak merupakan hubungan antar pribadi antara orang tua
dengan anak yang pada dasarnya merupakan hubungan timbal balik yang dipengaruhi
oleh sikap percaya, sikap suportif dan sikap terbuka. Penelitian tersebut menunjukkan
adanya pengaruh perilaku orang tua terhadap anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Nabble (2009) tentang pengaruh antara hubungan orang tua-anak terhadap kemampuan
anak mengelola emosi. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan
antara kedua variable tersebut. Dari kedua penelitian dapat dilihat bahwa secara sadar
atau tidak oleh orang tua, perilaku mereka direkam, diresapi dan ditiru menjadi
kebiasaan bagi anak. Hal ini karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tua
sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.
Menurut Gottman dan DeClaire (2002) ada beberapa cara pembelajaran pengetahuan
emosional anak yang dilakukan orang tua yaitu dengan menyadari perasaan anak,
mampu berempati, menghibur dan membimbing mereka. Pola komunikasi yang hangat
dan asertif antara pasangan orang tua (bapak dan ibu) akan mempengaruhi pola
komunikasi dalam keluarga (Ramadhani, 2008). Antara bapak dan ibu sebagai orang tua
sudah ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas, dimana bapak sebagai
kepala keluarga bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga dan ibu sebagai
pendamping bapak dalam mengelola kebutuhan anak dan mengelola keuangan keluarga.
Pengasuhan terbaik bagi seorang anak adalah ibunya, sebab sosok seorang ibu adalah
sosok yang paling dikenal anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Papalia dan Olds
(1990, dalam Ramadhani, 2008) menegaskan bahwa komunikasi anak dan ibu telah
terjadi pada bulan-bulan pertama usia anak. Dalam hal ini orang tua terutama ibu yang
paling paham dengan kemampuan anak mereka menyelesaikan masalahnya sehari-hari.
Orang tua dalam pola pengasuhannya berupaya menciptakan suasana yang demokratis
dan hangat, namun tetap saja menemui beberapa kendala dimana orang tua tidak mampu
menghadapi tangisan anak, kerewelan anak, protes anak dan sifat melawan anak. Orang
tua bahkan dianggap pihak yang paling bertanggung jawab dan patut disalahkan apabila
anak gagal dalam mencapai keberhasilan (Gordon, 2009). Dalam penelitan yang
dilakukan oleh Gottman dan DeClaire (2009) emosi orang tua sendiri menjadi
penghalang mereka untuk mampu bicara dengan anak ketika anak merasa sedih, takut
atau marah. Proses penelitian yang panjang sekitar 10 tahun lamanya, menemukan
bahwa anak membutuhkan orang tua untuk melatih emosi mereka. Orang tua harus
meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi emosi anak.
Ketrampilan orang tua menangani anak usia sekolah menurut Knapp dan Jongsma
(2002) dalam bukunya yang berjudul
The Parenting Skill
adalah memenuhi kebutuhan
fisik anak, menjalin komunikasi yang asertif, menerapkan peraturan yang jelas di rumah,
menjadi
role
model untuk menciptakan tanggung jawab terhadap suatu kegiatan dan
membimbing anak dalam menyelesaikan masalahnya. Sedangkan kemampuan orang tua
(terutama ibu) yang harus dimiliki untuk meningkatkan emosi anak menurut Gottman
dan DeClaire (2008) adalah kemampuan menyadari emosi anak, mengenali emosi
sebagai peluang untuk akrab, mendengarkan si anak untuk memberi label emosi dengan
kata-kata dan menentukan batas-batas sambil menolong si anak memecahkan masalah.
Cara yang efektif untuk mencapai kemampuan tersebut adalah dengan membangun
komunikasi asertif bersama anak.
Asertif mengandung arti kata ketegasan dan kebebasan mengekspresikan emosi tanpa
rasa takut (Ramadhani, 2008). Sedangkan komunikasi asertif adalah komunikasi yang
terbuka, menghargai diri sendiri dan orang lain. Komunikasi asertif tidak menaruh
perhatian hanya pada hasil akhir saja tapi juga hubungan perasaan antar manusia
(Mujiadi, 2008). Kemampuan komunikasi ibu secara asertif adalah kemampuan yang
harus terus menerus dilatih dan ditingkatkan bersama anak. Komunikasi asertif adalah
komunikasi yang mendorong seseorang berkembang secara optimal, baik fisik maupun
psikis, mengandung pesan yang jelas, positif, terbuka, dapat dipercaya dan tidak
menghakimi (Ramadhani, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Elias, dkk (2003)
menunjukkan bahwa kemampuan anak mengelola emosinya bisa ditingkatkan dengan
cara berkomunikasi dengan anak. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Burton (1971)
yaitu tentang hubungan antara komunikasi asertif orang tua dengan konsep diri anak.
Dari beberapa penelitian diatas, membuktikan bahwa dengan hubungan yang baik dan
hangat melalui komunikasi asertif dan penciptaan lingkungan yang kondusif dapat
menumbuhkan kemampuan anak. Dengan sikap asertif yang ditunjukkan orang tua, anak
akan terhindar dari ketegangan dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan
menyimpan sesuatu yang ingin diutarakan.
Upaya ibu untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya seperti bertanya atau
berkonsultasi dengan ahlinya seperti spesialis anak, psikolog, psikiater, dan lainnya.
Beberapa program yang diikuti orang tua untuk meningkatkan kemampuan
berkomunikasi secara positif masih saja dirasakan kekurangannya, karena tidak
diberikan contoh model dan latihan tersendiri untuk melatih ketrampilan tersebut. Selain
itu tidak ada juga
feedback
terhadap latihan ketrampilan bicara orang tua, apakah yang
dilakukan sudah benar atau tidak (Ramadhani, 2008). Diperlukan suatu latihan untuk
bagaimana cara berkomunikasi secara
asertif
di rumah, dimana orang tua nantinya
sebagai pelatih anak dalam meningkatkan kemampuan emosi anak. Latihan tersebut
harus dilakukan berulang-ulang dan diterapkan ke anak, sehingga memerlukan
bimbingan dan arahan secara intensif dari seorang terapis (Safaria, 2009). Pelatihan
yang diperlukan oleh orang tua adalah dalam bentuk Terapi Kelompok
Assertiveness
Training
(Towsen & Mary, 2009).
Terapi Kelompok
Assertiveness Training
merupakan tindakan untuk melatih seseorang
mencapai perilaku assertif (Kaplan & Saddock, 2005). Pendapat yang sama dikemukan
juga oleh Hopkins (2005) dimana terapi ini untuk melatih kemampuan seseorang untuk
mengungkapkan pendapat, perasaan, sikap dan hak tanpa disertai adanya perasaan
cemas. Tujuan dari melatih dan memperbaiki kepercayaan diri seseorang dalam
berperilaku (Girdano & George,1985). Menurut Fortinash (2004) tujuan Terapi
Kelompok
Assertiveness Training
adalah mempelajari dan melatih ketrampilan
interpersonal dasar seseorang. Terapi Kelompok
Assertiveness Training
menekankan
pada proses mempelajari respon–respon asertif dalam berbagai situasi, melatih
kemampuan asertif langkah demi langkah. Terapi Kelompok
Assertiveness Training
pada ibu yang mempunyai anak usia sekolah perlu dilakukan untuk membantu ibu
menghadapi keluhan dan masalah anak di usia sekolahnya secara asertif.
Assertiveness
Training
dilakukan dalam bentuk kelompok yang memberi kesempatan anggotanya
untuk saling berbagi pengalaman, saling membantu dan menyelesaikan masalah.
Sasaran dalam Terapi Kelompok
Assertiveness Training
bukan hanya aspek kognitif saja
tapi juga aspek sikap dan psikomotor. Perubahan ketiga ranah tersebut akan tercapai
apabila anggota kelompok berperan aktif selama proses melalui bermain peran setelah
melihat demonstrasi/modeling beberapa ketrampilan asertif. Demonstrasi akan lebih
efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang realistis dan sering terjadi pada anggota
kelompok.
Menurut Miller dan Hansen (1973) dimana perubahan perilaku yang lebih baik dapat
dilakukan dengan teknik asertif.
Assertiveness training
merupakan tindakan untuk
melatih kemampuan dasar interpersonal yang sering terganggu pada klien gangguan
jiwa, melalui komunikasi yang baik, rasional, klien gangguan jiwa dapat meningkatkan
sosialisasinya dengan orang lain (Wahyuningsih, 2008). Program Terapi Kelompok
Assertiveness Training
juga dilakukan pada kelompok orang tua dengan ekonomi
menengah ke bawah. Penelitian yang dilakukan oleh Berman dan Rickel (2008) pada 56
orang tua dengan anak usia sekolah dilatih dalam 5 sesi. Hasil penelitian didapat bahwa
Terapi Kelompok
Assertiveness Training
mampu meningkatkan kepercayaan diri anak
usia sekolah dan menciptakan lingkungan rumah sehingga keharmonisan hubungan
antara orang tua dan anak dapat membantu mereka menyelesaikan keluhan dan masalah
anak dengan lebih asertif. Dari kedua penelitian tersebut muncullah beberapa
pertanyaan, bagaimana jika kemampuan asertif orang tua khususnya ibu dilatih dan
diterapkan di masa sebelum beranjak remaja, dilakukan di komunitas masyarakat untuk
mengatasi resiko-resiko terjadinya gangguan emosi di masa yang akan datang melalui
Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa
Assertiveness Training
.
Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Balumbang Jaya merupakan salah satu
kelurahan di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan wilayah ke tiga setelah Sindang
Barang dan Bubulak sebagai area penerapan model praktik keperawatan jiwa komunitas.
Wilayah Balumbang Jaya mempunyai beberapa fasilitas untuk mendukung kesehatan
penduduknya yaitu 1 buah Puskesmas yang bergabung ke Puskesmas Sindang Barang, 1
buah Puskesmas Pembantu, 12 buah Posyandu, 9 kelompok Poswindu, 1 praktek dokter,
1 praktek bidan, dan 44 orang kader kesehatan jiwa yang sudah dilatih. Jumlah
penduduk di wilayah RW 01-09 sampai dengan tahun 2008 tercatat 6254 jiwa dengan
prosentase anak usia sekolah menunjukkan jumlah yang cukup signifikant yaitu 713
orang (11,4%) tersebar di 315 KK. Banyaknya jumlah anak usia sekolah menjadi
perhatian yang cukup besar dari Puskesmas Sindang Barang sebagai Puskesmas
Pembina di wilayah Bogor Barat. Beberapa program Puskesmas untuk mendukung
kesehatan anak adalah posyandu balita yang secara bergiliran ke masing-masing RW
setiap bulannya, program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang diadakan pihak
penyelenggara sekolah bekerja sama dengan puskesmas Sindang Barang. Program UKS
ini fokus pada masalah gizi dan kesehatan fisik anak sekolah tetapi belum mengarah
kepada penanganan kesehatan jiwa anak sekolah. Berdasarkan wawancara dengan
penanggung jawab program kesehatan jiwa masyarakat Wilayah Bogor Barat, belum
adanya program untuk meningkatkan kemampuan emosi anak.
Hasil deteksi dini yang dilakukan kader kesehatan jiwa bersama dengan mahasiswa
pasca sarjana keperawatan jiwa UI tahun 2009 sampai dengan sekarang di 9 RW
Kelurahan Balumbang Jaya terdapat 315 keluarga yang mempunyai anak usia sekolah.
Studi pendahuluan pada 10 keluarga bahwa mereka menerapkan komunikasi tertutup
dengan anaknya dan cenderung memiliki gaya pengasuhan ke arah otoriter dan agresif.
Orang tua memaksakan kehendaknya ke anak, menganggap bahwa anak belum dapat
berpikir tentang apa yang baik untuk dirinya. Respon negatif yang dikeluarkan oleh anak
langsung saja dibantah oleh orang tua tanpa diikuti penjelasan sehingga membuat anak
menjadi bingung dan serba salah di hadapan orang tua. Ada sekitar 20 orang anak dari
47 anak usia sekolah di RW 09 ini menunjukkan perilaku banyak diam, sulit diberi
pengarahan dari orang tua, kurang motivasi belajar, banyak bermain dan sulit
konsentrasi, kondisi ini seringkali membuat orang tua tidak tahu apa yang harus
dilakukan pada anak mereka. Disamping itu menurut keterangan dari Puskesmas
Sindang Barang belum ada kegiatan khusus untuk melatih orang tua bagaimana cara
komunikasi secara asertif ke anak dengan usia tumbuh kembang 6-12 tahun.
Berdasarkan hasil deteksi dini dan studi pendahuluan tersebut, perlunya diberikan
pelatihan kepada ibu dalam bentuk Terapi Kelompok
Assertiveness Training
agar para
ibu mengerti dan memahami secara kognitif, psikomotor dan sikap bagaimana cara
berkomunikasi secara asertif pada anak. Terapi
Assertiveness Training
pada keluarga
sehat merupakan upaya promotif pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat oleh
puskesmas untuk meningkatkan kesehatan jiwa baik kepada individu dan keluarga di
kelurahan Balumbang Jaya menjadi latar belakang perlunya dilakukan penerapan Terapi
Kelompok
Assertiveness Training
dalam meningkatkan kemampuan komunikasi asertif
ibu dalam mengelola emosi anak.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian tentang tugas tumbuh kembang anak usia sekolah, pengaruh orang tua
terhadap kemampuan anak mengelola emosi serta terapi untuk meningkatkan
kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
1.2.1
Terdapat 774 anak usia sekolah (11,76%) dalam 315 KK yang tersebar di 9 RW
Desa Siaga Sehat Jiwa.
1.2.2
Ditemukannya ibu yang belum mengetahui cara berkomunikasi dengan anak usia
sekolah dan pengaruhnya terhadap kemampuan anak mengelola emosi.
1.2.3
Ditemukannya ibu yang belum mengetahui bagaimana cara berkomunikasi secara
asertif ke anak usia sekolah pada saat anak menemui masalah dengan lingkungan
sosialnya.
1.2.4
Belum adanya kegiatan puskesmas untuk mengajarkan cara melatih kemampuan
ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah di wilayah Kelurahan
Balumbang Jaya.
Penelitian ini melakukan Terapi Kelompok
Asseritiveness Training
terhadap
kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah, adapun
pertanyaan penelitian adalah :
1.2.1
Apakah Terapi Kelompok
Assertiveness Training
berpengaruh terhadap
kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah?
1.2.2
Apakah Terapi Kelompok
Assertiveness Training
berpengaruh pada kemampuan
anak mengelola emosi setelah ibu diberikan Terapi
Assertiveness Training.
1.2.3
Apakah ada faktor lain yang berpengaruh terhadap kemampuan ibu dalam
berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah?
1.2.4
Apakah ada faktor lain yang berpengaruh terhadap kemampuan anak mengelola
emosi setelah ibu diberikan Terapi Kelompok
Assertiveness Training.
1.3
Tujuan
Tujuan Umum : diperoleh gambaran tentang pengaruh Terapi Kelompok
Assertiveness
Training
terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia
sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor.
Tujuan Khusus :
1.3.1
Diketahui Karakteristik ibu : usia, jumlah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan
ibu, jumlah anak, status perkawinan dan jenis kelamin anak.
1.3.2
Diketahui kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi
asertif ke anak usia sekolah sebelum dilakukan Terapi Kelompok
Assertiveness
Training
1.3.3
Diketahui kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu diberikan Terapi
Kelompok
Assertiveness Training
1.3.4
Diketahui perbedaan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam
berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah sebelum dan sesudah dilakukan
Terapi Kelompok
Assertiveness Training
1.3.5
Diketahui perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu
diberikan Terapi Kelompok
Assertiveness Training
1.3.6
Diketahui perbedaan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam
berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah sebelum dan sesudah pada
kelompok yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok
Assertiveness Training
1.3.7
Diketahui perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu
diberikan terapi pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan Terapi
Kelompok
Assertiveness Training
1.3.8
Diketahui perbedaan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam
berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah antara kelompok ibu yang
mendapat dan yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok
Assertiveness Training
1.3.9
Diketahui perbedaan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok yang
mendapat Terapi Kelompok
Assertiveness Training
dan yang tidak mendapatkan
Terapi Kelompok
Assertiveness Training
1.3.10
Diketahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan kognitif,
psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif terhadap anak usia
sekolah.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Aplikatif
Pelaksanaan Terapi Kelompok
Assertiveness Training
diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam
berkomunikasi asertif ke anak usia sekolah, maka Terapi Kelompok
Assertiveness
Training
bermanfaat sebagai:
a.
Panduan perawat spesialis jiwa dalam melaksanaan Terapi Kelompok
Assertiveness Training
pada ibu yang memiliki anak usia sekolah dalam
berkomunikasi secara asertif.
b.
Panduan perawat spesialis jiwa dalam meningkatkan kemampuan
melaksanakan diagnosa sehat anak usia sekolah
c.
Panduan perawat spesialis jiwa dalam meningkatkan kemampuan koping
keluarga dalam menghadapi masalah emosi anak usia sekolah.
d.
Meningkatkan kemampuan orang tua dalam berkomunikasi secara asertif ke
anak usia sekolah
e.
Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya kesehatan jiwa
keluarga dan kesehatan jiwa anak usia sekolah.
1.4.2
Manfaat Keilmuan
a.
Metode Terapi Kelompok
Assertiveness Training
sebagai salah satu terapi
spesialis keperawatan jiwa bagi keluarga sehat jiwa yang mempunyai anak
pada masa usia sekolah.
b.
Dilakukan Penelitian gabungan terapi antara Terapi Keluarga dan
Cognitive
Behaviour Therapi
sebagai
evidance based.
1.4.3
Manfaat Metodologi
a.
Dapat menerapkan teori atau metode yang terbaik meningkatkan kemampuan
orang tua dalam berkomunikasi secara asertif.
b.
Hasil penelitian berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya untuk
mengetahui kemampuan anak mengelola emosi setelah orang tua mendapatkan
Terapi Kelompok
Assertiveness Training
.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, akan dikemukakan beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian ini. Adapun konsep dari teori tersebut meliputi: konsep tumbuh kembang anak usia sekolah, konsep perkembangan emosi anak usia sekolah, konsep terapi kelompok Assertiveness Training
2.1Tumbuh Kembang Anak Sekolah
Perkembangan anak usia sekolah adalah peningkatan kemampuan anak pada usia 6-12 tahun dalam berbagai hal termasuk interaksi dan prestasi belajar dalam menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Pencapaian kemampuan ini akan membuat anak bangga terhadap dirinya. Keberhasilan mengerjakan tugas perkembangan akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya di kemudian hari. Sebaliknya, kegagalan melaksanakan tugas perkembangan menimbulkan ketidakbahagiaan pada anak dan kesulitan dalam mengerjakan tugas perkembangan yang berikutnya (Hurlock, 2008).
Pada usia 6–12 tahun ini, anak berada pada masa usia sekolah dimana anak akan mulai belajar dan berperan serta dalam sebuah sistem belajar yang tersusun secara sistematis dalam jadwal yang ditetapkan oleh sekolah atau suatu lembaga pendidikan. Pada masa ini anak juga belajar menguasai kemampuan untuk bekerja dan mendapatkan keterampilan dewasa. Anak belajar bahwa mereka mampu untuk menguasai dan menyelesaikan tugasnya. Jika anak terlalu ditekan pada aturan dan kaidah tertentu, maka anak akan mengembangkan kepercayaan bahwa kewajiban adalah keharusan bagi mereka sehingga ditanggapai berlebihan terhadap dorongan bekerja anak. Anak yang produktif belajar menikmati kompetisi kerja dan kebanggaan dalam melakukan sesuatu yang baik (Kaplan & Saddock, 1996).
Perasaan ketidakmampuan dan inferioritas, suatu hasil negatif yang potensial dari stadium ini, disebabkan oleh beberapa sumber yaitu anak mungkin dibedakan disekolah, dikatakan kurang cerdas, diberikan perlindungan secara berlebihan dirumah, anak membandingkan dirinya sendiri sebagai anak yang tidak baik dibanding orang tuanya. Guru dan orang tua yang baik akan mendorong anak ke nilai-nilai ketekunan dan produktifitas, gigih dalam usaha mengatasi masalah sulit merupakan hal yang akan sangat membantu anak menciptakan kreatifitas industri dalam dirinya. Namun sebaliknya bila anak tidak mendapatkan bimbingan yang semestinya dari orang dewasa yang memahami perkembangan psikososial sehat maka anak akan berkembang rasa inferior atau rendah diri dalam dirinya.
Periode ini merupakan kelanjutan dari masa Pra Sekolah (3-5 tahun) yang ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif, memori, bahasa, pemikiran kritis, kreatifitas dan perkembangan emosi (Hurlock, 2008). Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. Masa ini disebut juga “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang remaja.
Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain (Ibung,2008). Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan, perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak–anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan–ketrampilan motorik, anak–anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak–anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang.
Pada tahap ini penting bagi anak untuk merasa diterima di lingkungan teman sebayanya. Anak yang memiliki perbedaan fisik dengan teman sebaya beresiko tumbuh menjadi anak yang sensitif dan kurang percaya diri (Ibung, 2008). Perbedaan fisik yang dapat menimbulkan rasa frustasi pada anak dan dapat mengganggu emosional anak diantaranya adalah kondisi fisik yang lemah, fisik yang tidak terlalu tinggi atau pendek dibanding teman sebaya, obesitas.
Menurut teori Piaget (dalam Stuart & Laraia, 2005) pemikiran anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkrit. Operasional adalah hubungan-hubungan logis antara konsep, sedangkan operasional konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objek dan peristiwa nyata dan dapat diukur. Masuknya anak ke sekolah dasar, diikuti oleh perkembangan kognitif yang besar. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar. Anak berusaha untuk tampil lebih baik dari teman-temannya agar mendapatkan perhatian dari orang tua, guru dan teman dengan belajar lebih giat lagi.
Dalam hal perkembangan memori di usia anak sekolah, tidak begitu terlihat peningkatan yang berarti. Memori jangka panjang sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan belajar anak ketika mempelajari dan mengingat informasi. Anak berusaha mengatasinya dengan cara pengulangan (Rehearsal), pengkategorian (organization), melakukan perbandingan (imagery) dan pemunculan kembali (Retrieval). Perlu dipahami bahwa disamping strategi peningkatan memori tersebut, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak seperti tingkat usia, sifat anak (sikap, motivasi dan kesehatan), serta pengetahuan yang diperoleh anak sebelumnya (Yusuf & Nurihsan, 2008).
Perkembangan pemikiran kritis pada anak usia sekolah juga mengalami kemajuan yang signifikan dimana anak mengembangkan pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak
mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu berfikir secara reflektif dan evaluatif. Sejalan dengan berkembangnya fungsi kognitif, berkembang pula kreativitas anak untuk menciptakan sesuatu yang baru melalui jalur pendidikan (Hurlock, 2008).
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat. Kesulitan anak dalam merangkai kata-kata dan menyampaikan pesan kepada teman atau orang dewasa menghalangi usahanya untuk berkomunikasi. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa kecewa dan mempengaruhi emosional anak (Gomma, 2006)
Dalam hal kemampuan sosialnya, anak menghadapi dunia sosial yang lebih luas lagi. Pada tahap ini, anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
Ungkapan emosional pada masa usia sekolah merupakan ungkapan yang menyenangkan, anak tertawa genit atau terbahak-bahak, mengejangkan tubuh atau berguling-guling di lantai dan menunjukkan pelepasan dorongan yang tertahan (Hurlock,2008). Tidak semua emosi pada usia ini menyenangkan. Banyak ledakan amarah terjadi dan anak menderita kekhawatiran dan perasaan kecewa. Dengan bertambah besarnya tubuh, anak-anak mulai mengungkapkan marah dalam bentuk
murung, menggerutu dan berbagai ungkapan kasar. Pada akhir masa kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadikan fase ini merupakan saat sulitnya emosi anak dihadapi orang tua (Gomma, 2006)
Sejumlah penelitian terbaru menemukan bahwa faktor IQ hanya dianggap menyumbangkan 20% menentukan keberhasilan anak, sedangkan sisanya lebih dipengaruhi oleh kematangan anak dalam mengelola emosi. Anak-anak yang memiliki kemampuan menguasai emosinya lebih percaya diri, lebih bahagia, popular, sukses di sekolahnya dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain dengan baik (Ramadhani,2008). Berikut akan dibahas lebih dalam tentang perkembangan emosi anak.
2.2Perkembangan emosi anak usia sekolah
Emosi setiap orang mencerminkan keadaan jiwanya yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya (Suseno, 2009). Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, kondisi biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan dalam bertindak (Hartono, 2009). Dari kedua pengertian tersebut, emosi tidak hanya diartikan dalam bentuk perasaan semata tapi juga perubahan-perubahan pada aksi dan tingkah laku sehari-hari.
Emosi pada tingkat usia sekolah mengalami peningkatan dan beraneka ragam respon yang ditimbulkan tergantung pada kemampuan anak dalam menghadapi stressor (Ibung, 2008). Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih halus karena anak harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa emosi yang menyenangkan.
Menurut Hurlock (2008) berkembangnya variasi emosi anak dipengaruhi oleh bagaimana reaksi sosial mengatasi perilaku emosi anak terutama pada saat anak menuntut dipenuhinya suatu kebutuhan dirinya. Jika ledakan emosi marah berhasil memenuhi kebutuhan anak, anak tidak hanya akan terus menggunakan perilaku
tersebut untuk mencapai tujuan tetapi juga akan menambah ledakan marah untuk mencapai kembali tujuannya. Jadi, emosi pada anak sesungguhnya dapat dipelajari dan dibentuk oleh lingkungan sekitar anak tersebut.
Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi, yaitu pendapat dari paham nativistik yaitu Rene Descartes (1950 dalam Iskandar, 2006) mengatakan bahwa emosi anak pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir. Sedangkan pendapat empiristik yaitu William-James asal Amerika dan Carl Lange asal Denmark (1950, dalam Iskandar, 2006) berpendapat bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar anak sejak anak lahir. Keduanya menyusun suatu teori emosi dinamakan teori James-Lange dan merumuskan bahwa emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap rangsangan dari luar.
Perumusan terjadinya emosi dari teori James-Lange (1950, dalam Iskandar 2006) didukung oleh Hurlock (2008) yang menyatakan bahwa perkembangan emosi seorang anak ditentukan dari bagaimana seorang anak belajar mengembangkan emosinya dari lingkungan di sekitar anak. Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi pada orang lain, seorang anak juga bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang yang diamati. Anak belajar menirukan reaksi emosional orang lain, terutama pada orang yang disukai dan dikagumi anak. Sudah jelas bahwa reaksi emosi anak dipelajari dan melebur ke dalam pola emosi anak karena itu perlunya pengendalian pola belajar emosi yang positif. Semakin bertambahnya usia anak akan semakin sulit mengubanya (Hurlock,2008) maka sebelum anak berada pada tahap dewasa, orang tua masih punya kesempatan untuk mengubahnya. Oleh sebab itu masa anak di usia sekolah disebut sebagai “periode kritis” dalam perkembangan emosinya.
2.3Kecerdasan Emosional
Istilah “Kecerdasan emosional” (Emotional Intelligence) dipopulerkan oleh Daniel Goleman (2009) berdasarkan hasil penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan
intelektual. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan secara akurat, memahami dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk mengetahui dan menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, memahami emosi dan mengarahkan emosi (Hein, 1999). Kecerdasan emosional menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan emosional dan kemampuan sosialnya (Tridhonanto & Agency, 2002)
Kondisi emosi anak yang baik (Goleman, 2009) yaitu dapat mengutarakan perasaan mereka dengan jelas dan langsung, lebih dapat mengendalikan dorongan-dorongan dan keinginan mereka, tidak didominasi oleh emosi negative seperti rasa takut, kekhawatiran, rasa bersalah, rasa malu, kekecewaan, rasa putus asa, rasa tidak berdaya, ketergantungan, berbohong, putus asa; dapat menyeimbangkan perasaan dengan alasan, logika dan kenyataan; merasa percaya diri; independent (mandiri); bisa memotivasi diri; optimistis; mengerti perasaan orang lain; mau belajar yang lebih baik lagi; mampu bertanggung jawab; mampu bertahan melawan tekanan; mampu menyelesaikan konflik dengan baik; memahami rasa putus asa dengan baik; tidak terlibat dalam perilaku yang merusak diri seperti narkoba; memiliki banyak teman; kemampuan akademis lebih baik dan mampu menciptakan suasana aman, nyaman yang membuatnya lebih banyak belajar.
Pengelolaan emosi menjadi satu permasalahan yang sering dihadapi oleh siapapun terutama dalam situasi tertekan, sulit dan melibatkan emosi positif dan negatif. Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi ini khususnya yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat anak terbawa dan terpengaruh secara mendalam sehingga mengakibatkan tidak mampu lagi berpikir rasional (Ramadhani, 2008).
Ketika anak mengalami kemarahan, mampu menerima perasaan tersebut apa adanya dan tidak berusaha menolaknya namun berusaha untuk menyeimbangkannya secara konstruktif, maka ia mampu untuk meredakan rasa marah, kecewa tersebut sehingga tidak berlarut-larut berada dalam emosi negatif tersebut (Goleman, 2009). Seorang
anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi pasti memiliki orang tua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi pula. Anak belajar dan mencontoh orang tuanya sendiri dalam mengelola emosi.
Dengan kata lain, kecerdasan emosi diartikan sebagai kemampuan mengelola emosi melalui memonitor, mengenali dan memahami emosi diri sendiri dan orang lain sehingga dapat digunakan sesuai situasi dan kondisi. Kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) menentukan potensi anak untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan sosialnya, didasarkan pada 5 komponen yaitu kesadaran diri, pengelolaan perasaan, motivasi, empati dan kecakapan membina hubungan dengan orang lain, berikut dijelaskan dengan lebih jelas :
2.3.1Kesadaran Diri
Untuk dapat merespon emosi orang lain dengan baik, terlebih dahulu anak mengenal dan merasakan emosi diri sendiri, memahami mengapa timbul emosi negatif dan positif. Dengan demikian anak akan mampu menghargai dirinya sendiri dalam mengambil suatu tindakan atau berespon terhadap suatu peristiwa. Pada usia anak, wajar jika seorang anak belum kenal betul dengan emosi-emosi yang dirasakannya. Anak sering kali mengungkapkan emosi mereka secara tidak langsung dan dengan cara-cara yang membingungkan orang tua. Pesan yang dimunculkan oleh anak tidak dapat ditangkap dan diartikan dengan baik oleh orang tua sehingga menimbulkan kesalahpahaman orang tua pada anak. Akibatnya, orang tua menjadi mudah marah dan emosi dan anakpun tidak mampu mengenali emosinya sendiri. Karena itulah, dengan membantu anak menjadi “kaca” baginya. Ketika anak murung, orang tua membantu dengan mendeskripsikan wajah dan perasannya. Dengan demikan anak belajar mengenali bahwa apa yang ia rasakan.
2.3.2Mengelola dan mengekspresikan perasaan
Kemampuan mengelola emosi yaitu kemampuan anak untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan untuk mengelola emosi erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menghadapi rasa marah, frustasi, sedih, kekecewaan. Kemampuan ini dapat menghindari anak terperangkap dalam suasana emosinya sendiri, dapat berpikir secara rasional
dalam menghadapi masalah dan dapat mengungkapkan perasaan, pendapat secara positif. Orang tua dapat membantu untuk mengekspresikan perasaan anak. Berikan kesempatan anak untuk menangis ketika anak sedih atau kecewa, menjerit ketika anak takut, berteriak ketika anak marah. Kemampuan mengelola dan mengekspresikan perasaannya tidaklah tumbuh dengan sendirinya, membutuhkan peran serta dan bimbingan orang tua (Tridhonanto, 2002). Ciri lain dari kemampuan mengelola perasaannya menurut Suseno (2009) adalah anak mampu bersikap toleransi terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah lebih baik, dapat mengendallikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga, memiliki kemampuan mengatasi ketegangan dalam dirinya dan dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan.
2.3.3Memotivasi diri
Yaitu kemampuan anak untuk memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, menumbuhkan optimis dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat anak mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, berusaha keras menghadapi hambatan besar, tidak mudah putus asa. Setiap masalah yang dihadapi membutuhkan kematangan emosional, dibutuhkan pemahaman akan tujuan menyelesaikan masalah. Ciri-ciri memotivasi diri menurut Suseno (2009) adalah motivasi diri selalu diiringi oleh rasa tanggung jawab yang tinggi, pemusatan pada tugas yang dikerjakan, dapat menguasai diri dan tidak bertindak impulsif dalam setiap menyelesaikan masalah.
2.3.4Empati
Kemampuan untuk berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan anak menyelami perasaan orang lain (orang tua, saudara, teman, guru, dll) atau peka sehingga mampu bertenggang rasa, mampu membaca dan memahami perasaan orang lain dilihat dari bahasa non verbal, ekspresi wajah atau intonasi suara orang lain. Kemampuan lainnya yang dapat diasah adalah kemampuan menerima
pendapat orang lain, memahami kebutuhan dan kehendak orang lain yang mungkin berbeda dari pendapat pribadi dan mampu untuk mendengarkan perasaan orang lain secara aktif.
2.3.5Ketrampilan Sosial/kerja sama dengan orang lain
Yaitu kemampuan anak untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut dan mampu mengatasi konflik-konflik interpersonal secara efektif. Seorang anak yang mempunyai kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa bersikap saling menghormati hak-hak orang lain. Untuk mencapai suatu tujuan yang baik sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (orang tua dan anak misalnya) dalam memecahkan masalah, membutuhkan ketrampilan berbicara tegas dalam komunikasi, memberi kesempatan orang lain untuk mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan secara bersama-sama dan menjalankannya bersama-sama pula. Beberapa ciri lain menurut Gottman (2008)adalah memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain, memiliki sifat bersahabat dengan teman sebaya, memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain, senang menolong orang lain dan bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
Goleman (2009) menjelaskan bahwa perilaku kecerdasan emosional (EQ) tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensinya, melainkan harus dari satu dimensi. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk mengelola kompetensi yang lain. Antara satu kompetensi dengan kompetensi lainnya saling berhubungan. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan mengelola emosi tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri, empati maupun kesadaran sosial.
2.4Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak
Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan dan pembinaan orang tua maupun guru di sekolah. Faktor–faktor penentu yang mempengaruhi perkembangan emosi anak,
diteliti oleh Carl Roger pada area tahun 1930-an (dalam Yusuf & Nurihsan, 2008) seorang tokoh psikolog terdiri dari :
2.4.1 Faktor Eksternal
Faktor eksternal terutama lingkungan keluarga yaitu kondisi kesehatan, status social ekonomi, tingkat pendidikan, iklim intelektual dalam keluarga dan interaksi social / hubungan antara anggota keluarga.
2.4.2 Faktor Internal
Faktor interanal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri, yaitu kesadaran diri (self-insight), penerimaan diri (self-acceptance) dan tanggung jawab diri (self-responsibility).
Sedangkan menurut Ibung (2008) dalam penelitiannya tentang stress pada anak, ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi anak, berdasarkan dua kelompok besar yaitu :
2.4.1 Faktor Internal
a. Karakter kepribadian anak
Anak yang pendiam atau tertutup menemui kesulitan mengenali emosi yang dirasakan bahkan mengekspresikannya. Mereka lebih memilih tidak mengekspresikan perasaannya pada orang lain bahkan pada orang terdekatnya sekalipun.
b. Kondisi fisik anak
Kondisi fisik anak memiliki makna psikologis yang melebihi makna perbedaan fisiknya. Kondisi dimana anak sering sakit akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri untuk bersosialisasi, bermain, mengembangkan ketrampilan komunikasi.
2.4.2 Faktor Eksternal a. Lingkungan rumah
Adalah lingkungan rumah anak yang dapat mempengaruhi emosinya. Anak tinggal didalam keluarga yang terdiri dari orang tua, adik, kakak serta orang lain yang dekat dengan anak setiap hari.
1) Orang tua
Orang tua sebagai orang terdekat dengan si anak. Tugas orang tua adalah mengasuh, mendidik dan mengembangkan anak-anaknya. Kondisi orang tua dapat mempengaruhi emosi anak, dimana orang tua tidak mampu memenuhi emosi anak. Macam-macam kondisi orang tua seperti kedua orang tua yang sibuk bekerja, atau salah satu orang tua diam di rumah tapi sibuk dengan urusannya sendiri, sikap orang tua yang kasar dan otoritas. Perlakuan kasar secara fisik memiliki kerugian karena akan menyakiti anak secara fisik dan psikologis.
Menurut Zhuo (2008) keluarga yang ideal (lengkap) terdiri atas dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan peran ibu. Peran ibu adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak serta menjadi contoh dan teladan bagi anak. Sedangkan peran ayah adalah sebagai pencari nafkah, memberikan rasa aman bagi keluarga, berpartisipasi dalam pendidikan anak dan sebagai tokoh yang tegas, bijaksanan dan mengasihi keluarga.
Dalam penelitian Paterson (1992, dalam Ramadhani, 2008) juga menunjukkan bahwa peran orang tua dalam berkomunikasi positif sangat besar pengaruhnya, dimana orang tua mempunyai kemampuan dalam merespon secara cepat kebutuhan anaknya baik kebutuhan fisik, psikologis dan sosialnya. Anak dengan gangguan perilaku antisosial akan mengembangkan perilaku antisosialnya melalui proses belajar dengan keterlibatan aktif dalam pola interaksi represif dengan kedua orang tuanya.
2) Hubungan dengan kakak atau adik
Anak yang lebih besar sering mengkritik penampilan dan perilaku adiknya, senang menggoda dan memerintah adik. Bila orang tua
berusaha menghentikan hal ini, mereka dianggap pilih kasih (Hurlock, 2008).
b. Lingkungan luar rumah
Adalah faktor di luar rumah anak yang dapat menimbulkan perilaku emosional pada anak :
1) Tidak memiliki teman di sekolah atau lingkungan rumah
Kondisi ini mengakibatkan anak tidak mempunyai tempat untuk berbagi, tidak mempunyai kesempatan untuk melatih ketrampilan social dan komunikasinya. Anak akan mudah marah, tersinggung, malas bergaul, dijauhi teman-teman.
2) Ketidakmampuan anak memahami materi di sekolah
Keterbatasan intelektual / pola belajar yang tidak tepat menjadi faktor penyebab anak menjadi lebih emosional di rumah. Anak dituntut belajar ekstra keras untuk menguasai materi yang terkadang menimbulkan rasa frustasi pada anak. Akibatnya anak tidak dapat mengoptimalkan kemampuan intelektualnya
3) Peran guru di sekolah.
Seperti halnya orang tua, guru adalah figure otoritas bagi seorang anak. Guru yang tidak sabar dan tidak peduli akan membuat anak takut ke sekolah. Guru yang tidak mampu membaca situasi anak semakin membuat anak tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah. Kondisi ketidaknyamanan di sekolah akan terlihat melalui perilaku emosional anak di rumah, anak menjadi lebih sulit untuk diajak bekerja sama oleh orang tua dan saudaranya.
2.5 Upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan anak mengelola emosi
Kemampuan orang tua dalam mengembangkan kemampuan mengelola emosi anak menurut Gottman dan DeClaire (2008) dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut :