• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dewasa ini hampir semua negara di dunia mengklaim dirinya negara demokrasi, suatu negara dengan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dipandang berada di tangan rakyat negara itu sendiri. Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Akhir abad ke-20 adalah masa demokratisasi global. Antara tahun 1974 dan 2000, jumlah negara-negara demokrasi di dunia meningkat dari 39 menjadi 120.179

Akan tetapi setiap negara dan bahkan setiap orang menerapkan definisi dan kriteria yang berbeda mengenai demokrasi itu. Ide demokrasi sudah menjadi paradigma mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang dianggap ideal, meskipun dalam prakteknya setiap negara menerapkan standar yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Hal yang demikian tidak terlepas dari kenyataan bahwa demokrasi merupakan suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu bentuk atau hasil penciptaan180. Dalam konteks ini, sesuatu yang tumbuh akan selalu mengandung perubahan-perubahan, baik yang timbul dari dirinya sendiri, maupun karena pengaruh luar. Demokrasi bukan suatu gejala otonom yang terlepas dari gejala-gejala lain, bahkan dapat

179

Aurel Croissant, dkk (Ed.), Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, (Jakarta: Pensil-324, 2003), hlm. 1.

180

Lebih lanjut hal ini dapat diperhatikan dalam Bagir Manan, Pelaksanaan Demokrasi

Pancasila Dalam Pembangunan Jangka Panjang, Makalah Pada Lokakarya Pengajar Pancasila di

dikatakan, timbul tenggelamnya demokrasi pada waktu-waktu tertentu dipengaruhi oleh berbagai gejala diluarnya, baik berupa ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan dasar pemikiran mengenai demokrasi pada gilirannya akan melahirkan berbagai corak demokrasi dengan berbagai predikat yang dilekatkan kepadanya, seperti : demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi sentralisme termasuk demokrasi Pancasila dalam mana satu dan lain tidak jarang menyatakan dirinya sebagai demokrasi yang sesungguhnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan demokrasi pada setiap negara sangat dipengaruhi oleh paradigma yang dianutnya. Oleh karena itu tidak mungkin dan tidak bijaksana kalau diantara sesama bangsa-bangsa di dunia saling mendesakkan apalagi memaksakan konsep konstitusionalisme milik yang satu terhadap yang lainnya, karena nilai-nilai paradigmatik sebagai khazanah kultural diantara sesamanya tidak sama.181

Bila ditinjau dari sudut etimologis, “demokrasi” berasal dari perkataan demos (rakyat) dan cratein (memerintah). Dengan demikian, maka demokrasi dapat ditafsirkan pemerintahan rakyat, yaitu suatu pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana dapat diperhatikan dalam “Declaration of

Independence” yang menyebutkan demokrasi adalah “of the people for the people and by the people (dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat)”.182

181

M. Solly Lubis, Paradigmatic Democracy (Prinsip Kerakyatan dengan Tolok Ukur yang Khas), (Medan: Harian Waspada, Kamis 21 Juli 2005), hlm. 4.

182

Hal ini mengandung konsekuensi bahwa demokrasi artinya pemerintahan rakyat, maksudnya bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah dan negara, oleh karena kebijaksanaan ini menentukan kehidupan rakyat.183

Sehubungan dengan hal tersebut, di kalangan pemerintahan lazimnya berwujud: demokrasi langsung atau directe democratie (direct-democracy atau

klassieke democratie), rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung menentukan beleid, kebijaksanaan pemerintah atau adanya : direct government by all the people.184

Oleh sebab itu menurut Sjachran Basah, kalaupun demokrasi langsung dimungkinkan terjadi pada masa Yunani Purba, hal itu disebabkan:

a) Karena pengertian negara identik dengan pengertian kota, dan yang dimaksud dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah daerahnya terbatas sekali;

b) Karena penduduknya pun sebagai warga kota masih sedikit185

Meski demikian, Rousseau sendiri juga menyadari bahwa demokrasi langsung sulit untuk dilaksanakan, sebagaimana dikemukakannya dalam bukunya “Contract

Social”: “Kalau dipegang arti kata seperti diartikan umum, maka demokrasi yang

183

Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1983), hlm. 207.

184

Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 83.

185

sungguh-sungguh tidak pernah ada dan ia tidak akan ada. Adalah berlainan dengan kodrat alam, bahwa yang berjumlah besar memerintah, sedang yang paling sedikit jumlahnya harus diperintah”.186

Di Athena (negara polis, city state) sendiri yang sering dikemukakan sebagai contoh penerapan demokrasi langsung, pada prakteknya tidaklah demikian, karena sebenarnya pada masa itu tidak seluruh penduduk mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Robert A. Dahl dalam hubungan ini mengemukakan: “Bukan hanya wanita

saja yang dikeluarkan (sebagaimana mereka selalu dikeluarkan dalam semua negara demokrasi hingga abad keduapuluh ini), akan tetapi juga orang asing yang telah lama tinggal dan menetap (netics) dan budak.187

Oleh sebab itu lanjut Maurice Duverger, bagaimanapun juga keadaannya orang tidak akan melupakan bahwa yang dikatakan demokrasi Yunani Purba itu namanya saja demokrasi, sebab dalam majelis hanya duduk orang-orang merdeka, dan tidak budak-budak yang hak politiknya tidak lebih daripada hak sipilnya.188

Bahkan dalam pandangan Yunani, suatu tatanan demokrasi sekurang- kurangnya harus memenuhi persyaratan:

1. Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingan mereka sehingga mereka sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang

186

Maurice Duverger, Teori dan Praktek Tatanegara (terjemahan Suwirjadi), (Jakarta: P.T. Pustaka Rakyat, 1961), hlm. 7.

187

Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (terjemahan A. Rahman Zainuddin),, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Jilid I, 1992), hlm. 20.

188

kepentingan umum dan bertindak atas dasar itu, sehingga tidak nyata- nyata bertentangan dengan tujuan atau kepentingan pribadi mereka.

2. Mereka harus benar-benar amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas agar tidak menimbulkan konflik politik dan perbedaan pendapat yang tajam mengenai kepentingan umum.

3. Jumlah warga negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000 sampai 50.000 yang terdapat di Athena di masa

Pericles. Jumlah demos yang kecil itu penting karena tiga alasan: jumlah

itu akan menolong menghindari keragaman dan ketidakserasian yang akan timbul oleh karena perluasan tapal batas yang akan mencakup rakyat yang bermacam-macam bahasa, agama, sejarah dan etnisnya, yang hampir tidak ada persamaan diantara mereka. Hal itu juga penting agar warga negara mempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara-saudara mereka sesama warga negara, dari pengamatan, pengalaman, dan diskusi yang akan memungkinkan mereka mengetahui kebaikan bersama dan membedakannya dari kepentingan pribadi atau perseorangan. Terakhir jumlah yang kecil itu juga penting, jika warga negara harus berkumpul agar berfungsi sebagai penguasa kota yang berdaulat.

4. Warga negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undang-undang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan. Demikian kokohnya pandangan ini dipercayai, sehingga orang Yunani mengalami kesukaran untuk membayangkan adanya pemerintahan perwakilan, apalagi menerimanya sebagai alternatif yang sah terhadap demokrasi langsung.

5. Namun demikian partisipasi warga negara tidak hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan Majelis saja. Mereka juga berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota.

6. Akhirnya sekurang-kurangnya secara ideal, negara kota harus tetap sepenuhnya otonom. Karena itu pada prinsipnya setiap kota harus berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi juga secara ekonomi dan militer. Dengan cara begini, demokrasi dihubungkan dengan sifat-sifat kebajikan hidup sederhana, bukan dengan kemakmuran.189

Menyadari masing-masing persyaratan tersebut, tentunya sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada pada setiap negara demokrasi modern yang mempunyai wilayah negara yang sangat luas dan jumlah penduduk yang sangat besar dengan berbagai keanekaragamannya serta mengakibatkan persoalan-persoalan yang

189

dihadapi oleh negara sangat kompleks, sehingga tidak mungkin lagi mengumpulkan rakyat dalam suatu tempat membahas persoalan-persoalan mereka, untuk melaksanakan demokrasi langsung.

Memperhatikan realitas tersebut, demokrasi perwakilan (indirect democracy) pada akhirnya menjadi suatu model dalam mewujudkan suatu bentuk negara yang demokratis dan tidak mungkin demokrasi langsung (direct democracy) diterapkan sejalan dengan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara yang semakin kompleks. Demokrasi (perwakilan) pada akhirnya identik dengan asas kedaulatan rakyat, artinya setiap negara yang menyatakan dirinya negara berkedaulatan rakyat adalah negara yang demokratis.

Sejalan dengan realitas tersebut, maka ada beberapa sebab demokrasi langsung tidak dapat diterapkan antara lain :

(a) pada umumnya wilayah sesuatu negara luas, dan kemungkinan tidak terdiri dari satu daratan, melainkan terdiri atas banyak pulau-pulau;

(b) pada umumnya rakyat sesuatu negara sudah berjumlah besar;

(c) masalah kenegaraan yang bersifat politis, jumlahnya semakin meningkat dan kompleks serta rumit, sehingga rakyat awam (biasa) akan mendapatkan kesulitan apabila diminta pendapatnya secara langsung (di tempat), untuk menilai dan menelaahnya, guna dipakai sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan, terutama bagi negara-negara yang tingkat pendidikan rakyatnya belum begitu maju.190

Berdasarkan realitas tersebut, demokrasi perwakilan dapat dilihat sebagai sebuah sistem pemerintahan yang memenuhi kondisi-kondisi berikut:191

190

S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan

Kekuasaan MPR, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 66. 191

Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia

1. Kompetisi yang luas dan bermakna diantara individu dan kelompok organisasi (khususnya partai-partai politik) pada seluruh posisi kekuasaan pemerintah yang efektif, dalam jangka waktu yang teratur dan meniadakan penggunaan kekerasan.

2. Tingkat partisipasi politik yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan, paling tidak melalui pemilihan bebas secara teratur, dan tidak ada kelompok sosial (dewasa) utama yang disingkirkan.

3. Tingkat kebebasan politik dan sipil-kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi cukup untuk memastikaan integritas partisipasi dan kompetisi politik.

Kemudian menurut Bingham Powell Jr., indikator adanya kehidupan politik demokratis tersebut, mencakup:

1. Legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah mewakili rakyat.

2. Pengaturan bagi yang mengorganisasikan perundingan (bargaining) untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilu yang kompetitif. 3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan,

baik sebagai pemilih maupun sebagai yang dipilih untuk menduduki jabatan penting.

4. Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa paksaan.

5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers192.

Sejalan dengan pandangan di atas, Henry B. Mayo dalam buku “An

Introduction to Democratic Theory” memberi defenisi mengenai pemerintahan

demokrasi sebagai berikut :

A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom (Sistem pemerintahan yang

demokratis ialah apabila kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-

192

Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,, 1991), hlm. xi.

pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik).193

Dalam pada itu perlu dipahami bahwa demokrasi tentunya tidak hanya merupakan suatu kajian sistem pemerintahan, tetapi juga gaya hidup serta tata masyarakat tertentu, yang karena itu juga mengandung unsur-unsur moril. Hal ini berarti, istilah demokrasi mempunyai 2 (dua) arti, yakni :

Pertama, suatu sikap rohani tertentu yang berdasarkan pemandangan bahwa

keyakinan dan pendapat setiap manusia pada hakikatnya berharga sama; bahwa segala keputusan harus diambil setelah bermusyawarah, bertukar pikiran dan berkompromi dan sekurang-kurangnya harus didasarkan atas suara terbanyak. Kedua, suatu sistem pemerintahan yang memberi kemungkinan kepada seluruh rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan dengan cara langsung atau tidak langsung dan yang menjamin supaya keputusan-keputusan pemerintah selalu berdasarkan sekurang-kurangnya suara terbanyak dari yang diperintah.194

Karena itu, sistem politik demokratis yang sebenarnya adalah sistem yang didasarkan pada perimbangan kekuatan politik nyata (bukan hanya sekedar legalitas formal saja) antara pemerintah dan masyarakat. Demokrasi yang seperti ini merupakan demokrasi yang punya akar pada struktur masyarakat yang ada.195

Atas dasar konstelasi yang demikian, dapat dikatakan bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai (values), yang sangat bergantung kepada sejarah serta budaya politik masing-masing di setiap negara. Henry B. Mayo dalam hal ini merinci beberapa nilai demokrasi sebagai berikut:

193

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University Press, New York, 1960, p. 70, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar …, op.cit., hlm. 61.

194

Abu Daud Busroh, Perkembangan Kabinet dan Fungsi Pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat, (Palembang: P.T. Gelora Aksara Pratama, 1989), hlm. 28. 195

Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 39-40.

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict),

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peacefull change in a changing

society),

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession

of rulers),

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of

coersion),

5. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku,

6. Menjamin tegaknya keadilan (justice).196

Mendasarkan pada berbagai nilai tersebut, maka untuk melaksanakan nilai yang terkandung dalam demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut :

1. Pemerintahan yang bertanggung jawab.

2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara kontinu.

3. Suatu organisasi politik yang mencakup dua atau lebih partai politik (sistem dwi partai, multi partai). Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinu antara masyarakat umum dan pemimpin- pemimpinnya.

4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.

5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak asasi dan mempertahankan keadilan.197

196

M. Solly Lubis, Demokrasi Pancasila Menurut UUD 1945, dalam Sri Soemantri M. dan Bintan R. Saragih (Peny.), Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia, 30 Tahun

Kembali ke Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 138. 197

Memperhatikan berbagai pandangan mengenai pemerintahan demokrasi, maka pengertian demokrasi modern menurut I Made Pasek Diantha adalah demokrasi perwakilan rakyat, dimana dalam pelaksanaannya terlihat unsur formal dan unsur material dari demokrasi itu sendiri. Unsur formal dari demokrasi mengacu kepada demokrasi sebagai ideologi, sebagai way of life atau sebagai teori, sedangkan unsur material dari demokrasi mengacu pada demokrasi dalam prakteknya.198

Atas dasar realitas tersebut, menurut Joseph A. Schumpeter sistem demokrasi pada asasnya ialah mencapai suatu keputusan hal keprajaan (political decision), dengan memilih suatu badan perwakilan rakyat (through the election) agar dengan jalan ini masyarakat (ensemble) menentukan kehendak rakyat (its people will).199. Keadaan ini menurut Sjachran Basah menunjukkan bahwa turut sertanya rakyat di dalam pemerintahan merupakan ciri mutlak dari demokrasi, yang juga berarti rakyat ikut melakukan pengawasan terhadap pemerintahan.200

Dengan demikian, pengertian negara demokrasi menunjukkan adanya peran serta atau partisipasi aktif rakyat dalam pemerintahan. Partisipasi aktif atau partisipasi politik ini merupakan barometer tentang pentingnya kedudukan hubungan individu dengan negara, yang dewasa ini diimplementasikan melalui lembaga perwakilan rakyat.

198

I Made Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi Modern, (Bandung: Abardin, 1990), hlm. 1.

199

Koentjoro Poerbopranoto, op.cit., hlm. 7.

200

Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan demokrasi modern, kehadiran dewan perwakilan rakyat, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sebagai badan yang berfungsi mewakili dan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam setiap negara merupakan hal yang mutlak, terutama dalam pembuatan kebijakan umum serta pengawasan pelaksanaan pemerintahan agar sesuai dengan kehendak rakyat dalam mencapai tujuan negara.

Bruce Kennedy dalam hubungan dengan negara demokrasi ini menyebutkan

sebagai berikut:

“It must be emphasized that, in a democracy, the role of an elected legislature

is crucial, as such a legislature, being chosen by the people in free elections, guarantees the political legitimacy of the law it makes. Legislatures consider the ills, the needs, and the political forces in society in the broadest sense – and undertake the creation of new laws, rules and regulations to respond to these. Thus, the procedures by which a democratic legislature creates law must be fair and perceived as such by the majority of the population (Harus

ditekankan bahwa dalam suatu negara demokrasi, aturan pemilihan lembaga legislatif adalah paling krusial, sebagai lembaga yang membuat undang- undang, untuk dipilih oleh masyarakat dalam pemilihan umum yang bebas, karena merupakan jaminan adanya legitimasi politik dari pembuat undang- undang. Lembaga legislatif harus mempertimbangkan akibat, kebutuhan, dan kekuatan politik dalam masyarakat dalam melahirkan undang-undang baru, berdasarkan aturan dan pengaturan yang harus direspon secara luas. Oleh karena itu, prosedur pembuatan unang-undang baru dalam negara demokratis, harus adil dan memenuhi kehendak dari masyarakat secara mayoritas)”. 201

Menyadari konstelasi demikian, menurut Sri Soemantri, di dalam negara modern yang menganut asas demokrasi, hakekat kekuasaan legislatif merupakan satu mesin yang mempunyai arti. Sebagai badan yang pada umumnya menetapkan hukum

201

Bruce Kennedy, Creating and Disseminating Law in a Democratic Society, (New Jersey: United States Information Agency, Prentice Hall, 1995), hlm. 4.

tertulis, dia memberi garis pedoman yang harus dilaksanakan oleh badan-badan yang lain, seperti eksekutif dan badan yudikatif.202 Dengan perkataan lain, dalam negara- negara yang berbentuk demokrasi, pembentukan lembaga perwakilan rakyat merupakan sarana dalam rangka kenegaraan untuk membentuk dan menyatakan kehendak rakyat, yang diperlukan sebagai dasar kekuasaan dalam sistem demokrasi guna melaksanakan pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat.

Dokumen terkait