• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya

yang tertinggi.64 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.65

Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui66, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.

Oleh sebab itu, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut :

l. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. 2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi- defenisi.

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.67

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini, diantaranya adalah teori demokrasi sebagai asas yang dipergunakan dalam kehidupan ketatanegaraan dewasa ini banyak dianut

64

Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 254.

65

Ibid, hlm. 253.

66

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

67

oleh negara-negara di dunia, yakni suatu negara dengan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.

Menurut paham kedaulatan rakyat, rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri, dalam arti bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah dan negara, oleh karena kebijaksanaan ini menentukan kehidupan rakyat.

Dalam pandangan Rousseau demokrasi itu bersifat mutlak (absolut) dan tidak terbatas (illimite). Kekuasaan tertinggi adalah di tangan rakyat (aux mains du

people) dan pelaksanaan demokrasi semurni-murninya adalah "democratie directe" (langsung), walaupun Rousseau sendiri berkeyakinan bahwa democratie -directe- itu tidak dapat dilaksanakan dalam kebanyakan negara-

negara. Demokrasi murni itu sesungguhnya tidak dapat dikaitkan dengan satu hal lain apapun juga dan tak dapat pula diserahkan atau diwakilkan kepada suatu instansi/badan lain (inalienable), sebab kehendak rakyat umum itu sesugguhnya tak dapat diperwakilkan (la volonte generale ne se represente

pas).68

Sehubungan dengan hal tersebut di kalangan pemerintahan lazimnya berwujud demokrasi langsung atau directe democratie (direct-democracy atau klassieke

democratie), rakyat di dalam polis ikut serta secara langsung menentukan beleid,

kebijaksanaan pemerintah atau adanya : direct government by all the people.69

Dalam perkembangannya, demokrasi langsung ini makin sulit dilaksanakan, baik karena wilayah negara menjadi makin luas, penduduknya makin banyak,

68

Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, (Bandung: P.T. Eresco, 1987), hlm. 22.

69

Sjachran Basah, Ilmu Negara Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, (Bandung: Alumni,1989), hlm. 83.

maupun karena urusan pemerintahan makin rumit, sehingga tidak mungkin semua orang dapat duduk sebagai penyelenggara negara, maka lahirlah sistem perwakilan. Rakyat tidak lagi secara langsung menyelenggarakan pemerintahan, akan tetapi diselenggarakan oleh wakil-wakil rakyat yang bukan hanya memerintah atas nama rakyat, tetapi untuk rakyat (for the people). Untuk rakyat, maksudnya pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak rakyat.70

Berkenaan dengan hal tersebut, C.F. Strong dalam bukunya "Modern

Political Constitution" merumuskan demokrasi sebagai berikut :

By democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority of the rule grown members of political community participate through a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for its actions to that majority. In other words, the contemporary constitutional state must be based on a system o democratic representation which guarantees the sovereignty of the people

(demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan, dalam hal mana mayoritas anggota masyarakat politik ikut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah pada akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. Dengan perkataan lain negara demokratis didasari oleh sistem perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat).71

Sementara itu, Hans Kelsen mengemukakan tentang pengertian demokrasi sebagai berikut: "Democracy means that the will which is represented in the legal

order of the State is identical with the wills of subjects (Demokrasi berarti bahwa

kehendak yang dinyatakan dalam tata hukum negara identik dengan kehendak

70

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, “Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan

Umum", dalam Bagir Manan (ed.), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,

(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 57.

71

C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: ELBS & Jackson Ltd, 1961), hlm. 13.

daripada subyek atau warga negara)".72

Ini berarti demokrasi mengandung makna bahwa setiap warga negara dilibatkan dalam pengambilan keputusan, adanya persamaan derajat, memperoleh jaminan kemerdekaan dan kebebasan, dilaksanakan dengan sistem perwakilan serta pemilihan umum dengan suara terbanyak.

Memperhatikan realitas ini, maka demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara mendasar dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Artinya, pada tataran prinsipil antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan.

Siti Musdah Mulia, dalam konteks hubungan demokrasi dengan prinsip dasar

ajaran Islam mengemukakan:

Sejumlah konsep ajaran Islam yang dipandang sejalan dengan prinsip demokrasi adalah: pertama, al-musawah (egalitarianism). Bahwa manusia memiliki derajat dan posisi yang setara di hadapan Allah. Kedua, al-hurriyah (kemerdekaan). Ketiga, al-ukhuwwah (persaudaraan). Keempat, al’adalah (keadilan) yang berintikan pada pemenuhan hak asasi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat negara. Kelima, al-syura (musyawarah). Bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi di dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama.73

Dengan demikian, demokrasi perwakilan ini dinamakan "representative

government atau juga disebut representative democracy", sebagaimana dikemukakan

72

Hans Kelsen, General Theory…, op.cit., hlm. 284.

73

Siti Musdah Mulia, Rekonstruksi Pemikiran Islam Tentang Perempuan (Prospek dan

Tantangannya Bagi Penerapan Syariah Islam di Aceh), Makalah Disampaikan Pada ”International Conference Islamic Syariah and The Challengge of The Global World”, (Banda Aceh: Fakultas

dalam International Commission of Jurist dalam konfrensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang menyebutkan: "Representative government is a government deriving its

power and authority from the people which power and authority are exercised through representative.freely chosen and responsible to them” (Pemerintahan

representatif adalah pemerintahan yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan dari rakyat dan untuk rakyat melalui pemilihan yang bebas, sehingga bertanggung jawab kepada mereka).74

Demokrasi yang demikian menurut E. Baker dalam bukunya Reflection on

Government " mempunyai konsekuensi-konsekuensi :

1. keharusan adanya lembaga perwakilan rakyat;

2. keharusan adanya seleksi, baik melalui pemilihan umum yang bebas dan rahasia maupun dengan cara lain;

3. keharusan adanya partai politik;

4. keharusan adanya lembaga yang mempunyai tugas pelaksanaan, dan yang bertanggung jawab kepada rakyat melalui badan perwakilan rakyat.75

Sejalan dengan hal di atas, suatu negara merupakan penganut demokrasi menurut Arend Lijphart apabila dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

(1) Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan; (2) Ada kebebasan menyatakan pendapat;

(3) Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara;

(4) Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintahan atau negara;

(5) Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh dukungan atau suara;

(6) Terdapat berbagai sumber informasi; (7) Ada pemilihan yang bebas dan jujur;

74

Sri Soemantri M., Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut (UUD 1945), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 12.

75

Sri Soemantri M., Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1984), hlm. 34-35.

(8) Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijaksanaan pemerintah harus tergantung pada keinginan rakyat.76

Dengan demikian, pemilihan umum merupakan salah satu ciri adanya suatu kehendak rakyat dalam negara demokrasi. Di kebanyakan negara demokrasi dunia, syarat pemilihan umum dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur dari demokrasi. Hasil suatu pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan disertai dengan kebebasan berpendapat dan berserikat, dianggap akurat mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.

Salah satu unsur yang disebutkan oleh Arend Lijphard adalah keharusan adanya pemilihan umum untuk memilih para penyelenggara negara tertentu. Pemilihan umum bukan sekedar menunjukkan adanya hubungan antara yang memilih dan yang dipilih. Lebih dari itu, pemilihan umum menyiratkan hubungan bahwa yang dipilih bertanggungjawab kepada pemilih. Tidak ada pemerintahan yang demokratis yang tidak bertanggungjawab kepada pemilih.77

Dalam pada itu, untuk mewujudkan sistem pemilihan umum yang didasarkan pada persamaan secara konstitusional, maka pemilihan umum menurut Hilaire

Barnett harus didasarkan pada 4 (empat) prinsip:

(a) that there is a full franchise, subject to limited restriction (bahwa terdapat

hak suara penuh dari setiap individu yang dibatasi oleh aturan-aturan hukum);

(b) that the value of each vote cast is equal to that of every other vote (bahwa

nilai setiap suara sama dengan suara lainnya);

76

Arend Lijphard, "Democracies", dalam Bagir Manan, Pemilihan Umum Sebagai Sarana

Mewujudkan Kedaulatan Rakyat, (Bandung: Program Pascasarjana UNPAD, 1995), hlm. 5-6. 77

(c) that the conduct of election campaigns is regulated to ensure legality and fairness (bahwa pelaksanaan kampanye diatur untuk menjamin legalitas dan

kejujuran);

(d) that the voting system is such as to produce both a legislative body

representative of the electorate and a government with sufficient democratic support to be able to govern effectively (bahwa pemungutan suara

diselenggarakan untuk menghasilkan lembaga perwakilan yang representatif dari oprang-orang yang memilih dan dipilih yang dilakukan secara demokratis, sehingga dapat memerintah secara efektif)78.

Realitas demikian menunjukkan bahwa prinsip demokrasi mempunyai interdependensi dengan prinsip negara hukum (rechtstaat). Dalam konsep negara hukum tercakup 4 (empat) tuntutan dasar :

Pertama, tuntutan kepastian hukum yang menetapkan kebutuhan langsung

masyarakat. Kedua, tuntutan bahwa hukum berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara. Ketiga, legitimasi demokratis, artinya bahwa proses pembuatan atau penetapan hukum harus mengikutsertakan dan mendapat persetujuan rakyat.

Keempat, negara hukum merupakan tuntutan akal budi, yaitu menjunjung tinggi

martabat manusia dan masyarakat.79

Di negara-negara Anglo Saxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori oleh A.V. Dicey dengan sebutan "Rule of Law", yang menekankan pada 3 (tiga) tolok ukur atau unsur utama, yaitu : (1) Supremasi hukum atau supremacy of law; (2) Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law; (3) konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.80

78

Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law, (London: Cavendish Publishing Limited, 2002), hlm. 423.

79

Djiwandono Soedjati, J. dan T.A. Legowo, Revitalisasi Sistem Politik lndonesia, (Jakarta: CSIS, 1986), hlm. 39.

80

Muhammad Tahir Azhary, H., Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya

Dilihat dari Segi Hukum Islam, lmplementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,

Teori negara hukum mengalami pertumbuhan menjelang abad XX yang ditandai dengan lahirnya konsepsi negara hukum modern (modern welfare state)81, yang pemerintahannya bukan lagi sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat) melainkan turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin. Hal ini berarti bahwa dengan pertumbuhan negara kesejahteraan modern, telah membawa pengaruh pada keterlibatan pemerintah dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, sehingga pemerintah mempunyai tugas servis publik (bestuurszorg).

Piet Thoenes, dalam hubungannya dengan welfare state mengemukakan sebagai berikut:

The welfare state is a form of society characterized by a system of democratic, government sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system of production (negara kesejahteraan adalah

bentuk masyarakat yang ditandai adanya suatu sistem demokratis, dengan didukung oleh pemerintah yang menempatkan kesejahteraan sebagai landasan baru, memberikan suatu jaminan perlindungan sosial yang kolektif pada warganya dengan mempertahankan secara sejalan seiring dengan sistem produksi kapitalis).82

Lebih lanjut dalam International Commision of Jurist pada konfrensinya di Bangkok tahun 1965 menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi. Komisi ini juga merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah "Rule of Law" sebagai berikut:

81

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), hlm. 18.

82

Husni, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945, (Bandung: Disertasi, Universitas Padjadjaran,

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. 3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan menyatakan pendapat.

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi. 6. Pendidikan kewarganegaraan.83

Bersamaan dengan itu, negara Indonesia juga disebut sebagai negara hukum

(rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat)84, sehingga sudah seharusnya

lembaga perwakilan rakyat baik di pusat maupun di daerah, serta lembaga perwakilan daerah yang dipilih melalui pemilihan umum diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, agar dapat memperkuat sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional) dan prinsip negara hukum yang demokratis tersebut.

Namun demikian, harus pula ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat

(democratische rechtsstat). Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum

itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan

83

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 26.

84

Prinsip Indonesia sebagai negara hukum, secara yuridis konstitusional sebelum Perubahan UUD 1945 diatur dalam Penjelasan dan implementasinya pada rumusan Pasal-pasal UUD 1945, seperti Pasal 4, Pasal 27, Pasal 28 dsbnya. Sedangkan sesudah Perubahan UUD 1945 secara eksplisit prinsip negara hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) :"Negara Indonesia adalah negara

mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.85 Prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan dalam bentuk penataan peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.86

Realitas di atas menunjukkan bahwa negara yang menganut prinsip demokrasi konstitusional (constitutional democratische) dan prinsip negara hukum (rechtsstaat) haruslah didasari pada prinsip negara berdasar atas konstitusi (contitutional system), sebagai perwujudan pembatasan kekuasaan melalui ketentuan-ketentuan konstitusi.

Bagir Manan dalam konteks negara berdasar atas konstitusi menyebutkan

bahwa konstitusionalisme selalu melahirkan apa yang lazim disebut "Limited

government". Dalam negara bersistem konstitusi setiap kekuasaan dibatasi.

Pembatasan ini sangat penting karena kekuasaan itu mempunyia karakter untuk selalu meluaskan lingkupnya secara tidak terbatas. Dan kekuasaan tidak terbatas akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (misused of power) dan kesewenang- wenangan (arbitrary power).87

Pada negara yang berdasarkan konstitusi memberlakukan konstitusi sebagai

"the higher law" dan "fundamental law". K.C. Wheare dalam konteks ini

85

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD

Tahun 1945, Makalah Pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, (Denpasar: BPHN-

Departemen Kehakiman dan HAM RI, 14-18 Juli 2003), hlm. 3.

86

Jimly Asshiddiqie, Pengorganisasian Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif, (Jakarta: Jurnal Keadilan. Vol. 2, No. 1 Tahun 2002), hlm. 6.

87

Bagir Manan, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Ceramah Ilmiah Dihadapan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Angkatan 1994, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 3 September 1994), hlm. 17.

menyebutkan :

"The short explanation of this phenomenon is that in many countries a Constitution is thought of as an instrument by which government can be controlled. Constitution spring from a belief in limited government (Secara

singkat dapat dijelaskan bahwa di banyak negara Konstitusi adalah salah satu sarana yang digunakan untuk mengawasi pemerintahan. Konstitusi mendasari pemerintahan yang terbatas).88

Sejalan dengan itu, menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya "Constitutional

Government and Democracy"89,konstitusionalisme ialah :

Merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.

Secara historis, munculnya pemerintahan konstitusional senantiasa berhubungan dengan terbatasinya negara dan kekuasaan para pengelolanya. Karena itu, konstitusionalisme, abstraksi yang sedikit lebih tinggi daripada rule of law atau pun rechtsstaat, berarti "paham negara terbatas" dimana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan yang penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum.90

Negara berdasarkan konstitusi, mengandung sekurang-kurangnya dua makna:91

88

K.C. Wheare, Modern Constitutions, (New York: Oxford University Press, 1975), hlm. 7.

89

Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 22.

90

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 514.

91

Pertama, pengaturan mengenai batas-batas atau pemerintahan dalam

mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua, jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil maupun hak pribadi (individual rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah kelompok atau hak- hak sosial sebagai hak asasi yang melekat secara alamiah pada setiap insan baik secara pribadi atau kelompok.

Secara yuridis konstitusional, perlindungan hak-hak warga negara dalam bidang politik antara lain diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:92

- Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

- Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

- Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.

Bahkan implementasi dari landasan yuridis konstitusional ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung, atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

92

Sekretariat Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Realitas ini berarti pemilihan umum mutlak diperlukan oleh negara yang menganut paham demokrasi dalam kehidupan kenegaraannya, baik penganutan itu secara formal (dianut secara tegas di dalam peraturan negara) dan untuk performance, maupun yang menganutnya secara formal dan esensial sekaligus mengejawantahkan kriterianya di dalam praktek.93

Di dalam demokrasi perwakilan, bangunan prinsip negara hukum adalah merupakan syarat mutlak, terutama dalam penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat. Agar para wakil itu benar-benar bertindak atas nama rakyat, maka para wakil itu harus ditentukan oleh rakyat yang dalam pelaksanaannya biasanya menggunakan lembaga pemilihan umum.94 Berdasarkan pemikiran yang demikian, maka pada umumnya pemilihan umum menjadi bagian penting dari suatu konstitusi, artinya di dalam wawasan konstitusional terdapat pula secara inheren prinsip tentang lembaga pemilihan umum.95

Dalam hubungan ini, esensi pemilihan umum dalam sistem politik demokratis yang didasarkan pada prinsip negara hukum dan prinsip negara berdasarkan konstitusi mempunyai beberapa fungsi, meliputi:96

Pertama, sarana legitimasi politik. Melalui pemilu keabsahan pemerintahan

93

Moh. Mahfud. MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi

Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Disertasi, Universitas Gadjah Mada, 1993),

hlm. 133.

94

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: C.V. Sinar Bakti, 1983), hlm. 329.

95

Moh. Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum …, op.cit., hlm. 135.

96

Marzuki, Pemilu 2004, Jalan Menuju Demokratisasi Politik, (Medan: Harian Analisa, Senin 28 April 2003), hlm. 8. Perhatikan juga A. Malik Haramain dan M.F. Nurhuda Y., Mengawal

yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu juga program dan kebijakan yang dihasilkannya. Pemilu merupakan sarana paling demokratis untuk membentuk

representative government. Pemilu merupakan the expression of democratic struggle

dimana rakyat menentukan siapa saja yang memerintah serta apa yang dikehendaki rakyat untuk dilakukan oleh pemerintah.

Kedua, pemilu berfungsi sebagai sarana peralihan pemerintahan secara

aman dan tertib. Dalam hal ini pemilu diharapkan mampu menghasilkan regenerasi kepemimpinan secara pasti dan legitimate. Oleh karena itu pemilihan umum merupakan mekanisme politik untuk menjamin keberlangsungan pergantian pemerintahan secara teratur.

Ketiga, sebagai penciptaan political representative (keterwakilan politik)

untuk mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Dalam kaitan ini pemilihan umum tidak hanya berfungsi sebagai pengejawantahan dari berlakunya asas kedaulatan rakyat, namun yang lebih penting adalah membangun kepercayaan rakyat terhadap pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dari program-programnya.

Dokumen terkait