DPRD-DPRD DI PROVINSI SUMATERA UTARA
OLEH :
MARZUKI 018101010/S3 HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan hidayah, rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat merampungkan penulisan Disertasi ini, yang berjudul : "Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara (Studi Konstitusional Peran DPRD-DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999)". Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam penulisan Disertasi ini, Penulis menyadari tidak terlepas dari adanya bantuan, dorongan dan do’a restu dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati Penulis pada kesempatan ini secara tulus ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Yang Amat Terpelajar Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A.(K.), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis selama mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
bantuan kepada Penulis dalam mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Rektor Universitas Islam Sumatera Utara, Ibu Prof.Dr. Djanius Djamin, SH, MS yang telah memberi bantuan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan Disertasi ini, serta seluruh civitas academica Universitas Islam Sumatera Utara .
5. Pimpinan dan Sekretaris DPRD pada DPRD Provinsi Sumatera Utara, DPRD Kota Medan, DPRD Kota Tebing Tinggi, DPRD Kabupaten Langkat, DPRD Kabupaten Deli Serdang, DPRD Kabupaten Mandailing Natal, yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada Penulis untuk melakukan penelitian guna memperoleh bahan dan data yang diperlukan dalam penulisan Disertasi ini.
6. Ketua KPU Provinsi Sumatera Utara, Bapak Irham Buana Nasution, SH, M. Hum., Ketua dan anggota KPU Kota Medan, Ibu Ir. Nelly Armayanti dan Ibu Dra Evi Novida Ginting, Ketua KPU Kota Tebing Tinggi, Bapak Hatta Ridho, S.Sos, MSP, Ketua KPU Kabupaten Langkat, Bapak H.M. Syarif Rawi, SH, Ketua KPU Kabupaten Deli Serdang, Bapak Drs. Mohd. Yusri, dan Ketua KPU Kabupaten Mandailing Natal, Bapak Drs. Abdul Aziz, yang telah banyak memberikan bahan dan data serta pandangan yang sangat relevan untuk memperkaya substansi Disertasi ini.
telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan Penulis dengan sangat bijaksana. Beliau juga banyak memberikan pengalaman dan pelajaran tentang kehidupan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, sebagaimana layaknya seorang Bapak menuntun dan membimbing anaknya. Demikian juga kepada Yang Amat Terpelajar Bapak Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH, M.Si, selaku Co-Promotor disela-sela kesibukan Beliau nun jauh di Yogyakarta selalu meluangkan waktu untuk membimbing, mendorong dan memberikan pembelajaran yang sangat berharga baik di bidang akademis maupun kehidupan kekinian dan yang akan datang, khususnya dalam merampungkan Disertasi ini sebaik mungkin. Kepada Yang Amat Terpelajar Bapak Dr. Husni Jalil, SH, M.H, yang juga selaku Co-Promotor, Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus atas bimbingan dan masukan yang sangat berharga kepada Penulis dalam penyelesaian Disertasi ini.
Dalam kesempatan ini, Penulis secara khusus juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Yang Amat Terpelajar Bapak Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH yang sejak awal bertindak selaku Co-Promotor, dan senantiasa mengingatkan Penulis untuk memberi penguatan substansi aspek Hukum Ketatanegaraan, karena Disertasi ini sangat dekat dan pasti bersentuhan dengan Ilmu Politik, namun karena sesuatu hal Beliau tidak dapat melanjutkan sebagai Co-Promotor.
Bapak Dr. Supandi, SH, M.Hum, Yusrin Nazief, SH, M.Hum, Mirza Nasution, SH, M.Hum, dan juga kepada Ibu Darneliwita, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Mantay Borbir, SH, M.Hum atas dukungan dan motivasinya selama ini. Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Dr. Haposan Siallagan, SH, M.Hum dan Abanganda Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum atas diskusi dan kebersamaannya selama ini.
Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Adinda Irwansyah, SH, MH, Basyaruddin, SH, M. Taufik Nasution, Marjan, Ade Pramono, Elfenda Ananda dari LSM FITRA yang dengan ikhlas tanpa pamrih sangat banyak membantu Penulis untuk mengumpulkan bahan dan data yang diperlukan dalam penulisan Disertasi ini mulai dari Kabupaten Langkat sampai dengan Kabupaten Mandailing Natal. Kepada Bapak Syamsul Rifai, SH, Bapak M. Syafii, Juliani, Fika, Fitri, terima kasih atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan dalam segala urusan administrasi selama pendidikan ini, demikian juga kepada Bapak Herman Baeha, SH, MH yang berkenan membantu Penulis baik moril dan materil dalam penulisan Disertasi ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Om H. Ayub, SH dan Tante Hj. Rukiah, SH beserta keluarga yang telah banyak membantu Penulis, berkat dukungan dan kesempatan yang diberikan, terkadang berminggu-minggu Penulis tidak masuk kerja pada Kantor “Law Office Ayub, SH”, demi menyelesaikan penulisan Disertasi ini. Kepada Suryono, SH, Tarmin, SH dan Iwan yang penuh perhatian selama ini dalam memberikan dukungan kepada Penulis, juga diucapkan terima kasih.
memperoleh tempat yang baik di sisi-Nya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (Q.S. Al-Fajri: 27-30).
Ayahanda tercinta, berkat prinsip dan keteladanan yang ayahanda berikan selama ini sebagai seorang Guru SD nun jauh di pelosok desa di Kabupaten Mandailing Natal, telah menorehkan kesan yang sangat mendalam kepada ananda untuk menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum ini, melalui berbagai liku-liku dan perjuangan yang sangat panjang, semoga ini menjadi pemberi motivasi dan semangat buat ananda.
Dalam kesempatan ini, Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang yang tulus kepada adinda tercinta: Muhammad Iqbal Lubis beserta istri, Azizah Lubis, Amd. beserta suami, Rodiana Lubis beserta suami, Rukiani Lubis, Amd. Elvi Hayati, S.Ag, Amrullah Lubis, SH dan Magdalena Lubis, yang dengan penuh cinta kasih selalu menyinari dan memberi semangat kepada Penulis untuk tetap tegar dan optimis dalam setiap perjuangan. Semoga kita semua senantiasa memperoleh rahmat, hidayah dan inayah dari Allah SWT. Amin. Demikian juga terima kasih kepada etek Jamilah Batubara dan Uda M.D. Najamuddin Nasution (Almarhum) beserta keluarga, khususnya Auliana Nasution yang telah banyak membantu dalam pengetikan dan pengeditan Disertasi ini.
Ferdiansyah Al Faroqi, dan Fathur Rahman Lubis, yang telah memberi motivasi tersendiri kepada Penulis dalam penyelesaian studi ini.
Terima kasih yang terdalam disampaikan kepada Istri tercinta Nuraisyah Safrina, SE, yang dengan penuh kasih dan kesabaran memberikan semangat kepada Penulis agar tetap tegar dalam mengayuh bahtera kehidupan ini, walau sesulit apapun, terutama dalam penyelesaian Studi ini. Khusus kepada ananda tercinta Muhammad Farhan Tigor Lubis dan Naufal Abrar Lubis, terima kasih atas pengertian dan waktu yang diberikan kepada ayah, yang terkadang hak-hak ananda untuk memperoleh kasih sayang terabaikan, karena kesibukan ayah dalam menyelesaikan penulisan Disertasi ini, dan oleh karena itu keberhasilan ini secara khusus ayah persembahkan kepada ananda beserta seluruh keluarga besar kita, dan semoga keberhasilan ini menjadi motivasi buat ananda di masa-masa yang akan datang.
Penulis juga menyadari, masih banyak pihak yang ikut berperan dalam penyelesaian Studi ini, yang tidak mungkin Penulis sebutkan namanya satu persatu, namun dari lubuk hati yang paling dalam Penulis menyampaikan rasa terima kasih, semoga memperoleh balasan dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Akhirnya Penulis berharap, semoga Disertasi ini dapat bermanfaat sebagai tambahan ilmu dan pengalaman bagi Penulis dan untuk almamater, bangsa dan negara serta dalam pengembangan Studi Hukum Ketatanegaraan. Amin.
Terima Kasih
Medan, September 2007 Penulis,
M. Solly Lubis Dahlan Thaib3
Husni Jalil4
Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, pemilihan umum merupakan salah satu pengisian jabatan untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam suatu negara demokrasi. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut paham demokrasi berdasar atas hukum (constitutional democratie), pemilihan umum menjadi conditio sine quanon untuk mengisi berbagai jabatan seperti DPR, DPD, DPRD, maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan konstelasi yang demikian, maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi analisis secara komprehensif melalui pendekatan paradigmatik (paradigmatic approach) pengaruh sistem pemilihan umum (electoral laws) terhadap keterwakilan politik masyarakat (political representativeness), khususnya pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara, baik keterwakilan politik dalam arti formal maupun keterwakilan politik dalam arti materil.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptip analitik, dengan pendekatan yuridis normatif (legal research) untuk memperoleh data sekunder atau bahan pustaka hukum yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier, serta pendekatan yuridis empiris (sosio legal research) untuk memperoleh data primer melalui penelitian lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan, paradigma yuridis politis sistem pemilihan umum proporsional stelsel daftar tertutup dan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka yang disertai dengan penetapan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih), sesudah era reformasi, untuk DPRD-DPRD pada Provinsi Sumatera Utara belum mencerminkan keterwakilan politik masyarakat dalam arti formil, karena anggota-anggota DPRD terpilih bukan atas pilihan rakyat secara langsung dan belum mencerminkan keterwakilan politik tiap golongan di dalam masyarakat yang ditandai dengan indikator; masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang tidak terwakili pada DPRD-DPRD Provinsi Sumatera Utara, seperti keterwakilan dari segi jumlah penduduk, etnis, agama maupun gender, anggota DPRD-DPRD terpilih lebih dominan ditentukan oleh partai politik, bukan masyarakat pemilih, sehingga tidak terdapat hubungan langsung antara anggota DPRD dengan konstituennya, sehingga belum mencerminkan asas kedaulatan rakyat. Demikian juga keterwakilan politik masyarakat dalam arti materil, pelaksanaan fungsi DPRD, baik fungsi anggaran,
1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.
2
Guru Besar Emeritus pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
dan pemerintah daerah, sehingga kepentingan rakyat pemilih adakalanya terabaikan, bahkan tidak jarang anggota DPRD tersebut lebih cenderung menjadi “rubber stamp” dari pemerintah daerah.
Meskipun demikian, dalam rangka menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat maupun pengawasan secara umum, untuk DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara berlangsung dengan baik yang dilakukan melalui berbagai sidang alat kelengkapan DPRD, seperti sidang komisi, pansus, rapat pimpinan, dan juga melalui pranata reses atau fraksi yang ada di DPRD.
Untuk itu, direkomendasikan perlunya upaya optimalisasi peran DPRD pada Provinsi Sumatera Utara yang bermula dengan regulasi bidang politik, baik paradigma sistem pemilihan umum, sistem kepartaian dan sistem keparlemenan untuk memecahkan masalah (problem solving) keterwakilan politik masyarakat. Selain itu, perlu pemberdayaan anggota DPRD yang beraneka ragam asal, pendidikan, jenis pekerjaan sebelum menjadi anggota legislatif melalui peningkatan kualitas anggota DPRD dengan memberikan pembekalan, pendidikan dan latihan, meningkatkan pendidikan formal dan non formal, serta tersedianya staf administrasi dan staf ahli yang mendukung tugas-tugas DPRD. Di samping itu juga diperlukan perubahan tata tertib DPRD agar tidak mengekang pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD.
Pada akhirnya diharapkan DPRD-DPRD pada Provinsi Sumatera Utara agar lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat guna mewujudkan tujuan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pendemokratisasian dan pelayanan untuk memenuhi hak-hak rakyat di daerah untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Kata kunci:
- Sistem pemilihan umum
Tabel 1. Hubungan dan Ciri-ciri Partai ... 30
Tabel 2. Pembagian Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan Struktur Kertas Suara ... 35
Tabel 3. Tipe-tipe Sistem Pemilu ... 36
Tabel 4. Beberapa Jenis Sistem Pemilihan Umum ... 37
Tabel 5. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilu 1999 dan 2004 ... 63
Tabel 6. Konstruksi Hukum Sistem Pemilihan Umum Paradigmatik ... 64
Tabel 7. Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000-2003 ... 94
Tabel 8. Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Jumlah Anggota DPRD-DPRD pada Provinsi Sumatera Utara Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2009 ... 95
Tabel 9. Perbandingan Keterwakilan Perempuan Pada DPRD Sampel Penelitian di Provinsi Sumatera Utara Hasil Pemilu 1999 dan 2004 ...……..97
Tabel 10. Keterwakilan Perempuan pada Pemilu Tahun 2004 Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 99
Tabel 11. Keterwakilan Unsur Perempuan Hasil Pemilu 2004 pada DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 100
Tabel 12. Keterwakilan Unsur Perempuan pada Pemilu 2004 Calon Legislatif DPRD Kota Medan ... 101
2004... 12
Tabel 2 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2000-2003... 13
Tabel 3 Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Utara Menurut Agama dan Kabupaten/Kota tahun 2000 ... 14
Tabel 4 Persentase Penduduk Sumatera Utara menurut Suku Bangsa dan Kabupaten/Kota Tahun 2000 ... 15
Tabel 5 Hubungan dan ciri-ciri partai ... 105
Tabel 6 Pembagian Sistem Pemilihan Umum Berdasarkan Struktur Kertas Suara ... 137
Tabel 7 Tipe-tipe Sistem Pemilu... 140
Tabel 8 Beberapa Jenis System Pemilihan Umum ... 140
Tabel 9 Perolehan Suara ... 148
Tabel 10 Hasil Perhitungan Suara Mayoritas ... 151
Tabel 11 Jumlah anggota DPR-RIS ... 209
Tabel 12 Perolehan Suara dan Pembagian Kursi pada Pemilu 1971 ... 252
Tabel 13 Perolehan Suara dan Kursi Peserta Pemilu 1977 ... 255
Tabel 14 Perolehan Suara dan Kursi Peserta Pemilu 1982 ... 258
Tabel 15 Perolehan Suara dan Kursi Peserta Pemilu 1987 ... 261
A. Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) sebagai proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi refresentasi dari rakyat, karena pemilu merupakan satu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy).
Dengan kata lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh UUD. Kekuasaan negara yang lahir melalui pemilu adalah kekuasaan negara yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan.1
Pemilihan umum ini mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme pemerintahan secara tertib, teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang dapat menghormati opini orang lain. Di samping itu lebih lanjut akan lahir suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat selektif atau biasa memilih yang dianggap terbaik menurut keyakinannya.2
1
M. Solly Lubis, Kajian Normatif Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi Dalam Kerangka
UUD 1945, Makalah dalam Simposium Pemilu Sebagai Sarana Demokrasi Dalam Kerangka UUD
1945, (Medan: Fakultas Hukum UISU, 14 Desember 1991), hlm. 2.
2
Rusadi Kantaprawira, Pengaruh Pemilihan Umum Terhadap Perilaku Politik Dewan
Perwakilan Rakyai Republik Indonesia : Dimensi Budaya Politik dan Budaya Hukum, (Bandung:
Lyman Tower Sargent, dalam kaitan ini menyatakan bahwa suatu negara
demokrasi harus memenuhi beberapa unsur: 3
1. Citizen involvement in political decision making (warga negara terlibat
dalam pengambilan keputusan politik);
2. Some degree of equality among citizens (Adanya persamaan derajat
diantara warga negara) ;
3. Some degree of liberty or freedom granted to or retained by citizens
(Adanya jaminan persamaan kemerdekaan atau kebebasan bagi warga negara );
4. A system of representation (Adanya sistem perwakilan);
5. An electoral system-majority rule (Adanya aturan sistem pemilihan
umum).
Sejalan dengan pandangan tersebut, Danohoe mengemukakan bahwa di dalam demokrasi yang bersifat universal harus mengandung unsur-unsur:
(1) the contest of regular free and fair elections (by many parties) conducted by secret ballot on the basis of universal adult suffrage (Adanya aturan
pemilihan umum yang bebas dan jujur (oleh beberapa partai) yang diselenggarakan dengan surat suara rahasia bagi orang dewasa yang mempunyai hak pilih secara universal);
(2) there is separation of powers, an independent judiciary and free press
(Adanya pemisahan kekuasaan, peradilan yang merdeka dan kebebasan pers);
(3) there is respect for the rule of law (Adanya penghormatan terhadap
aturan-aturan hukum);
(4) human rights and the rights of minorities are respected (Adanya
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak golongan minoritas) ;
(5) an independent, efficient and accountable civil service exercises prudent management of public resources (Adanya pemerintahan yang mandiri,
efisien dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum).4 Memperhatikan berbagai unsur tersebut, berarti sistem pemilihan umum dan sistem perwakilan adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara
3
Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies, (Chicago: The Dorsey Press, 1984), hlm. 32- 33.
4
Priyanee Wijesekera dan Diana Reynolds. Parliaments and Government In The Next
demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya kepada wakil rakyat. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.5
Hak politik oleh Hans Kelsen dalam bukunya "General Theory of Law and State", di defenisikan sebagai hak untuk turut serta dalam pembentukan kehendak
negara6. Dalam hubungan ini, Hans Raj Jhingta mengemukakan:
The essence of a democratic election is freedom of choice. In modern times elections have been primarily associated with the system of representative form of government. In all democratic countries of the world the electoral system were established on the basis of the natural right of the individuals (Esensi dari
pemilihan umum yang demokratis adalah kebebasan untuk memilih. Dewasa ini pemilihan umum merupakan lembaga utama untuk membentuk sistem perwakilan dalam pemerintahan. Pada seluruh negara-negara demokratis di dunia, sistem pemilihan umum menjadi hak asasi setiap individu).7
Realitas tersebut dapat diartikan bahwa hak politik yang utama adalah hak untuk memberikan suara atau hak untuk turut serta dalam pemilihan anggota badan legislatif. Jadi, hak politik berkaitan dengan hak seorang warga negara untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum di dalam negara yang demokratis.
5
Miriam, Budiardjo, "Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global", (Jakarta: Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990), hlm. 37.
6
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1973), hlm. 236.
7
Hans Raj Jhingta, Corrupt Practices In Elections (A Study Under The Representation of
Apabila hak memberikan suara adalah nilai demokrasi yang paling mendasar, maka hak agar suara tersebut dicatat secara akurat adalah nilai paling penting kedua dalam demokrasi. Pergantian dan perubahan penduduk dalam teknologi dan sikap sosial sering menuntut penyesuaian dalam aturan-aturan permainan politik, sehingga membuatnya penting untuk proses kajian dan revisi terperinci selanjutnya. Sementara itu, hak memberikan suara yang tidak terlindungi secara konstitusional sangat mudah dimanipulasi oleh para politisi terpilih.8
Sejalan dengan hal tersebut, Rusadi Kantaprawira menyatakan: “pemilihan umum sudah menjadi "kegaliban-positif” di dalam negara yang menganut kedaulatan rakyat. Pemilihan umum itu merupakan wahana untuk melakukan seleksi ke arah pengisian jabatan-jabatan politik, terutama untuk mengimplementasikan fungsi legislatif”.9
Henry B. Mayo dalam buku "An lntroduction to Democratic Theory"
memberi defenisi mengenai pemerintahan demokrasi sebagai berikut:
Sistem pemerintahan yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif' oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (A democratic political system is one in which public policies are made
on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom).10
8
International IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: International IDEA, 2001), hlm. 17.
9
Rusadi Kantaprawira, Birokrasi dan Pemilihan Umum 1997, Makalah pada Seminar Nasional XV "Dinamika Pemilihan Umum 1997" dalam Kongres Nasional IV Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), (Bandung: Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, 23-25 September 1997), hlm. 1.
10
Konteks yang demikian berarti pemilihan umum adalah institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokratis, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme untuk menerjemahkan persetujuan itu menjadi wewenang pemerintah adalah pelaksanaan pemilihan yang bebas dan jujur.11
Keberadaan lembaga perwakilan dimaksudkan untuk menetapkan atau menjamin penyelenggaraan negara tidak absolut, tetapi demokratis berkedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pemilihan umum adalah merupakan salah satu sarana untuk membentuk lembaga perwakilan rakyat dalam mewujudkan cita-cita demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Lebih lanjut Dahlan Thaib mengemukakan bahwa dalam masyarakat demokratis, pemilihan umum merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa pemilihan umum merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.12
Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum, karena pemilihan umum (pemilu) merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip
11
United States Information Agency (USIA), What is Democracy ?, English Teaching Forum, (New Jersey: Prentice Hall, 1991), hlm. 16.
12
Dahlan Thaib, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 (Perspektif Hukum Tata
Negara), Makalah disampaikan dalam Workshop dan Pelatihan Pengawasan Jajaran Panwaslu se
dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.13
Untuk itu, kualitas partai politik, baik keorganisasiannya maupun kiprahnya dalam kehidupan politik, sangat menentukan terciptanya wakil-wakil rakyat yang bermutu dan bertanggungjawab. Demikian pula pemilihan umum melakukan proses seleksi yang "menyeberangkan" tokoh-tokoh dari sektor kehidupan politik masyarakat ke sektor pemerintahan yang resmi sifatnya.14
Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, pemilihan umum merupakan salah satu cara pengisian jabatan untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam suatu negara demokratis. Dengan perkataan lain, objek kajian Hukum Tata Negara sebagai hukum yang mengatur keorganisasian negara dan cara menjalankan pemerintahan, menurut Maurice Duverger diantaranya mencakup persoalan cara rakyat menjalankan hak-hak ketatanegaraan, seperti sistem perwakilan di dalam negara, sistem pemilihan umum, parlemen, menteri-menteri, kepala pemerintahan (chef de
l'Etat), dan sebagainya.15 Bahkan Marcel Prelot dalam bukunya "Institutions
Politiques et Droit Constitutionnel" mengemukakan bahwa soal-soal
kewarganegaraan, hak-hak warga negara dan penduduk, pemilihan umum dan kepartaian merupakan kajian dari hukum ketatanegaraan kerakyatan (le droit
13
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 94.
14
Rusadi Kantaprawira. "Anjakan Analisis Politik dan Ketatatanegaraan Atas Dasar Daur
Keparlemenan ", dalam Bagir Manan (Ed.), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 255.
15
Maurice Duverger, Droit Constitutionnel et Institution Politiques, dalam Usep Ranawijaya,
constitutionnel demotique) yang mengenai susunan dari masyarakat negara
(determine la composition meme de la societe etatique).16
Lebih lanjut Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul "l'Es Regimes
des Politiques" menyatakan sebagai berikut :
Cara pengisian jabatan demokratis dibagi menjadi dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Yang dimaksud demokrasi langsung merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat secara langsung memilih seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan, sedangkan demokrasi perwakilan merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat memilih seseorang atau partai politik untuk memilih seseorang menduduki jabatan tertentu guna menyelenggarakan tugas-tugas (kelembagaan) negara seperti kekuasaan legistatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.17
Realitas tersebut berarti, otoritas pengisian jabatan tertentu dalam pemerintahan dilegitimasi berdasarkan perwakilan melalui pemilihan umum. Yang dipikirkan dalam hal ini ialah suatu kelompok yang mengorganisasi diri dan dengan demikian menentukan batas otoritas yang dipercayakan oleh kelompok itu kepada wakil-wakilnya. Rakyat negara memberikan mandatnya yang terbatas dalam konstitusi.18
16
Ibid., hlm. 17-18. Dalam hubungan ini Marcel Prelot membagi hukum publik kedalam hukum publik ketatanegaraan (droit public constitutionnel), yaitu hukum mengenai susunan negara (la
structure de 1’Etat) dan hukum publik perhubungan (droit public relationnel), yaitu hubungan negara
dengan perorangan atau persekutuan swasta (collectivites non etatiques). Sedangkan droit public
constitutionnel, meliputi : hukum ketatanegaraan politik (le droit constitutionnel politique), hukum
ketatanegaraan administrasi (le droit constitutionnel administratif), hukum ketatanegaraan peradilan
(Ie droit constitutionnel judiciaire on juridictionnel), dan hukum ketatanegaraan kerakyatan (le droit constitutionnel demotique).
17
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Naskah Akademik Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Usulan Komisi Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,
2004), hlm. 92.
18
J.H.A. Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht (Tentang Teori Suatu
Hnkum Tata Negara Positif), terjemahan Makkatutu dan J.C. Pangkerego,(Jakarta: PT. Ichtiar
Namun demikian, pemilihan umum juga tidak terlepas kaitannya dengan ilmu Politik, karena di dalam suatu pemilihan umum dapat diamati secara empiris adanya perilaku politik tertentu dan orientasinya terhadap isu-isu politik yang bersangkutan dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan dan pencapaian tujuan kemasyarakatan serta masalah penyelesaian konflik dan pembentukan konsensus.19
Dengan demikian, apabila pemilihan umum dalam Hukum Tata Negara ditinjau sebagai bentukan formil yang dibatasi oleh hukum yang berlaku (juridical
approach),sehingga berkaitan dengan hukum konstitusionil, maka Ilmu Politik
meskipun tetap mengindahkan juridical approach, yang menunjukkan struktur formil dari lembaga-lembaga politik, tetapi terutama sekali memperhatikan bagaimana pelaksanaan dan aktivitas dari lembaga tersebut dalam kenyataannya. Sebagai akibat
approach seperti ini, Ilmu Politik juga mencakup dalam penyelidikannya
faktor-faktor kekuasaan riil yang ada di dalam masyarakat, seperti penyelidikan pressure
groups, pendapat umum, propaganda, lobbying, dan lain-lain yang turut membentuk
dan menentukan hakekat lembaga-lembaga itu.20
Maurice Deverger dalam hubungan ini mengemukakan :"... as a general rule,
political institutions are viewed more from a legal then from a sociological angle;
constitutional law is studied rather than political science (… pada umumnya, institusi
19
Rusadi Kantaprawira, Pengaruh Pemilihan Umum…, op.cit., hlm. 47. Perhatikan juga Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, op.cit., hlm. 9, diantaranya menyebutkan bahwa konsep-konsep pokok dalam Ilmu Politik berkenaan dengan : negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, beleid) dan pembagian (distribustion) dan alokasi (allocation).
20
politik dapat dipandang dari segi hukum melalui tinjauan sosiologi, hukum tata negara dipelajari dari sudut pandang ilmu politik).21
Dengan demikian menurut Rusadi Kantaprawira, Hukum Tata Negara dalam konteks pemilihan umum mempunyai pertautan (interdependensi) dengan Ilmu Politik, sebagai berikut:
Apabila dikaji, maka pemilihan umum itu sebenarnya merupakan institusi yang berusaha mengadakan perkaitan kembali (terugkoppeling) antara pelaku-pelaku politik dalarn masyarakat dengan pelaku-pelaku-pelaku-pelaku politik dalam struktur pemerintahan yang formal sifatnya, sehingga terdapat hubungan kejiwaan antar keduanya. Dengan perkataan yang demikian ini, lembaga-lembaga negara akan mempunyai keabsahan dan kewenangan untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan masyarakat yang menjadi "bumi"-nya.22
Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratik mungkin tercipta. Masyarakat demokratik ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan, maupun keharusan-keharusan lain seperti kesadaran hukum dan keseyogiaan dalam berprilaku untuk senantiasa dapat menakar dengan tepat berbagai hal memerlukan keseimbangan. Harmoni tersebut antara lain berwujud sebagai keserasian antara kepentingan individu dengan masyarakat, antara aspek kehidupan kerohanian dan kebendaan, antara kepentingan pusat dan daerah dan sebagainya.23
21
Ibid..
22
Rusadi Kantaprawira, Pengaruh Pemilihan …, loc.cit.
23
Secara yuridis konstitusional, berkenaan dengan Pemilihan Umum di Indonesia dewasa ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan :
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai Politik
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Bahkan landasan yuridis konstitusional pemilihan umum, juga diatur dalam berbagai UUD atau Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, karena pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang harus dilindungi secara konstitusional (demokrasi konstitusional). Hal ini dapat diperhatikan dalam Pasal 34 Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 35 UUDS 1950 yang menyebutkan : "Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara".24
24
Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan dalam kurun waktu 1945 sampai dengan 2004, telah diselenggarakan pemilihan umum sebanyak 7 (tujuh) kali, yaitu pertama kali (1955) dalam rangka UUDS 1950, dan sebanyak 8 (delapan) kali dalam rangka UUD 1945, baik pada masa sebelum maupun sesudah Perubahan UUD 1945, yang antara lain dimaksudkan untuk memilih lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD).25
Konsekuensi dari pemilihan umum yang melahirkan lembaga perwakilan rakyat, maka esensinya baik sebagai badan legislatif maupun sebagai forum perwakilan rakyat menurut M. Solly Lubis mempunyai dua macam peranan, yaitu : (a) sebagai badan yang berwenang dalam perundang-undangan (wet geving; law
making), dan
(b) sebagai badan pengawas (kontrol) terhadap badan eksekutif.26
Memperhatikan sendi negara demokrasi dimaksud, maka UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan pembentukan berbagai lembaga perwakilan rakyat di Indonesia, yang meliputi MPR (terdiri dari DPR dan DPD) serta DPRD untuk Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Dalam sistem pemerintahan daerah keberadaan DPRD secara yuridis konstitusional diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan : "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
25
Pada pemilu 1955, selain diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, juga memilih anggota Konstituante, sedangkan pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, secara tersendiri juga telah diselenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
26
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum".
Keberadaan DPRD yang demikian tidak terlepas dari hakikat otonomi daerah dalam mewujudkan desentralisasi atau proses pendemokrasian pemerintahan dengan keterlibatan langsung masyarakat melalui pendekatan lembaga perwakilan (DPRD)27, guna mengatur dan mengurus urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah secara bebas dan mandiri.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pemerintahan daerah seyogianya berlangsung sekaligus dua alur kebijakan:
1. Berlangsungnya kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Pusat di daerah secara berwibawa (legally and legitimated, punya macht (kewenangan) dan gezag (kewibawaan).
2. Berlangsungnya pendemokrasian pemerintahan dan pembangunan di daerah (yang berarti akomodatif dan aspiratif).28
Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan29 mengemukakan paling tidak ada 3
(tiga) faktor utama yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan pendemokrasian pemerintahan:
1) Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty),
2) Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengurus dan mengatur sendiri urusan-urusan (pemerintahan) yang bersifat lokal, bukan hanya
27
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah (Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan tantangan Global), (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 29. 28
M. Solly Lubis, Hubungan Pusat dan Daerah Otonom, Makalah Disajikan Pada “Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, Melanjutkan Perubahan UUD Negara RI 1945”, (Bukittinggi: Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, 11-13 Mei 2007), hlm. 9.
29
sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik,
3) Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 sebenarnya sudah mengamanatkan perlunya pemberdayaan DPRD, sebagaimana disebutkan bahwa arah kebijakan Pembangunan Daerah antara lain adalah : "Memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka melaksanakan fungsi dan perannya guna memantapkan penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab”.30
Dalam hubungan ini, lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, sebagai bagian dari reformasi politik telah merubah peran DPRD yang sebelumnya dianggap hanya merupakan "stempel" pemerintah menjadi pihak yang mengawasi pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi dari terlepasnya pengaruh pemerintah dalam rekrutmen anggota-anggota legislatif, sehingga para anggota yang terpilih lebih berorientasi kepada masyarakat pemilihnya daripada pihak eksekutif.
Berdasarkan hal-hal tersebut, lahirlah berbagai mekanisme demokratik seperti sistem pemilihan anggota perwakilan, sistem pemilihan penyelenggara pemerintahan (gubernur, bupati, dan walikota), sistem hubungan tanggung jawab antara badan perwakilan dengan penyelenggara permerintahan dan sebagainya.
30
Di Wilayah Provinsi Sumatera Utara, selain Provinsi Sumatera Utara, pada Pemilu 1999 terdiri atas 13 Kabupaten, dan 6 Kota31, yang merupakan daerah otonom, tentunya juga mempunyai DPRD sebagai wakil rakyat dalam rangka mewujudkan otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Dalam hubungan ini dapat diperhatikan jumlah Kabupaten dan Kota di wilayah Provinsi Sumatera Utara, sebagaimana Tabel berikut ini :
Tabel 1.1. Perbandingan Kabupaten/Kota Pada Pemilu 1999 dengan Pemilu 2004
No. Kabupaten/Kota Pada Pemilu 1999 No. Kabupaten/Kota Pada Pemilu 2004
1. Kota Medan 1. Kota Medan
2. Kota Tebing Tinggi 2. Kota Tebing Tinggi
3. Kota Binjai 3. Kota Binjai
4. Kota Pematang Siantar 4. Kota Pematang Siantar
5. Kota Sibolga 5. Kota Sibolga
6. Kota Tanjung Balai 6. Kota Tanjung Balai
7. Kabupaten Deli Serdang 7. Kota Padang Sidimpuan
8. Kabupaten Asahan 8. Kabupaten Asahan
9. Kabupaten Dairi 9. Kabupaten Dairi
10. Kabupaten Karo 10. Kabupaten Karo
11. Kabupaten Labuhan Batu 11. Kabupaten Labuhan Batu
12. Kabupaten Langkat 12. Kabupaten Langkat
13. Kabupaten Mandailing Natal 13. Kabupaten Mandailing Natal
14. Kabupaten Nias 14. Kabupaten Nias
15. Kabupaten Simalungun 15. Kabupaten Simalungun
16. Kabupaten Tapanuli Selatan 16. Kabupaten Tapanuli Selatan
17. Kabupaten Tapanuli Tengah 17. Kabupaten Tapanuli Tengah
18. Kabupaten Tapanuli Utara 18. Kabupaten Tapanuli Utara
19. Kabupaten Toba Samosir 19. Kabupaten Toba Samosir
20. Kabupaten Samosir
21. Kabupaten Humbang Hasundutan
22. Kabupaten Nias Selatan
23. Kabupaten Deli Serdang
24. Kabupaten Pakpak Bharat
25. Kabupaten Serdang Bedagei
Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, diolah, 2003.
31
Berdasarkan data tersebut, tentunya Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah yang bersifat pluralistik, baik dilihat dari segi geografis maupun keadaan sosial masyarakatnya, sehingga menunjukkan terdapat keanekaragaman penduduk Sumatera Utara, baik dari segi tingkat pendidikan yang berbeda serta pekerjaan yang beraneka ragam seperti petani dan nelayan, pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha, buruh, dan sebagainya.
Berdasarkan berbagai indikator di atas, dapat diperhatikan Provinsi Sumatera Utara yang sangat pluralistik, apabila dipetakan dari segi pembagian daerah kabupaten dan kota mempunyai karakteristik tersendiri dilihat dari kehidupan sosial, ada yang cenderung homogen, seperti Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir. Akan tetapi juga terdapat daerah-daerah yang bersifat pluralistik, sebagaimana antara lain Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Kota Pematang Siantar, sehingga tentunya juga akan mempengaruhi prilaku politik dan prilaku hukum DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara dalarn menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Kondisi ini dapat diperhatikan dari fenomena yang terjadi pada DPRD, seperti perkelahian yang belum pernah terjadi dalam sejarah DPRD di Provinsi Sumatera Utara, sebagaimana terjadi pada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Dairi Periode 2004-2009 yang diwarnai kerusuhan, mulai dari caci maki, pukul meja di ruang sidang. Bahkan ada beberapa anggota dewan yang saling lempar botol air mineral antara lain Fraksi Partai Golkar dengan Fraksi PDIP.32 Demikian juga dengan berbagai unjuk rasa yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disebabkan aspirasi mereka tidak ditanggapi secara baik oleh anggota DPRD, seperti soal limbah, pemerasan, dan penggusuran yang terjadi di Kecamatan Medan Sunggal, ternyata di Gedung DPRD Medan warga mengaku kecewa melihat kinerja Dewan, karena tidak satupun dari mereka yang bersedia menerima aspirasi warga33, bahkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah DPRD sering mengabaikan aspirasi masyarakat, sehingga tidak begitu tersentuh oleh DPRD padahal mereka mewakili rakyat.
Kehadiran para anggota DPRD juga menjadi sorotan, pihak yang diharapkan menjadi tempat menyalurkan aspirasi masyarakat, ternyata sikapnya seakan tidak perduli dengan rakyat, sebagaimana antara lain terjadi pada DPRD Kabupaten Deli Serdang, akibat tidak ada satupun anggota dewan yang masuk di ruang komisi I DPRD Deli Serdang di Lubuk Pakam, akhirnya ruangan itu dijadikan ajang
32
"Pilkada Dairi Rusuh ", (Medan : Harian Waspada, Selasa 27 Januari 2004), hlm. 1-2.
33
Hal ini antara lain dapat diperhatikan : "Dua Gelombang Pengunjuk Rasa Serbu Kantor
Bupati dan DPRD Langkat", (Medan : Harian Waspada, Selasa, 8 Juli 2003), hlm. 6, dan "Soal Penggusuran dan Kasus Kampar Warga Sunggal dan Mahasiswa Demo di DPRD", (Medan: Harian
pertengkaran dua pengurus tanah garapan di lahan eks PTPN II Selambo.34
Bahkan masyarakat Medan Area menilai anggota DPRD Medan hanya bisa menebar janji. Sudah begitu banyak janji yang mereka terima, namun hingga kini belum ada yang ditepati. Kenyataan ini membuat warga menuding anggota dewan, terutama dari Daerah Pemilihan (Dapem) I sebagai pembohong. Pernyataan tersebut dikemukakan warga dalam pertemuan dengan para anggota DPRD Medan Daerah Pemilihan I pada saat mereka melakukan kunjungan kerja ke sejumlah wilayah di kawasan tersebut.35
Dalam konteks yang demikian, Pemerintah dan DPRD semestinya dapat berperan dan berfungsi untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh tahap ”memperjuangkan pengakomodasian kepentingan rakyat”, sehingga Pemerintah Daerah melaksanakan kebijakan yang menyentuh aspirasi rakyat.36
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Rektor USU Chairuddin P. Lubis diwakili Pembantu Rektor III John Tafbu Ritonga, pada Seminar Pemilihan Umum menegaskan, reformasi tahun 1998 sama sekali tidak menghasilkan perbaikan bagi kehidupan wong cilik (ordinary people), melainkan semakin buruk.37
Lebih lanjut Rektor Universitas Sumatera Utara dalam kaitan ini menyatakan sebagai berikut:
34
"Tak Ada Anggota Dewan, Ruang Komisi I DPRD DS Jadi Ajang Pertengkaran", (Medan: Harian Sore Garuda, Senin, 1 Maret 2004), hlm. 1.
35
“Keluhan Tak Direspon: DPRD Medan Dituding Pembohong”, (Medan: Harian Andalas, Sabtu, 19 Mei 2007), hlm. 3.
36
J. Kaloh, Mencari Bentuk ..., op.cit., hlm. 51.
37
"Rektor USU Pada Seminar Pemilu: Reformasi Tak Perbaiki Kehidupan Wong Cilik",
Setelah reformasi tahun 1997 kata Rektor, angka pengangguran di Indonesia bertambah. Angka orang miskin meningkat dari 22 juta menjadi 39 juta jiwa dan pendapatan per kapita masyarakat menurun dari Rp. 8,4 juta menjadi Rp. 7 juta. Pemilu 2004 merupakan "critical moment" (momen kritis). Apabila
voters (pemilih) tidak cerdas dan cermat menetapkan pilihannya pada Pemilu
5 April 2004, 4 Juli dan 4 September nanti akan memperlambat dan memperburuk pemulihan pembangunan ekonomi. Dikatakannya, Pemilu 2004 langsung memilih legislator dan Presiden, orang yang akan membuat dan mengawasi serta menyusun pemerintahan. Salah pilih akan membuat kebijakan UU yang salah kaprah serta pemerintahan yang tidak becus dan cuma bisa ngomong dan berdebat.38
Sejalan dengan hal yang demikian, J. Kaloh mengemukakan kondisi politik daerah sebagai berikut:
"... , seringkali pendemokrasian jalannya Pemerintahan Daerah dikemas oleh kepentingan elit politik semata, sehingga tidak jarang banyak partai politik dan anggota DPRD Daerah tidak mampu melaksanakan fungsinya untuk melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan para pemilihnya, malahan yang banyak terjadi adalah menyuarakan kepentingan pribadi semata. Dalam keadaan sedemikian ini sangat mungkin terjadi biaya tinggi (high cost) yang pada akhirnya gerak pemerintahan berjalan di tempat”.39
Sementara itu, tugas dan wewenang DPRD sedemikian luas, meliputi berbagai hal, antara lain sebagai berikut:40
a. memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;
b. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota;
c. bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;
38
Ibid.
39
J. Kaloh, Mencari Bentuk …, loc. cit.
40
Perhatikan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 34 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. DPR
dan DPRD. Bandingkan juga dengan Pasal 62 dan Pasal 78 Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Bandingkan juga dengan Pasal 42
d. bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
e. melaksanakan pengawasan terhadap :
1) pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain; 2) pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
3) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 4) kebijakan Pemerintah Daerah;
5) pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan Daerah;
g. menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat;
Selain itu, secara normatif DPRD mempunyai beberapa kewajiban yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang meliputi:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta mentaati segala peraturan perundang-undangan,
c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi, dan
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.41
Akan tetapi dalam praktek, kewenangan tersebut belum mampu di implementasikan oleh DPRD, disebabkan berbagai hambatan baik internal maupun
41
eksternal. Hambatan internal diantaranya adalah : peraturan tata tertib DPRD, sarana dan prasarana serta kualitas anggota DPRD. Demikian juga halnya dengan hambatan eksternal, seperti iklim politik yang berlaku, mekanisme sistem pemilihan umum maupun hubungan antara eksekutif dengan DPRD.
Kondisi ini mengakibatkan keberadaan DPRD senantiasa mendapat sorotan masyarakat, baik sebagai anggota maupun lembaga. Konstelasi demikian dapat diperhatikan dari fenomena masyarakat yang tidak lagi percaya sepenuhnya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat, karena sebagai lembaga politik tidak mampu bertindak atas nama rakyat untuk menentukan kebijaksanaan guna mencapai tujuan dan kepentingan masyarakat, padahal keberadaan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif, dan meningkatkan peran dan fungsi lembaga perwakilan rakyat.42
Realitas politik menunjukkan DPRD belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal dalam mewakili masyarakat. Dalam kaitan ini, Andi Anhar Chalid (Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Riau) mengemukakan:
Bahwa secara jujur harus diakui kemampuan anggota DPRD hasil Pemilu 1999 masih memerlukan sentuhan-sentuhan intensif agar lebih kompeten dan profesional. Kemampuan tersebut dapat diamati dari segi penguasaan visi, kematangan politik, pengetahuan tentang konsepsi dan teknis pemerintahan dan demokrasi serta ketrampilan lain yang bersifat mendukung.
42
Penyelenggaraan pemerintahan yang ideal ditandai bukan hanya semata-mata telah memenuhi kaidah demokrasi, melainkan juga ia harus memenuhi ukuran efektivitas. Untuk memenuhi kaidah efektivitas, mensyaratkan dikuasainya pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan bidang tugas legislatif, seperti mekanisme kerja kelegislatifan, kebijakan publik, teknis pengawasan, penyusunan anggaran dan sebagainya.43
Apabila DPR (termasuk DPRD) tidak dapat berfungsi, dan mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat semakin berlarut-larut, akan menimbulkan masalah besar bagi kehidupan ketatanegaraan, karena bisa terjadi rakyat menyalurkan aspirasinya sendiri dengan caranya sendiri melalui unjuk rasa dan demonstrasi yang menjurus kepada anarki, yang dapat berakibat keadaan ketatanegaraan yang ekstra
konstitusional, bahkan bisa mengarah kepada revolusi.44
Pemilu yang terdistorsi pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga perwakilan yang terdistorsi pula. Itulah yang terjadi dalam pemilihan anggota DPRD ternyata telah menghilangkan makna representitas (keterwakilan) rakyat dalam Lembaga Perwakilan Rakyat. Akhirnya dapat diduga bila produk legislasif lembaga ini tidak dapat menyentuh "nurani apalagi ruh" aspirasi masyarakat.
Oleh karena itu, pemberdayaan (empowering) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat menentukan dalam upaya melaksanakan otonomi baru. Pemberdayaan adalah upaya agar DPRD mampu melaksanakan tugas dan tanggung
43
Andi Anhar Chalid, "Pandangan Empirik Mengenai Hubungan Legislatif-Eksekutif di
Daerah Kabupaten Kepulauan Riau", dalam Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani (Eds.), Etika Hubungan Legislatif-Eksekutif dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Bandung: Fokusmedia, 2003),
hlm. 79-80.
44
jawab secara wajar, baik sebagai mitra eksekutif maupun sebagai pengemban pelaksanaan kedaulatan rakyat.45
Namun patut disadari, untuk berperan dan berfungsinya DPRD dalam menegakkan keserasian antara kepentingan anggota masyarakat yang diwakilinya dengan kepentingan berbagai kelompok dan lembaga baik di tingkat Nasional maupun pada tingkat Daerah, menurut Arbi Sanit ada beberapa faktor yang mempengaruhinya:
Pertama, integritas dan kemampuan atau ketrampilan anggota Badan
Legislatif. Kedua, pola hubungan anggota badan tersebut dengan anggota masyarakat yang mereka wakili yang tercermin di dalam sistem perwakilan yang berlaku. Ketiga, struktur organisasi Badan Legislatif yang merupakan kerangka formal bagi kegiatan anggota dalam bertindak sebagai wakil rakyat.
Dan keempat, ialah hubungan yang tercermin dalam pengaruh timbal balik
antara Badan Legislatif dengan Eksekutif dan lembaga-lembaga lainnya sebagai unit-unit pemerintahan di tingkat daerah, serta hubungan badan tersebut dengan lembaga-lembaga yang sama di tingkat yang lebih tinggi hirarkinya.46
Kondisi ini juga terjadi pada Lembaga Perwakilan Rakyat tingkat Pusat, sebagaimana jajak pendapat "Kompas": “Menakar dan Menilai Keputusan MPR”, yang juga sebagian besar anggotanya adalah berasal dari DPR hasil pemilihan umum menunjukkan bahwa di mata publik, kondisi tersebut menjauhkan MPR dari suara rakyat. Agenda-agenda yang berkaitan dengan persoalan bangsa kurang mendapat proporsi perhatian yang layak, sehingga kinerja lembaga pemegang kedaulatan rakyat ini oleh sebagian besar (73 persen) responden dirasa tidak memuaskan. Menurut
45
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2002), hlm. 62.
46
mereka, MPR sekarang ini bukan lagi penjelmaan dari 200 juta lebih rakyat Indonesia, melainkan jelmaan dari kelompok-kelompok politik yang dominan di dalamnya.47
Selain itu, dalam jumlah yang sama responden juga memberi sinyalemen bahwa dalam berpendapat anggota MPR lebih mementingkan sensasi daripada keseriusan membahas substansi permasalahan yang dihadapi. Sehingga responden merasa bahwa pendapat-pendapat yang keluar dari mulut anggota MPR kebanyakan tidak berbobot. Mayoritas (80 persen) responden mengaku bahwa perdebatan yang terjadi dalam ST MPR kali ini lebih banyak didorong keinginan untuk memenangkan kepentingan masing-masing kelompok/individu daripada mencari solusi yang terbaik bagi bangsa. Mayoritas (79 persen) responden tidak puas dengan upaya anggota MPR dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.48
Berkenaan dengan hal tersebut, Fathullah, pengamat politik CIDES Indonesia secara gamblang menyatakan tentang prilaku anggota Dewan :
Sekali lagi harus kita katakan sejujurnya, kendati sangat pahit dan terpaksa menggunakan bahasa yang lantang untuk mengingatkan bahwa dunia perpolitikan di Indonesia saat ini diwarnai oleh para "politikus hitam" yang memainkan "politik hitamnya". Mereka ini bergentayangan menaburkan malapetaka yang tiada habis-habisnya dengan mempermainkan politik untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, memanipulasi kekuasaan, menggerogoti uang dan memeras keringat rakyat, memutarbalikkan kepentingan atas nama rakyat, serta berprilaku anomali, bahkan lebih jelek dari itu.49
47
"Jajak Pendapat 'Kompas': Menakar dan Menilai Keputusan MPR", (Jakarta: Harian
Kompas, Senin 12 Agustus 2002), hlm. 8.
48 Ibid. 49
Dalam kaitan ini, masa depan DPR dan DPRD akan sangat bergantug terhadap perubahan mendasar tentang sistem pemilihan umum, sistem kepartaian, dan sistem keparlemenan yang dapat lebih mendewasakan perilaku mayoritas di dalam DPR dan DPRD, sehingga menimbulkan hubungan kedekatan antara pemilih dengan para wakilnya.
Oleh karena itu, sesudah Pemilu Tahun 1999 dan berikutnya, perlu disadari bersama sejauh mana makna Pemilu itu sebagai koridor yang menjadi alur lintas perilaku dan kegiatan politik kita menuju sistem politik yang baru nanti. Sesudah pemilu akan banyak lagi hal-hal dan masalah yang akan dibenahi dalam sistem itu, baik segi paradigma, maupun segi kelembagaan dan tata krama politik yang seyogyanya dikembangkan nanti, menurut konsensus nasional.50 Konstelasi yang demikian sangat penting artinya, terutama bila dihubungkan dengan Perubahan UUD 1945 yang telah memposisikan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai bagian dari institusi politik.
Di dalam sistem pemilihan umum yang memperhitungkan keterkaitan antara wakil dengan konsituennya atau yang memperhitungkan wakil-wakil realnya yang tercantum dalam daftar calon dengan para pemilihnya, akan membawa konsekuensi perhatian atau porsi aktivitas yang lebih besar harus diberikan oleh DPRD kepada masyarakat luas, sehingga sesuai dengan predikatnya sebagai lembaga perwakilan
50
M. Solly Lubis, Mencari format Konstitusionalisme Yang Baru Sebagai Landasan
Paradigmatik Sistem Manajemen Nasional, Pidato Pumabakti sebagai Guru Besar Tetap Fakultas
rakyat. Uraian di atas menunjukkan bahwa kapabilitas DPRD sekarang ini belum mampu menciptakan keterwakilan politik masyarakat, karena belum secara penuh bertindak sebagai wakil anggota masyarakat.
Salah satu sumber ketidakmampuan memperkecil jarak perwakilan di Indonesia berasal dari pemilihan umum, karena pemilihan umum yang diselenggarakan tidak menghasilkan wakil anggota masyarakat yang bertanggung jawab kepada pemilihnya.
Bahkan dapat dikemukakan bahwa wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilihan umum selama ini belum mampu menghayati kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Mereka belum mampu meletakkan sikap, pendirian dan tingkah laku mereka pada posisi yang seimbang diantara kepentingan anggota masyarakat yang diwakilinya dengan kepentingan pemegang kekuasaan yang otoritas. Apalagi untuk berpihak kepada anggota masyarakat yang diwakilinya dan yang memberikan kepercayaan kepada mereka.51 Dalam real politik, kekuasaan yang telah dilahirkan rakyat, dan dari rakyat ternyata dalam permainan politik kekuasaan telah mengakibatkan rakyat menderita dan ditinggalkan.
Lima tahun kemudian dan pemilu dilaksanakan lagi, barulah rakyat seperti memperoleh haknya kembali untuk menentukan hitam putihnya kekuasaan, melalui pemenang pemilu. Tetapi setelah pemilu selesai rakyat tidak mempunyai kekuasaan apa-apa lagi, karena permainan politik sudah terlepas dari realitas hidupnya dan rakyat tidak dapat lagi menentukan ke arah mana kekuasaan itu akan dikelola dan diaktualisasikan para pemenang pemilu.
51
Akibatnya dari pemilu ke pemilu nasib rakyat tetap saja menderita dan tidak berubah menjadi lebih baik. Oleh karena itu, kekuasaan yang diberikan rakyat seharusnya menjadi perwujudan dari kekuasaan hati nurani rakyat. Dan suara hati nurani rakyat, dimanapun, kapanpun, dan dari siapapun adalah suara untuk keadilan dan kemakmuran.
Hal ini berarti, sistem pemilihan umum yang didasarkan pada sistem proporsional52, yang diselenggarakan dalam suasana iklim politik dan pengaturan yang baru pada tahun 1999 dipandang belum menunjukkan hubungan yang signifikan dengan perwujudan kedaulatan rakyat, sehingga masalah pemilihan umum, khususnya sistem pemilihan umum di Indonesia, masih belum ideal, karena itu masih merupakan objek yang dapat diteliti atau dikaji secara lebih mendalam, apalagi pemilihan umum dewasa ini sudah diatur secara konstitusiona1.53
Di Indonesia berarti sistem pemilihan umum tidak hanya semata-mata dilihat pada pilihan antara sistem distrik dengan sistem proporsional, akan tetapi harus memperhatikan kaitannya dengan perwujudan kedaulatan rakyat. Untuk penerapannya, sistem pemilihan umum tidak bersifat konstan, karena dipengaruhi oleh banyak faktor atau kepentingan.
52
Pasal 1 ayat (7) dan Penjelasan Umum angka (4) Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
53
Kondisi ini dapat diperhatikan dari Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yang menunjukkan semakin tipis peluang bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara langsung lewat sistem distrik, karena undang-undang tersebut masih mempertahankan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dalam Pemilihan Umum (Pemilu) DPRD Tahun 2004.54
Oleh sebab itu, yang diperkirakan lebih menunjukkan pengaruhnya terhadap prilaku politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah regulasi tentang pemilihan umum dan pengangkatan. Secara sistemik, regulasi itu merupakan masukan instrumental yang memberikan warna terhadap komposisi, afinitas, ketergantungan, tingkat kognisi, afeksi dan konasi atau aktivitas para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.55
Dengan demikian, Pemilu seharusnya menjadi pernyataan suara hati nurani rakyat, sehingga pemenang pemilu dalam mengelola kekuasaan selalu terikat untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyatnya. Bukan untuk kekuasaan yang diperebutkan diantara kalangan mereka sendiri. Kekuasaan hati nurani harus menjiwai setiap aturan permainan dan keputusan politik, karena kekuasaan yang mereka peroleh pada hakikatnya merupakan perwujudan suara hati nurani rakyat.
54
Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2003 yang menyebutkan :"Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
55
Untuk itu, pemilu seharusnya tidak semata-mata hanya permainan politik yang tidak terkait realisasinya dengan nurani rakyat dalam menata dan mengelola kekuasaan. Jika keadaan sekarang ini dibiarkan terus, akan meluas apatisme politik rakyat. Akhirnya rakyat akan hidup dengan dunianya sendiri, dengan caranya sendiri. Sebaliknya, elite politik akan hidup dengan cara dan dunianya sendiri. Keduanya tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam keadaan itulah pemilu hanya menjadi basa-basi politik, akibatnya kualitas politik akan turun dan kehilangan makna, sedangkan dukungan rakyat hanya semu belaka dan akan terus menurun kuantitas dan kualitasnya.
Sekarang ini kita menyaksikan berpuluh-puluh Partai Politik (Parpol) sebagai kekuatan politik mencuat dan muncul ke permukaan sistem politik, khususnya untuk membuka saluran aspirasi yang selama ini dirasakan tersendat. Menurut sejarah, gejolak politis seperti ini bukan baru kali ini terjadi di tanah air, terbukti pada masa multipartai tahun 50-an juga telah terjadi, hingga tiba pada titik kritis konstituante yang gagal menciptakan UUD yang baru.56
Memperhatikan fenomena tersebut, maka konstitusi seharusnya menetapkan kerangka untuk politik yang demokratis. Konstitusi tersebut harus menyatakan bagaimana fungsi sistem pemilihan, dengan kata lain bagaimana aspirasi rakyat diartikulasikan melalui sistem politik. Untuk memberi keyakinan pada rakyat, dalam tugasnya mereka perlu disediakan suatu sistem yang tidak memungkinkan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas oposisi. Dalam hal ini, pelaksanaan terbaik yang terjadi akhir-akhir ini merefleksikan perhatian bahwa sistem pemilihan harus
56
menghasilkan legislatif yang menyeluruh (dimana seluruh pilihan politik rakyat secara proporsional terwakili) sementara dalam waktu yang bersamaan memastikan adanya pemilihan yang reguler dan priodik.57
Untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar demokratis, terdapat beberapa standar yang harus menjadi acuan:58
Pertama, pelaksanaan pemilihan umum harus memberikan peluang sepenuhnya
kepada semua partai politik untuk bersaing secara bebas, jujur dan adil.
Kedua, pelaksanaan pemilu betul-betul dimaksudkan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil-wakil tersebut betul-betul mencerminkan kehendak rakyat.
Ketiga, pelaksanaan pemilu harus melibatkan semua warga negara tanpa
diskriminasi sedikitpun, sehingga rakyat benar-benar mempunyai kepercayaan bahwa dirinya adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat.
Keempat, pemilu dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung
asas kebebasan dan kejujuran, sehingga dengan adanya undang-undang yang lebih memberi kesempatan kebebasan pada warga negara, peluang ke arah pemilu yang demokratis dapat dicapai.
Kelima, pelaksanaan pemilu hendaknya mempertimbangkan instrumen dan
penyelenggaranya, karena sangat mungkin kepentingan-kepentingan penyelenggara (lembaga) akan mengganggu kemurnian pemilu.
57
International IDEA, op. cit., hlm. 71. 58
A. Malik Haramain dan M.F. Nurhuda Y., Mengawal Transisi, Refleksi Atas
Keenam, pada persoalan yang lebih filosofis, pemilu hendaknya lebih
ditekankan pada manifestasi hak masyarakat, guna menciptakan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Dalam kaitan ini, maka kerangka hukum yang membentuk sistem pemilu adalah merupakan faktor penting untuk menciptakan pemilu yang demokratis dalam rangka menciptakan keterwakilan politik rakyat di dalam lembaga perwakilan rakyat, disamping faktor-faktor lain seperti, penyelenggara dan pemilih dalam pemilu.
Ternyata, kerangka hukum pemilu 2004 memberi peluang untuk praktik "melanggengkan kebiasaan lama" dalam pemilu. Ini terlihat antara lain pada akomodasi suara sah dalam pemilu anggota DPR : coblos tanda gambar partai (saja), atau coblos tanda gambar partai dan nama calon dalam kolom tanda gambar yang sama.59
Bahkan dalam pengaturan lebih lanjut tentang penentuan calon wakil partai politik yang terpilih, ditentukan melalui penetapan bilangan pembagi pemilih (BPP), yakni seorang calon wakil akan secara otomatis terpilih jika suara yang dikumpulkan memenuhi jumlah BPP yang kisarannya antara 325.000 hingga 425.000. Jika dalam satu kolom tanda gambar partai tidak terdapat calon yang memenuhi BPP, calon-calon terpilih ditentukan oleh partai politik yang bersangkutan.60
Ketentuan yang demikian menunjukkan bahwa pada akhirnya stelsel daftar terbuka yang digunakan dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang
59
T.A. Legowo, “Dilema Pemilu 2004”, (Jakarta: Harian Kompas, Sabtu 4 Oktober 2003), hlm. 47.
60
Pemilihan Umum tidak begitu bermakna dalam melahirkan anggota DPRD yang berkualitas. Di sisi lain pengaturan tersebut juga pada akhirnya akan menciptakan ketergantungan calon anggota DPRD kepada partai politik daripada kepada pemilihnya (rakyat).
Beranjak dari konstelasi yang demikian, Jimly Asshiddiqie berkenaan dengan sistem pemilihan umum maupun sistem kepartaian dalam hubungannya dengan esensi keterwakilan rakyat mengemukakan:
Jika sistem pemilihan umum yang dipakai adalah sistem suara berimbang (proporsional), maka derajat hubungan keterwakilan antara rakyat dan para wakilnya cenderung berjarak, tidak sedekat atau seakrab seperti dalam sistem distrik. Dalam rangka sistem kepartaian, juga terdapat kecenderungan makin banyak partai dan makin luas terbukanya tingkat persaingan, maka makin terbuka juga peluang aspirasi rakyat dapat sungguh-sungguh diperwakilkan oleh wakil rakyat. Walhasil, dalam sistem perwakilan rakyat melalui lembaga parlemen itu selalu saja terdapat kemungkinan distorsi atau kelemahan-kelemahan. Karena itu, sistem perwakilan fisik saja dianggap tidak atau belum tentu menjamin keterwakilan rakyat secara substantif, sehingga dikembangkan adanya pengertian "representation in ideas" yang tidak tergantung hanya kepada mekanisme kelembagaan melalui parlemen.61
Realitas di atas menunjukkan bahwa sistem pemilu belum memberikan akses yang kuat dalam melahirkan wakil rakyat yang representatif, yang tentunya dikhawatirkan berimplikasi dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, tentunya dalam rangka melahirkan berbagai policy sebagai wujud aspirasi dan tuntutan masyarakat.
61
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
Dengan demikian, Indonesia sampai saat ini masih mencari format konstitusionalisme62 yang akan dijadikan sebagai landasan paradigmatik dalam sistem pemilihan umum yang mampu melahirkan wakil rakyat yang representatif yang pada gilirannya akan mencerminkan kehendak rakyat.
Dalam situasi yang demikian, M. Solly Lubis lebih lanjut mengemukakan sebagai berikut :
Menurut sepanjang pengamatan saya, bangsa ini sedang mencari-cari dan berusaha menemukan format konstitusionalisme yang baru bagi dirinya, untuk kepentingan penataan ulang sistem manajemen kehidupan bangsa ini di semua bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, termasuk mengenai pemerintahan dan otonomi Daerah.63
Oleh karena itu, perlu kajian yang komprehensif tentang keberadaan lembaga perwakilan rakyat yang berpengaruh, seperti sistem pemilihan umum, pelaksanaan fungsi lembaga perwakilan rakyat atau juga budaya hukum masyarakat, sehingga Penulis tertarik untuk melakukan studi dalam bentuk Disertasi tentang "Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara (Studi Konstitusional Peran DPRD pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999)".
62
Istilah ini diadopsi oleh penulis dari Pidato Purna Bakti Prof Dr. M. Solly Lubis, SH dengan judul: "Mencari Format Konstitusionalisme yang Baru sebagai Landasan Paradigmatik
S'istem Manajemen Nasional ".
63
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Mengapa sistem pemilihan umum belum mencerminkan keterwakilan politik masyarakat pada DPRD-DPRD di Sumatera Utara ?
2. Bagaimanakah implementasi fungsi DPRD sebagai manifestasi keterwakilan politik masyarakat di Provinsi Sumatera Utara ?
3. Bagaimanakah upaya menciptakan optimalisasi peran DPRD dalam mewujudkan keterwakilan politik masyarakat pada Provinsi Sumatera Utara ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperluas wawasan tentang pemilihan umum yang melahirkan lembaga perwakilan rakyat (khususnya DPRD) yang diharapkan representatif. Oleh karena itu, tujuan penelitian dalam disertasi ini dirinci sebagai berikut:
1. Untuk melakukan studi tentang hubungan sistem pemilihan umum yang diterapkan di Indonesia dengan keterwakilan politik masyarakat, khususnya pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara.
2 Untuk melakukan studi tentang implementasi fungsi DPRD sebagai wujud keterwakilan masyarakat dalam rangka kedaulatan rakyat, khususnya di Provinsi Sumatera Utara.
solving dalam rangka menciptakan optimalisasi peran DPRD dalam mewujudkan
keterwakilan politik masyarakat pada DPRD-DPRD di Provinsi Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat untuk memecahkan hal-hal yang menjadi permasalahan baik secara teoritis maupun secara praktis :
1. Secara teoritis, dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan studi tentang Sistem Pemilihan Umum dan DPRD di Indonesia.
2. Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah :
a. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh solusi secara integral dan komprehensif atas berbagai kelemahan inplementasi sistem pemilihan umum yang diterapkan di Indonesia.
b. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada MPR, DPR, DPD dan Pemerintah dalam menyusun berbagai produk hukum bidang politik, termasuk DPRD Provinsi, Kabupaten, da