• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN

B. Kedudukan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Menjalankan

ke depan.

B. Kedudukan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman

Pertimbangan hakim merupakan aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, selain itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan

cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.332

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara yang sedang diadili oleh hakim. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi , yakni dibuktikan kebenar-benarannya sehingga nampak adanya hubungan hukum antara pihak.333

Ketentuan yang mengatur tentang hakikat pertimbangan hakim memuat hal sebagai berikut :334

a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak dapat disangkal.

b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/ hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c) Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus dipertimbangkan/

diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/ tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.

Pokok kekuasaan kehakiman secara Undang-undang Dasar Tahun 1945 diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25, sedangkan dalam Undang-undang diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam UUD 1945 bahwa hakim memiliki kebebasan yang merdeka

332Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 140.

333Ibid. hlm. 141.

334Ibid. hlm. 142.

untuk memutuskan suatu perkara. Selain itu juga ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan

“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu juga , Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut dengan the guardian of the constitution.335

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.336

Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

335 Nanang Sri Darmadi. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum, Volume XXVI, Nomor 2, Semarang Agustus 2011.

hlm. 11.

336Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 94.

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak boleh memihak (impartial judge) dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :

(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Ketentuan diatas dimaksud bahwa semua persoalan hukum yang dirasakan masyarakat wajib untuk diterima dan didalami oleh hakim, sekalipun hal tersebut tidak dapat dibuktikan.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 5 UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.

(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Berdasarkan undang Nomor 8 Tahun 2011 atas perubahan Undang-undang nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi di dasarkan pada Pasal 48 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan :

(a) Kepala putusan harus berbunyi “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” ;

(b) Identitas pihak ;

(c) Ringkasan permohonan ;

(d) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan ; (e) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan ;

(f) Amar putusan ; dan

(g) Hari, tanggal, putusan, nama hakim konstitusi dan panitera

C. Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan