• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HUBUNGAN KESESUAIAN TENTANG PENETAPAN DAN

D. Konsekuensi Hukum dan Demokrasi terhadap Implementasi Ambang

Ambang batas merupakan tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi oleh semua pihak.309 Dapat dipahami bahwa ambang batas suatu ukuran yang ditetapkan namun diterima oleh semua pihak. Ketentuan mengenai ambang batas diatur dalam Pasal 222 menyatakan “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Berdasarkan UUD NRI 1945 secara inplisit ketentuan pengaturan ambang batas tidak diatur, namun secara eksplisit memberikan ruang untuk membatasi dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut merupakan perintah Pasal 22 E ayat (6) UUD 1945 menyatakan “ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum

309 KBBI, Ambang Batas,

(http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Ambang%20Batas&id=1595-arti maksud-definisi-pengertian-Ambang%20Batas.html), diakses pada tanggal 25 Mei 2019.

diatur dengan Undang-undang”. Sehingga dalam UU Pemillu diatur ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Secara konstitusi pengaturan Pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden berbeda dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. hal yang berbeda di dalam konstitusi tidak ada batasan sekian persen namun dimungkinkan pengusungan oleh partai politik tertentu tanpa adanya batasan sekian persen.

Pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam menurut UUD 1945 Pasal 6A ayat (2) menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Sedangkan di dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 menyatakan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR.”

Merujuk dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Dari sisi penafsiran tekstual, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 telah memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden,

dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilihan umum.310 Hal ini telah mereduksi hak-hak partai politik yang ingin mengusungkan calon Presiden dan Wakil Presiden karena perintah dari konstitusi dimungkinkan. Hal lain yang lain penerapan ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakasanakan pada pemilu serentak.

Pelaksanaan Pemilu serentak merupakan hal yang baru dalam praktik penyelenggaraan pemilu Indonesia. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa penyelenggaraan pemilu serentak dilaksanakan mulai tahun 2019. Hal ini tentunya harus memerlukan kesiapan dari berbagai pihak baik dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih maupun oleh pemerintah itu sendiri termasuk peraturan hukum yang mengaturnya.311

Pemilu serentak bila dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD bahwa pelaksanaan tidak relevan. Ada penggunaan kalimat “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan umum”.

Oleh sebab itu partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum, mempunyai kewenangan konstitusional dalam mengusungkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya bahwa penetapan besaran ambang batas dalam UUD 1945 tidak dikatakan meskipun dikatakan pengaturan lebih lanjutnya oleh Undang-undang.

310Ibid.

311 Ahmad Hendra. Implikasi Pemilihan Umum Anggota Legsilatif ………, Op.Cit.

hlm. 5.

Persoalan selanjutnya bahwa penerapan ambang batas dilaksanakan pada pemilu serentak tidak rasionalitas dan tidak memberikan keadilan bagi warga Negara melalui partai politik terlebih bagi peserta pemilih. Koalisi yang dibentuk hanya memungkinkan akan menghasilkan politik transaksional, serta acuan 5 (lima) tahun lalu tidak bisa digunakan lagi karena akan merugikan banyak pihak. Berdasarkan pemahaman diatas bahwa penggunaan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 secara konstitusi telah merugikan hak-hak konstitusional warga Negara, hal ini tentunya tidak mengakomodir hak-hak rakyat.

Konsekuensi hukum terhadap konstitusionalitas ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdampak kepada legitimasi Pasal 222 UU Pemilu yang menyebabkan pemilu kehilangan relevansinya sehingga ketentuan ambang batas bertentangan dengan sumbernya. Dalam konstitusi pengusungan Presiden dan Wakil Presiden membuka ruang bagi seluruh partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Secara teori konstitusi menurut Jimly Asshidiqie dan Bagir Manan bahwa konstitusi berdasarkan paham konstitusionalisme memberikan batasan terhadap kekuasaan serta adanya perlindungan hak asasi manusia yang sama dalam hal apapun karena konstitusi hadir sebagai hukum tertinggi dalam menjamin hak-hak setiap warga Negara. Dapat dipahami bahwa ambang batas tidak sesuai (inkonstitusional) karena tidak mencerminkan nilai-nilai yang dimaksud dalam konstitusi.

Berdasarkan konsekuensi hukum diatas, ada beberapa pandangan bahwa ambang batas tidak relevan diterapkan pada pemilu serentak yaitu, pertama ketidak

rasional suara sah secara nasional pemilihan umum DPR 5 (lima) tahun sebelumnya yang akan digunakan untuk pemilu serentak hanya menghasilkan tranksaksionalitas politik. Kedua, bahwa setiap partai politik memiliki hak yang sama untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan ketentuan sebagai peserta dalam pemilihan umum. Ketiga besaran ambang batas juga akan memperberat bagi partai politik untuk berkoalisi, hanya partai-partai besarlah yang akan berkuasa.

Tranksaksional menurut Boissevain adalah hubungan pertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Faktor persahabatan adalah penting dan jadi keutamaan. Pada kondisi tertentu pendekatan tranksaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak terikat kepada peraturan atau sistem.312 Jadi politik tranksaksional dapat berupa perjanjian politik antara beberapa pihak dalam usaha menerima dan memperalat kekuasaan.313 Politik tranksaksional suatu strategi yang dilakukan oleh aktor politik yang berupa uang atau barang yang dilakukan pada masa kampanye dan dapat menciderai demokrasi.314 Sehingga transaksional politik yang dimaksud adalah menuju pada kegiatan money politik yang harus dihindari,

Merujuk pada konstitusi bahwa partai politik sebagai peserta pemilihan umum memiliki kewenangan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu merupakan wujud implementasi hak asasi warga Negara.

312 Sulaiman Nizam, Politik Malaysia. Perspektif Teori dan Praktik, (Malaysia : University Kebangsaan Malaysia, 2002), hlm. 82.

313 Budi Santoso, Politik Penguasa dan Siasat Pemuda, (Yogyakarta : Andi, 2010), hlm. 56.

314 Sunaryo, Money Politik OK Rakyat menyambut, (Bandung : SPDT, 2009), hlm. 23.

Untuk itu secara konstitusis keberadaan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak sesuai dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Jika merujuk pada risalah perdebatan lahirnya ketentuan pasal 6A ayat (2) UUD 1945, ada pun beberapa isi pasal 6 UUD 1945 :315

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai pelaksana Pemilihan Umum

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Alternatif 1 :

Dalam hal tidak ada pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilihan Umum dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Alternatif 2 :

Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilihan Umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur oleh Undang-undang.

Tim ahli selanjutnya Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan bahwa pemilihan Presiden secara langsung adalah upaya memperkuat demokratisasi di Indonesia.

315 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(Buku I Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945) Edisi Revisi, (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010). hlm. 395-396.

Selain itu, ia juga menyinggung keterkaitan problem sistem pemilihan langsung dengan sistem multipartai.316

“Tetapi yang jadi masalah dengan penerapan sistem multipartai ini ada repotnya. Repotnya dibayangkan misalnya bila tidak diperoleh calon yang memperoleh mayoritas suara itu dalam pemilihan langsung itu. Nah, ini agak risihkan buat Negara sebesar kita; pluralism seperti Indonesia ini, kalau presidennya harus mendapat dukungan dua puluh lima persen suara, sedangkan saingannya cumin dua puluh empat persen, nah ini kan susah.”317 Menimbang hal itu, menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa alternatif yang diuraikan diatas untuk menghindari putaran pemilihan kedua yang berbiaya besar yaitu :318

“oleh karena itu, tanpa harus mengganggu sistem multipartainya, mungkin kita bisa tambahkan alternatif lain, ialah bukan juga mencontoh apa yang dilakukan di Perancis, yang second round election itu. Caranya pemilihan umum anggota DPR dilakukan lebih dulu, kemudian pemilihan presiden.”

Soal alternatif kedua ;

“ditentukan bahwa hasil pemilihan umum, untuk memilih anggota DPR itu nanti, partai pemenang tingkat pertama dan kedualah yang diberikan hak untuk mencalonkan paket presiden dan wakil presiden dalam pemilihan presiden secara langsung. Jadi pemilihan umum yang memilih anggota DPR itu, sekaligus berfungsi sebagai tahap pencalonan presiden dan wakil presiden.”319

Berdasarkan hal tersebut mengenai penjelasan lahirnya Pasal 6A UUD 1945, sehingga diuraikan beberapa ayat dalam ketentuan tersebut. Maswadi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 6A ayat (2) menjelaskan “jadi, kami sebenarnya ingin menganjurkan supaya ada aliansi, koalisi dari partai-partai politik, atau bahkan

316 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku V Pemilu), Edisi Revisi, (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 327.

317 Ibid.

318 Ibid.

319 Ibid, hlm 327-328

sebelum pemilu. Jadi kita beranggapan bahwa pemilu untuk DPR dan DPD adalah pre-eliminary election untuk presidential election, jadi untuk menentukan calon itu adalah pada pemilu sebelumnya di DPR. Jadi aliansi bisa diakui setelah dan bisa dilakukan sebelum pemilu untuk kedua lembaga legislatif.320 Dapat diketahui bahwa ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Selain itu juga bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. secara teori kedaulatan rakyat menurut Imanuel Kant bahwa tujuan Negara itu adalah untuk menegakkan dan menjamin kebebasan para warga negaranya. Hal tersebut memiliki pandangan yang sama dengan Grotius bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan tertinggi. Berkaitan dengan konstitusionalitas ambang batas bahwa penerapan ambang batas tidak mengakomodir hak-hak rakyat seharusnya yang memiliki legitimasi rakyat bukan partai politik.

Pelaksanaan ambang batas secara praktik tidak memberikan perlindungan hak kepada masyarakat pada umumnya, ketidakadilan dan dominan kekuasaan yang terjadi sehingga tujuan demokrasi dalam suatu Negara tidak terwujud karena dalam konstitusi yang memiliki legitimasi adalah rakyat bukan partai politik. Ketentuan Pasal 222 Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu tidak relevan lagi dan merugikan hak-hak rakyat. Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai corong konstitusi seharusnya hadir untuk menjamin hak-hak konstitusi dengan mengkaji konstitusionalitas ambang batas terhadap konstitusi dan kedaulatan rakyat, Serta

320 Ibid, hlm. 329.

DPR sebagai wakil rakyat mempertimbangkan dalam rangka perbaikan terhadap Pasal 222 UU Pemilu yang tidak mengakomodir hak-hak rakyat.

Jika ditinjau berdasarkan sistem presidensial di berbagai negara, bahwa pelaksanaan pemilu serentak diberbagai negara yang memberikan pembatasan dalam pengusungan calon presiden dan wakil presiden, tidak dianut dinegara manapun.

Misalnya di negara Amerika Serikat dan di Filipina, bahwa pengusungan calon presiden di mulai di daerah atau negara bagian pengusulannya tanpa adanya ambang batas. Hal ini jika dikaji secara sistem pemerintahan tidak ada kesesuaian serta konsekuensinya akan mengganggu stabilitas politik di Indonesia dikarenakan banyak pihak dirugikan misalnya partai politik yang memiliki suara sedikit dalam pemilihan sebelumnya tidak diberikan ruang yang besar serta kesulitan bagi masyarakat untuk memberikan haknya untuk memilih presiden dan wakil presiden. Secara konstitusi tidak ada pengaturan yang jelas, maka implementasi ambang batas dalam pemilu melanggar kedaulatan rakyat.

BAB IV

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XV/2017 MENGENAI AMBANG BATAS

PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TELAH MENCERMINKAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA DENGAN PRINSIP-PRINSIP

KONSTITUSIONALISME

A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Kekuasaan Kehakiman

Revolusi Perancis dan konsep separation of powers dari Rosseau dan Montesqiau merupakan bibit pengembangan judicial review ke depan, dan keberhasilan awal tentara Napoleon serta pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya Perancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar ke seluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berbeda. Pemikiran Amerika Serikat tentang judicial review setelah kasus Marbury Madison (1803) dan kemudian kasus Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1857, menyebabkan pembaruan dibenua Eropa mulai berpikir bahwa Mahkamah Konstitusi sangat berguna untuk negara Eropa saat itu.321

Sebagai suatu gagasan, format kelembagaan Mahkamah Konstitusi dipelopori oleh Hans Kelsen yang untuk pertama kalinya berhasil mengadopsinya ke dalam rumusan Konstitusi Austria pada 1919-1920, inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.322 Menurut Hans Kelsen, pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan

321 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 3.

322 Bachtiar, Op.cit. hlm. 75.

tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.323 Untuk kepentingan itu, perlu dibentuk peradilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi” (constitutional court).

Sampai sekarang sudah 78 negara yang mengadopsi sistem Mahkamah Konstitusi yang didirikan terpisah dari Mahkamah Agungnya dan Indonesia merupakan Negara yang ke-78, dengan di undangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, yang telah berlaku secara operasional sejak pengucapan sumpah 9 (sembilan) hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.324

Menurut Jimly Asshiddiqie325, kekuasaan kehakiman merupakan ciri pokok negara hukum, karena salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan “the principles of independence and impartiality of the judiciary” harus benar-benar dijamin disetiap negara demokrasi konstitutional.

keberadaan kekuasaan kehakiman diharapkan dapat mengontrol kekuasan lembaga negara lainnya. Hal ini sangat penting untuk mancapai suatu tujuan hukum yang dicita-citakan dalam negara itu sendiri. Bagi Jimlykekuasan kehakiman itu sendiri merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Di Indonesia

323 Ibid

324 Maruarar Siahaan, Op.cit, hlm. 4.

325Bachtiar, Op.cit, hlm. 89.

di kenal ada 3 (tiga) cabang kekuasaan yaitu : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, Kekuasan kehakiman bagian dari kekuasaan Yudikatif. Salah satu ciri yang diterapkan dalam kekuasaan kehakiman adalah prinsip independence of judiciary, yaitu kekuasan kehakiman yang bebas dari campur tangan lembaga manapun dan mandiri.

Menurut Mukti Arto dikatakan bahwa keberadaan lembaga pengadilan itu sangat penting karena tiga alasan, yaitu : 326

a) pengadilan merupakan pengawal konstitusi;

b) pengadilan bebas merupakan unsur negara demokrasi;

c) pengadilan merupakan akar negara hukum.

Di Indonesia kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.327

Demikian pula dalam Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman selanjutnya disebut UU Kehakiman. Kekuasaan kehakiman itu sendiri dirumuskan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut

326Ibid, hlm. 91.

327 Lihat dalam ketentuan pasal 24 UUD NRI Tahun 1945

mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstrayudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut UUD 1945.

Perubahan kekuasaan kehakiman di Indonesia pada masa Era Reformasi menunjukan adanya perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Jika dulu kekuasaan kehakiman hanya diletakkan dan berpuncak pada Mahkamah Agung, sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang dimana keduanya memiliki derajat dan kedudukan yang sama dan hanya dibedakan pada segi fungsi dan wewenanya saja. Perubahan kekuasaan kehakiman ini tampaknya sebangun dengan pendapat Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dibagi menjadi banyak cabang.328 Menurut Jimly, MK dan MA harus dipisahkan, karena pada hakikatnya keduanya berbeda.

Jimly secara rinci menguraikan hal itu sebagai berikut : “Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law).

Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia adalah dalam rangka mewujudkan sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip check and balances. Setiap cabang kekuasaan mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain, dengan harapan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan masing-masing organ yang bersifat independen. Artinya,

328Ibid, hlm. 97.

kewenangan yang diberikan konstitusi dan Undang-undang itu harus dipergunakan sesuai dengan maksud pemberian wewenang tersebut oleh konstitusi dan Undang-undang.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi jika kita menganalisis secara fungsi dan kedudukannya berpengaruh pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam konteks ini bahwa adanya lembaga baru MK sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman fungsinya adalah untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dan sistem konstitusi.

Dengan perkataan lain, bahwa fungsi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada hakikatnya untuk menegakkan konstitusi dalam rangka menwujudkan negara hukum yang demokratis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hasil penelitian ini berupaya untuk mengkaji dengan melakukan telaah terhadap kedudukan dan fungsi MK.

Dalam Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Marzuki mengemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna berkaitan struktur unity jurisdiction, seperti halnya

dalam sistem hukum Anglo Saxon, tetapi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction.329

Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung.

Keduanya adalah penyelengaraan tertinggi dari kekuasan kehakiman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan adanya perubahan UUD 1945, maka selain Mahkamah Agung sebagi puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dari lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional juga sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman namun tidak mempunyai hubungan struktural dengan MA. Kedua lembaga tersebut adalah memiliki fungsi yang sama sebagi pelaksana kekuasaan kehakiman, namun dibedakan dalam Yurisdiksi atau kompetensinya.330 Kehadiran MK sebagai lembaga baru tidaklah cukup dipahami secara parsial saja, tetapi harus pula dipahami sebagai suatu penguatan terhadap dasar-dasar konstitusionalisme pada UUD 1945 setelah perubahan. Inti dari paham konstitusionalisme bahwa setiap kekuasaan negara harus memmpunyai batas kewenangan.

Penguatan paham konstitusionalisme tercemin dengan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang pada mulanya tersiratkan adanya sebuah kewengan yang bersifat mutlak pada pelaksana kedaulatan rakyat, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam sistem UUD 1945 sebelum perubahan, lembaga tertinggi adalah MPR. Di dalam sistem ini, fungsi seperti pengujian atas

329 Abdul Latif, 2007, Op.cit, hlm. 64.

330Ibid

konstitusionalitas Undang-undang yang harus dijalankan MK dianggap tidak dapat dilakukan kecuali oleh lembaga-lembaga yang membuat Undang-undang itu sendiri, karena pemikiran konseptual yang melandasinya tidak menganut paham pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kekuasaan yang bersifat Vertikal, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Berdasarkan otoritas yang diberikan UUD 1945 pada Mahkamah Konstitusi berarti, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kahakiman dalam sistem kekuasaan di Negara RI dimaksudkan sebagai lembaga yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan terhadap perkara-perkara ketatanegaraan tertentu yang diatur menurut ketentuan Pasal 7A jo Pasal 7B jo Pasal 24C perubahan ketiga UUD 1945. Akan tetapi sebagaimana tampak dari rumusan Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang persyaratan dan larangan hakim konstitusi. Pembentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 ternyata mengedepankan politik an sich dalam proses pengisian jabatan hakim konstitusi sehingga dapat mempengaruhi independensi kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang terbebas dari berbagai cara dan bentuk konsensi atau pengaruh kepentingan politik.331

Berdasarkan otoritas yang diberikan UUD 1945 pada Mahkamah Konstitusi berarti, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kahakiman dalam sistem kekuasaan di Negara RI dimaksudkan sebagai lembaga yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan terhadap perkara-perkara ketatanegaraan tertentu yang diatur menurut ketentuan Pasal 7A jo Pasal 7B jo Pasal 24C perubahan ketiga UUD 1945. Akan tetapi sebagaimana tampak dari rumusan Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang persyaratan dan larangan hakim konstitusi. Pembentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 ternyata mengedepankan politik an sich dalam proses pengisian jabatan hakim konstitusi sehingga dapat mempengaruhi independensi kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang terbebas dari berbagai cara dan bentuk konsensi atau pengaruh kepentingan politik.331