AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM PEMILIHAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK
KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017)
TESIS
OLEH :
HENDRA POLTAK TAFONAO NIM : 177005032
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM PEMILIHAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK
KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
HENDRA POLTAK TAFONAO NIM : 177005032
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
Telah Lulus Diuji Pada Tanggal 29 Juli 2019
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H.,M.Hum.
Anggota : Dr. Mirza Nasution, S.H.,M.Hum.
Dr. Afnila, S.H.,M.Hum.
Dr. Agusmidah, SH.,M.Hum Dr. Chairul Bariah, SH.,M.Hum
ABSTRAK
Penerapan ambang batas dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden hingga saat ini menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 memberikan penguatan terhadap penerapan ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, hal ini tentunya bertentangan dengan konstitusi karena Mahkamah Konstitusi seharusnya hadir sebagai pelindung konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini ada 3 (tiga) rumusan yang diteliti yakni : Bagaimana konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara. Bagaimana hubungan kesesuaian tentang penetapan dan besaran ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden terhadap sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam Putusan MK No.53/PUU-XV/2017 mengenai ambang batas pemilihan umum presiden dan wakil presiden telah mencerminkan pengakuan dan perlindungan hak konstitusional warga Negara dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Sifat penelitian ini adalah analisis preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach) yaitu dengan menganalisis kasus (case study) dengan menggunakan metode kualitatif untuk dapat ditarik kesimpulan secara deduktif.
Pemberlakuan ambang batas pada pemilu presiden secara konstitusi melanggar hak konstitusional warga negara. Berdasarkan ketentuan pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Ketentuan ini memberikan ruang bagi partai politik untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Namun dalam pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum memberikan pembatasan 20 % dari jumlah kursi di DPR atau 25 % dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Secara sistem presidensial pemberlakuan ambang batas tidak relevan karena secara teori pemisahan kekuasaan (separation of power) tidak dikenal adanya pertanggungjawaban presiden kepada parlemen, demikian dengan ambang batas tidak sesuai bila suara yang digunakan dari pemilihan DPR.
Untuk itu, seharusnya melalui Putusan MK memberikan keadilan bagi masyarakat dengan mempertimbangkan kedaulatan rakyat.
Kata Kunci : Ambang Batas, Pemilihan Umum Presiden, Putusan MK
ABSTRACT
The application of the threshold in the presidential and vice presidential elections has led to pros and cons in society. but based on the Decision of the Constitutional Court number 53 / PUU-XV / 2017 to strengthen the application of the threshold in the nomination of the president and vice president, this is certainly contrary to the constitution because the constitutional speaker should be present as a protector of the constitution. based on this, in this study there are 3 formulas studied, namely: how is the constitutionality of the threshold for nominating the president and vice president of the presidential government system in Indonesia. whether the basic consideration of the judge in the Constitutional Court Decision Number 53/ PUU- XV/ 2017 regarding the threshold for the presidential and vice presidential election reflects the recognition and protection of the constitutional rights of citizens with the principles of constitutionalism.
The research used is normative legal research the nature of this research is prescriptive analysis with a regulatory statue approach and analytical approach, namely by analyzing the case study using qualitative methods to deduce conclusions.
The imposition of a threshold on constitutional presidential elections violates the constitutional rights of citizens. Based on the provisions of Chapter 6A Verse (2) of the 1945 Constitution, the presidential candidate and vice presidential candidate pairs are proposed by political parties or a combination of political parties participating in the general election before the general election. This provision provides space for political parties to propose candidates for president and vice president. but in article 222 of law number 7 of 2017 concerning general elections it provides a limit of 20% of the number of seats in the DPR or 25% of nationally valid votes in previous DPR member elections. in a presidential system the imposition of a threshold is irrelevant because theoretically separation of power is not known as the existence of a presidential accountability to the parliament, thus the threshold is not appropriate if the votes used are from the DPR elections. for this reason, the decision of the constitutional court should provide justice for the people by considering the sovereignty of the people.
Keywords: Threshold, Presidential Election, Constitutional Court Decision.
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmatnya yang dikaruniakan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti segala perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya.
Tesis ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Magister Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul tesis yang penulis kaji dan paparkan yaitu “Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017).” Penulis telah memusatkan segenap hati dan pikiran serta kerja keras dalam penyusunan tesis ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal penulisan, isi, maupun penggunaan kalimat. Oleh sebab itu Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Pada penulisan penelitian ini, penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, sebagai Ketua Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dorongan, semangat serta arahan sejak awal penulisan sampai selesainya penulisan ini.
5. Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan dorongan, semangat serta arahan sejak awal penulisan sampai selesainya penulisan ini.
6. Dr. Afnila, SH., M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing III yang telah memberikan dorongan, semangat serta arahan sejak awal penulisan sampai selesainya penulisan ini.
7. Dr. Agusmidah, SH., M.Hum, sebagai Dosen Penguji I yang dengan tekun memberikan masukan dan kritikan yang membangun serta menyempurnakan penulisan tesis ini menjadi lebih baik.
8. Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum, sebagai Dosen Penguji II yang dengan tekun memberikan masukan dan kritikan yang membangun serta menyempurnakan penulisan tesis ini menjadi lebih baik.
9. Bapak/Ibu Dosen dan Pegawai Tata Usaha Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan serta memberikan bantuan selama penulis menjalani studi.
10. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua Orangtua Penulis yaitu Tehenaso Tafonao (Ayah) dan Meiwati Lase (Ibu) yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
11. Terima kasih juga kepada Saudara/Saudari kandung saya, Feber Tafonao (kakak), Desnur Jeni Tafonao (kakak), Iin Elpri Tafonao (kakak), Pance Efraim Tafonao (adik), Icania Tafonao (adik) yang selalu memberikan semangat dan dukungan.
12. Terima kasih juga buat yang terbaik Rita Noberwani Laoli, yang selalu ada dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis serta selalu mendoakan dalam kelancaran penulisan tesis ini.
13. Kepada seluruh teman-teman mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi ilmu hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya bagi Group Paralel A 2017 dan Kosentrasi Hukum Tata Negara.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua baik bagi sesame mahasiswa ataupun klayak banyak.
Medan, Juli 2019 Penulis
HENDRA POLTAK TAFONAO
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Hendra Poltak Tafonao
NIM : 177005032
Tempat/Tanggal Lahir : Gunungsitoli/03 Desember 1993 Agama : Kristen Protestan
Program Studi : Magister Ilmu Hukum Kosentrasi Hukum Tata Negara Nama Bapak : Tehenaso Tafonao
Nama Ibu : Meiwati Lase
Email : [email protected]
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
SD : SD Negeri 070974 Gunungsitoli (2000-2006) SMP : SMP Swasta Pembda 2 Gunungsitoli (2006-2009) SMA : SMA Swasta Kristen BNKP Gunungsitoli (2009-2012) Perguruan Tinggi S1 : Universitas HKBP Nommensen Medan (2012-2016) Perguruan Tinggi S2 : Universitas Sumatera Utara (2017-2019)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRAC ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20
1. Kerangka Teori ... 20
2. Konsepsi ... 31
G. Metode Penelitian ... 35
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 35
2. Sumber Data ... 37
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 39
4. Analisis Data ... 40
BAB II KONSTITUSIONALITAS AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA 42
A. Teori dan Konsep Negara Hukum... 42
a. Teori Negara Hukum... 42
b. Konsep Negara Hukum ... 46
B. Konsep Negara Demokrasi ... 49
a. Negara Demokrasi ... 49
b. Partai Politik sebagai Instrumen Politik dalam Demokrasi ... 53
1. Sejarah Lahirnya Partai Politik di Indonesia ... 56
2. Sistem Kepartaian di Indonesia ... 59
3. Koalisi Partai Politik ... 63
C. Macam-Macam Sistem Pemerintahan di Berbagai Negara ... 68
a. Sistem Pemerintahan diberbagai Negara ... 70
b. Pemilihan Umum dalam Sistem Presidensial di Beberapa Negara ... 84
D. Perbandingan Pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Serentak dalam Sistem Presidensial (Amerika Serikat, Filipina dan Indonesia) ... 101
E. Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden ... 109
BAB III HUBUNGAN KESESUAIAN TENTANG PENETAPAN DAN BESARAN AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA ... 119
A. Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia ... 119
B. Pengaturan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ... 134
C. Penetapan dan Besaran Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Presidensial ... 137
D. Konsekuensi Hukum dan Demokrasi terhadap Implementasi Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Presidensial ... 141
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XV/2017 MENGENAI AMBANG BATAS PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TELAH MENCERMINKAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA DENGAN PRINSIP-PRINSIP KONSTITUSIONALISME ... 150
A. Mahkamah Konstitusi sebagai Kekuasaan Kehakiman ... 150
B. Kedudukan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman ... 157
C. Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Serentak berdasarkan Prinsip-prinsip Konstitusionalisme ... 162
a. Pemilihan Umum Serentak ... 162
b. Pelaksanaan Ambang Batas ditinjau Berdasarkan Prinsip-Prinsip Konstitusionalisme ... 164
D. Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 terhadap hak Konstitusional Warga Negara ... 178
BAB V PENUTUP ... 197
A. Kesimpulan ... 196
B. Saran ... 199 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel I Periode Partai Politik di Indonesia ... 57 Tabel II Perbandingan Sistem Presidensial di Beberapa Negara (Amerika, Filipina,
Indonesia) ... 106 Tabel III Perbandingan Beberapa Putusan MK dari Tahun 2008-2018 mengenai
ambang batas ... 169
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan demokratisasi di Indonesia telah memberikan pembaharuan terhadap struktur ketatanegaraan di Republik Indonesia, antara lain menyangkut perubahan dalam pemilihan Presiden dari pemilihan Presiden tidak langsung menjadi pemilihan Presiden secara langsung serta menyangkut hubungannya dengan lembaga negara lain, dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat.1 Amandemen Undang- Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan puncak dari perubahan yang mendasar yang dicapai oleh kekuatan rakyat pasca pemerintahan orde baru.2 Amandemen UUD 1945 tersebut telah memberikan perubahan yang besar terutama dalam pemilihan umum khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilihan umum rakyat merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi, dimana rakyat dapat memilih pemimpin negara atau wakil-wakilnya yang berhak membuat suatu kebijakan berdasarkan kehendak rakyat yang digariskan oleh pemimpin negara atau wakil-wakil rakyat tersebut.3 Hakikat pemilihan umum selanjutnya disingkat pemilu adalah sebagai sarana demokrasi yang intinya untuk
1 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI. Pengkajian Hukum Masalah Hukum Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, (Jakarta : Tim Pengkajian Hukum Tentang Masalah Hukum Pemilihan Presiden secara langsung, 2004), hlm 1.
2Ibid., hlm.2.
3Ali Masykur Musa,Sistem Pemilu :Proposional Terbuka Setengah Hati, (Pustaka Indonesia Satu (PIS) kerjasama Parliamentary Support and public participation, 2003), hlm. 162.
menyelenggarakan suatu pemerintahan negara oleh, dari, dan untuk rakyat.4 Secara eksplisit pemilu ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa “pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat (2) menyatakan “pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 22 E ayat (6) menyatakan
“ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan Undang-undang.”
Pengaturan mengenai pemilu sebelumnya diatur secara terpisah, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Selanjutnya disebut UU Pilpres), Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah adanya perubahan maka Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu disatukan dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Ketentuan tentang pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, dilaksanakan sekali dalam lima
4 Ahmad Farhan Subhi. Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Pilpres. Jurnal Cita Hukum. Vol. II No, 2 Desember 2015.
ISSN : 2356-144. hlm 338.
tahun.5 Hal tersebut dinyatakan dalam konstitusi Indonesia. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tidak terlepas dari peran partai politik. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (2) “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.”6 Dapat dikatakan partai politik merupakan instrumen yang wajib ada disuatu negara yang menjalankan demokrasi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada demokrasi ketika tidak ada partai politik di dalamnya, karena partai politiklah yang memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi.7 Selanjutnya dikatakan bahwa partai politik memiliki peran sebagai pilar demokrasi dalam sistem perpolitikan nasional sebagai wadah seleksi kepemimpinan nasional maupun daearah.8 Hal ini tentunya seleksi pemilihan umum presiden dan wakil presiden dimana seleksi yang dilakukan harus berdasarkan pancasila dan konstitusi.
Sejak 2004 pemilu secara langsung telah dilaksanakan sampai pada saat ini.
Pelaksanaan pemilu 2004 dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Proses pemilu 2004 dilaksanakan secara 2 (dua) kali yaitu pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
5 Abdul Ghoffar, Problematika Presidential Treshold: Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengalaman di Negara Lain, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 3, September 2018. hlm. 481.
6 Lihat Ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Perubahan ke-III.
7 Imam Yudhi Prasetya.Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik.Jurnal Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol.1, No.1, 2011. hlm.32.
8 Tim Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Eksistensi Partai Politik Dan Pemilu Langsung Dalam Konteks Demokrasi Di Indonesia.
Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 1, 2012, hlm. 2.
secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya.9Demikian juga pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2009 dan 2014, dalam pelaksanaannya tidak ada perbedaan yang sangat mencolok dengan tahun 2004. Pelaksanaan pemilu 2009 dan 2014 dilaksanakan 2 kali, yaitu untuk pemilihan umum pertama memilih anggota legsilatif DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta pemilihan yang kedua untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sejak pemilihan Presiden dilakukan secara langsung, persoalan ambang batas syarat mengajukan calon Presiden dan wakil Presiden selalu mengemuka tiap kali pemilihan presiden akan diselenggarakan. Pada tahun 2004, misalnya, ambang batas pencalonan presiden sebanyak 15 % (lima belas persen) jumlah kursi yang duduk di DPR dan 20 % (dua puluh persen) dari suara sah secara nasional pemilu anggota DPR.10 Angka ini kemudian bertambah menjadi 20 % (dua puluh persen) pada tahun 2009, dan terus berlanjut hingga saat ini.11 Jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan sistem Presidensial bahwa penerapan ambang batas tidak relevan dalam pengusungan calon presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini penetapan ambang batas dalam pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan
9Muhammad Mukhtarrija; I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani; Agus Riwanto, Inefektifitas Pengaturan Presidential Treshold dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 24 Issue 4, Oktober 2017. hlm. 646.
10 Lihat ketentuan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomnor Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pilpres.
11 Abdul Ghofar, Lo.cit.
penyederhanaan partai secara alamiah.12 Koalisi yang terjadi pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden cenderung kearah politik kepentingan, Karena ambang batas yang ditentukan akan berdampak pada politik transaksional.13 Harusnya konsep pemilu sesuai dengan amanat konstitusi khususnya Pasal 22 E UUD 1945 yang bersifat jujur, bebas, rahasia serta memberikan rasa keadilan bagi warga negara.
Berdasarkan perkembangannya, kembali mencuatnya persoalan hukum didalam masyarakat mengenai ambang batas ketika keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 pengujian terhadap Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2013. Ketentuan mengenai pengaturan ambang batas yang diatur dalam UU Pilpres yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas menjelaskan syarat pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden melalui partai politik maupun gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Ketentuan UU Pilpres tersebut dikatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan tetap diberlakukannya ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.14 Ketentuan Pasal 9 UU Pilpres menyatakan “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
12Muhammad Mukhtarrija dkk, Op.Cit, hlm. 659.
13Ibid.
14 Ahmad Hendra. Implikasi Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Secara Serentak Terhadap Ambang Batas Pencalonan Presiden.Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 3, Volume 1, Tahun 2013. hlm. 4.
memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.15
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tersebut melahirkan konsep baru dalam sistem pemilu di Indonesia yang dilaksanakan secara bersamaan atau pemilu serentak. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraaan pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara bersamaan yang berlaku pada pemilu 2019 dan pemilu seterusnya.16
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang berkaitan dengan ambang batas memberikan penguatan bagi pemerintah maupun DPR untuk merevisi UU pemilu khususnya bagi fraksi di DPR yang setuju dengan ambang batas. Sebelum sah menjadi Undang-undang, terjadi perdebatan antara pemerintah dengan DPR mengenai ketentuan pemberlakuan ambang batas.
Pemerintah menginginkan adanya ambang batas 20 % (dua puluh persen) sampai dengan 25 % (dua puluh lima persen). Hal ini berarti partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden harus memiliki 20 % (dua puluh persen) dan 25 % (dua puluh lima persen) perolehan suara dipemilu legislatif sebelumnya.
15 Lihat Ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
16 Lihat dalam ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan.Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Partai politik yang mendukung pemerintah mengenai syarat ambang batas tersebut diantaranya ; PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat dan PPP, namun PKS juga siap ambang batas pencalonan Presiden harus 0%. Selain itu ada beberapa fraksi lain di DPR punya pendapat yang berbeda-beda. Sedangkan partai politik yang tidak setuju dengan hal tersebut yaitu Partai Gerindra, PAN, PKB, dan Hanura.17 Meskipun demikian PKB dan PPP menawarkan juga jalan tengah yaitu ambang batas 10 % (sepuluh persen) sampai dengan 20 % (dua puluh persen). Pada akhirnya pada rapat paripurna DPR memutuskan memberlakukan ambang batas 20%
- 25% dalam pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019.18
Alasan pemerintah menyetujui adanya ambang batas dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden agar adanya dukungan kuat dari parlemen terhadap pasangan calon. Sementara, DPR dianggap sebagai simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.19 Selain itu dalam risalah sidang perdebatan Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Pasal 222 Pemerintah menyatakan setuju dengan ambang batas untuk memberikan dukungan awal dari partai politik, bahwa DPR merupakan simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan calon presiden
17 Jawa Pos, Pro-Kontra Ambang Batas Berimbang, (https://www.pressreader.com/), diakses pada tanggal 9 Maret 2019.
18 Detiknews.com, sudah disahkan, Ini 5 Isu Krusial di UU Pemilu,(https://news.detik.com/berita/d-3568067/sudah-disahkan-ini-5-isu-krusial-di-uu-pemilu),
diakses tanggal 28 Januari 2018.
19 Kristian Erdianto, Mendagri : Presidential Treshold” sudah diterapkan sejak Pilpres 2009, Kompas. Com, (https://nasional.kompas.com/read/2017/09/25/19280021/mendagri-presidential- threshold-sudah-diterapkan-sejak-pilpres-2009), diakses tanggal 7 Februari 2019.
dan calon wakil presiden yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.20
Fraksi di DPR yang tidak mendukung adanya ambang batas dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menyatakan melanggar hak-hak warga Negara dan hak partai politik yang tidak memiliki suara banyak pada pemilu sebelumnya. Perdebatan mengenai ambang batas menjadi prolematika hukum didalam masyarakat, bahwa penerapan ambang batas tidak sepenuhnya diterima oleh warga negara karena ada hak-hak yang dirugikan. Hal ini disebabkan karena penerapan ambang batas tidak secara rasional mengakomodir hak-hak konstitusional warga Negara.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang kontradiksi mengenai Ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dari tahun 2008 sampai 2018 sebagai berikut : Putusan MK No. 51-51-59/PUU-VI/2008, No. 56/PUU-VI/2008, No.
26/PUU-VII/2009, No. 4/PUU-XI/2013, No 14/PUU-XI/2013, No. 42/PUU-XI/2013, hingga putusan terakhir yakni putusan MK No.53/PUU-XV/2017. Serta putusan MK mengenai Ambang Batas yang baru pada tahun 2018 Putusan MK No. 49/PUU- XVI/2018 dan No. 54/PUU-XVI /2018. Berkaitan dengan Putusan MK No. 51-51- 59/PUU-VI/2008 terdiri dari beberapa nomor putusan, bahwa putusan ini dimaksud terdiri dari beberapa pemohon dalam pokok perkara yang sama. Banyaknya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas, maka dalam hal ini putusan yang menjadi kajian adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XV/2017, putusan
20 Lihat dalam Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara 53/PUU-XV/2017.
hlm.7.
ini dicatat dalam buku registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2017 dan diputuskan pada tanggal 19 Desember 2017.21
Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 menjadi kajian analisis karena ada perbedaan yang mendasar dibanding dengan putusan MK yang lain berkaitan dengan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dimana terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam menerapkan hukum dalam putusan tersebut, sekaligus Putusan ini keluar merupakan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang menerapkan ambang batas pada Pemilu serentak. Ambang batas tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 222 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017.22
Penerapan ambang batas tersebut juga berimplikasi pada sistem pemilu karena pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak. Hal tersebut sangat memberatkan bagi partai politik yang tidak memiliki suara terbanyak pemilu sebelumnya dan juga bagi partai politik yang baru saja ikut dalam pemilu. Sebelum pelaksanaan pemilu 2014, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Nomor
21 Aida Mardatilah, 9 Putusan menjadi MK jadi sorotan Publik sepanjang 2018. Hukum Online. Com, (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c19f244ba858/9-putusan-mk-jadi- sorotan-publik-sepanjang-2018/?fbclid=IwAR1Wr_U0rL-82duakKuErolVQJLAt0kqZ0rkuGtV6- 8q9kGdPXbZ6Id9VPo), diakses pada tanggal 1 Januari 2019.
22 “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.” Dapat diartikan bahwa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden patokannya surat suara pada pemilihan umum DPR sebelumnya.
14/PUU-XI/2013 tentang pelaksanaan pemilihan umum serentak yang akan dilaksanakan pada pemilihan umum 2019 dan pemilihan umum seterusnya.23
Pemilihan umum serentak adalah “pelaksanaan pemilihan umum legislatif, dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara bersamaan. Perlunya pemilihan umum serentak merupakan hasil uji materi (judicial riview) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.”24
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dilakukan pada tahun 2004, 2009, dan 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden karena pemilihan legislatif dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan yang terdapat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, karena pelaksaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dilaksanakan secara serentak pada April 2019, sehingga ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.25
Konsep pemilu serentak adalah suatu kebijakan politik untuk melakukan penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam satu hari
23 Lihat Ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
24 Sodikin. Pemilihan umum Serentak (Pemilihan umum Legislatif dengan Pemilihan umum Presiden danWakil Presiden) dan Penguatan Sietem Presidensial. Jurnal Rechtsvinding, No. 1 Vol. 3 April 2014. hlm. 20.
25 Feri Amsari, Arti Presidential Treshold dalam Pemilu, hukum online.com, (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5c2c96b9b0800/arti-ipresidential-threshold-i-dalam pemilu?fbclid=IwAR3fcT0HRWAF7Q4YgWa56zP5FOQGHSOHuZL52ZpZUa295r4lvHYCLaCMm Ig), diakses tanggal 01 Februari 2019.
pelaksanaan pemungutan suara.26 Secara teori, konsep pemilu serentak berlaku pada negara yang menganut sistem presidensial. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, dimana pemilihan umum legislatif dengan sendirinya akan menghasilkan pejabat eksekutif. Sebab partai politik atau koalisi partai politik yang memenangi pemilihan umum yang menguasai mayoritas kursi parlemen sehingga bisa membentuk pemerintahan.27
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bahwa pemilu secara serentak akan diselenggarakan tahun 2019. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 167 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum berbunyi :
“Pemilihan Umum dilaksanakan setiap 5 Tahun sekali”.28 Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa pengaturan ambang batas memberikan dominasi kekuasaan kepada partai politik sudah bergeser ke makna sesungguhnya. Seharusnya kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD bukan partai politik yang mempunyai wewenang besar untuk menentukan calon Presiden dan wakil Presiden bila merujuk pada Konstitusi.29 Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menggabungkan pemilihan umum presiden dan pemilihan umum anggota legislatif.
Dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai ambang batas dipahami bahwa besarnya pengaruh partai politik
26Ria Casmi Arsa. Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Demokrasi. Jurnal Konstitusi, No. 3 Vol. 11 September 2014. hlm. 532.
27Muhammad Mukhtarrija, Op.cit. hlm. 647.
28 Lihat dalam ketentuan Pasal 167 Undanh-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
29 Lihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden, acuan besarnya legitimasi partai politik dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain, hak untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah hak eksklusif partai peserta pemilu dan tidak diperkenankan atau tidak ada kemungkinan sama sekali bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden perseorangan atau independen diluar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik tersebut, dan diusulkan oleh organisasi non partai.30 Dalam hal ini menjadi pertimbangan untuk menegakan nilai-nilai konstitusi dan mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat.
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi selanjutnya disingkat PMK Nomor 53/PUU-XV/2017 ada beberapa dasar argumentasi singkat pemohon untuk mengajukan legal standing terhadap Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut :31
1) Pemohon berpendapat bahwa pengaturan mengenai ambang batas dalam Pasal 222 UU Pemilu merupakan manipulasi politik dan tarik menarik kepentingan jelas bertentangan dengan konstitusi.
2) Bahwa ambang batas pengusungan presiden dan wakil presiden Pasal 222 a quo bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 Juncto Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945, bahwa terjadi penafsiran oleh Mahakamah Konstitusi bahwa Pemilihan Umum dilakukan secara serentak merupakan pemaksaan dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara terutama partai politik yang baru saja dibentuk.
30 Ahmad Farhan Subhi. Pengusungan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta Pemilu menurut Undang-undang Pilpres.Jurnal Cita Hukum. Vol. II Nomor 2 Desember 2015.
ISSN : 2356-1440.
31 Lihat ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm 23-31.
3) Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.32
4) Bahwa hasil pemilu sebelumnya tidak dapat dibenarkan dalam sistem presidensial. Hal ini bertentangan dengan konstitusi, bahwa Undang- Undang Dasar 1945 telah memberikan cara yang alami dan konstitusional dengan menciptakan norma adanya putaran kedua.
5) Bahwa pemilu harus dilaksanakan berdasarkan kedaulatan rakyat, yaitu pemilu harus mengacu pada pada asas-asas pemilihan umum sebagaimana yang ditegaskan oleh Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan argumentasi pemohon33, adapun yang menjadi dalil permohonan oleh pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No.7 Thn 2017, LN No. 182, TLN No.6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut pemohon dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bahwa hasil putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan nilai-nilai kedaulatan rakyat.
Dalam negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (negara hukum demokratis) terkandung pengertian bahwa :
“kekuasaan dibatasi oleh hukum”34 dan sekaligus pula menyatakan bahwa
“hukum supreme dibanding semua alat kekuasaan yang ada, dengan kata lain Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum”.35
Sedangkan dalil-dalil yang diberikan oleh Pemerintah sebagai termohon melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 bahwa Pasal 222
32 Lihat ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
33 Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm.32.
34Mirza Nasution, Politik Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Medan : Puspantara, 2015), hlm. 75.
35Ibid.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menolak gugatan pemohon sebagai berikut :36
1) Bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan ambang batas. Hal tersebut merupakan suatu cerminan adanya dukungan awal dari DPR, dimana DPR merupakan simbol keterwakilan rakyat terhadap pasaangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Jadi Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan Konstitsi, karena merupakan produk dari DPR yang merupakan representative dari rakyat.
2) Kebijakan ambang batas pancalonan presiden dan wakil presiden terkait Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan kebijakan terkait Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang oleh Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-undang untuk mengatur Undang-undang. Dalam hal ini pemberlakuan ambang batas berlaku bagi seluruh partai politik dan tidak adanya diskriminasi.
3) Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mencerminkan bahwa calon presiden dan wakil presiden telah mewujudkan manifestasi kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum.
4) Merujuk pada Putusan-Putusan MK terdahulu tentang Treshold, apakah
“political parties treshold”, “local leader threshold”, dan “electoral threshold”, yang benang merahnya adalah bahwa Pasal 222 UU Pemilu merupakan pendelegasian UUD 1945, maka menurut Pemerintah sebagai kebijakan hukum terbuka “legal policy threshold” yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan Undang-undang. Amar putusan Hakim Konstitusi terhadap gugatan pemohon menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
36 Lihat ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm 34-41.
Dasar putusan MK No.53/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa, MK menolak pengujian Pasal 222 UU Pemilu oleh pemohon. MK juga mengacu pada putusan MK sebelumnya bernomor 51-52-53/PUU-VI/2008 tentang uji materi Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden yang dianggap tetap relevan. MK menilai ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy).37 Berdasarkan Putusan MK Nomor 53/PUU- XV/2017 yang membahas mengenai ambang batas bahwa ada hak-hak partai politik maupun warga Negara yang perlu diakomodir dalam penerapan ambang batas tersebut.
Ambang batas dapat mengakibatkan pasangan calon yang diusung hanya pasangan yang memiliki uang yang banyak sedangkan partai politik yang memiliki calon yang berkualitas dan tidak ada dukungan dari partai politik tidak dapat mencalonkan karena terhalang dengan ambang batas, hal ini jelas melanggar hak warga negara untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Jika kita memperhatikan kesesuaian dengan sistem presidensial mengenai penerapan ambang batas, maka calon presiden yang akan terpilih bertanggungjawab kepada parlemen karena usulan dari suara sah secara nasional sebelumnya di DPR. Hal tersebut tidak adanya kesesuaian karena dalam sistem presidensial bahwa Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen tetapi kepada rakyat.
37 Aida Mardatilah, MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden, Hukum Online.com, (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bd1ae4bc42f0/mk-kembali-tolak-uji- ambang-batas-pencalonan-presiden), diakses tanggal 7 Februari 2018.
Penerapan ambang batas telah melanggar hak politik warga negara yaitu hak dipilih dan memilih serta menghilangkan hak politik partai baru atau partai politik yang memiliki suara sedikit dalam pemilu sebelumnya. Hak politik warga negara merupakan hak yang diakui secara konstitusional . Hak konstitusional adalah semua hak yang diatur dalam UUD 1945 baik hak asasi manusia maupun hak-hak lainnya.
Seharusnya proses pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan secara adil dengan memberikan kesempatan yang sama yang bagi rakyat, kelompok dan partai tertentu dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitusi sebagai aturan tertinggi dalam suatu Negara.38 Dampaknya lobi politik terjadi dimana-mana, sifat pragmatis, dan singkat menjadi kerikil tajam yang juga kerap terjadi dimanapun, termasuk di Indonesia. Akibatnya, pemerintah yang terpilih menjadi tersandera baik oleh kekuatan pendukungnya sendiri dan juga oleh pihak oposisi.
Untuk itu, Mahkamah Konstitusi hadir untuk memberikan perlindungan hak warga negara atau mengakomodir hak-hak warga negara khususnya dalam pemilihan umum. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi dapat juga menentukan arah kebijakan pembentuk Undang-undang. Perlu kajian ulang keberadaan ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum agar tidak ada hak warga negara yang diabaikan.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti melakukan penelitian menjadi sebuah tesis yang berjudul “Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
38Muhammad Mukhtarrija, dkk, Op.cit, hlm. 653.
Terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pengamatan peneliti yang bersumber dari berbagai literatur dan buku baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun yang mengambarkan sejarah ketatanegaraan serta politik hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dikemukakan beberapa rumusan masalah :
1. Bagaimana konstitusionalitas ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara ?
2. Bagaimana hubungan kesesuaian tentang penetapan dan besaran ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terhadap sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia ?
3. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 mengenai ambang batas pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden telah mencerminkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara dengan Prinsip-prinsip Konstitusionalisme ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis konstitusionalitas ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terhadap perlindungan hak konstitusional warga negara.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan kesesuaian tentang penetapan dan besaran ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terhadap sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 mengenai ambang batas pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden telah mencerminkan pengakuan dan perlindungan hak konstitusional Warga Negara dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum terutama Hukum Tata Negara pada Umumnya dan Peraturan Perundang-Undangan pada khususnya.
2. Secara Praktis, sebagai aplikasi ilmu yang telah dipelajari dan hasilnya diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum, instansi pemerintah, praktisi, mahasiswa dan masyarakat yang berkaitan dengan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden terhadap perlindungan hak
Konstitusional warga negara (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017).
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti diperpustakaan Universitas Sumatera Utara secara khusus dan juga Universitas lain secara umum maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini yang berjudul “Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017).” Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Namun, ditemukan penelitian sebagai berikut :
1. Muh. Rizal Hamdi, S.H, NIM : 1620310137, dengan judul Tesis “Sistem Presidential Treshold pada Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di Indonesia”, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2018. Fokus masalah yang dikaji adalah :39
a. Apakah Urgensi penetapan Presidential Treshold dalam Pemilu Serentak pada Tahun 2019 ?
39 Muh. Rizal Hamdi, Sistem Presidential Treshold pada Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 di Indonesia (Tesis) , (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2018).
b. Bagaimana Sistem Presidential Treshold dalam prespektif Siyasah Dusturiyah ?
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa permasalahan yang diutarakan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Dengan demikian, penelitian ini sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan kemurnian dan kebenarannya secara ilmiah berdasarkan kajian ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi, yaitu jujur, rasional, objektif, serta terbuka.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Landasan teori merupakan bagian dari penelitian yang memuat teori-teori yang berasal dari studi kepustakaan yang berfungsi sebagai kerangka teori dalam menyelesaikan penelitian. Teori adalah pemahaman yang menerangkan atau menjelaskan tentang gejala spesifik atau proses tertentu yang terjadi.40 Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.41 Dengan demikian, bahwa setiap penelitian akan memerlukan dukungan teori-teori sebagai pisau analisis, sehingga dengan teori yang digunakan permasalahan dalam penelitian dapat terjawab.
40 J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta : UI Press, 1996), hlm 203.
41 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press, 2003), hlm. 39-40.
Soerjono Seokanto menyatakan bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.42 Fungsi teori dalam penelitian ini bertujuan untuk memberi arahan dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, karena penelitian ini berssifat yuridis normatif sehingga kerangka teori diarahkan secara mendalam berdasarkan ilmu hukum. Dengan demikian setiap penelitian akan memerlukan dukungan teori-teori sebagai pisau analisis, dimana pemilihan teori yang dipergunakan menjadi strategi permasalahan dalam penelitian dapat terjawab.
Adapun teori yang dijadikan landasan teori dalam penelitian ini adalah :
a. Teori Konstitusi
Menurut Rukmana Amanwinata43, istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpandan dengan kata “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie”
(bahasa Belanda), “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman),
“constitution” (bahasa Latin). Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja “constituer” (Perancis) yang berarti membentuk, jadi konstitusi berarti membentuk.44 Konstitusi sebagai kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dengan sebutan Undang-Undang Dasar.45 Dalam pada itu istilah “Undang- Undang Dasar” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”, Grond
42Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2000), hlm. 6.
43 Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, (Malang : Setara Press, 2015), hlm. 58.
44Ibid.
45 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Jogjakarta : Kreasi Total Media yogjakarta, 2007), hlm. 32.
mengandung arti dasar/ tanah dan wet artinya Undang-undang.46 Perkataan Grondwet dipergunakan oleh Gijsbert Karel Van Hogendorp dalam tahun 1813 untuk menggantikan istilah “staatsregeling”.
Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (Undang- Undang Dasar) diatas L.J Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.47
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Hal tersebut dimaksud jika negara tersebut menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa dilingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.48
Hans Kelsen berpendapat bahwa konstitusi negara biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara, yaitu dasar dari tata hukum nasional.49 Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri
46Anwar, Lo.cit.
47 Dahlan Thaib; jazim Hamidi; Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, cetakan II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 7-8.
48 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hlm. 18.
49 Novendri M. Nggilu, Hukum dan Teori Konstitusi (Perubahan Konstitusi yang Partisipatif dan Populis), Jogjakarta : UII Press, 2015, hlm. 23.
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada dibawah Undang- Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, sehingga peraturan-peraturan yang dibentuk tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.50 Selanjutnya dikatakan bahwa dasar yang paling tepat dan kokoh bagi negara demokrasi adalah sebuah negara konstitusional (constitutional state) yang bersandar pada sebuah konstitusi yang kokoh.51
Dalam teori konstitusi ditekankan suatu paham konstitusionalisme, yang merupakan paham yang gagasan pokoknya mengenai kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.52Kesepakatan (consensus) yang menjamin tegaknya konstitusionalisme dizaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada 3 (tiga) elemen kesepakatan (consensus), yaitu :53
1) Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the basis of government).
3) Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
50 Ibid, hlm. 19.
51 Setiawan Noerdajasakti, Hukum Konstitusi (Dikursus Ketatanegaraan Paradigmatis), (Malang : CV. Cita Intrans Selaras, 2015), hlm. 21.
52Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm. 20.
53Ibid. hlm. 21
Konstitusionalisme adalah suatu nama yang diberikan atas kepercayaan dari masyarakat untuk kedamaian, dan nama itu berupa perwujudan kesepakatan bersama yang dituangkan ke dalam suatu aturan tertulis demi terjaminnya pembatasan dari aktivitas pemerintahan. Sehingga demi terwujudnya pemerintahan yang tidak terbatas, maka aktivitas pemerintahan haruslah dibatasi kekuasaannya. Karena penghargaan terhadap manusia sudah begitu besarnya, terutama dalam hak-hak yang bersifat asasi, maka kekuasaan pemerintahan yang terbatas merupakan konsekuensi logis.54 Selain itu juga Menurut C.J Friedrich bahwa Konstitusionalisme adalah lembaga yang berlaku efektif, dimana adanya pembatasan aktivitas pemerintahan diatur secara tegas.55
Paham konstitusi disebut konstitusionalisme (constitutionalism), yaitu suatu paham atau aliran yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan (limited power).
Dalam kaitannya dengan negara, konstitusionalisme menghendaki adanya pembatasan kekuasaan Negara (limited state) atau pembatasan kekuasaan pemerintah (limited government).56 Pembatasan, baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan melalui kaidah-kaidah hukum. Menurut Bagir Manan faktor pendukung lain agar konstitusionalisme dapat dijalankan, yaitu dukungan tatanan politik yang sehat, paham demokrasi, dan paham Negara hukum. Tanpa demokrasi dan Negara hukum, paham konstitusi tidak mungkin berjalan.
54 Jazim Hamidi, Hukum Perbandingan Konstitusi, (Malang : Prestasi Pustaka Publisher, 2009), hlm. 45-46.
55Ibid. hlm 46.
56Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi Makna dan Aktualisasi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), hlm 184-185.
Menurut Bagir Manan Faktor adanya perubahan konstitusi ke hal-hal yang baik disebabkan oleh beberapa hal :57
1) Salah satu asumsi reformasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia, 2) Pelanggaran prinsip-prinsip negara hukum,
3) Pergeseran paham kedaulatan rakyat menjadi kediktatoran, 4) Executive heavy, dan
5) Tidak berjalannya check and balances
Berdasarkan pendapat Bagir Manan mengenai perubahan konstitusi, Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan konstitusi tersebut memiliki makna sebagai berikut :
1) Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme,
2) Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan,
3) Berfungsi sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem Monarki) kepada organ-organ kekuasaan Negara.
Berdasarkan pendapat para ahli yang memaparkan teori konstitusi dengan kaitannya konstitusionalisme memiliki relevansi pada penelitian Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017), bahwa teori konstitusi memberikan pembatasan terhadap kekuasaan berdasarkan pemikiran konstitusionalisme serta adanya perlindungan hak asasi manusia bagi warga Negara yang memiliki hak yang sama dalam hal apapun, terutama dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden serta dalam penerapan ambang batas tidak mengurangi hak-hak dari warga Negara sebagai wujud kedaulatan rakyat yang
57Ibid.hlm. 73.
diamanat oleh konstitusi. Bahwa setiap partai politik memiliki kedudukan yang sama dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dengan ketentuan telah melewati semua syarat yang telah ditentukan oleh penyelenggara pemilu.
Konstitusi hadir sebagai hukum tertinggi dalam menjamin hak-hak setiap warga Negara. Ambang batas bila ditelisik secara konstitusi, telah menutup ruang bagi setiap warga Negara, bahkan partai politik yang mempunyai kekuasaan/kedaulatan yang besar (koalisi yang transaksional) karena terhambat pada ambang batas bukan lagi rakyat. Melihat hak-hak warga negara telah dilanggar dengan adanya judicial review melalui beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi, maka konstitusi hadir sebagai penjamin kedaulatan rakyat serta membatasi segala kekuasaan pemerintahan, lembaga negara serta organisasi dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden.
b. Teori Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu kata
“kedaulatan” dan “rakyat”, dimana masing-masing kata memiliki arti yang berbeda.
Kata “kedaulatan” merupakan terjemahan dari Sovereignity (bahasa Inggris), souverainete (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia), souvereiniteit (bahasa Belanda), superanus (bahasa Latin), yang berarti supremasi sama dengan di atas dan menguasai segala-galanya.58 Secara etimologi, kata “kedaulatan” berarti superioritas
58 Khairul Fahmi, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 17.
belaka, tetapi ketika diterapkan pada negara, kata tersebut berarti superioritas dalam arti khusus, yaitu superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk membuat hukum (law-making power).59 Paling ekstrem dalam perkembangan historis kedaulatan ini adalah dimana dimaksudkan secara sederhana untuk menunjuk pada suatu “kekuasaan tertinggi.”
Ajaran kedaulatan rakyat (demokrasi) sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Yunani Kuno dan dipraktikan dalam kehidupan bernegara antara abad ke-4 SM sampai abad ke-6 M dalam negara-negara kecil yang berbentuk polis. Kedaulatan rakyat waktu itu dapat dilaksanakan secara langsung, karena negara masih kecil-kecil dan jumlah penduduknya sedikit sehingga masalah-masalah yang timbul juga masih sangat sederhana.60
Immanuel kant merupakan pengikut teori kedaulatan rakyat, ia mengatakan bahwa tujuan Negara itu adalah untuk menegakkan dan menjamin kebebasan para warga negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan berhak membuat Undang-undang adalah rakyat itu sendiri. Jadi Undang-undang adalah penjelmaan kemauan rakyat, dengan demikian rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam negara itu.61 Ide dasar teori kedaulatan rakyat sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam
59Ibid,.
60Ibid. hlm.27.
61 Anwar, Op.cit. hlm. 35
suatu negara. Bung Hatta mengatakan kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat.62
Grotius berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi untuk memerintah ini dinamakan kedaulatan. Kedaulatan dipegang oleh orang yang tidak tunduk pada kekuasaan orang lain, sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh kemauan manusia.63Dapat diterangkan bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara dan menjadi atribut bagi negara sebagai organisasi masyarakat yang paling besar. Apabila dikaitkan dengan kata “rakyat”, maka rakyat merupakan tempat yang melahirkan kekuasaan tertinggi. Dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat didefenisikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam Negara yang dipegang atau terletak ditangan rakyat.64 Pada tataran pelaksanaan, kedaulatan rakyat merupakan gabungan keseluruhan dari kemauan masing-masing pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat tersebut ditentukan oleh suara terbanyak.65
Secara filosofis, Kedaulatan rakyat bermakna rakyatlah yang berdaulat terhadap negara Indonesia, memang secara yuridis kedaulatan itu dilaksanakan secara perwakilan melalui para wakil rakyat, tetapi sesungguhnya keberadaaan mereka untuk memenuhi kepentingan dan melaksanakan amanah yang diberikan rakyat. Jadi
62Khairul Fahmi, Op.cit. hlm. 27.
63Ibid.
64Ibid.
65Ibid.
hukum yang diproduk oleh para wakil rakyat harus menggambar kedaulatan rakyat, bukan pribadi, kelompok atau bahkan partai.66
Pada perubahan ketiga UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) berubah menjadi
“kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Perubahan rumusan pasal 1 ayat (2) UUD 1945, mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan, sebab MPR tidak lagi menjadi pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, akan tetapi hanya merupakan salah satu pelaksana kedaulatan rakyat disamping lembaga Negara lainnya, seperti DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK.67
Kedaulatan rakyat atau kerakyatan, secara harafiah berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut Negara demokrasi.68 Yang secara simbolis sering digambarkan sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (from the people, of the people, for the people). Dengan demikian, kedaulatan rakyat atau demokrasi berkaitan dengan masalah kekuasaan, jadi kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.69 Prinsip-prinsip dari kedaulatan rakyat antara lain ; Prinsip kebebasan, prinsip persamaan dan kesetaraan, prinsip suara mayoritas, serta prinsip pertanggungjawaban.70
66 Firdaus. Membangun Hukum Indonesia Yang Berwawasan Nilai-Nilai Pancasila, dalam Jurnal Konstitusi. BKK Fakultas Hukum Universitas Riau , Volume IV No.1, Juni 2011, hlm. 121.
67Anwar, Op.cit hlm. 10-11.
68Ibid. hlm. 11.
69Ibid.
70Ibid. hlm. 37-42.
Sesuai dengan pendapat Grotius dan Imanuel Kant mengenai kedaulatan rakyat dikaitkan dengan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Terhadap Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 53/PUU-XV/2017) memiliki relevansi yang sangat kuat terutama berkaitan dengan jaminan hak rakyat. Bahwa pada dasarnya dalam Negara demokrasi, rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi bukan partai politik serta masyarakat memiliki kebebasan untuk menentukan yang menjadi calon presiden dan wakil presiden. Partai politik hanya sebagai pilar atau instrumen dalam berdemokrasi atau dalam pemilihan umum. Perlu dikaji ulang konsep pemilu dengan adanya ambang batas, pemilu seharusnya didasarkan pada kedaulatan rakyat, hal tersebut diakui secara konstitusi.
Dampak adanya ambang batas pada pemilu serentak akan mereduksi hak-hak rakyat itu sendiri atau kata lain bertentangan dengan kedaulatan rakyat. Karena wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat salah satunya dapat dilakukan melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat yang seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.71
Pemilu merupakan bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada ditangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.72 Dikaitkan dengan penelitian ini, maka pemberlakuan ambang batas tidak sesuai
71 Ahmad Hendra, Opcit. hlm. 1-2.
72 Ibid, hlm. 2-3.
dengan kedaulatan rakyat. Berlakunya Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar hak kebebasan warga Negara untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Karena pada dasarnya pelaksanaan pemilu untuk menegakkan kedaulatan rakyat tanpa adanya pembatasan.
2. Kosepsi
Konsep operasional dari judul penelitian ini akan dijabarkan secara sederhana sebagaimana diuraikan dibawah ini, agar mempermudah pemahaman terhadap penelitian ini :
a. Ambang Batas
Treshold adalah pengertian dari bahasa Inggris yang diartikan sebagai ambang batas. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ambang batas diartikan sebagai “tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi”.73 Menurut Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Ambang Batas dinyatakan sebagai berikut
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20
% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
73 KBBI, Ambang Batas,
(http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Ambang%20Batas&id=1595-arti maksud- definisi-pengertian-Ambang%20Batas.html), diakses pada tanggal 5 Januari 2019.