• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Kedudukan Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istr

Dengan keputusan Pengadilan tentang pemecahan harta persatuan maka harta tersebut siap untuk dibagi antara suami dan istri. Antara waktu sesudah keputusan Pengadilan mengenai perpecahan dan pelaksanaan pembagian, persatuan harta

95 H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Ghalia

tersebut menjadi persatuan yang “mati”.96

Dengan akibat bahwa karena persatuan tersebut sudah mati, maka suami istri sebagai yang berhak atas persatuan tersebut, tidak dapat lagi mengikatkan persatuan tersebut kepada pihak ketiga. Jika suami melakukan tindakan-tindakan atas nama persatuan tersebut, maka tindakannya tidak sah lagi dan karenanya hanya mengikat dirinya secara pribadi. Sesudah persatuan itu “mati”, sesudah ada pemecahan harta persatuan, istri memperoleh kembali hak

beheernya.

Pembagian harta persatuan dilakukan dengan membagi harta tersebut menjadi dua bagian yang sama, suami mendapat satu bagian (1/2 harta persatuan) dan satu bagian yang lain untuk istri.

Jika suami melakukan tindakan-tindakan atas nama persatuan tersebut, maka tindakannya tidak sah lagi, dan karenanya hanya mengikat dirinya secara pribadi. Karenanya pembagian juga tidak dilakukan dengan membagi tiap-tiap satuan (harta) menjadi 2 (dua) bagian. Yang benar adalah masing-masing suami istri, dalam hal harta persatuan dibagi jadi tidak atau bukan sepanjang masih berlangsung mempunyai hak atas ½ (setengah) nilai harta tersebut, tanpa memandang dari siapa harta tersebut berasal97. Perkecualiannya atas asas tersebut diatur dalam Pasal 129 KUHPerdata98.

96

J.G. Klaassen, J. Eggens, J.M. Polak, Huwelijkgoederen en Erfrecht, Handleiding bij de Studie en Praktijk, (Tjeenk Willink, Zwolle, Cetakan kedelapan, 1956), hal. 44.

97 Pasal 128 KUHPerdata menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Setelah bubarnya persatuan maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya.

Ayat (2) : Ketentuan-ketentuan tertera dalam bab tujuh belas buku ke dua mengenai pemisahan harta peninggalan berlaku terhadap pembagian harta benda persatuan menurut Undang-Undang. (R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 31)

Kesemuanya dengan memperhitungkan harga atau niat barang-barang tersebut atas dasar perhitungan antara mereka sendiri atau dengan melalui taksiran ahli.99

Karenanya pemecahan tersebut tidak menghilangkan kewajiban suami untuk bersama-sama istri memikul pengeluaran-pengeluaran rumah tangga dan pendidikan anak. Jika semua pengeluaran-pengeluaran sehari-hari (bersama) semula merupakan pengeluaran harta persatuan, jadi secara tidak langsung dipikul sama berat antara suami istri.100 Maka sesudah dibaginya harta persatuan jadi sudah tak ada persatuan harta lagi, suami dan istri memikul pengeluaran tersebut menurut imbangan kekayaan mereka.101 Pemecahan dan pembagian harta persatuan tidak menghapuskan kewajiban suami istri, agar mereka saling setia dan saling bantu membantu.102

Kedudukan hukum harta bersama dalam suatu perkawinan yang diakhiri dengan perceraian suami istri mempunyai akibat hukum terhadap pemecahan harta persatuan dalam perkawinan tersebut. Akibat hukumnya meliputi :

98 Pasal 129 KUHPerdata menyatakan bahwa Pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan dan

perkakas termasuk dalam mata pencaharian salah satu dari suami istri, seperti pun perpustakaan dan himpunan-himpunan barang-barang kesenian dan keilmuan dan akhirnya pun surat-surat atau tanda- tanda peringatan keturunan salah satu dari suami istri boleh diminta kembali oleh pihak asalnya semula dengan pembayaran akan harganya yang harus ditaksir secara damai atau oleh ahli-ahli. Ibid, hal. 31- 32)

99

J.G. Klaassen, J. Eggens, J.M. Polak, Op.Cit, hal. 45.

100 Dikatakan secara tidak langsung, karena selama harta persatuan masih utuh, kita belum

dapat mengatakan berapa besar hak bagian masing-masing atas harta tersebut. Baru sesudah ada pemecahan dan pembagian harta, kita dapat menyatakan bahwa sesuai dengan hak bagiannya separuh mereka sebenarnya masing-masing memikul ½ pengeluaran persatuan (rumah tangga).

101 Pasal 193 KUHPerdata menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Kendati adanya pemisahan harta kekayaan, si istri adalah berwajib, dalam keseimbangan kekayaannya dengan kekayaan si suami, memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan olehnya karena si suami.

Ayat (2) : Dalam hal ketakmampuan si suami biaya-biaya itu harus dipikul oleh istri sendiri. (R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 45)

102 Pasal 103 KUHPerdata menyatakan bahwa Suami dan istri, mereka harus setia mensetiai,

a. Hutang Persatuan103

Pihak ketiga, yang mempunyai kepentingan terhadap perubahan-perubahan atas harta suami istri adalah kreditur. Prinsipnya adalah suami istri masing- masing tetap bertanggung jawab atas hutang-hutang persatuan yang dibuat olehnya.

Ketentuan ini sebenarnya logis sekali, karena kreditur dahulu pada waktu mengadakan perjanjian berhadapan dengan suami atau istri. Pada waktu ia akan meminta pelunasannya tentunya ia datang pada orang yang dahulu membuat perjanjian dengannya. Apalagi antara suami dan istri sekarang tidak ada persatuan harta lagi. Suami atau istri menanggung hutang tersebut dengan harta pribadinya, harta persatuan telah pecah dan dibagi yang sekarang terdiri dari harta pribadi aslinya ditambah setengah hak bagiannya dalam harta persatuan.

Terhadap suami, pihak ketiga dapat menagih untuk seluruh hutang persatuan walaupun suami nantinya dari pembagian harta persatuan hanya menerima setengah dari harta tersebut termasuk jika hutang tersebut dahulu dibuat oleh istri. Sedangkan istri hanya dapat ditagih oleh pihak ketiga untuk setengah hutang persatuan yang dibuat oleh suaminya (Pasal 130 BW). Sebagai dasarnya ditunjukkan pada Pasal 130 BW. Disana ditetapkan bahwa istri memikul setengah hutang persatuan, karenanya sesudah pecahnya atau putusnya persatuan harta adalah pantas jika ia pun (si istri) bertanggung jawab untuk setengah hutang

103

persatuan yang dibuat oleh suami, sedang untuk hutang-hutang yang dibuat olehnya sendiri, ia bertanggung jawab untuk 100%.

Atas hutang-hutang yang dibuat oleh istri, ia tetap dapat diminta pertanggungjawabkan penuh. Jika suami membayar seluruh hutang persatuan ia dapat melakukan perhitungan intern (contribution) dengan istrinya, dimana si istri wajib menanggung setengahnya.

Prinsipnya tetap hutang persatuan ditanggung bersama dan sama berat. Jika istri telah membayar seluruh hutang persatuan yang dibuat olehnya maka ia dapat menagih setengahnya dari suami. Seandainya jumlah pasiva harta persatuan lebih besar dari aktivanya maka kekurangan harus diambil dari harta pribadi.

Di dalam praktek perhitungan intern jarang sekali, karena pada umumnya sebelum pembagian, hutang-hutang diberesi lebih dahulu dan kalau ada hutang yang belum dibayar maka pada waktu pembagian, hutang tersebut dikompensir dengan pembagiannya dalam aktiva.104

Ketentuan-ketentuan tersebut diatas ternyata mengandung unsur perlindungan terhadap pihak ketiga, karena jika diperhatikan prinsip tanggung jawab suami istri terhadap pihak ketiga-kreditur ternyata posisi kreditur sesudah pembagian harta tidak selalu lebih jelek dari semula.

b. Kedudukan kreditur sebelum dan sesudah pemecahan harta persatuan105

104 A. Pitlo, Het Zakenrecht Na ar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, (HD Tjeenk Willink

& Zoon, Haarlem, 1949), hal. 187.

105

Sebelum diadakan pemecahan harta persatuan, atas hutang-hutang yang dibuat suami, para kreditur dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :

1) Kreditur persatuan, yakni piutangnya dijamin pelunasanya dengan harta persatuan dan harta pribadi suami;

2) Kreditur pribadi suami, yakni piutang dapat mengambil pelunasan dari harta pribadi suami dan harta persatuan.

Sesudah pemecahan harta persatuan, para krediturnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :

1. Kreditur persatuan

Kreditur persatuan mempunyai hak pelunasan atas harta pribadi suami, di dalam harta mana sekarang terdiri dari setengah harta persatuan yang menjadi hak bagian suami ditambah (jika ada) harta pribadi asal milik suami, sedangkan yang setengahnya lagi (setengah hutang) dapat ditagih dari harta (sekarang) pribadi istri (yang juga terdiri dari ½ harta persatuan ditambah harta pribadi asal istri).

Di sini kedudukan istri menjadi lebih jelek dari semula, karena sebelum pemecahan, harta pribadi istri tidak dipertanggung jawabkan terhadap hutang persatuan yang dibuat suami.

Apakah dengan bertambah jeleknya kedudukan istri seperti tersebut diatas, kreditur menjadi lebih terjamin? Belum tentu. Dalam hal harta persatuan sudah terkuras habis, maka kedudukan kreditur menjadi lebih baik, karena kalau semula ia hanya dapat mengambil pelunasan dari harta persatuan yang

keadaannya sudah terkuras habis dan dari harta pribadi suami atau dengan perkataan lain kalau semula rielnya hanya ditanggung dengan harta pribadi suami (harta persatuan sudah habis) maka sekarang sesudah harta persatuan yang isinya sebenarnya sudah nihil, dipecah ia masih dapat tambahan jaminan untuk setengah piutangnya yaitu dari harta pribadi istri.

Kedudukan istri qua tanggung jawab memang lebih jelek, tetapi qua financieel belum tentu. Kalau harta persatuan isinya masih banyak, sehingga setengah daripadanya masih lebih besar daripada hutang tersebut, maka lebih besar daripada hutang tersebut, maka perubahan prinsip tanggung jawab hutang-hutang persatuan sesudah harta persatuan dipecah, tidak merugikan istri.

Namun seperti dikatakan di depan, biasanya harta persatuan baru berhasil dipecah, kalau keadaannya sudah “berbahaya”. Hendaknya diingat bahwa adanya istri diwajibkan untuk menanggung setengah dari hutang persatuan adalah merupakan konsekuensi daripada dibaginya harta persatuan. Istri dengan pembagian tersebut tidak hanya menerima setengah aktivanya saja, tetapi harus memikul setengah dari pasivanya.Bukankah harta persatuan meliputi baik aktiva maupun pasiva suami istri, baik yang didapat sebelum maupun sepanjang perkawinan?

2. Kreditur prive

Kreditur prive mendapat jaminan pelunasannya dari harta pribadi suami yang sekarang terdiri dari harta pribadi aslinya (asal) ditambah setengah harta

persatuan yang jatuh pada suami (yang kedua kelompok harta tersebut sekarang disebut harta pribadi).106

Di sini kedudukan kreditur bisa menjadi lebih jelek, karena kalau semula kreditur ditanggung oleh harta pribadi suami dan harta persatuan, jika hutang tersebut berupa hutang pribadi suami, maka sekarang kreditur tersebut hanya dijamin dengan harta pribadi suami, yang terdiri dari harta pribadinya ditambah setengah haknya dalam harta persatuan.107

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreditur suami sebelum pemecahan harta persatuan tidak berkepentingan untuk mengetahui apakah piutangnya merupakan hutang pribadi atau hutang persatuan bagi si suami, karena kedua jenis hutang tersebut sama-sama dijamin dengan harta persatuan dan harta pribadinya.

Sesudah pemecahan harta persatuan, para kreditur memang berkepentingan untuk tahu, apakah kreditur prive atau kreditur persatuan, sebab jaminan pelunasannya berlainan. Dalam hal ia kreditur suami, selain kreditur dapat mengambil pelunasan dari harta pribadi suami, di dalam mana sekarang ada setengah harta persatuan yang menjadi hak bagian suami, kreditur masih mendapat jaminan hutangnya dari sekarang telah menjadi dan disebut harta pribadi si istri (untuk setengah hutang persatuan).108

106 A. Pitlo, Op.Cit, hal. 186. 107 J. Satrio, Op.Cit, hal. 122-123. 108