• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETENTUAN HUKUM POSITIP TENTANG SITA MARITAL

B. Penerapan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama

3. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut

Pada ketentuan Pasal 215 KUHPerdata, sita marital adalah perwujudan sita jaminan. Dalam kalimat terakhir dari Pasal 215 KUHPerdata disebutkan “tak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang telah diatur dalam ketentuan hukum acara perdata”. Jika hal ini dikaitkan dengan salah satu upaya yang dapat mengamankan dan menyelamatkan hak seorang istri atas harta kekayaan perkawinan selama proses perkara masih berlangsung ialah maritaal beslag. Upaya ini yang distrukturkan dalam hukum acara perdata yang berfungsi menyelamatkan gugatan atas pihak yang berkepentingan dari kemungkinan illusoir.

Bagaimana masalah sita marital dalam UUP. Apakah dimungkinkan meletakkan sita terhadap harta perkawinan? Didalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975. Walaupun rumusannya tidak tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung.132

Ada sesuatu hal yang dianggap terlalu sempit dalam peraturan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975, karena permintaan pengajuan sita marital ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian, seolah-olah tanpa adanya sengketa perceraian, tidak dimungkinkan mengajukan sita marital. Namun hal ini

132

berbeda dengan apa yang diatur pada KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri mengajukan permintaan sita marital kepada Pengadilan apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan). KUHPerdata memperkenankan permintaan sita marital di luar gugatan perceraian. Dapat diajukan permintaan sita marital berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan.

Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak kepada istri untuk :

1. Mengajukan sita marital diluar gugatan perceraian

2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih utuh, apabila :

a. Kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga, atau

b. Cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.

Ketentuan yang diatur seperti dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya tidak dijumpai dalam UUP maupun PP No. 9 Tahun 1975, padahal aturan seperti ini sangat penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi dan melindungi keutuhan harta perkawinan pada segi kelalaian pembuat Undang-Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi seorang istri membela haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik, karena hak untuk mengajukan sita marital hanya diperkenankan apabila ada sengketa perceraian.

Bahkan lebih tragis lagi, jika di telaah ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan. Sebab menurut Undang-Undang dan praktek pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan atau pembagian harta perkawinan, baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan mengajukan pemisahan harta perkawinan.133

Padahal dilihat dari segi kepentingan istri atau suami adalah layak memberi hak mengajukan pemisahan harta perkawinan dalam suatu perkawinan masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri menghamburkan harta kekayaan bersama. Namun dapat diambil kesimpulan, bahwa anggapan seperti tersebut diatas adalah keliru dan terlampau sempit. Sekalipun dalam UUP dan PP No. 9 Tahun 1975 tidak mengaturnya, bukan berarti dilarang mengajukan sita marital dan pemeriksaan harta perkawinan di luar perceraian apabila secara nyata dan salah satu pihak bertindak boros dan tidak tertib mengurus harta kekayaan bersama.

Pengadilan dapat mempedomani ketentuan Pasal 186 KUHPerdata sebagai aturan hukum pemisahan harta perkawinan di luar perceraian. Cukup alasan untuk membenarkan praktek hukum yang demikian. Berapa banyak keluarga dan pendidikan anak terlantar, akibat tindakan boros yang dilakukan suami atau istri. Kemalangan dan kesengsaraan yang demikian masih mungkin dapat dihindari dengan jalan pemisahan harta perkawinan. Karena dengan di pisahnya harta perkawinan

133

dapat berfungsi sebagai katup penyelamat menjamin terhindarnya keludesan harta perkawinan dari tindakan suami yang boros dan penjudi.134

Namun bila dibandingkan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) masalah sita jaminan termaktub secara tegas dalam Pasal 95 KHI dinyatakan bahwa 135:

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2) KHI, suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.

2. Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Adapun jenis-jenis harta bersama di dalam Pasal 91 KHI dinyatakan sebagai berikut :

1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Hal yang perlu dicatat lagi bahwa KHI (pasal 95 tersebut) telah mengantisipasi apabila salah satu pihak (suami atau istri) terjadi pemborosan, judi, mabuk dan lain-lain yang merugikan dan membahayakan harta kekayaan. Dalam hal demikian, pihak suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan

134 Ronny Junaidi Kasalang, “Sita Jaminan Terhadap Harta

Bersama di Luar Sengketa Perceraian Dalam Hukum Perceraian”, 8 April 2011, diperoleh dari www.legalitas.org, terakhir kali diakses pada tanggal 12 Juni 2012.

135 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan cerai. Selama masa sita tersebut dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk kepentingan keluarga, rumah tangga, istri dan anak-anaknya, maka dipandang Hakim memiliki otoritas untuk menangani dan menjaga agar harta tersebut diamankan dengan meletakkan sita jaminan. Selain itu, otoritas yang diberikan kepada Hakim tersebut adalah untuk mengendalikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan suami atau istri melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh syariat Islam.136

Secara yuridis dogmatik, eksistensi Pasal 95 KHI tersebut sangat bermanfaat, tetapi pada level implementasinya akan menghadapi beberapa kendala, diantaranya : 1. Dengan dibukanya kesempatan bagi suami atau istri untuk mengajukan sita

jaminan terhadap harta bersama dalam kondisi perkawinan yang masih utuh, sekecil apapun akan berdampak pada keutuhan perkawinan itu sendiri, karena dengan penyitaan seperti itu akan memicu dan memacu munculnya perselisihan dalam rumah tangga.

2. Sita jaminan itu terkesan berdiri sendiri, padahal sita jaminan yang dipraktekkan selama ini khususnya di lingkungan Pengadilan Agama assesoir dengan perkara pokok yang diajukan oleh para pihak. Artinya, sita jaminan itu ada karena adanya perkara pokok yang lain.

3. Walaupun KHI secara tersurat sudah menegaskan bahwa sita jaminan adalah wewenang absolut Pengadilan Agama tetapi masih ada yang mempertanyakan. Karena kalau mengacu pada Pasal 49 dan Penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1989

136

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, tidak ada satu pun kalimat yang menegaskan bahwa ketentuan sita jaminan itu sendiri itu bukan merupakan suatu sengketa sehingga ia bukan merupakan perkara.

4. Kesulitan dalam menerapkan cara sita jaminan tersebut, apakah dapat dilaksanakan secara sendiri tanpa dikaitkan dengan perkara lain, karena praktek sita jaminan selama ini tidak seperti itu. Oleh karena itu, baik dari sisi administrasi maupun teknis peradilan akan mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanannya.

Walaupun secara yuridis, KHI lemah karena hanya berupa Instruksi Presiden, tetapi pada prakteknya ia digunakan sebagai pedoman oleh Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa antara umat Islam di bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf karena didasarkan pada kondisi bahwa KHI merupakan hukum yang hidup (living law) yaitu sebuah hukum yang dipatuhi oleh masyarakat karena memang sesuai dengan kondisi dan kesadaran masyarakat.137

137 Aulawi Wasit dan Sastromodjo Asro, Hukum Perkawinan di Indonesia , (Jakarta : Penerbit