ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA
BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA)
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
TESIS
Oleh :
LYDIA NATALIA TANAKA 107011042/ M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA
BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA)
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
LYDIA NATALIA TANAKA 107011042/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
JUDUL TESIS : ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PERDATA
(KUHPERDATA) DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
NAMA MAHASISWA : LYDIA NATALIA TANAKA NOMOR POKOK : 107011042
PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN Menyetujui,
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum) Ketua
(Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum) (Prof.Dr.M.Yamin,SH,MS,CN)
Anggota Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada Tanggal : 10 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : LYDIA NATALIA TANAKA
NIM : 107011042
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP
SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya
sendiri bukan plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat
karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program
Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun
atas perbuatan saya tersebut.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam
keadaan sehat.
Medan, Juli 2012 Yang Membuat Pernyataan
Nama : LYDIA NATALIA TANAKA
ABSTRAK
Akibat hukum yang ditimbulkan dari sengketa perceraian di Pengadilan adalah pembagian harta bersama dalam perkawinan. Tindakan yang dikhawatirkan selama proses perceraian tersebut yakni terdapat kemungkinan salah satu pihak mengaburkan asal usul harta perkawinan yang disengketakan. Misalnya dengan menjual ataupun mengalihkannya kepada pihak lain yang tidak bersangkutan, sehingga untuk menjamin keutuhan terpeliharanya harta bersama dapat diterapkan suatu bentuk sita khusus terhadap harta bersama suami istri yang disebut sita marital. Sita marital diatur dalam Pasal 190 BW, Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI dan Pasal 820-830 RV.
Pada Putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007, memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah menyatakan sah secara hukum dalam perkara Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dan Felicia Juliati selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut.
Tesis ini membahas tentang Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun tujuan penelitian tesis ini adalah agar dapat diketahui kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut UUP dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri, ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri dan dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat dalam perkara perdata dalam putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut KUHPerdata dan UUP. Kemudian dari hasil analisa terhadap data yang ada, diharapkan akan dapat ditarik suatu kesimpulan yang akan memudahkan dalam memberi masukan dan saran guna menanggulangi permasalahan yang timbul dari topik yang dibahas tersebut.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa meskipun terdapat UUP, akan tetapi peraturan yang mengatur tentang sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama hanya diatur dalam 1 pasal saja, hal ini pun tidak menyebutkan secara jelas dengan kalimat sita marital, dan tidak pula mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan sita marital yang dikabulkan dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama. Maka perlu adanya ketentuan hukum acara perdata yang mengatur secara khusus tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada RV (Reglement op de Rechtsvordering staatsblad 1847 No 52 jo 1849 No 63) yang masih dipergunakan dalam praktek.
ABSTRACT
Legal consequence resulted from divorce dispute in the court of law is the distribution of matrimonial property. The action worried during the process of divorce is that one of the parties obscures the origin of the disputed matrimonial property, for example, by selling or transferring the property to the other unrelated parties that to guarantee the maintenance of the matrimonial property, a special form of confiscation called marital confiscation can be applied to the matrimonial property. Marital confiscation is regulated in Article 190 BW, Article 24 paragraph (2 c), Government Regulation No.9/1975, Article 78 (c) of Law No.7/1989 in connection with Law No.3/2006 on Religious Court, Article 136 paragraph (2 b) of KHI and Article 820-830 RV.
The decision of Indonesian Supreme Court No.390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007, examining a civil case on the appeal level that has declared that the case between Iwan Gunawan previously known as Tjioe Kok An as the cassation applicant who used to be the defendant/appellant and Felicia Juliati as the cassation matrimonial property law in marriage according to Law on marriage when a divorce occurs between husband and wife, to find out the provision of positive law on marital confiscation in the case of matrimonial property distribution when a divorce occurs between husband and wife, and to find out the basic of filing the application of marital confiscation by his wife as plaintiff in the civil case in the decision of Indonesian Supreme Court No. 390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007 and its legal consequences.
The data for this study were obtained by analyzing the literatures and articles found through library research which were then reviewed based on the Indonesian Civil Codes and Law on Marriage. From the result of analysis, a conclusion was drawn to ease in giving feedback and suggestion to cope with the problem arising from the topic discussed.
The result of this study showed that even though Law on Marriage has been enacted but the regulations regulating the marital confiscation on matrimonial property in the case of divorce or the distribution of matrimonial property. Therefore, a provision of civil law specially regulating the problem of marital confiscation is needed because the one which is still used in practice has been long based on RV (Reglement op de rechtsvordering staatsblad 1847 No. 52 in connection with 1849 No.63).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Sanghyang Adi Buddha, Tuhan
Yang Maha Esa atas segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya
mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian tesis seperti
sekarang ini di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini diberi judul “ASPEK HUKUM SITA MARITAL TERHADAP
SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT KITAB
UNDANG HUKUM PERDATA (KUHPERDATA) DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis tidak lupa ingin mengucapkan
terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut di bawah ini. Beliau-beliau
tersebut merupakan panutan dan juga motivasi yang mendukung Penulis dari awal
masa perkuliahan hingga sekarang sampai selesainya tesis ini. Penulis menghaturkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah
diberikan untuk dapat menyelesaikan studi Strata-II Program Magister
Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
penulisan tesis ini, yang telah dengan sabar memberikan segala petunjuk dan
arahan dalam proses penyelesaian tesis ini.
3. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting,SH,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II
penulis dalam penulisan tesis ini, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan dan
arahan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
4. Bapak Prof.Dr. Muhammad Yamin,SH,MS,CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen
Pembimbing III penulis dalam penulisan tesis ini yang telah banyak memberikan
masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam
penulisan ini.
5. Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH,CN,M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis
yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini,
serta informasi dan cara penulisan tesis yang benar.
6. Ibu Dr.Utary Maharani Barus,SH,M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang
telah dengan sabar memberikan kritik dan saran yang berarti untuk penulisan ini,
serta informasi dan cara penulisan tesis yang benar.
7. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu per satu
namanya, atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu dan bimbingan selama masa
8. Pada Pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam
manajemen administrasi yang diperlukan.
9. Kedua Orang Tua yang sangat saya cintai dan sayangi, serta juga kepada
abang dan adik yang tersayang, Tony Tanaka,SE dan Beni Tanaka.
10.Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
stambuk 2010-Group A, Group B dan Group C yang telah berjuang
bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjabersama-samanya
selama penulis menjalankan pendidikan. Semoga sukses untuk kita semua.
11.Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum, Program Pasca
Sarjana Ilmu Hukum, perpustakaan pusat USU, dan juga staf di pusat dokumen
dan informasi hukum atas segala bantuannya.
Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya
masih perlu untuk diperbaiki karena sendiri juga yakin apa yang telah ditulis dalam
tesis ini hanyalah sebagian kecil daripada ruang lingkup sita marital terhadap
sengketa harta bersama dalam perkawinan, yang tentunya di dalamnya masih terdapat
kekurangan-kekurangan. Untuk itu, dengan tangan terbuka akan menerima segala
kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi kemajuan kita bersama.
Akhir kata, atas segala perhatian yang telah diberikan untuk tesis ini,
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2012
Hormat Penulis,
(LYDIA NATALIA TANAKA)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Lydia Natalia Tanaka
2. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 14 September 1987
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Belum menikah
5. Agama : Buddha
6. Alamat : Jalan Seram Nomor 72, Medan.
7. No. Handphone : 081-2630-1987
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Hia Tju Siang
2. Nama Ibu : Hayati
3. Nama Abang : Tony Tanaka, SE
4. Nama Adik : Beni Tanaka
III. PENDIDIKAN
1. SD : SD SUTOMO-I, Medan (1993-1999)
2. SMP : SMP SUTOMO-I, Medan (1999-2002)
3. SMA : SMA SUTOMO-I, Medan (2002-2005)
4. Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2009)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
ABSTRACT ………. ii
KATA PENGANTAR ………. iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... vii
DAFTAR ISI ………... viii
BAB I PENDAHULUAN ………....……. 1
A. Latar Belakang ………...………..……..……... 1
B. Perumusan Masalah ………...………..……… 12
C. Tujuan Penelitian ………...………..…….……… 13
D. Manfaat Penelitian ………...………...………. 13
E. Keaslian Penelitan ………...………....……….. 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi …………...………....……….…..… 16
1. Kerangka Teori ………...…………...……….… 16
2. Konsepsi ………...………....……….……... 25
G. Metode Penelitian ………...………...….. 28
1. Spesifikasi Penelitian ………...………..…. 28
2. Sumber Data ………...……… 29
BABII KEDUDUKAN HUKUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN ANTARA SUAMI
ISTRI ......…. 32
A. Ruang Lingkup Harta Bersama Dalam Perkawinan ... 32
1. Pengertian Harta Bersama ……...………...…………. 32
2. Pengertian Harta Bawaan ... 35
3. Prinsip Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Bersama …...… 39
B. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian Antara Suami Istri ……... 45
1. Asas Hukum Harta Bersama Dalam Undang-Undang ... 45
2. Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian ... 51
C. Kedudukan Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri Terhadap Pihak Ketiga ... 60
BAB III KETENTUAN HUKUM POSITIP TENTANG SITA MARITAL DALAM PERKARA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA APABILA TERJADI PERCERAIAN SUAMI ISTRI ... 68
A. Sita Marital Pada Umumnya ... 68
1. Pengertian Sita Marital dan Tujuan Sita Marital …..….…..………. 68
2. Pengaturan Sita Marital ... 71
3. Lingkup Penerapan Sita Marital ... 74
B. Penerapan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama ... 78
2. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut
Undang-Undang ………...……. 81
3. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ... 95
BAB IV DASAR PENGAJUAN SITA MARITAL OLEH ISTRI SELAKU PENGGUGAT DALAM PERKARA PERDATA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 390/K/Pdt/2002 ... 101
A. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ………...…...………….... 101
B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ……….………….…… 107
C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390/K/Pdt/2002 ………...……..…….………... 112
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...……..………... 136
A. Kesimpulan …...……….……… 136
B. Saran ………...………..……….. 138
DAFTAR PUSTAKA ………..……….. 140
ABSTRAK
Akibat hukum yang ditimbulkan dari sengketa perceraian di Pengadilan adalah pembagian harta bersama dalam perkawinan. Tindakan yang dikhawatirkan selama proses perceraian tersebut yakni terdapat kemungkinan salah satu pihak mengaburkan asal usul harta perkawinan yang disengketakan. Misalnya dengan menjual ataupun mengalihkannya kepada pihak lain yang tidak bersangkutan, sehingga untuk menjamin keutuhan terpeliharanya harta bersama dapat diterapkan suatu bentuk sita khusus terhadap harta bersama suami istri yang disebut sita marital. Sita marital diatur dalam Pasal 190 BW, Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI dan Pasal 820-830 RV.
Pada Putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007, memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah menyatakan sah secara hukum dalam perkara Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dan Felicia Juliati selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An tersebut.
Tesis ini membahas tentang Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun tujuan penelitian tesis ini adalah agar dapat diketahui kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut UUP dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri, ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri dan dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat dalam perkara perdata dalam putusan MARI No. 390K/Pdt/2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut KUHPerdata dan UUP. Kemudian dari hasil analisa terhadap data yang ada, diharapkan akan dapat ditarik suatu kesimpulan yang akan memudahkan dalam memberi masukan dan saran guna menanggulangi permasalahan yang timbul dari topik yang dibahas tersebut.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa meskipun terdapat UUP, akan tetapi peraturan yang mengatur tentang sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama hanya diatur dalam 1 pasal saja, hal ini pun tidak menyebutkan secara jelas dengan kalimat sita marital, dan tidak pula mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan sita marital yang dikabulkan dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama. Maka perlu adanya ketentuan hukum acara perdata yang mengatur secara khusus tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada RV (Reglement op de Rechtsvordering staatsblad 1847 No 52 jo 1849 No 63) yang masih dipergunakan dalam praktek.
ABSTRACT
Legal consequence resulted from divorce dispute in the court of law is the distribution of matrimonial property. The action worried during the process of divorce is that one of the parties obscures the origin of the disputed matrimonial property, for example, by selling or transferring the property to the other unrelated parties that to guarantee the maintenance of the matrimonial property, a special form of confiscation called marital confiscation can be applied to the matrimonial property. Marital confiscation is regulated in Article 190 BW, Article 24 paragraph (2 c), Government Regulation No.9/1975, Article 78 (c) of Law No.7/1989 in connection with Law No.3/2006 on Religious Court, Article 136 paragraph (2 b) of KHI and Article 820-830 RV.
The decision of Indonesian Supreme Court No.390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007, examining a civil case on the appeal level that has declared that the case between Iwan Gunawan previously known as Tjioe Kok An as the cassation applicant who used to be the defendant/appellant and Felicia Juliati as the cassation matrimonial property law in marriage according to Law on marriage when a divorce occurs between husband and wife, to find out the provision of positive law on marital confiscation in the case of matrimonial property distribution when a divorce occurs between husband and wife, and to find out the basic of filing the application of marital confiscation by his wife as plaintiff in the civil case in the decision of Indonesian Supreme Court No. 390K/Pdt/2002 dated March 26, 2007 and its legal consequences.
The data for this study were obtained by analyzing the literatures and articles found through library research which were then reviewed based on the Indonesian Civil Codes and Law on Marriage. From the result of analysis, a conclusion was drawn to ease in giving feedback and suggestion to cope with the problem arising from the topic discussed.
The result of this study showed that even though Law on Marriage has been enacted but the regulations regulating the marital confiscation on matrimonial property in the case of divorce or the distribution of matrimonial property. Therefore, a provision of civil law specially regulating the problem of marital confiscation is needed because the one which is still used in practice has been long based on RV (Reglement op de rechtsvordering staatsblad 1847 No. 52 in connection with 1849 No.63).
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan
ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian
berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal
dan sejahtera akibat perbuatan manusia1. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena
kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat
dielakkan manusia.2
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1
Oktober 1975 yakni sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi
dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan
harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan atau
alasan-alasan yang dapat dibenarkan.3
1 Penjelasan Umum angka 4 huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung : Penerbit CV. Mandar Maju,1990), hal. 160.
3 Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama ,
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“UU Perkawinan” atau “UUP”) adalah sebagai berikut4 :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif
artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang
disebut Undang-Undang.5
4 Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa
kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam
perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum, karenanya
perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan pengertian dari
masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka peranan yurisprudensi
terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam menginterpretasi dan
memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut.6
Adapun alasan-alasan perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tersebut apabila ditinjau dari segi tujuan perkawinan yaitu “untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”7
, maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa semua alasan yang dapat
merongrong tercapainya tujuan perkawinan dan apabila tujuan perkawinan tersebut
tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga tersebut
tidak perlu lagi dipertahankan.
Kasus-kasus perceraian yang terjadi mengalami peningkatan di salah satu
Kota yakni Kota Medan. Untuk tahun 2011, kasus perceraian yang terjadi mencapai
1.900 kasus sedangkan sampai pertengahan Februari 2012, kasus perceraian yang
tengah ditangani Pengadilan Negeri (PN) Agama Kota tersebut mencapai 321 kasus.
Kasus perceraian yang terjadi lebih banyak didominasi kaum istri yakni dengan
5
R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, (Jakarta : Penerbit Academica,1979), hal. 26.
6 Ibid., 7
presentase 60 : 40. Menurut Ketua PN Agama Drs.H.Noer Hudlrien,SH,M.Hum
menyatakan banyaknya kaum istri mengajukan gugatan cerai mungkin disebabkan
karena sudah mengetahui hak-haknya sebagai istri atau banyak suami yang tidak
bertanggung jawab dengan istri.8
Dengan alasan-alasan tersebut, maka suami atau istri dapat mengajukan
gugatan perceraian ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri setempat, yaitu
untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat. Cerai talak adalah diperuntukkan bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan cerai
gugat adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama dan kepercayaan selain agama Islam dan bagi seorang istri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. 9
Salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena
perceraian adalah terkait masalah harta benda perkawinan khususnya terhadap harta
bersama yang diperoleh dalam perkawinan tersebut.
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37. 10
“Pasal 35 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :
Ayat (1) : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ayat (2) : Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
8
Koran Analisa, Istri Lebih Banyak Tuntut Percera ian, Medan, 24 Februari 2012, hal. 12.
9 K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Kelima , (Jakarta : Penerbit
Ghalia Indonesia,1980), hal. 38.
10 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1
Pasal 36 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :
Ayat (1) : Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.
Ayat (2) : Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 menyatakan bahwa, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut Hukum Agama, Hukum Adat dan hukum-hukum lainnya.”
Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin hak-hak
pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak baginya untuk
mengajukan permohonan sita terhadap barang-barang sengketa atau yang dijadikan
jaminan. Dalam praktek dikenal ada 4 (empat) macam sita, yaitu11 :
1. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
2. Sita Hak Milik (Revindicatoir Beslag)
3. Sita Marital (Maritaal Beslag)
4. Sita Eksekusi (Executoir Beslag)
Apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta
bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta
bersama suami istri yang disebut dengan sita marital. 12
Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipergunakan istilah sita harta
bersama, istilah ini memperlihatkan kedudukan yang setara (equal) antara suami istri
11 Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta : Penerbit
PT. Tatanusa,2004), hal. 21-29.
12 Sudikno Mertokusuma, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit
dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam Pasal
31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan
pada ayat (2) ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Sehubungan dengan hal ini beralasan kiranya dipergunakan istilah
tersebut tanpa mengurangi kemungkinan penggunaan istilah sita marital. 13
Tujuan Maritaal Beslag sudah jelas, untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum
tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan
tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan
pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan hakim istri sudah terpisah
tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung, dan harta perkawinan
semuanya dikuasai suami untuk menjual atau menggelapkan sebagian dari harta
perkawinan (harta bersama) Undang-Undang memberi hak kepada istri untuk
mengajukan permohonan Maritaal Beslag.14
Pada dasarnya, Maritaal Beslag sama dan serupa dengan Sita Jaminan
(Conservatoir Beslag). Sita ini merupakan pengkhususan yang hanya dapat berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Jika berorientasi kepada ketentuan Pasal
13 Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia , (Jakarta :
Penerbit PT. Bina Aksara,1987), hal. 52.
14 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,
215 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Maritaal Beslag adalah perwujudan sita jaminan. Pada kalimat terakhir Pasal 215 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tersebut menyatakan bahwa “tak mengurangi keleluasaan istri untuk
mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur
dalam ketentuan hukum acara perdata”.15
Dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita terhadap
harta perkawinan, ini diatur dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa :
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang yang menjadi hak bersama suami istri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang-barang yang menjadi hak istri”.
Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya
merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintaan
sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian
berlangsung.16
Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan
penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat
“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”, pada
15 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung :
Penerbit Sumur Bandung,1981), hal. 39.
16 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Perkawinan, Edisi Pertama ,
hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta
perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta
perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita jaminan
(conservatoir beslag) yang disebut Maritaal Beslag. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c adalah :
a. Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Maritaal Beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung, dan
b. Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Maritaal Beslag agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian
masih berlangsung.
Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24 ayat
(2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan permintaan
Maritaal Beslag ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 dalam
kalimat “selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara a contorario, kalau
tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan permintaan Maritaal Beslag. 17
Namun hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bisa
saja istri mengajukan permintaan Maritaal Beslag kepada pengadilan, apabila istri
17 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia , (Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro,
mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan). Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memperkenankan permintaan Maritaal Beslag di luar gugatan perceraian. Dapat diajukan permintaan Maritaal Beslag berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan18. Dari ketentuan Pasal 186 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut memberi hak kepada istri untuk :
1. Mengajukan Maritaal Beslag di luar gugatan perceraian.
2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang
masih utuh :
a) Apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga
yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga (Pasal 186
ayat (1) KUHPerdata), atau
b) Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga
tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama (Pasal 186
ayat (2) KUHPerdata).
Ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, nampaknya tidak ada dijumpai dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun
dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita
marital dalam kerangka UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah kurang etis. Adapun istilah
yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UU Nomor 1 Tahun
1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term sebagaimana tersebut
18 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata , (Bandung : Penerbit
dalam Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Oleh karena itu penggunaan sita
harta bersama perlu dibakukan agar menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna memperlindungi hak istri terhadap harta bersama
pada satu sisi, dan memperlindungi keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain.
Kelalaian pembuat Undang-Undang mengatur hal yang demikian, merupakan
hambatan bagi istri membela haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan
tidak baik. Karena hak untuk mengajukan Maritaal Beslag hanya diperkenankan apabila ada sengketa perceraian19.
Misalnya dalam hal putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
390 K / Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 memeriksa perkara perdata dalam tingkat
kasasi telah menyatakan sah secara hukum dalam perkara Iwan Gunawan dahulu
Tjioe Kok An selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dan Felicia
Juliati selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding, dalam amar
putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Iwan Gunawan dahulu
Tjioe Kok An tersebut.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 155 / Pdt.G/ 1999/
PN.Bdg, tanggal 25 Mei 1999 menyatakan sah secara hukum mengabulkan gugatan
Penggugat untuk sebagian, menyatakan menurut hukum bahwa Perkawinan
Penggugat Felicia Juliati dan Tergugat Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An, putus
karena perceraian dengan segala akibat hukumnya, menyatakan menurut hukum
19 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama , (Jakarta
bahwa sita jaminan/ sita persamaan atas harta bersama yang berada di Bandung
berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 241 / PDT.G / 2000 /
PN.BDG, tanggal 31 Oktober 2000 juncto Berita Acara Sita Marital Pengadilan
Negeri Bandung tertanggal 1 September 2000 Nomor 241 / PDT / G / 2000 / PN.Bdg
adalah sah dan berharga.
Dalam kasus gugatan perceraian perkara perdata putusan Nomor 155 / Pdt.G /
1999/ PN.Bdg yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 25
Mei 1999 telah mengabulkan permohonan sita maritalnya. Seperti diketahui bahwa
sita itu sendiri masing-masing mempunyai tujuan tertentu, khususnya dalam kasus
perkara perdata Nomor 155 / Pdt.G / 1999/ PN.Bdg yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap bertujuan untuk membekukan/menjamin agar barang yang disita berupa
harta bersama tidak dipindahkan/dijual.
Hal ini menimbulkan dilemma terhadap ketentuan mengenai pemisahan harta
perkawinan yang dibarengi dengan permintaan sita marital. Sebab menurut
Undang-Undang dan praktek pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan/pembagian harta
perkawinan baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap. Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan
mengajukan pemisahan harta perkawinan. Padahal dilihat dari segi kepentingan istri
suatu perkawinan yang masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri suka
menghamburkan harta kekayaan bersama.20
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka dilakukan penelitian
dengan judul :
“ Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam
Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut
Undang-Undang Perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri ?
2. Bagaimana penerapan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri ?
3. Apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat
dalam perkara perdata antara Felicia Juliati melawan Iwan Gunawan dahulu Tjioe
Kok An dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390 / K /
Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya ?
20 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,
C. Tujuan Penelitian
Dari permasalahan yang ada diatas, maka yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut
Undang-Undang Perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri.
2. Untuk menjelaskan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri.
3. Untuk menjelaskan dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku Penggugat
dalam perkara perdata antara Felicia Juliati melawan Iwan Gunawan dahulu Tjioe
Kok An dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390 / K /
Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta
pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.
Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan sita marital pada
khususnya, terutama tentang Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta
Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Aspek Hukum Sita
Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan“ belum ada yang membahasnya.
Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas masalah
harta bersama, seperti penelitian yang dilakukan oleh :
1. Fitria Agustina (017011021), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
dengan judul “ Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami (Studi di
Kecamatan Medan Maimun). Adapun permasalahan yang dibahas dalam
penelitian tersebut adalah :
a. Bagaimanakah pengaturan tentang harta bersama di dalam perkawinan
poligami?
c. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan
poligami di Kecamatan Medan Maimun?
2. Lusinda Maranatha Siahaan (027011037), Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul “ Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen di
Kota Medan). Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut
adalah :
a. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya perceraian pada masyarakat Batak
Toba Kristen di Kota Medan?
b. Bagaimana pengertian harta bersama dalam perkawinan pada masyarakat
Batak Toba Kristen di Kota Medan?
c. Bagaimana upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan pembagian
harta bersama dalam hal perkawinan putus karena perceraian pada masyarakat
Batak Toba Kristen di Kota Medan?
d. Bagaimana besarnya hak masing-masing suami istri atas harta bersama dalam
hal putusnya perkawinan karena perceraian pada masyarakat Batak Toba
Kristen di Kota Medan?
3. Ismy Syafriani Nasution (077011030), Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul “ Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta
Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian
a. Bagaimana akibat hukum penyelesain sengketa terhadap harta bersama
menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama
akibat hukum perceraian?
c. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan
pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya
perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan?
Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan
penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan,
pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan
masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.21
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan
21 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Penerbit Mandar Madju,1994),
menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori
merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.22
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada
teori kepastian hukum, khususnya kepastian hukum dalam sita marital dalam harta
bersama. Sita marital pada dasarnya adalah salah satu jenis dari sita jaminan, akan
tetapi jenis sita ini adalah bertujuan untuk membekukan harta bersama yang diperoleh
selama masa perkawinan melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga
selama proses perkara perceraian/pembagian harta bersama berlangsung. Dalam
konteks ini pembekuan harta bersama tersebut adalah harta bersama yang dikuasai
langsung baik oleh penggugat/pemohon atau tergugat/termohon. Sehingga tujuan dari
sita marital sendiri adalah untuk menjamin keutuhan, mengamankan serta memelihara
keutuhan seluruh harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab yang
diambil oleh tergugat/termohon sampai dengan putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap, baik yang berada di tangan penggugat/pemohon atau di tangan
tergugat/termohon.
Pengaturan sita marital sendiri dapat dilihat dalam Pasal 190 BW (Burgerlijk Wetboek), Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
22
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama23, Pasal 136 ayat (2) huruf b
Kompilasi Hukum Islam24, Pasal 823-830 RV. Suami maupun istri berdasarkan Pasal
24 PP Nomor 9 Tahun 1975 sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan sita
marital. Permohonan sita marital dapat dibenarkan jika ada alasan bahwa tindakan
suami/istri telah secara nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan
kerugian bagi tergugat/termohon dan jika tidak adanya ketertiban dalam mengelola
dan mengurus harta bersama yang dapat membahayakan keutuhan harta bersama.25
Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan
aturan-aturan yang bersifat umum. Betapapun setiap kepentingan yang ada di dalam
masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum
agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi, tidaklah mungkin aturan-aturan itu
dapat mengakomodir semua kepentingan tersebut. Pada masyarakat modern, aturan
yang bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu
adalah Undang-Undang.26
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
23 Pasal 78 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa “menentukan hal -hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”
24 Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “menentukan hal
-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”
25 Anggara, “Makalah Sita Marital”, 9 Juli 2008, diperoleh dari http://blogduniaanggara.com,
terakhir kali diakses pada tanggal 7 Desember 2011.
26 Peter Mahmud Marzuki, P engantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Penerbit Kencana,2008),
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.27
Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu.28
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut
pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat
suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
27 Ibid., hal. 158.
28 Utrecht, dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Penerbit
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.29
Bagi penganut aliran ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum
terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga
masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud.
Hukum identik dengan kepastian30. Salah satu penganut aliran positivisme yang
terpenting adalah John Austin, yang inti ajarannya, hukum adalah perintah pihak yang
berdaulat. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian yaitu yang diterima tanpa
memperhatikan kebaikan dan keburukannya.31
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung tiga nilai identitas,
yakni32 :
a. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis. b. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis.
c. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility). Asas ini meninjau dari sudut sosiologis.
Keadilan atau kepastian yang lahir dari hakim adalah keadilan atau kepastian
yang dibangun atas dasar dan menurut hukum. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim
29 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta :
Penerbit Toko Gunung Agung,2002), hal. 82-83.
30
Ibid., hal. 83.
31 Ibid., hal. 266-267.
32 Dwika, “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”, 02 April 2011, diperoleh dari
dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Suatu
perbuatan disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan yang dibuat
oleh Negara. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma
adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Saat terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,
yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemafaatan
dan terakhir kepastian. Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip
harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada
keadilan dan kemanfaatan.33
Menurut pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, kepastian hukum
atau keadilan prosedural harus selalu bersamaan dan menjadi penyeimbang dari
keadilan hukum atau keadilan substansi. Suatu norma hukum kadang-kadang
seolah-olah terpaksa harus mengorbankan keadilan hukum atau keadilan substansi demi
kepastian hukum atau keadilan prosedural. Walaupun melanggar rasa keadilan, tetapi
kepastian ini diperlukan karena dalam jangka panjang kepastian hukum justru sangat
diperlukan untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya. Tetapi pembedaan ini
justru diperlukan agar terdapat kepastian bagi para penegak hukum dan masyarakat
dalam upaya memantapkan penegakan hukum (law enforcement). Dan terhadap pengingkaran kepastian hukum justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
33
Kepastian hukum atau keadilan prosedural yang dimaksudkan, maka
kepastian hukum atau keadilan prosedural dibutuhkan kepada para pihak pencari
keadilan. Kepastian hukum atau keadilan prosedural menurut William Friedman,
seorang sosiolog hukum, mengatakan bahwa kepastian hukum itu tergantung kepada
antara lain substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan serta legal culture masyarakat.
Bahwa kepastian hukum atau keadilan prosedural tidak otomatis atau tidak
dengan sendirinya menjamin suatu keadilan hukum. Keadilan adalah sesuatu yang
multitafsir dan bersifat subjektif dalam pemahaman dan penerapannya. Subjektivitas
itu pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan pandangan ontologis tentang apa dan
siapa manusia itu, dan pada gilirannya menimbulkan perbedaan aksiologis tentang
nilai imperatif yang harus diterapkan kepada seseorang baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga masyarakat. Atau dengan kata lain justru menimbulkan ketidakadilan.
Menurut Aristoteles, berdasarkan kepada Teori Keadilan mengemukakan
bahwa terdapat lima jenis perbuatan yang dapat digolongkan adil, yaitu34 :
a. Keadilan komulatif adalah perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat
jasa-jasa yang dilakukannya.
b. Keadilan distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa
yang telah dilakukannya.
34Oxlay, “Makna Keadilan”, diperoleh dari
c. Keadilan kodrat alam adalah memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan
orang lain kepada kita.
d. Keadilan konvensional adalah keadilan apabila seorang warga negara telah
menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah diwajibkan.
e. Keadilan menurut teori perbaikan. Perbuatan adil menurut teori perbaikan apabila
seseorang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.
Selain teori tersebut, dalam penelitian ini digunakan teori penemuan hukum
(rechtsvinding) yang merupakan salah satu substansi tugas hakim yang essensial dalam menyelesaikan suatu perkara.35
Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan terdapat beberapa
aliran, yaitu :
a. Aliran Legis (pandangan Legalisme), menyatakan bahwa hakim tidak boleh
berbuat selain daripada menerapkan Undang-Undang secara tegas. Hakim hanya
sekedar terompet Undang-Undang (bouche de la loi). Menurut ajaran ini, Undang-Undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan
Allah sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara,
karena sifatnya rasional. Tokoh-tokohnya antara lain John Austin, Hans Kelsen.
b. Aliran Penemuan Hukum oleh hakim
1). Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar Undang-Undang itu tidak lengkap, namun Undang-Undang-Undang-Undang masih dapat menutupi
35 Dansur, “Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum”, 1 November 2006, diperoleh dari
kekurangan-kekurangannya sendiri, karena Undang-Undang memiliki daya
meluas dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan Undang-Undang
menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan
hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas
Undang-Undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa
sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan
bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat menwujudkan kepastian hukum.
2). Aliran Interessenjurisprudenz (freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan
penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan Undang-Undang tetapi juga
mencakupi, memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam
putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar
tercapai keadilan yang setinggi-tingginya dan dalam keadaan tertentu hakim
bahkan boleh menyimpang dari Undang-Undang, demi kemanfaatan
masyarakat. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O.Bulow, E.Stampe dan
E.Fughs.
3). Aliran Soziologische Rechtsshule mengajarkan bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum
dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat yang sedang
hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran
c. Ajaran Paul Scholten, sistem hukum itu tidak statis, melainkan sistem terbuka
karena sistem hukum itu, membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan)
dari hakim atas dasar penilaian dan hasil dari penilain itu menciptakan sesuatu
yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.
Dengan demikian, hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum
tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu
perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas atau
sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in concreto.
Dalam penegakan hukum, hakim senantiasa dalam putusannya
memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan
(gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition. Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam
dasar atau istilah, agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :
a. Sita adalah penyitaan atas harta kekayaan milik seseorang, baik barang bergerak
atau barang tak bergerak untuk menjamin hak-hak si penggugat dalam perkara
perdata, atau atas barang-barang untuk mendapatkan bukti dalam perkara pidana;
Jaminan barang dibawah kuasa Pengadilan sampai proses perkara selesai.36
b. Sita Marital adalah penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang
disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa
perceraian di Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan
menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai
jatuh ditangan pihak ketiga.37
c. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) adalah sita yang diletakkan baik terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang
bergerak maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang piutang, yang
bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat, terhadap harta yang
disengketakan atau harta milik Tergugat akibat ganti rugi atau hutang piutang,
agar tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada penggugat
36 M.Marwan dan Jimmy.P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan
Pertama, (Surabaya : Penerbit Reality Publisher, 2009), hal. 574.
37
bahwa kelak gugatannya “tidak illusoir” atau “tidak hampa” pada saat putusan
dieksekusi (dilaksanakan).38
d. Sita Hak Milik (Revindicatoir Beslag) adalah sita yang diajukan Penggugat terhadap Tergugat mengenai suatu barang bergerak berdasar alasan hak milik
Penggugat yang sedang berada di tangan Tergugat. Benda tersebut dikuasai secara
tidak sah atau dengan cara melawan hukum atau Tergugat tidak berhak atasnya.39
e. Sita Eksekusi (Executoir Beslag) adalah sita yang diletakkan atau barang-barang yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Dimana barang-barang tersebut tidak dapat dieksekusi secara langsung,
tetapi harus melalui pelelangan.40
f. Harta Bersama adalah hak milik bersama yang terikat yang terjadi karena
perjanjian perkawinan antara suami dan istri berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan terjadi sejak atau sesudah
dilangsungkan perkawinan.41
g. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang
Maha Esa.42
38 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag,
Op.Cit, hal. 3.
39 Ibid, hal. 11. 40 Ibid, hal. 15.
41 M.Marwan dan Jimmy.P, Op.Cit, hal. 249-250. 42
G. Metode Penelitian
Pada penelitian hukum ini menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan
ilmu pengetahuan induknya. Menurut Soejono Soekanto43, yang dimaksud dengan
penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum
tertentu dengan jalan menganalisanya.
Sebelum menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penelitian,
maka dalam penulisan ini akan terlebih dahulu memberikan arti tentang metodologi
penelitian. Metodologi penelitian merupakan penelitian yang menyajikan bagaimana
cara atau prosedur, maupun langkah-langkah yang harus diambil dalam suatu
penelitian secara sistematis dan logis sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.44
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis45. Deskriptif maksudnya untuk mengetahui dan memperoleh
gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang peraturan yang dipergunakan
berkaitan dengan sita jaminan. Sebagai pembanding, ada pendapat yang menyatakan
bahwa sifat norma itu adalah preskriptif dan terapan. Sifat preskriptif bermakna yaitu
apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang senyatanya dilakukan. Sifat terapan
43
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia,1986), hal. 43.
44 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset Nasional, (Magelang : Penerbit Akmil,1987), hal. 8. 45 Ronny Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Penerbit