• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian

2. Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

UU Perkawinan, merupakan unifikasi hukum dalam bidang perkawinan bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Sebagaimana diketahui sebelumnya di Indonesia

75 Ibid.

76

terdapat pluralisme hukum perkawinan. Dalam Pasal 67 UU Perkawinan disebutkan bahwa:

Ayat (1) : Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah; Ayat (2) : Hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

Dalam Pasal 67 ayat (1) UU Perkawinan digunakan istilah “berlaku secara efektif” dalam UU Perkawinan mengandung makna ketentuan-ketentuan UU Perkawinan yang memerlukan peraturan pelaksanaan dan sudah ada peraturan pelaksanaanya, maka ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dalam keadaan mulai berlaku (dalam arti mulai dijalankan) dan menimbulkan akibat (hukum).77

Ketentuan UU Perkawinan yang menyangkut Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, termasuk dalam ketentuan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan. Oleh karena sampai saat sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan UU Perkawinan tentang harta kekayaan perkawinan belum berlaku secara efektif.78

Namun demikian beberapa sarjana hukum memberikan pandangan yang berbeda. Pendapat Mahadi yang menyatakan bahwa, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap untuk dipakai.79 Masih berkaitan

77 Mochammad Djai’is, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, (Semarang : Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,2006), hal. 33.

78 Ibid. 79

dengan hal di atas, Retno Wulan Sutantio mengatakan bahwa, hukum yang mengatur harta benda dalam perkawinan, tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi.80

Mengenai pembagian harta bersama pasca perceraian, UU Perkawinan tidak mengatur secara tegas merumuskan hukum yang berlaku dalam pembagiannya karena diserahkan pembagian tersebut kepada hukum masing-masing. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud hukum masing-masing ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law

karena pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian harta bersama pasca perceraian menurut hukum agama dan hukum adat berbeda yang memiliki aturan masing-masing.81

Mengenai hal ini M.Yahya Harahap82 berkomentar, Barang kali sekurang- kurangnya pembuat Undang-Undang masih ragu-ragu tentang apa yang benar-benar hidup dalam soal perceraian dan pembagian harta kekayaan. Sebenarnya kalau terjadi keraguan dalam soal ini dirasa keraguan itu kurang tegas sebab kalau terdapat

80 Retno Wulan Sutantio, Masalah-Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, makalah

diajukan pada Simposium Hukum Waris Tentang Perkembangan Hukum Waris Dalam Era Pembangunan, BPHN, Jakarta, Tanggal 1-2 Nopember 1989, hal. 6.

81 Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, (Jakarta : Badan Penerbit Hukum Universitas Indonesia,2004), hal. 123.

82 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-

keraguan dalam cara pemecahannya tentu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meletakkan lembaga harta bersama itupun pembuat Undang-Undang kalau begitu masih ragu-ragu.

Keraguan dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku dalam bidang harta bersama ini tentu akan menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, apabila perkawinan itu putus baik karena perceraian maupun karena kematian.

Untuk mengatasi kesulitan itu, Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1975, mengeluarkan Surat Nomor M.A/Pemb/0807/1975 tentang Petunjuk-Petunjuk M.A. mengenai Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, di mana pada sub 4 dikatakan bahwa tentang harta benda dalam perkawinan ternyata tidak diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan- ketentuan hukum dan perundang-undangan lama.83

Sekalipun Surat Mahkamah Agung bukan merupakan ketentuan umum, paling tidak bukan dimaksudkan untuk mengikat umum, tetapi mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan Tinggi, yang tidak lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan secara damai antara para pihak, dengan demikian secara tidak langsung Surat Mahkamah Agung

83 Runtung, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia (Toward a Legal

tersebut mempunyai daya mengikat umum dan karenanya patut untuk kita perhatikan.84

Pada masyarakat yang tunduk kepada hukum adat, kedudukan harta bersama pada masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental, pengaturannya masing-masing berbeda.

Pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan parental pandangan mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama dari suami istri sudah dianut sejak lama. Harta gono gini dalam perkawinan cukup dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dari hasil pencaharian suami dan/atau istri selama perkawinan, walaupun harta pencaharian itu hasil kegiatan suami saja atau istri saja. 85 Hal yang sama juga dinyatakan dalam kasus Suwarni binti Parto melawan Saikun bin Wongso, di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 120 K/Sip/1960 tanggal 9 April 1960, bahwa sudah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI bahwa harta pencaharian harus dibagi sama rata antara suami istri jika terjadi perceraian.86

Kemajuan yang telah terjadi dalam masyarakat sebagai dampak positif dari proses pembangunan berkelanjutan, terutama di bidang pendidikan, teknologi transportasi dan komunikasi, ternyata juga mempengaruhi cara berpikir dan kesadaran hukum masyarakat. Termasuk kesadaran hukum tentang pengertian dan

84 J.Satrio, Op. Cit, hal. 10. 85 Runtung, Op.Cit, hal. 70-81.

86 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , (Bandung : Penerbit CV.

kedudukan harta kekayaan keluarga yang diperoleh selama perkawinan kearah pengakuan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri, seperti terjadi pada masyarakat Batak (patrilineal) di Sumatera Utara, perjuangan istri kearah pengakuan adanya harta bersama dalam keluarga sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan berhasil.87 Keberhasilan perjuangan istri mendapatkan statusnya sebagai pemilik bersama atas semua harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan ditandai dengan keluarnya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 100 K/Sip/1967, tanggal 4 Januari 1968 jo putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 83/1965 tanggal 2 Nopember 1966 dalam kasus Tangsi Bukit lawan Pengidahen boru Meliala dan Mull boru Bukit.88 Dalam kasus ini MARI menentukan dalam hal suaminya meninggal dunia, janda berhak mendapatkan separuh dari harta bersama, dan sisanya diwariskan kepada janda dan anak-anak pewaris dengan bagian yang sama besarnya.

Pada masyarakat Minangkabau perkembangan ke arah pengakuan adanya harta bersama dalam perkawinan terjadi sejak tahun 1934, melalui putusan Raad van Justitie Padang tanggal 20 September 1934 (T.142-205) yang menyatakan sebagai harta bersama suami istri, hanya dianggap sebagai harta yang diperoleh dengan usaha bersama yang nyata dari suami istri. Putusan ini menolak sesuatu yang khayal (fictie)

yang menyatakan mengurus rumah tangga sebagaimana dilakukan istri dapat

87 Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Hukum Kekeluargaan,

Perkawinan, Pewarisan, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,1993), hal. 151-153.

88

dianggap sebagai kerja sama dengan suami.89 Putusan ini menggambarkan bahwa untuk adanya suatu harta bersama dalam suatu perkawinan itu harus ada usaha bersama yang nyata antara suami dan istri dalam memperoleh harta tersebut. Jika tidak ada kerjasama yang nyata, maka harta pencaharian masing-masing suami dan istri selama ikatan perkawinan merupakan milik masing-masing yang memperolehnya.

Pada periode berikutnya melalui putusan Raad van Justitie tanggal 23 Desember 1937 (T.149-302) dinyatakan bahwa syarat adanya kerja sama suami dan istri itu adalah mutlak untuk daerah di luar kota besar dan dilingkungan para petani. Tetapi bagi mereka yang ambil bagian dalam perdagangan umum, seperti di kota-kota besar, di daerah pesisir dan para saudagar, maka adat yang berlaku ialah terhadap harta yang diperoleh semasa perkawinan, ketika perkawinan itu berakhir dibagi diantara suami dan istri dalam bagian yang sama, yang dikatakan harta pasuarangan itu tidak disyaratkan diperolehnya atas usaha bersama suami istri.90

Seminar Hukum Adat Minangkabau di Padang dari tanggal 21 sampai dengan 25 Juni 1968 yang dihadiri oleh cendikiawan yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Minangkabau pada bagian F.II dari keputusannya, antara lain menetapkan:

1. Harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris menurut hukum Faraid;

89 Ibid, hal. 161.

90

2. Yang dimaksud dengan harta pencaharian ialah seperdua dari harta yang didapat oleh seseorang selama perkawinannya ditambah dengan harta bawaannya sendiri; 3. Seseorang dibenarkan berwasiat, baik kepada kemanakan maupun kepada yang

lainnya, hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencahariannya. Yang selanjutnya pada keputusan C.II.e.2 ditetapkan “Berhubung I.K.A.H.I Sumatera Barat ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, maka seminar menyerukan kepada seluruh Hakim-hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan ketetapan seminar ini.91

Keputusan Seminar Hukum Adat Minangkabau ini telah memperjelas lagi bagaimana pergeseran kesadaran hukum, masyarakat Minangkabau kearah pengakuan bahwa harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama. Hak masing-masing suami istri atas harta bersama itu masing-masing setengah bagian.

Hukum Islam tidak mengenal adanya harta bersama, dalam perkawinan sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surat al Nisa 4: 32 yang artinya “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan …”.92

Terkecuali ada kerjasama yang nyata, antara suami dan

91 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , Op.Cit, hal. 289-290. 92 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,

istri dalam memperoleh harta tersebut, yang dalam istilah muamalat dapat dikatagorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan istri.93

Ahmad Rofiq membagi syirkah ini dalam dua macam, yaitu syirkah al-abdan

dan syirkah inan. Dalam syirkah al-abdan adanya kerjasama antara suami dan istri itu dilihat pada pembagian tugas antara keduanya dalam mengatur manajemen rumah tangga, di mana suami bertindak mencari nafkah untuk modal mengelola rumah tangga dan istri andil jasa dan tenaganya untuk mengatur manajemen ekonomi rumah tangga. Sedangkan pada syirkah inan, masing-masing suami dan istri mendatangkan modal dan di kelola bersama.94 Dengan demikian untuk adanya harta bersama harus ada kerjasama yang nyata antara suami dan istri dalam memperoleh harta tersebut. Namun keadaan ini telah mengalami pergeseran, seiring dengan terjadinya perkembangan kesadaran hukum dalam masyarakat itu sendiri. Yakni salah satu pasal dalam Pasal 85 KHI yang mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan menyatakan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat penggabungan hak milik menjadi harta bersama didalam perkawinan. Dan prinsip cara pembagian harta bersama diatur dalam Pasal 97 KHI yang berbunyi janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

93 Ibid, hal. 200-201. 94

Pembagian harta bersama menurut KUHPerdata, apabila perkawinannya dengan persatuan harta benda, maka menurut Pasal 232 pembagiannya harus dilakukan menurut cara-cara seperti tersebut dalam Bab Keenam. Pasal 128 KUHPerdata menentukan, bahwa harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, dengan tidak memperdulikan dari pihak mana asalnya barang-barang tersebut. Keadaan ini akan memungkinkan orang yang tadinya miskin, mungkin akan mendadak jadi kaya raya setelah ia menikah dengan orang yang hartawan dan kemudian cerai dengannya.

Akan tetapi Pasal 232 ayat (1) KUHPerdata menentukan, bahwa apabila kemudian terjadi kawin ulang antara keduanya, maka segala perhubungan antara mereka dikembalikan kepada keadaan sebelum ada perceraian perkawinan, dan dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka. Karena itu harta kekayaan yang diperoleh oleh pihak yang mendadak kaya karena perceraian tadi, tidak boleh diselewengkan dan harus dikembalikan pada harta perkawinan mereka kembali.95

C. Kedudukan Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri