• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSEKUSI SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA DALAM PUTUSAN NOMOR: 0444/PDT.G/2012/PA.TNK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EKSEKUSI SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA DALAM PUTUSAN NOMOR: 0444/PDT.G/2012/PA.TNK"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

Ramita Rizka Aldina

ABSTRAK

EKSEKUSI SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA DALAM PUTUSAN NOMOR: 0444/PDT.G/2012/PA.TNK

Oleh

RAMITA RIZKA ALDINA

Berdasarkan data dari Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang bahwa kasus perceraian di Kota Bandar Lampung terus meningkat, tergambar pada data kasus perceraian pada tahun 2012 sebanyak 1.102 kasus dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.399 kasus atau meningkat sebesar 35 persen. Tingginya kasus perceraian yang terjadi, maka dapat saja mengakibatkan perselisihan mengenai harta bersama yaitu harta benda bergerak dan tidak bergerak yang diperoleh selama perkawinan. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri tentang pembagian harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami istri yang disebut dengan sita marital.

Sita marital merupakan bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama antara suami istri apabila terjadi sengketa perceraian ataupun pembagian harta bersama, yang bertujuan untuk menyimpan atau membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan agar tidak berpindah tangan, selama dalam proses perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimanakah proses sita marital terhadap harta bersama dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk. Adapun yang menjadi pokok bahasan adalah mengenai proses eksekusi sita marital serta akibat hukum dari adanya sita marital tersebut.

(2)

Ramita Rizka Aldina

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk bahwa dalam prakteknya proses eksekusi sita marital telah melalui tahap-tahap sebagaimana yang telah ditetapkan Pengadilan Agama Tanjung Karang yaitu melalui tahapan pengajuan permohonan sita marital yang disertai dengan alasan-alasan yang prinsipil serta tahap penetapan dimana pada perkara ini eksekusi sita marital tidak dilaksanakan dikarenakan gugatan tersebut ditolak oleh pengadilan. Selanjutnya, Akibat hukum sita marital dalam Perkara Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk adalah harta bersama yaitu satu bidang tanah Hak Milik No. 613/Ph atas nama PM, luas 363 M2 (tiga ratus enam puluh tiga meter persegi) berikut bangunan rumah diatasnya terletak di Jl. Way Sekampung No. 68 Pahoman Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung berikut angsuran kredit yang belum dibayar pada Bank BCA menjadi milik Tergugat sepenuhnya melalui surat pernyataan yang disetujui kedua belah pihak dihadapan Majelis Hakim.

(3)
(4)

EKSEKUSI SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA DALAM PUTUSAN NOMOR: 0444/PDT.G/2012/PA.TNK

(Skripsi)

Oleh

RAMITA RIZKA ALDINA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ...v

RIWAYAT HIDUP ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

MOTO ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xii

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ...1

B.Permasalahan dan Pokok Bahasan...5

C.Ruang Lingkup Penelitian...6

D.Tujuan Penelitian ...6

E. Kegunaan Penelitian ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum Perkawinan ...8

1. Pengertian Perkawinan ...8

2. Asas-Asas Perkawinan ...9

3. Syarat-Syarat Perkawinan ...12

B.Tinjauan Umum Perceraian ...15

1. Pengertian Perceraian ...15

2. Alasan-Alasan Perceraian ...16

(6)

C.Tinjauan Umum Sita ...19

1. Pengertian Sita ...19

2. Jenis-Jenis Sita ...20

D.Tinjauan Umum Sita Marital ...22

1. Pengertian dan Tujuan Sita Marital ...22

2. Lingkup Penerapan Sita Marital ...23

E. Tinjauan Umum Eksekusi ...26

1. Pengertian Eksekusi ...26

2. Sumber Hukum Eksekusi ...28

F. Kerangka Pikir ...30

III. METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian...31

B.Tipe Penelitian ...31

C.Pendekatan Masalah...32

D.Data dan Sumber Data ...32

E. Metode Pengumpulan Data ...33

F. Metode Pengolahan Data...34

G.Analisis Data ...34

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Eksekusi Sita Marital di Pengadilan Agama Tanjung Karang dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk 35

1. Proses Eksekusi Sita Marital 35

2. Pertimbangan Hakim 43

B.Akibat HukumSita Marital dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/ 2012/ PA.Tnk 51

V. KESIMPULAN Kesimpulan... ... 54

(7)
(8)

MOTO

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta, namun kekayaan (yang

hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari-Muslim)

“Sebaik-baiknya harta yang baik adalah yang dimiliki orang yang shalih.”

(9)
(10)

PERSEMBAHAN

Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Kedua orangtuaku tercinta Munir Sahri S.E.,M.M dan Aprina S.E. Adikku Bella Viranda dan Laudya Fadira. Terimakasih untuk semua canda, doa

dan semangatnya.

Almamater tercinta Universitas Lampung.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Ramita Rizka Aldina.

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 12

Juli 1992. Penulis merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara pasangan Bapak Munir Sahri, S.E. M.M.,

dan Ibu Aprina, S.E.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah pada tahun

1997, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) di SDN 1 Penegahan pada

tahun 1998 hingga tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 22

Bandar Lampung pada tahun 2004 hingga tahun 2007, dan Sekolah Menengah

Atas (SMA) di SMAN 1 Bandar Lampung pada tahun 2007 hingga tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung

melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB) pada tahun

(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Eksekusi Sita Marital Terhadap Harta Bersama Dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(13)

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Ibu Rosida, S.H., Pembimbing II yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Ibu Nilla Nargis, S.H., M.Hum., Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;

6. Ibu Diane Eka Rusmawati, S.H., M.Hum., Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini; 7. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., Pembimbing Akademik, yang telah

membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi; 9. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Papah yang

(14)

membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan;

10.Adikku Bella Viranda dan Laudya Fadira, atas semua dukungan moril, motivasi, kegembiraan, dan semangatnya. Semoga dapat mengikuti kesuksesan acik menjadi sarjana serta membanggakan papah dan mamah. 11.Siti tercinta Hj. Masnona, atas semua doa dan dukungannya selama ini.

Semoga selalu dapat menjadi cucu yang dibanggakan.

12.Seluruh keluarga besar Hi. M. Asri dan keluarga besar Mayor Purn. Abdulbar, terima kasih untuk dukungannya selama ini.

13.Ichsan Jaya Kelana, S.H., yang senantiasa memberikan semangat, bantuan, dan dukungannya agar tidak malas dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas waktu dan kerjasamanya. Semoga apa yang telah kita lakukan menghasilkan sebuah kesuksesan;

14.Teman, sahabat dan juga keluarga Muthia Firda Sari, Eka Chandre Pratiwi, Zakia Tiara Faragista, Sekar Pramudhita, Venti Azharia, Nur’aini, dan seluruh teman-teman Hukum Keperdataan ’10 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan kerjasamanya. Semoga kita semua dapat meraih kesuksesan;

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

(15)

tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Agustus 2014 Penulis,

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan.

Salah satu prinsip dalam perkawinan yang seirama dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia, lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia.

(17)

2

Seorang pria dan seorang wanita yang mengikat lahir dan batinnya dalam suatu perkawinan sebagai suami dan istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan tersebut dengan cara perceraian berdasarkan hukum perceraian yang berlaku. Suami dan istri yang akan melakukan perceraian harus mempunyai alasan-alasan hukum tertentu dan perceraian itu harus di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan.

Berdasarkan data dari Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang bahwa kasus perceraian di Kota Bandar Lampung terus meningkat, tergambar pada data kasus perceraian pada tahun 2012 sebanyak 1.102 kasus dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 1.399 kasus atau meningkat sebesar 35 persen. Panitera muda hukum Pengadilan Agama Tanjung Karang, Redoyati, S.H., M.H. mengatakan berdasarkan catatan petugasnya kasus perceraian disebabkan beberapa faktor. Secara umum ada tiga faktor yaitu faktor ekonomi, tidak bertanggung jawab, dan kecemburuan.

(18)

3

dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita terhadap harta perkawinan ini diatur dalam Pasal 24 Ayat 2 huruf c yang menyatakan bahwa: “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau

tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak istri", walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan.

Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan, akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat “menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”,

pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita marital, dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 Ayat 2 huruf c adalah :

a. Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan sita marital atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung, dan

(19)

4

Di Indonesia kini memperlihatkan kesetaraan antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, bahkan kini tak jarang seorang istri yang berkedudukan sebagai pencari nafkah keluarga melebihi suami. Kesetaraan itu dirumuskan dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, bahwa hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada Pasal 31 Ayat 2 ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, dengan diberikannya hak yang sama kepada suami dan istri untuk meminta sita marital terhadap harta bersama, maka permintaan sita tidak hanya diberikan kepada penggugat, tetapi juga kepada tergugat. Dengan demikian, dasar permintaan sita bukan berdasarkan faktor kedudukan sebagai penggugat, tetapi pada faktor siapa yang menguasai harta bersama.

(20)

5

Sita marital mempunyai tujuan tertentu, khususnya dalam kasus perkara perdata Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk yang bertujuan untuk membekukan atau menjamin agar barang yang disita berupa harta bersama tidak dipindahkan atau dijual oleh istri sebagai pihak Tergugat. Menurut Undang-Undang Perkawinan, pengajuan gugatan pemisahan/pembagian harta perkawinan baru dapat diajukan

setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dari itu perlu

diketahui lebih lanjut bagaimana proses eksekusi sita marital terhadap harta bersama,

untuk itu penulis tertarik untuk meneliti terhadap permasalahan tentang eksekusi tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul : “Eksekusi Sita Marital Terhadap Harta Bersama Dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk”

B. Permasalahan dan Pokok Bahasan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses sita marital terhadap harta bersama dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk, dengan pokok bahasan:

1. Proses eksekusi sita marital di Pengadilan Agama Tanjung Karang dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk;

(21)

6

C. Ruang Lingkup

Adapun lingkup permasalahannya adalah: a. Ruang lingkup keilmuan

Ruang lingkup kajian materi penelitian ini adalah mengenai sita marital terhadap harta bersama dalam proses perceraian. Bidang ilmu ini adalah hukum keperdataan, khususnya hukum keluarga.

b. Ruang lingkup objek kajian

Ruang lingkup objek kajian adalah mengkaji tentang proses eksekusi sita marital serta akibat hukum dari proses eksekusi sita marital terhadap harta bersama dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan mengenai proses eksekusi sita marital terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Tanjung Karang;

(22)

7

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum keperdataan dalam lebih khususnya dalam lingkup hukum perkawinan. Serta memberi gambaran bagaimana eksekusi sita marital terhadap harta bersama dalam proses perceraian.

2. Kegunaan Praktis

a. Upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi peneliti dalam lingkup hukum keluarga khususnya mengenai proses eksekusi sita marital terhadap harta bersama;

b. Sumbangan pemikiran, bahan bacaan, dan sumber informasi serta bahan kajian bagi yang memerlukan;

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Arti dari sebuah perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Perkawinan yang memenuhi syarat-syarat perkawinan dinyatakan sebagai perkawinan yang sah. Akibat perkawinan yang sah, maka akan menimbulkan hubungan hukum terhadap harta benda perkawinan. Yang merupakan salah satu modal untuk mencapai tujuan perkawinan antara suami istri dalam membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

1

(24)

9

2. Asas-Asas Perkawinan

Beberapa asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan antara lain:2 1. Perkawinan Monogami

Perkawinan itu hanya dibolehkan antara seorang pria dan seorang wanita. Bahwa dalam waktu yang sama seorang suami dilarang menikah lagi dengan wanita lain.

2. Kebebasan Kehendak

Perkawinan harus berdasarkan persetujuan bebas antara seorang pria dan seorang wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Persetujuan bebas artinya suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak lain.

3. Pengakuan Kelamin Secara Kodrati

Kelamin pria dan wanita adalah kodrat yang diciptakan oleh Tuhan, bukan bentukan manusia.

4. Tujuan Perkawinan

Setiap perkawinan harus mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

5. Perkawinan Kekal

Sekali kawin dilakukan, berlangsunglah seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal jangka waktu. Perkawinan yang sementara bertentangan dengan asas ini. Jika dilakukan maka perkawinan itu batal.

2

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

(25)

10

6. Perkawinan Menurut Hukum Agama

Perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh pihak yang akan melakukan perkawinan. Keduanya menganut agama yang sama, jika keduanya berlainan agama maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.

7. Perkawinan Terdaftar

Setiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama sah menurut hukum positif, apabila didaftarkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Perkawinan yang tidak terdaftar tidak akan diakui sah menurut Undang-Undang Perkawinan ini.

8. Kedudukan Suami-Istri Seimbang

Suami-Istri mempunyai kedudukan seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

9. Poligami sebagai Pengecualian

Dalam keadaan tertentu monogami boleh disimpangi oleh mereka yang diperkenankan ajaran agamanya, dengan alasan dan syarat-syarat yang sangat berat.

10. Batas Minimal Usia Kawin

(26)

11

11. Membentuk Keluarga Sejahtera

Asas ini ada hubungan dengan tujuan perkawinan yaitu keluarga bahagia dan sejahtera. Bahagia artinya ada kerukunan, sejahtera artinya cukup sandang, pangan, perumahan yang layak diantara jumlah anggota keluarga yang relatif kecil.

12. Larangan dan Pembatalan Perkawinan

Perkawinan dilarang dalam hubungan dan keadaan tertentu menurut agama dan hukum positif. Apabila perkawinan dilangsungkan padahal ada larangan, atau tidak dipenuhi syarat-syarat, maka perkawinan itu batal.

13. Tanggung Jawab Perkawinan dan Perceraian

Akibat perkawinan suami istri dibebani dengan tanggung jawab, demikian juga apabila terjadi perceraian keduanya menanggung segala akibat perceraian. Tanggung jawab ini meliputi tanggung jawab terhadap anak dan terhadap harta kekayaan.

14. Kebebasan Mengadakan Janji Perkawinan

Sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, kedua pihak boleh mengadakan janji perkawinan, yang tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan agama dan kesusilaan.

15. Pembedaan Anak Sah dan Tidak Sah

Pembedaan ini perlu untuk mengurangi kemungkinan terjadi kelahiran sebelum perkawinan dilangsungkan, dan mengenai hak mewaris.

16. Perkawinan Campuran

(27)

12

17. Perceraian Dipersulit

Asas ini berhubungan dengan tujuan perkawinan kekal dan kebebasan kehendak. Asas ini menuntut kesadaran pihak-pihak untuk berpikir dan bertindak secara matang sebelum melakukan perkawinan. Sekali perkawinan dilakukan maka sulit dilakukan perceraian.

18. Hubungan dengan Pengadilan

Setiap perbuatan hukum tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan, pelaksanaan perceraian, serta akibat hukumnya selalu dimintakan campur tangan hakim (Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang bukan beragama Islam). Perbuatan hukum itu misalnya mengenai izin kawin, pelaksanaan talak, perselisihan mengenai harta perkawinan, tentang perwalian, tentang status anak.

3. Syarat-Syarat Perkawinan

Syarat perkawinan merupakan segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan Peraturan Undang-Undang sebelum perkawinan dilangsungkan, agar perkawinan dapat dilangsungkan maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:3

1. Persetujuan kedua calon mempelai

Menurut ketentuan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. Artinya kedua calon mempelai mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak lain.

3

(28)

13

2. Pria sudah berumur 19 tahun, dan wanita 16 tahun

Menurut ketentuan Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan.

3. Izin orangtua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun

Menurut ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.

4. Tidak masih terikat dalam satu perkawinan

Menurut ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat melakukan perkawinan lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 Ayat 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan tentang poligami.

5. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/istri yang sama, yang hendak dikawini

(29)

14

6. Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu

Menurut ketentuan Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

7. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan 10 hari sebelum dilangsungkan perkawinan

Setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan memberitahukan kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan

Menurut ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan dapat dilakukan oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari seorang calon mempelai, dan pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan).

9. Tidak ada larangan perkawinan

Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah, yaitu antara anak dengan bapak/ibu;

(30)

15

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan; e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

istri,dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk melangsungkan perkawinan.

B. Tinjauan Umum Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan dapat putus karena :

1. Kematian

Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri. 2. Perceraian

Putusnya perkawinan karena perceraian, ada dua macam perceraian yaitu perceraian dengan talak dan perceraian dengan gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, sedangkan bagi perceraian dengan gugatan biasa disebut cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan bukan agama Islam.4

4

(31)

16

3. Putusan Pengadilan

Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, bahwa :

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Pengertian perceraian dapat disimpulkan bahwa putusnya perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim, yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.

2. Alasan-Alasan Perceraian

Alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan perceraian dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, sebagai berikut :5

a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan.;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

5

Lili Rasjidi, 1983, Alasan Perceraian Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

(32)

17

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga.

3. Akibat Perceraian

Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap :6

1. Anak, istri, dan suami

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan ialah :

a. Bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

6

(33)

18

2. Harta benda perkawinan

Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37.

Pasal 35 Ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Ayat (2) : Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 Ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak;

Ayat (2) : Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37 menyatakan bahwa, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, adapun yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut Hukum Agama, Hukum Adat dan hukum-hukum lainnya.

(34)

19

Harta benda dalam perkawinan terdiri atas tiga macam, yaitu:7

1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan;

2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan;

3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau waris.

Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai akibat perceraian terhadap harta bersama khususnya tentang eksekusi sita marital.

C. Tinjauan Umum Sita

1. Pengertian Sita

Sita (beslag) adalah suatu tindakan hukum Pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan Penggugat untuk diawasi atau diambil untuk menjamin agar tuntutan Penggugat/Kewenangan Penggugat tidak menjadi hampa, dalam pengertian lain dijelaskan bahwa sita adalah mengambil atau menahan barang-barang (harta kekayaan dari kekuasaan orang lain) dilakukan berdasarkan atas penetapan dan perintah Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis.

Tujuan sita itu pada dasarnya untuk menjamin suatu hak atas barang agar tidak dialihkan, dihilangkan atau dirusak, sehingga merugikan pihak pemohon sita dengan demikian gugatannya tidak hampa (illusoir) apabila hanya menang dalam

7

(35)

20

perkara tersebut. Sita adalah salah satu upaya untuk menjamin suatu hak dalam proses berperkara di pengadilan.

2. Jenis-Jenis Sita

a. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)

Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) adalah sita yang diletakkan baik terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang bergerak maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang piutang, yang bertujuan untuk memberi jaminan, kepada Penggugat, terhadap harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat akibat ganti rugi atau hutang piutang, agar tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada penggugat bahwa kelak gugatannya tidak hampa (illusoir) pada saat putusan dieksekusi (dilaksanakan).

b. Sita Hak Milik (Rivindicatoir Beslag)

Sita Hak Milik (Rivindicatoir Beslag) adalah sita yang diajukan Penggugat terhadap Tergugat mengenai suatu barang bergerak berdasar alasan hak milik Penggugat yang sedang berada di tangan Tergugat. Benda tersebut dikuasai secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum atau Tergugat tidak berhak atasnya.

(36)

21

Negeri dalam wilayah hukum tempat pemegang barang itu tinggal atau berdiam, agar barang tersebut disita dari pemegang itu.

c. Sita Harta Bersama (Marital Beslag)

Sita Marital (Marital Beslag) adalah sita yang diletakkan atas harta bersama suami isteri baik yang berada ditangan suami maupun yang berada ditangan istri apabila terjadi sengketa perceraian, selama berlangsungnya gugatan perceraian tersebut. Sita marital merupakan satu bentuk sita jaminan (conservatoir beslag) yang bersifat khusus.

d. Sita Eksekusi (ExecutoirBeslag)

Sita Eksekusi (Executoir Beslag) adalah sita yang diletakkan atau barang-barang yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, barang-barang tersebut tidak dapat dieksekusi secara langsung, tetapi harus melalui pelelangan.

(37)

22

D. Tinjauan Umum Sita Marital

1. Pengertian dan Tujuan Sita Marital

Sita marital (marital beslag) adalah suatu tindakan hukum Pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan Penggugat untuk diawasi atau diambil untuk menjamin agar tuntutan Penggugat tidak menjadi hampa atau dalam pengertian yang lainnya dapat diterjemahkan, bahwa sita marital adalah mengambil atau menahan barang-barang (harta kekayaan dari kekuasaan suami atau istri) dilakukan berdasarkan atas penetapan dan perintah Ketua Pengadilan/Ketua Majelis.8

Setiap sita mempunyai tujuan tertentu, dalam sita revindikasi bertujuan menuntut pengembalian barang yang bersangkutan kepada Penggugat sebagai pemilik, sita jaminan (Conservatoir Beslag) bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan pembayaran utang Tergugat, sedangkan tujuan utamanya sita marital adalah untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.

Akibat hukum adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat (suami atau istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi, dengan demikian pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari

8

(38)

23

Tergugat. Sehubungan dengan itu titik berat penilaian yang harus dipertimbangkan pengadilan atas permintaan sita marital adalah pengamanan atau perlindungan atas keberadaan harta bersama. Penilaian ini tidak dititikberatkan pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya upaya Tergugat untuk menggelapkan barang tersebut, tetapi lebih diarahkan pada masalah pengamanan dan perlindungan harta bersama.

2. Lingkup Penerapan Sita Marital

Secara sempit dari ketentuan Pasal 190 KUHPerdata, penerapan lembaga sita marital hanya terbatas pada perkara gugatan perceraian, akan tetapi dalam arti luas, penerapannya meliputi beberapa sengketa yang timbul diantara suami istri.

a. Pada Perkara Perceraian

Penerapan sita marital yang paling utama pada perkara perceraian. Apabila terjadi perkara perceraian antara suami istri, maka hukum akan memberi perlindungan kepada suami atau istri atas keselamatan keutuhan harta bersama. Dengan cara meletakkan sita diatas seluruh harta bersama untuk mencegah perpindahan harta bersama kepada pihak ketiga.

b. Pada Perkara Pembagian Harta Bersama

(39)

24

menuntut pembagian harta bersama, selanjutnya gugatan perceraian dikabulkan, dalam keadaan seperti itu apabila mantan suami atau istri ingin membagi harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan tentang pembagian harta bersama.

c. Pada Perbuatan yang Membahayakan Harta Bersama

Jika berorientasi kepada ketentuan Pasal 186 KUHPerdata maka sita marital dapat diterapkan penegakkannya diluar proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama, oleh karena itu dimungkinkan menerapkannya di luar proses perkara, apabila terjadi tindakan yang membahayakan keberadaan harta bersama.

Menurut Pasal 186 KUHPerdata bahwa selama perkawinan berlangsung suami atau istri, dapat mengajukan permintaan sita marital terhadap Hakim. Permintaan itu harus berdasarkan alasan bahwa harta bersama berada dalam keadaan bahaya karena :

1. Adanya tindakan atau perbuatan dari suami atau istri yang memboroskan harta bersama serta dapat menimbulkan akibat bahaya keruntuhan keluarga dan rumah tangga;

(40)

25

Proses pelaksanaan sita marital tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan namun proses tata cara pelaksanaa sita marital banyak diatur dalam ketentuan yang ada pada Reglemen Acara Perdata/RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 No.52 juncto 1849 No.63) Pasal 823 s/d Pasal 830 Rv. Dalam kebutuhan praktek untuk kepentingan beracara (proses doelmatigheid) tidak ada salahnya dapat berpedoman pada ketentuan pasal-pasal Reglemen Acara Perdata/RV (Reglement Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 No. 52 juncto 1849 No.63) untuk melaksanakan sita marital karena sita marital itu merupakan bentuk sita khusus yang hanya diletakkan atas harta perkawinan, dengan tujuan untuk membekukan harta bersama suami istri, agar terjamin selama proses perceraian/pembagian harta bersama berlangsung. Proses pelaksanaannya tidak mengacu pada tata cara pelaksanaan sita-sita pada umumnya yang diatur dalam HIR, namun dapat berpedoman ketentuan Pasal 823 s/d 830 Reglemen Acara Perdata/Rv (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 No. 52 juncto 1849 No.63).

Cara melaksanakan sita marital melalui tahap-tahap adanya : a. Penyegelan;

b. Percatatan;

(41)

26

E. Tinjauan Umum Eksekusi

1. Pengertian Eksekusi

Menurut M. Yahya H. adalah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.9

Menurut Prof.R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan militer (angkatan bersenjata).10

Menurut Djazuli Bachar adalah melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.11

9

M. Yahya Harahap, 1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, PT.

Gramedia, Jakarta, hlm. 1. 10

R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, cet. 3, Binacipta, Bandung, hlm. 30. 11

Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, hlm.

(42)

27

Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan. 12

Secara umum, pengertian eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela sesuai dengan Pasal 195 Ayat 1 HIR.13

Eksekusi sendiri memiliki azas-azas yang harus dipenuhi, salah satu azas tersebut adalah menjalankan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht vangewijsde) adalah yang dapat “dijalankan”, sehingga tidak semua putusan Pengadilan bisa dieksekusi.

Putusan yang dapat dieksekusi adalah:

1. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2. Karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara; 3. Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan

pasti.

12

R. Supomo, 1986, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 9, PT.Pradnya Paramita,

Jakarta, hlm. 119. 13

Moch. Djais dan RMJ. Koosmargono, 2008, Membaca dan Mengerti HIR, Oetama, Semarang,

(43)

28

2. Sumber Hukum Eksekusi

Hal menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.14

Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi yaitu :

1. Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 33 Ayat 4 yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan agar prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.

2. Pasal 33 Ayat 3 Undang No. 14 Tahun 1970 juncto Pasal 60 Undang-Undang No. 2 Tahun 1985 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata adalah panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

14

(44)

29

3. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur dalam Stb.1982 No. 152 Pasal 2 Ayat 5 menyatakan, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan biasa tentang menjalankan keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam perkara ini dan Stb. 1937 No. 63-639, Pasal 3 Ayat 5 alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan-aturan Pemerintah No. 45/1957 Pasal 4 Ayat 5 dan pasal-pasal lain yang berhubungan).

4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan Pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.

5. SEMA No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi hutang-hutangnya dan kalau disandera dan karena itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.15

15

(45)

30

E. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:

Keterangan:

Dalam perkawinan antara suami dan istri, terdapat harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama masa perkawinan antara suami dan istri. Ketika terjadi perceraian antara suami dan istri, salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah terkait masalah harta benda perkawinan khususnya terhadap harta bersama yang diperoleh dalam perkawinan tersebut, maka dari itu, untuk menjaga harta tetap utuh selama proses perceraian adalah dengan cara menerapkan sita marital. Dalam menerapkan sita marital perlu diketahui bagaimana proses eksekusi sita marital terhadap harta bersama tersebut dan akibat hukum yang ditimbulkan oleh proses sita marital.

SUAMI ISTRI

SITA MARITAL

PROSES EKSEKUSI SITA MARITAL

AKIBAT HUKUM SITA MARITAL TERHADAP

HARTA BERSAMA PERCERAIAN

PERKAWINAN

(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis bahan-bahan pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan dan putusan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas,15 dalam hal ini adalah berkaitan dengan eksekusi sita marital terhadap harta bersama.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.16 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara jelas dan rinci dalam memaparkan bagaimana eksekusi sita marital terhadap harta bersama. Untuk itu, pada penelitian ini akan menggambarkan bagaimana proses eksekusi sita marital terhadap bersama serta akibat hukumnya.

15

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,,

hlm 2 16

(47)

32

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-terapan yaitu penerapan ketentuan hukum normatif dari Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk.

D. Data dan Sumber Data

Data yang di perlukan dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari putusan tersebut yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas serta mempelajari peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan, isi dari putusan dan peraturan lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain:

a. Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk;

b. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

(48)

33

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti hasil penelitian, buletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

E. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data:

a. Studi Pustaka, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undangan, buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.

b. Studi Dokumen, adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi dapat diketahui oleh pihak tertentu. Pengkajian dan analisis informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum berupa dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini terkait isi putusan mengenai sita marital.

c. Wawancara, sebagai data penunjang terhadap data yang diperoleh, dilakukan secara tatap muka langsung dengan informan dan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Daftar pertanyaan tersebut digunakan sebagai pedoman dan dikembangkan saat wawancara dengan menggunakan pertanyaan terbuka.

Wawancara dilakukan dengan: a. Redoyati,

(49)

34

b. M Syarifuddin Chaliq,

Hakim pada Pengadilan Agama Tanjung Karang.

F. Metode Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan selanjutnya diolah dengan menggunakan metode sebagai berikut:

1. Pemeriksaan data, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat kekurangan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan; 2. Klasifikasi data, yaitu proses pengelompokkan data sesuai dengan bidang

pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisa data;

3. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

G. Analisis Data

(50)

54

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian oleh penulis telah diperoleh data dan informasi mengenai proses eksekusi sita marital terhadap harta bersama dalam Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk, serta akibat hukumnya maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada Putusan Nomor: 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk, dalam prakteknya proses eksekusi sita marital telah melalui tahap-tahap sebagaimana yang telah ditetapkan Pengadilan Agama Tanjung Karang yaitu melalui tahapan pengajuan permohonan sita marital yang disertai dengan alasan-alasan yang prinsipil lalu selanjutnya tahap penetapan dimana pada perkara ini eksekusi sita marital terhadap harta bersama tersebut tidak dilaksanakan dikarenakan gugatan sita marital ini ditolak oleh pengadilan.

(51)

55

(52)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur

Bachar, Djazuli, 1995, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum.

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, PT. Gramedia, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, cet. 3, Binacipta, Bandung.

R. Supomo, 1986, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 9, PT.Pradnya Paramita, Jakarta .

Rasjidi, Lili, 1983, Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Alumni Bandung.

Saleh, K.Wantjik, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Suyuthi, Wildan, 2004, Sita dan Eksekusi, Tatanusa , Jakarta.

(53)

Syaifuddin, Muhammad., Turatmiyah, Sri., dan Yahanan, Annalisa., 2013, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(54)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah pasangan bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah jalur perseorangan memasukan berkas dokumen dukungan ke Komisi Pemilihan Umum sebagai syarat dukungan

Berdasarkan analisis univariat dapat diketahui bahwa jumlah responden dalam gambaran kejadian seks pranikah akibat penggunaan facebook di Madrasah Aliyah Negeri 2

Metode analisa Multi Dimensional Scaling (MDS) digunakan untuk menganalisis data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan posisi masing-masing operator

Nasional selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 2015. Seleksi didasarkan atas rekomendasi yang dibuat oleh masing-masing perpustakaan pengusul, uraian tertulis,

Abstrak --Komandan Satuan dalam memimpin satuan dan prajuritnya harus bisa memerankan peran sebagai seorang pemimpin dan juga bisa memerankan sebagai seorang

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis

Rusman, Model-Model Pembelajaran, (Depok, PT Raja Grafindo Persada.. pertanyaan dan kartu jawaban yang telah disediakan sesuai dengan soal. Sedangkan Soeparno berpendapat

Melihat eksistensi Panggung Indie Medan dan keprofesionalan pengelolaan serta gaya musik yang ditampilkan didominasi band beraliran metal, maka penulis tertarik untuk membuat