D. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon.
5. Ahli Prof Dr Wuryadi,MS
1.5 Kedudukan Yayasan Setelah UU BHP
Dengan diundangkannya UU BHP, akan menimbulkan banyak permasalahan pada yayasan dan lain sebagainya yang secara konkrit diuraikan berikut ini:
(1) Berdasarkan Pasal 1 butir 5 UU BHP, ditegaskan bahwa ”Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan”.
Masalah: Dengan adanya anak kalimat, yaitu ”.... diakui sebagai badan hukum pendidikan” telah membuat pemberian hak kepada yayasan sebagai BPH Penyelenggara menjadi cara untuk menghilangkan eksistensi yayasan. Di satu sisi formil ada pengakuan dan seakan-akan juga memberi kemudahan kepada yayasan sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi di lain sisi, dan itulah yang menjadi masalah, yayasan yang formil diakui sebagai badan hukum dalam menyelenggarakan pendidikan tetapi harus menyamakan dirinya dengan/sebagai badan hukum pendidikan yaitu dengan cara menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur oleh UU BHP. Akibatnya yayasan harus memenuhi kriteria penyeragaman sebagai badan hukum pendidikan, yang persyaratannya diatur secara terselubung dan manipulatif dalam pasal-pasal dalam UU BHP lainnya. Untuk menjadi badan hukum pendidikan maka yayasan harus mengubah Anggaran Dasar, yang untuk itu harus mendapat persetujuan/pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pendidikan Nasional. Selain itu akan berimplikasi pula terhadap hubungan kerja karyawan dan seterusnya.
Oleh karena itu, apabila memang mengakui eksistensi yayasan juga
sebagai penyelenggara pendidikan seharusnya anak kalimat, ” ... diakui sebagai badan hukum pendidikan” tidak ada atau dihapus
sehingga Pasal 1 angka 5 tersebut hanya berbunyi: ”Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal.”
(2) Pasal 8 ayat (3) UU BHP menyatakan ”Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara”.
Akibatnya, yayasan yang telah diakui sebagai Badan Hukum Penyelenggara harus menjadi Badan Hukum Pendidikan dengan memenuhi kriteria sebagai badan hukum pendidikan, yang artinya secara hukum harus sebagai badan hukum pendidikan bukan sebagai yayasan.
(3) Pasal 10 mengatur bahwa ”Satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan”. Dengan ketentuan ini maka tertutup kemungkinan bagi yayasan yang sudah ada untuk menyelenggarakan satuan pendidikan dan yayasan yang baru tidak akan dapat ikut serta sebagai penyelenggara pendidikan lagi.
Akibatnya, dengan ketentuan ini jelas UU BHP hendak mengesampingkan keberadaan yayasan sebagai penyelenggara pendidikan. UU BHP telah menghilangkan eksistensi dari yayasan yang selama ini sebagai penyelenggara pendidikan dan sekaligus menutup kemungkinan dari yayasan baru sebagai penyelenggara pendidikan. Dengan demikian ”hak hidup” dari yayasan telah ditiadakan.
(4) Bahwa selain untuk mendukung maksud dari pasal-pasal tersebut dan untuk menghilangkan eksistensi dari yayasan termasuk perkumpulan dan badan hukum sejenis lainnya dalam menyelenggarakan pendidikan, diatur Ketentuan Peralihan. Khususnya dalam hal ini Pasal 67 ayat (2) UU BHP yang mengatur bahwa ”Yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyesuaikan tata
kelolanya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, paling lambat 6 (enam) tahun sejak diundangkan”;
Akibatnya, dengan ketentuan ini jelas bahwa UU BHP memaksa yayasan harus menjadi BHP Penyelenggara yang memenuhi kriteria (diakui) sebagai badan hukum pendidikan dengan menyesuaikan tata kelolanya.
(5) Bahwa untuk penyesuaian tata kelola, Pasal 67 ayat (4) yang berbunyi, ”Penyesuaian tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengubah akta pendiriannya”.
Perubahan Anggaran Dasar tidak hanya menimbulkan persoalan ”intern” bagi yayasan, tetapi juga menimbulkan persoalan ”ektern” di mana untuk perubahan tersebut memerlukan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM dan persetujuan dari Menteri Pendidikan Nasional.
Akibatnya, dengan mengubah akta pendiriannya sesungguhnya keberadaan dan eksitensi yayasan telah berakhir. Padahal dalam akta pendirian yayasan itu termaktub cita-cita dan ciri-ciri khasnya masing-masing yang keberadaannya dijamin dalam konstitusi. Untuk mempertegas, penyesuaian akta pendirian itu harus dengan persetujuan menteri.
(6) Bahwa untuk terjaminnya pelaksanaan penyesuaian tata kelola dan atau untuk tidak adanya yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain yang bukan badan hukum pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan selain badan hukum pendidikan yang diakui sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka (5) sepanjang anak kalimat “... dan diakui sebagai badan hukum pendidikan” dan Pasal 8 ayat (3) UU BHP diatur sanksi administratif yang menjadi bagian yang tidak terpisah dengan pasal-pasal yang sudah diuraikan di atas, yang merupakan kesatuan pengingkaran terhadap hak konstitusional dari para Pemohon, yaitu Pasal 62 ayat (1) yang berbunyi, ”Pelanggaran terhadap Pasal 40 ayat (3), Pasal 41 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 65 ayat (2), Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 67 ayat (2) dikenakan sanksi administratif”;
Akibatnya, ada unsur keterpaksaan dalam penyeragaman. Sanksi akan dijatuhkan apabila yayasan tidak melakukan penyesuaian tata kelola dalam jangka 6 (enam) tahun sejak UU BHP diundangkan. (7) Bahwa Pasal 1 angka 5 UU BHP sepanjang anak kalimat “... dan
diakui sebagai badan hukum pendidikan”, Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 serta Pasal 67 ayat (2), ayat (4), Pasal 62 ayat (1) menyangkut Pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) UU BHP yang diajukan permohonan pengujian tersebut juga mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan pasal-pasal lain, yaitu:
a. Pasal 1 angka (1), yang berbunyi, ”Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal”. b. Pasal 5 ayat (1), yang berbunyi, ”Jenis badan hukum pendidikan terdiri atas BHP Penyelenggara dan badan hukum pendidikan satuan pendidikan”.
c. Pasal 5 ayat (2), yang berbunyi, ”BHP Penyelenggara merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal”. Seluruhnya telah menghilangkan dan mengesampingkan peran serta yayasan dan badan sosial lainnya dalam menyelenggarakan pendidikan. Oleh karena itu, hak asasinya ”telah dilanggar” sebagai salah satu penyelenggara pendidikan yang sejak lama dan sampai saat ini menyelenggarakan ribuan sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, perguruan tinggi swasta baik akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, maupun universitas, padahal yayasan adalah juga sebagai badan hukum yang keberadaannya diatur oleh undang-undang.
Bahwa dengan adanya ketentuan didalam UU BHP, Pasal 1 butir 5 sepanjang anak kalimat “...dan diakui sebagai badan hukum pendidikan”, Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 serta Pasal 67 ayat (2), ayat (4), Pasal 62 ayat (1) menyangkut Pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) UU BHP, maka yayasan dan badan sosial lainnya (yang selama ini menyelenggarakan pendidikan) menjadi tidak boleh lagi
menyelenggarakan pendidikan formal. Dengan kata lain, yayasan telah diperlakukan sebagai ”tidak sama di depan hukum” dengan badan hukum pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan, dimana jaminan untuk diperlakukan sama di depan hukum sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Ketentuan-ketentuan dalam UU BHP tersebut telah menimbulkan diskriminasi bagi yayasan sebagai badan hukum yang tadinya memiliki hak menyelenggarakan pendidikan, tetapi dengan adanya ketentuan tersebut di atas tidak diperkenankan atau dimungkinkan lagi untuk menyelenggarakan pendidikan setelah 6 (enam) tahun diberlakukan UU BHP tersebut. Ketentuan diskriminatif tersebut juga bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, yang melarang setiap bentuk perlakuan diskriminasi terhadap warganegara. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”, sekaligus juga peranan dan keikutsertaan yayasan dan badan hukum lainnya disingkirkan/ dikesampingkan dalam penyelenggaraan pendidikan, bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Bahwa dengan diterbitkannya Pasal 1 butir 5 sepanjang anak kalimat “... dan diakui sebagai badan hukum pendidikan”, Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 serta Pasal 67 ayat (2), ayat (4), Pasal 62 ayat (1) menyangkut Pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) UU BHP mengharuskan yayasan, perkumpulan dan badan hukum lain sejenis yang menyelenggarakan pendidikan formal, harus menjadi badan hukum pendidikan penyelenggara yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum pendidikan (vide Pasal 1 angka (5) UU BHP), dalam hal mana yang belum menyesuaikan tata
kelola tetap dapat menyelenggarakan pendidikan [vide Pasal 67 ayat (1) UU BHP], namun harus menyesuaikan tata kelolanya dalam jangka waktu 6 (enam) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan [vide Pasal 67 ayat (2) UU BHP], yang apabila tidak memenuhinya akan terkena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UUBHP.
Dengan diharuskannya yayasan dan lain sebagainya menyesuaikan tata kelola sesuai dengan UU BHP maka yayasan akan kehilangan eksistensinya dan ”roh”nya, kemudian sekaligus juga kehilangan ”raga”nya karena penyesuaian tata kelola diharuskan dengan mengubah anggaran dasar yayasan [vide Pasal 67 ayat (4) UU BHP] dan yayasan tidak boleh lagi menyelenggarakan pendidikan karena satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku wajib berbentuk badan hukum pendidikan (vide Pasal 10 UU BHP). Yayasan yang tidak hanya kehilangan ”roh”, tetapi juga harus kehilangan ”raga”-nya, artinya menghilangkan hak konstitusional (the right to life) yayasan dan badan hukum lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan.
Bahwa dengan ketentuan tersebut, artinya pula telah dihilangkannya hak konstitusional yayasan dan lain sebagainya dengan pemaksaan penyesuaian tata kelola yakni dengan mengubah akta pendirian yayasan sebagai penyelenggara pendidikan, yang berarti merugikan penyelenggaraan pendidikan, merugikan orang tua murid dan merugikan anak didik, yang secara lebih fundamental lagi merugikan pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bahwa dengan ketentuan Pasal 1 butir 5 sepanjang anak kalimat “ ...dan diakui sebagai badan hukum pendidikan”, Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 10 serta Pasal 67 ayat (2), ayat (4), Pasal 62 ayat (1) menyangkut Pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) UU BHP yang mengharuskan perubahan akta pendirian yayasan, perkumpulan atau badan hukum lain sejenis sebagai penyelenggara pendidikan formal, telah mengabaikan dan/atau menghilangkan hak yayasan, perkumpulan, dan badan hukum lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan, menghilangkan hak konstitusional yayasan dan badan hukum lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan.
Bahwa oleh karena itu Mahkamah Konstitusi harus mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan tersebut karena merugikan hak konstitusional para Pemohon melalui mekanisme pengujian undang- undang terhadap UUD 1945.