D. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon.
5. Ahli Prof Dr Wuryadi,MS
1.1 Pembuat Undang-Undang Melanggar Rambu-Rambu yang dibuat Mahkamah Konstitus
Permohonan ini diajukan sehubungan dengan eksistensi yayasan, perkumpulan, wakaf dan lain-lain dalam melaksanakan pendidikan telah ditiadakan dengan keharusan setiap satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan. Semua badan hukum lain yang pernah ada sebelum UU BHP, sekalipun dinyatakan diakui juga sebagai penyelenggara tetapi karena tata-kelolanya harus disesuaikan dengan yang ditentukan dalam UU BHP itu maka eksistensi yayasan, perkumpulan, wakaf dan lain-lain itu tetap secara hukum ditiadakan dengan UU BHP. Padahal yayasan, perkumpulan, wakaf dan lain-lain adalah merupakan badan hukum dan yang sudah melaksanakan satuan pendidikan formal yang diakui secara hukum bahkan jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan pendidikan oleh badan-badan hukum yayasan, perkumpulan, wakaf dan sebagainya masing-masing didorong oleh
suatu cita-cita yang luhur sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan pengakuan atas falsafah bhinneka tunggal ika. Mereka masing-masing mengemban identitas dan ciri-ciri khasnya tetapi tetap dalam satu bingkai bhinneka tunggal ika. Sebagai ilustrasi, Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi’iyah dan Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar dengan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islami, Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia dan Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK) dengan identitas dan ciri-ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan ajaran Gereja Katolik dan Kristen serta Yayasan Universitas Profesor Doktor Moestopo, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila dengan identitas dan ciri-ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan pada perjuangan nasional. Semua ciri-ciri khas lembaga pendidikan ini sekali lagi telah dirangkumkan dalam falsafah negara kita ”Bhinneka Tunggal Ika”, dan ditentukan sebagai hak konstitusional. UU BHP secara yuridis terkait dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas), khususnya Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Pada tanggal 16 Januari 2009 diundangkan UU BHP tanpa menghiraukan eksistensi yayasan, perkumpulan, wakaf dan sebagainya sebagai badan hukum yang sudah secara sosiologis dan yuridis melaksanakan pendidikan. Pengundangan BHP ini oleh karena itu menimbulkan keberatan keras khususnya dari badan hukum lainnya yang eksistensinya menjadi ditiadakan. Bahkan sebelum UU BHP diundangkan adanya keberatan ini secara terang-benderang telah diungkapkan dalam masyarakat secara luas sebagaimana diberitakan oleh media massa (vide, beberapa kliping koran).
Lebih jauh lagi, ketika masih dalam bentuk RUU BHP dalam mengantisipasi pengundangannya maka masalah ini sudah pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, yakni menguji Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan
hukum pendidikan.” Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan ini ialah “tidak diterima”, dengan alasan formal dinyatakan tidak dapat diterima. Akan tetapi putusan ”NO” itu dengan peringatan-peringatan dari Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk Undang-Undang yakni bila kelak RUU BHP itu akan diundangkan maka harus diperhatikan hak-hak konstitusional pemohon.
Konkritnya, dengan diundangkannya UU BHP tersebut para Pemohon yang selama puluhan tahun bahkan ada diantaranya yang sudah seabad usianya yang telah ikut serta dalam melaksanakan pendidikan di Indonesia dihilangkan hak-hak konstitusionalnya dengan UU BHP juncto UU Sisdiknas. Oleh karena UU BHP dimaksudkan sebagai baju ukuran ”all size” sehingga mengharuskan pelaksanaan dan/atau satuan pendidikan formal harus merupakan ”badan hukum pendidikan.” Dengan begitu, eksistensi para Pemohon ditiadakan dengan keharusan ini, padahal yayasan, perkumpulan, wakaf dan lain-lain adalah juga merupakan badan hukum yang telah diakui secara yuridis dapat melaksanakan kegiatan pendidikan secara langsung seperti para Pemohon.
Sebagaimana sudah disinggung di atas, ketika masih RUU BHP, masalah ini telah pernah diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi melalui Pasal 53 UU Sisdiknas, dengan alasan bila kelak RUU BHP menjadi Undang-Undang maka akan bertentangan dengan UUD 1945 yakni Perkara Nomor 21/PUU-IV/2006. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, selain amarnya yang menyatakan permohonan “tidak dapat diterima” telah pula memberikan pertimbangan yang bersifat mengingatkan pembentuk Undang-Undang, antara lain: - “Menimbang bahwa Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang
dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon menyatakan ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”, sedangkan dalam Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas disebutkan, ”Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang”;
- ”Menimbang bahwa undang-undang yang dimaksudkan oleh Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 53 ayat (4) Sisdiknas belumlah dibuat, bahkan menurut keterangan DPR sampai saat ini belum ada ”Naskah Badan Hukum Pendidikan” yang diajukan ke DPR. Namun demikian, hal-hal yang telah tegas ditentukan dalam UUD 1945 haruslah menjadi landasan bagi pembentukan undang-undang tersebut... dst.”;
-
”Menimbang bahwa karena undang-undang badan hukum pendidikan yang dimaksudkan untuk melaksanakan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas belum ada, maka tidak terdapat kerugian hak konstitusional para Pemohon yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas tersebut ...”Bahwa selain pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi pada saat yang sama juga memberikan pertimbangan yang dapat disebut sebagai ”rambu-rambu” untuk diperhatikan pembentuk Undang-Undang apabila suatu saat pada akhirnya UU BHP akan dibuat, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
”...namun demikian, agar undang-undang mengenai badan hukum pendidikan yang diperintahkan oleh Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas sesuai dengan UUD 1945, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1) UUD 1945;
2. Aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis
yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang- undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum;
3. Aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik;
4. Aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian dalam pembentukan undang-undang mengenai badan hukum pendidikan, agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Bahwa ternyata kemudian Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dimaksud telah disahkan pada tanggal 16 Januari 2009 yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 10 tetapi nyata-nyata tanpa memperhatikan “rambu-rambu” yang menjadi pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas dan telah pula merugikan hak konstitusional dari para Pemohon.
1.2 Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan Adalah Hak