Bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam uji materil yang diajukan para Pemohon adalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah UUD 1945 memposisikan pendidikan di Indonesia? apakah sebagai “barang publik” (public goods) ataukah sebagai “barang privat” (private goods).? Apabila UUD 1945 memandang pendidikan di Indonesia sebagai public goods, maka negara tidak boleh membiarkan pendidikan menjadi komoditas terbatas yang penyelenggaraannya diperlakukan dengan mekanisme persaingan pasar;
2. Bagaimanakah paradigma pendidikan yang dihasilkan dari Badan Hukum Pendidikan sebagai suatu sistem? Bagaimanakah arah sistem pendidikan yang dibentuk dan dibangun oleh UU BHP? Apakah dampak dari pemberlakuan BHP sebagai landasan sistem pendidikan nasional di Indonesia?;
3. Bagaimanakah peran negara dalam sistem pendidikan nasional yang didasarkan pada BHP? Apakah fungsi dan kewajiban konstitusional negara menjadi tereduksi? Apakah hak-hak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas dan berbiaya murah menjadi terhalangi akibat sistem pendidikan yang didasarkan pada BHP? Apakah benar sistem pendidikan berlandaskan BHP mendorong pengelolaan pendidikan menuju mekanisme pasar?
4. Apakah paradigma pendidikan yang dibangun oleh sistem BHP bertentangan dengan paradigma pendidikan menurut UUD 1945? Apakah pemberlakuan BHP sebagai landasan sistem pendidikan nasional melanggar hak konstitusional para Pemohon?;
5. Apakah Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas sebagai dasar hukum adanya BHP dan UU BHP sebagai dasar hukum pelaksananya bertentangan dengan UUD 1945?;
Untuk menjawab persoalan-persoalan di atas, para Pemohon mengajukan dalil-dalil yang dirangkum sebagai berikut:
1. UUD 1945 menempatkan norma pendidikan sebagai norma yang sangat tinggi. Pendidikan bahkan merupakan salah satu dari tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, eksistensi atau keberadaan negara Indonesia sesuai dengan tujuannya bergantung pada apakah negara ini mampu mencerdaskan kehidupan bangsa.
2. Maksud dari mencerdaskan kehidupan bangsa tidak semata-mata memfasilitasi tersedianya sarana pendidikan saja. Namun lebih dari itu, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan membuat suatu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali. Akses ini dapat terbuka apabila sistem yang dibangun diarahkan untuk seluruh warga negara dengan mempertimbangkan bebagai keterbatasan yang dimiliki oleh warga negara. 3. UUD 1945 juga mengakui bahwa pendidikan adalah hak warga negara yang merupakan hak asasi manusia. Secara khusus UUD 1945 mengatur persoalan pendidikan ini dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) serta Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa pendidikan adalah hak warga negara sekaligus kewajiban negara untuk menjamin pemenuhnannya. Lebih jauh Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Putusan Nomor 012/PUU-III/2005 halaman 58 menegaskan bahwa “ … Hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya sebatas kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi tetapi menjadi
kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara tersebut. Karena demikian pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, menyebabkan pendidikan tidak hanya semata-mata ditetapkan sebagai hak warga negara saja, bahkan UUD 1945 memandang perlu untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai kewajiban warga negara. Agar kewajiban warga negara dapat dipenuhi dengan baik maka UUD 1945, Pasal 31 ayat (2), mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya.”
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa pendidikan menurut UUD 1945 adalah public goods, yang terbuka dan milik publik. Artinya, pendidikan harus dapat diakses oleh semua pihak dan tidak boleh menjadi dapat dibatasi oleh pihak tertentu atau dibatasi untuk kalangan tertentu. UUD 1945 juga telah mengarahkan agar pendidikan tidak boleh menjadi komoditas yang dapat menjadi objek dalam persaingan pasar. Sebaliknya, justru UUD 1945 menekankan pentingnya peran dan fungsi negara untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pendidikan agar tercapai tujuan negara.
Persoalannya, Pemerintah dan DPR telah membuat suatu kebijakan yang menentukan bahwa landasan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional adalah badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU BHP. Yang dipersoalkan oleh para Pemohon bukan pada bagaimana sistem BHP diatur dalam UU BHP, melainkan lebih mendasar lagi yakni persoalan pilihan kebijakan Pemerintah dan DPR dalam Undang-Undang yang menjadikan BHP sebagai landasan sistem pendidikan nasional yang ternyata bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan UU BHP telah menempatkan BHP menjadi hal yang imperatif. Seluruh penyelenggara pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan dengan karakteristik BHP. Secara perlahan namun pasti Pemerintah menjauhkan diri dari perannya terhadap penyelenggaraan pendidikan. Di sisi lain, penyelenggara pendidikan yang berbentuk BHP akan berlomba-lomba untuk mengembangkan badan hukumnya dengan menggunakan pendidikan sebagai komoditas. Persaingan yang terjadi di dunia pendidikan akhirnya akan menjadi persaingan pasar. Jika dipelajari mendalam dan dikritisi lebih lanjut, ternyata UU BHP dengan
sengaja dibuat sedemikian rupa seolah-olah tidak mengarah pada komersialiasi pendidikan. Padahal, pencantuman prinsip-prinsip dalam UU BHP seperti prinsip nirlaba, otonomi, akses yang berkeadilan dan partisipasi atas tanggung jawab negara dalam UU BHP hanya merupakan tempelan dan ternyata bukan jiwa dari UU BHP itu. Prinsip-prinsip tersebut tidak terlihat dalam substansi UU BHP. Jiwa dan semangat UU BHP tetaplah komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar. Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Jika dianalisis lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UU BHP dalam kaitannya satu sama lain memiliki satu benang merah yang menunjukkan bahwa dengan BHP maka “modal” menjadi faktor utama dalam menyelenggarakan pendidikan. UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan untuk sebagai dasar mengembangkan pendidikan.
Dengan konsep demikian, maka negara mereduksi peran dan kewajibannya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi. Bagaimana dengan warga negara yang miskin namun tidak berprestasi? Selamanya kelompok warga negara ini tidak akan mendapatkan akses pendidikan yang layak yang pada akhirnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak tercapai.
Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan Putusan Nomor 021/PUU- IV/2006 telah memberikan catatannya yakni agar Undang-Undang mengenai badan hukum pendidikan sesuai dengan UUD 1945 harus memperhatikan empat aspek antara lain (1) aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan, (2) aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan
bangsa
aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagaiyayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum; (3) aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik; dan (4) aspek aspirasi masyarakat. Namun kenyataannya, jiwa UU BHP tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut dan pada akhirnya bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945.
Dengan penyelenggaraan sistem pendidikan seperti ini maka para Pemohon memiliki potensi kerugian konstitusional. Para Pemohon yang terdiri dari mahasiswa, orang tua murid, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan akan menghadapi kondisi sistem pendidikan yang tidak mengarah pada upaya mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan UU BHP bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.