• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. “KEGENTINGAN YANG MEMAKSA”

Menurut Ismail Sunny mengenai keluarnya suatu PERPPU, hanya disebut dalam Undang-Undang Dasar dalam keadaan yang mendesak, jadi dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Pemerintah bisa mengartikannya hal luas sekali. Dalam Hukum Tata Negara, keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali. Sunny menulis buku mengenai pergeseran kekuasaan eksekutif dan membicarakan mengenai apa yang disebut keadaan mendesak di dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita. Dia juga mengatakan bahwa dalam sejarah parlementer bisa saja dalam kabinet atas berubah tidak diubah undang-undangnya untuk dijadikan undang-undang, tetap saja jadi PERPPU. Kalau tidak Pemerintah harus mencabutnya atau memajukannya sebagai undang-undang.

Jadi parlemen sekarang ini kontrol Pemerintah terhadap PERPPU itu lebih besar daripada dalam sejarah ketatanegaraan selama ini, bahwa demokrasi kita sekarang ini lebih berjalan baik dibandingkan dengan waktu kita sedang perang kemerdekaan. Bahwa pemerintah dalam membuat PERPPU didasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945. Alasan untuk mengeluarkan PERPPU

adalah keadaan memaksa. Memaksa memang term yang hampir sama dengan keadaan mendesak. Dalam Undang-Undang Dasar kita yang lain, dipakai keadaan memaksa. Padahal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan mendesak. Jadi yang term dipakai untuk mengeluarkan PERPPU beda dengan yang dimaksud dengan keadaan bahaya dalam arti keadaan yang disebut tadi dalam keadaan stat

in de recht van oorlog (keadaan perang), keadaan yang

berhubungan dengan yang kita sekarang ini segera membuat undang-undang itu.

Bahwa yang membuat PERPPU itu manusia bisa saja lupa, ada kemungkinan terjadi kesalahan pembuat undang-undang. Jadi tidak bisa dikatakan harus mesti ada ketentuan aturan peralihan. Tetapi Pemerintah juga punya hak, kalau tidak bisa buat peraturan peralihan bisa buat dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau peraturan pemerintah .

Menurut Prof. Frans Limahelu, seorang Ahli legislative

drafting. Legislation itu adalah satu proses pembahasan dan

persiapan. Pembahasan tentang peraturan perundang-undangan. PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dari UUD. karena hanya mengatur perizinan sebagai teknis administrasi kementerian kehakiman dan tidak merumuskan dan menulis tentang hal ikhwal kepentingan yang memaksa. Itu yang jelas sekali dalam Pasal 83A dan 83B. Malah hanya mengatur ketentuan penutup dalam suatu legislative drafting. Jadi, ingin menutup dalam satu perundangan yang mestinya melanjutkan apa-apa yang

dinyatakan tidak berlaku. Malah ini menyatakan, justru apa yang akan diberlakukan. Jadi itu dalam legislative drafting, sudah menyalahi aturan men-draft, aturan menyusun. Kedua, baik PERPPU maupun undang-undang tidak pernah mencabut larangan melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Ketiga, PERPPU dan undang-undang tersebut, merupakan contoh dari bad laws yang memberi motivasi untuk pada bad behavior yaitu dilakukan penambangan-penambangan sekehendak hati. Hal itu karena undang-undang kita, peraturan undang-undang memberikan motivasi.

Dalam konsideran menimbang dari PERPPU itu, dikatakan bahwa Undang-undang 41 memberikan ketidakpastian hukum berusaha di bidang pertambangan kawasan hutan. Akan tetapi, di dalam konsideran mengingat, mengangkat kembali bahwa undang-undang ini dikatakan tidak pasti tapi menjadi dasar hukum untuk mengeluarkan jadi PERPPU. Jadi, di dalam konsideran menimbang dan mengingat, saling mematikan, saling meniadakan. Baik menimbang, maupun mengingat, sehingga kesimpulannya, konsideran tidak bermuatan materi hukum tentang hal ikhwal kepentingan memaksa. Baru soal konsideran saja. Karena menggunakan Undang-undang 41 Tahun 1999 pada saat yang bersama juga meniadakan atau mencabut kekuatan berlaku Undang-undang tentang Kehutanan yang memberikan ketidakpastian untuk berusaha. Itu yang tentang konsiderannya.

Masuk pada diktum dari PERPPU, dalam konsideran menimbang tidak menyatakan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, maka

akibatnya diktum PERPPU tidak ada pasal yang memutuskan menetapkan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. yang ada hanya tentang pemberian izin. Sehingga PERPPU itu hanya menambahkan pada bab penutup, ketentuan baru yaitu semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku Undang-undang 41 Tahun 1999 dinyatakan tetap berlaku.

Kemudian yang Pasal 83B, pelaksanaan lebih lanjut ketentuan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Nomor 2. Diktum PERPPU Nomor 1 tersebut ditekankan di sini tidak mencabut Pasal 38 dari undang-undang tersebut. Dia tidak mencabut larangan melakukan pada kawasan hutan lindung, Pasal 38 ayat (4). Penggunaan kawasan untuk kepentingan pertambangan dilakukan dengan pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutan. Itu pun tidak dicabut.

Ketentuan peralihan kawasan hutan yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum perundang-undangan tentang Kehutanan, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 81 Ketentuan Peralihan. Sehingga kalau ada Pasal 83A dan 83B itu hanya mempertegaskan apa yang ada di Pasal 81. Sehingga kesimpulannya, diktum PERPPU Tahun 2004 sudah diatur dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan terdahulu daripada Undang-undang Kehutanan Tahun 1999.

Ketentuan peralihan ini menjadi landasan hukum. Ketentuan Pasal 81 ini menjadi landasan hukum bagi izin yang telah dikeluarkan tentang pertambangan di kawasan hutan dinyatakan tetap berlaku, akan tetapi tidak untuk kawasan hutan lindung.

Ruang lingkup daripada Undang-undang No. 19 Tahun 2004 hanya mengesahkan atau mengangkat PERPPU Nomor 1 Tahun 2004, hanya memberikan legitimasi bentuk hukumnya, tidak PERPPU tapi undang-undangnya. Kita diberhadapkan dengan PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 yang ingin menguraikan tentang hal ikhwal keadaan yang kepentingan memaksa, kegentingan yang memaksa. Jadi tidak sama dengan keadaan darurat itu yang pertama, sehingga yang akan diatur di sini, adalah mengenai yang menurut ahli adalah tentang perizinan saja. Apakah perizinan itu menjadi hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan dari keterangan Ahli Hukum Administrasi itu adalah teknis administrasi kantor Kementerian Kehutanan, jadi itu pekerjaan sehari-hari bukan sesuatu yang kegentingan hal ikhwal yang memaksa, bukan masalah negara ini masalah yang non negara dan itu pun ahli tidak bisa menjawab apa itu karena PERPPU tidak menuliskannya. Jadi saya tidak berani menjelaskan lebih daripada apa yang tertulis.

Kalau ada kegentingan yang memaksa subjektif dan objektif, itu bisa teori. Ahli hanya bisa mengatakan, itu tidak tertulis di dalam PERPPU. Apakah yang akan diatur di dalam kegentingan memaksa? Hanya yang diatur adalah justru dikatakan di sini, menambah ketentuan baru pada bap penutup. Jadi, agak jauh menyimpang daripada apa yang esensi. Itu yang

bisa saya katakan, sehingga saya tidak bisa menjawab apakah subjektif atau objektif? Analoginya adalah seperti ketika saya mendapat masakan yang sudah tersedia.

Dalam legislative drafting dalam bahasa Inggris itu dikatakan house keeping article. House keeping article itu, selalu ditaruh di bagian belakang dari satu drafting, yaitu ketentuan peralihan dan ketentuan penutup, dan saat berlakunya. Masing-masing, mempunyai bagian yang tidak bisa saling apa over lap. Kalau mau peralihan, aturlah peralihan. Tradisi di dalam drafting kita itu, sangat kelihatan seperti di dalam ketentuan peralihan Pasal 81. Selalu demikian. Semua peraturan-peraturan yang sudah akan dinyatakan berlaku, selama tidak bertentangan. Jadi, itu seperti masakan gado-gado, semua bisa dicampur, jadilah disitu.

Sekarang, terserah siapa yang mempunyai kepentingan, lalu menafsirkan. Bisa menafsirkan secara luas, bisa menafsirkan secara sempit. Akan tetapi, penafsiran yang dipakai hanya satu, yaitu apa yang tertulis, itu yang ditafsirkan. Sehingga kalau dikatakan bahwa kalau seseorang diberikan hak dan hak itu belum dicabut bearti tidak bisa dicabut. Dalam keadaan darurat pun, tidak bisa dicabut. Yang bisa mencabutnya, hanya lembaga peradilan. Tidak bisa Pemerintah. Sama sekali tidak bisa Pemerintah. Tidak bisa DPR. Yang bisa mencabutnya yaitu lembaga peradilan yang menyatakan hak seseorang dicabut karena ada konflik antara kepentingan pemegang hak dan yang

memberikan hak itu. Di situ, ada pertentangan sehingga perlu lembaga yang ketiga, yang mengatakan demikian.

Alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu No. 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi undang-undang.

Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan “Dengan

ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, berarti setelah

Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi adanya Penjelasan UUD 1945, sehingga Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang dikutip oleh Pemohon hanya dapat dikategorikan sebagai sebuah dokumen historis yang sama nilainya dengan dokumen historis lainnya, sebagaimana halnya dengan ketentuan Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 yang menggunakan terminologi Undang-undang Darurat untuk istilah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan

“keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera”, yang dapat

digunakan sebagai rujukan interpretasi historis. Bunyi Pasal 139 Konsitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 139 Konstitusi RIS:

(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

(2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Pasal 96 UUDS 1950:

(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

(2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. “Hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

D. MEKANISME PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diakui sebagai salah satu bentuk Peraturan Perundang-Undangan seperti yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan, dari

Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan,maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

BAB IV