• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

14. Keterangan Ahli

Menurut Ismail Sunny mengenai keluarnya suatu PERPPU, hanya disebut dalam Undang-Undang Dasar dalam keadaan yang mendesak, jadi dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada.Pemerintah bisa mengartikannya hal luas sekali. Dalam Hukum Tata Negara, keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali. Ahli menulis buku mengenai pergeseran kekuasaan eksekutif dan membicarakan mengenai apa yang disebut keadaan mendesak di dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita. Ahli mengatakan dalam sejarah parlementer bisa saja dalam kabinet

atas berubah tidak diubah undang-undangnya untuk dijadikan undang-undang, tetap saja jadi PERPPU.Kalau tidak Pemerintah harus mencabutnya atau memajukannya sebagai undang-undang.

Jadi parlemen sekarang ini kontrol Pemerintah terhadap PERPPU itu lebih besar daripada dalam sejarah ketatanegaraan selama ini, bahwa demokrasi kita sekarang ini lebih berjalan baik dibandingkan dengan waktu kita sedang perang kemerdekaan. Bahwa pemerintah dalam membuat PERPPU didasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945. Alasan untuk mengeluarkan PERPPU adalah keadaan memaksa. Memaksa memang term yang hampir sama dengan keadaan mendesak. Dalam Undang-Undang Dasar kita yang lain, dipakai keadaan memaksa. Padahal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan mendesak. Jadi yang term dipakai untuk mengeluarkan PERPPU beda dengan yang dimaksud dengan keadaan bahaya dalam arti keadaan yang disebut tadi dalam keadaan stat

in de recht van oorlog’keadaan perang’, keadaan yang

berhubungan dengan yang kita sekarang ini segera membuat undang-undang itu. Bahwa yang membuat PERPPU itu manusia bisa saja lupa,ada kemungkinan terjadi kesalahan pembuat undang-undang. Jadi tidak bisa dikatakan harus mesti ada ketentuan aturan peralihan. Tetapi Pemerintah juga punya hak, kalau tidak bisa buat peraturan peralihan bisa buat dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau peraturan pemerintah .

Menurut Prof. Frans Limahelu, seorang Ahli legislative drafting. Legislation itu adalah satu proses pembahasan dan persiapan. Pembahasan tentang peraturan perundang-undangan.

PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dari UUD. karena hanya mengatur perizinan sebagai teknis administrasi kementerian kehakiman dan tidak merumuskan dan menulis tentang hal ikhwal kepentingan yang memaksa. Itu yang jelas sekali dalam Pasal 83A dan 83B. Malah hanya mengatur ketentuan penutup dalam suatu legislative drafting. Jadi, ingin menutup dalam satu perundangan yang mestinya melanjutkan apa-apa yang dinyatakan tidak berlaku. Malah ini menyatakan, justru apa yang akan diberlakukan. Jadi itu dalam legislative drafting, sudah menyalahi aturan men-draft, aturan menyusun. Kedua, baik PERPPU maupun undang-undang tidak pernah mencabut larangan melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Ketiga, PERPPU dan undang-undang tersebut, merupakan contoh dari bad laws yang memberi motivasi untuk pada bad behavior yaitu dilakukan penambangan-penambangan sekehendak hati. Hal itu karena undang-undang kita, peraturan undang-undang memberikan motivasi.

Dalam konsideran menimbang dari PERPPU itu, dikatakan bahwa Undang-undang 41 memberikan ketidakpastian hukum berusaha di bidang pertambangan kawasan hutan. Akan tetapi, di dalam konsideran mengingat, mengangkat kembali bahwa undang-undang ini dikatakan tidak pasti tapi menjadi dasar hukum untuk mengeluarkan jadi PERPPU. Jadi, di dalam konsideran menimbang dan mengingat, saling mematikan, saling meniadakan. Baik menimbang, maupun mengingat, sehingga kesimpulannya,

konsideran tidak bermuatan materi hukum tentang hal ikhwal kepentingan memaksa. Baru soal konsideran saja. Karena menggunakan Undang-undang 41 Tahun 1999 pada saat yang bersama juga meniadakan atau mencabut kekuatan berlaku Undang-undang tentang Kehutanan yang memberikan ketidakpastian untuk berusaha. Itu yang tentang konsiderannya.

Masuk pada diktum dari PERPPU, dalam konsideran menimbang tidak menyatakan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, maka akibatnya diktum PERPPU tidak ada pasal yang memutuskan menetapkan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. yang ada hanya tentang pemberian izin. Sehingga PERPPU itu hanya menambahkan pada bab penutup, ketentuan baru yaitu semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku Undang-undang 41 Tahun 1999 dinyatakan tetap berlaku.

Kemudian yang Pasal 83B, pelaksanaan lebih lanjut ketentuan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Nomor 2. Diktum PERPPU Nomor 1 tersebut ditekankan di sini tidak mencabut Pasal 38 dari undang-undang tersebut. Dia tidak mencabut larangan melakukan pada kawasan hutan lindung, Pasal 38 ayat (4). Penggunaan kawasan untuk kepentingan pertambangan dilakukan dengan pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutan. Itu pun tidak dicabut.

Ketentuan peralihan kawasan hutan yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum perundang-undangan tentang Kehutanan,

dinyatakan tetap berlaku. Pasal 81 Ketentuan Peralihan. Sehingga kalau ada Pasal 83A dan 83B itu hanya mempertegaskan apa yang ada di Pasal 81. Sehingga kesimpulannya, diktum PERPPU Tahun 2004 sudah diatur dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan terdahulu daripada Undang-undang Kehutanan Tahun 1999.

Ketentuan peralihan ini menjadi landasan hukum. Ketentuan Pasal 81 ini menjadi landasan hukum bagi izin yang telah dikeluarkan tentang pertambangan di kawasan hutan dinyatakan tetap berlaku, akan tetapi tidak untuk kawasan hutan lindung.  Bahwa ruang lingkup daripada Undang-undang No. 19 Tahun 2004

hanya mengesahkan atau mengangkat PERPPU Nomor 1 Tahun 2004, hanya memberikan legitimasi bentuk hukumnya, tidak PERPPU tapi undang-undangnya.

 Bahwa Ahli menegaskan bahwa kita diberhadapkan dengan PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 yang ingin menguraikan tentang hal ikhwal keadaan yang kepentingan memaksa, kegentingan yang memaksa. Jadi tidak sama dengan keadaan darurat itu yang pertama, sehingga yang akan diatur di sini, adalah mengenai yang menurut ahli adalah tentang perizinan saja. Apakah perizinan itu menjadi hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan dari keterangan Ahli Hukum Administrasi itu adalah teknis administrasi kantor Kementerian Kehutanan, jadi itu pekerjaan sehari-hari bukan sesuatu yang kegentingan hal

ikhwal yang memaksa, bukan masalah negara ini masalah yang non negara dan itu pun ahli tidak bisa menjawab apa itu karena PERPPU tidak menuliskannya. Jadi saya tidak berani menjelaskan lebih daripada apa yang tertulis.

 Bahwa pertama kalau ada kegentingan yang memaksa subjektif dan objektif, itu bisa teori. Ahli hanya bisa mengatakan, itu tidak tertulis di dalam PERPPU.

Apakah yang akan diatur di dalam kegentingan memaksa? Hanya yang diatur adalah justru dikatakan di sini, menambah ketentuan baru pada bap penutup. Jadi, agak jauh menyimpang daripada apa yang esensi. Itu yang bisa saya katakan, sehingga saya tidak bisa menjawab apakah subjektif atau objektif? Analoginya adalah seperti ketika saya mendapat masakan yang sudah tersedia. Jadi, saya harus menjawab apa yang di sini. Yang kedua, dalam legislative drafting dalam bahasa Inggris itu dikatakan house keeping article. House keeping article itu, selalu ditaruh di bagian belakang dari satu drafting, yaitu ketentuan peralihan dan ketentuan penutup, dan saat berlakunya. Masing-masing, mempunyai bagian yang tidak bisa saling apa over lap. Kalau mau peralihan, aturlah peralihan. Tradisi di dalam drafting kita itu, sangat kelihatan seperti di dalam ketentuan peralihan Pasal 81. Selalu demikian. Semua peraturan-peraturan yang sudah akan dinyatakan berlaku, selama tidak bertentangan. Jadi, itu seperti masakan gado-gado, begitu Bapak. Jadi, semua bisa dicampur, jadilah disitu.

Sekarang, terserah siapa yang mempunyai kepentingan, lalu

menafsirkan. Nah, ini bahaya dari menafsirkan. Bisa

menafsirkan secara luas, bisa menafsirkan secara sempit. Akan tetapi, menurut saya penafsiran yang kita pakai hanya satu, yaitu apa yang tertulis, itu yang kita tafsirkan. Sehingga kalau dikatakan bahwa kalau seseorang diberikan hak dan hak itu belum dicabut, ya tidak bisa dicabut. Dalam keadaan darurat pun, tidak bisa dicabut. Yang bisa mencabutnya, hanya lembaga peradilan. Tidak bisa Pemerintah. Sama sekali tidak bisa Pemerintah. Tidak bisa DPR. Yang bisa mencabutnya yaitu lembaga peradilan yang menyatakan hak Anda dicabut karena ada konflik antara kepentingan pemegang hak dan yang memberikan hak itu. Di situ, ada pertentangan sehingga perlu lembaga yang ketiga, yang mengatakan demikian. Itu yang bisa saya katakan, sehingga kalau saya yang akan men-draft, maka pasti saya akan menyelamatkannya pada waktu ada Undang-undang Nomor 41. Itu akan saya lengkapi di sana untuk mengatasi kelemahan yang ada di dalam PERPPU, yaitu menjelaskan tentang kegentingan yang memaksa, yang memaksa yang bagaimana? Yang lebih banyak mengatur tentang masalah perusahaan-perusahaan yang pada saat itu, mungkin sekali kita dalam tahun-tahun 2000 ini, kita menghadapi masalah ekonomi yang begitu berat. Sehingga perlu ada masalah-masalah income, state income atau inkam perkapita, dan seterusnya.

Mungkin itu perlu ditambahkan. Saya pikir itu yang bisa saya katakan. Supaya kita lebih jelas, bahwa ini sebetulnya hal yang sangat teknis dan bisa diatasi.

 Bahwa kalau dibaca dari Pasal 83A itu, memang ketentuan peralihan, tidak ditempatkan pada ketentuan penutup. Karena ketentuan penutup tidak membuka kesempatan baru lagi, dia hanya menutup. Sedangkan ini, justru membuka yang hampir sama pada Pasal 81 dari Undang-undang tentang Kehutanan.

 Bahwa di dalam penjelasan umum dari PERPPU mengatakan bahwa Undang-undang tentang Hutan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan, terutama bagi pemegang izin perjanjian sebelum berlakunya undang-undang tersebut.

Jadi intinya adalah soal izin, karena Penjelasan Umum itu sudah mengarah, tapi tidak diungkapkan secara jelas, inilah kegentingan yang memaksa, yang dimaksudkan. Penjelasan yang berikut adalah tidak pasti, karena Undang-undang tentang Kehutanan ini tidak menjelaskan tentang izin tersebut bagi para pemegang izin pertambangan di kawasan, Pasal 38 sudah jelas sekali, silakan di mana saja boleh, kecuali ayat (4) mengatakan di hutan lindung, itu absolut, karena rumusannya sudah absolut, Itu sudah tidak bisa ditawar, tapi yang lain masih boleh ditawar, sampai boleh pinjam pakai istilahnya di dalam ayat. Jadi tidak disebutkan di sini bahwa izin itu tidak jelas, lalu seolah-olah hal ini diperkuat bahwa Pasal 38 ayat (4) menyatakan secara tegas bahwa kawasan hutan lindung

dilarang melakukan penanganan dengan pola penambangan terbuka. Jadi menurut ahli Ketentuan Peralihan yang dibuat adalah tentang perizinan adalah untuk melengkapi Pasal 38 ayat (1), (2), (3) dan (5). Sehingga Pasal 81 memberikan peluang bahwa boleh dilakukan, sehingga menurut ahli drafting ini tidak dilakukan dalam suasana yang tenang.

D. TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS KEDUDUKAN PERATURAN