• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

11. Keterangan Pemerintah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas terlihat bahwa Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak menjamin keberadaan semua perizinan atau perjanjian yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang tersebut. Sementara itu, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan, dan perjanjian pertambangan menyatakan bahwa Pemerintah memberikan hak tunggal kepada perusahaan pertambangan sebagai kontraktor Pemerintah untuk melaksanakan operasi pertambangan dalam wilayah kontrak pertambangannya. Untuk itu diperlukan payung hukum agar dapat menyelesaikan tumpang tindih masalah kegiatan pertambangan dengan pola penambangan Terbuka dalam kawasan hutan lindung. Karena itulah Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi undang-undang.

Selain itu, program peningkatan investasi yang didengung-dengungkan Pemerintah salah satunya di bidang Pertambangan akan semakin sulit dilakukan dengan adanya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Untuk memberi kepastian hukum bagi kegiatan pertambangan yang telah mendapat izin dari Pemerintah serta mendorong minat dan kepercayaan investor yang berusaha di Indonesia, maka Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-undang diundangkan, yang mencakup:

Penambahan 'Ketentuan Penutup, yang menyatakan bahwa semua periizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan tetap berlaku sampai

berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.

Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Pemerintah menjamin kegiatan usaha serta terciptanya suatu kepastian hukum dan tidak ada lagi tumpang tindih antara Perundang-Undangan yang satu dengan sebelumnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian di Indonesia.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan menjadi undang-undang hanya mengatur

perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku. Dengan demikian investor di bidang pertambangan tetap dapat melaksanakan kegiatan pertambangan berdasarkan Kontrak Karya, maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa Pertambangan. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan maka pemerintah tidak akan memberikan perizinan untuk melaksanakan pertambangan dengan pola Terbuka di kawasan hutan lindung.

Di lain pihak, Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam perjanjian di bidang pertambangan (dalam Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) menjamin dan tetap mengawasi bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang diberikan kepada para investor akan tetap dipatuhi. Pengelolaan dan Perlindungan lingkungan hidup adalah

salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para investor di bidang pertambangan.

Bahwa ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan menjadi undang-undang telah memperoleh

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan wakil rakyat di legislatif.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagian besar kegiatan pertambangan yang lokasinya tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung menjadi terkendala: Sejak itu dilakukan upaya-upaya untuk memberi kepastian hukum bagi kegiatan pertambangan yang telah mendapat izin dari Pemerintah sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Disadari oleh Departemen Kehutanan adanya kendala ini, karenanya pada Juni 2000, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Nomor 676/Menhutbun-II/2000 (Bukti Pmt 7) yang menyatakan bahwa :

i. Perusahaan pertambangan yang telah melakukan kegiatan

di dalam hutan lindung sebelum ditetapkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (baik tambang dengan pola Terbuka maupun tertutup) masih

dapat melangsungkan kegiatannya sampai izinnya berakhir;

ii. Apabila perusahaan pertambangan melakukan kegiatan pertambangan, yang kemudian kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung, maka perusahaan masih dapat melakukan kegiatannya (baik tambang dengan pola Terbuka maupun tertutup) sampai izinnya berakhir.

Karena klarifikasi ini hanya berupa Surat Menteri Kehutanan, maka kelangsungan kegiatan pertambangan (yang sudah memperoleh izin) memerlukan payung hukum bagi kelangsungan kegiatannya. Untuk itu dilakukan beberapa upaya, antara lain berupa kemungkinan Perubahan fungsi kawasan hutan yang tumpang tindih dengan kegiatan pertambangan. Tujuan dari upaya ini adalah mengubah fungsi kawasan hutan yang tumpang tindih tersebut dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Upaya ini memerlukan waktu yang panjang, karena perlu peninjauan satu persatu ke lapangan, dan tidak ada peluang yang berarti karena fungsi hutan ditetapkan hanya berdasar faktor-faktor teknis, tidak berdasar faktor ekonomis dan optimalisasi pemanfaatan kawasan (lahan).

Upaya Perubahan peruntukan juga dicoba dilakukan. Upaya ini dimaksudkan adalah dengan mengubah status kawasan hutan lindung yang tumpangtindih dengan kegiatan pertambangan dijadikan kawasan bukan hutan. Perubahan peruntukan untuk kegiatan pertambangan (yang dianggap sebagai kegiatan yang bernilai strategis) memerlukan penelitian terpadu dan

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan dan tatacara Perubahan peruntukan ini, sesuai amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 19 ayat (3) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, yang hingga saat ini belum ada, sehingga upaya-upaya ini juga menjadi terhenti.

Pasal 19 ayat (3) menyatakan : Ketentuan tentang tata cara Perubahan peruntukan kawasan hutan dan Perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan PeraturanPemerintah. Upaya 3,5 Tahun tersebut tidak membuahkan hasil karena tidak ada Peraturan pelaksana yang dapat dijadikan acuan, sementara waktu terus berlalu dengan ketidakpastian dan kewajiban-kewajiban pengeluaran dan pembiayaan tetap harus ditanggung oleh perusahaan yang telah mendapat izin. Karenanya dengan pertimbangan

i Memberi kepastian hukum bagi kegiatan yang sudah diberikan izin;

ii Memberi jaminan investasi yang sudah dilakukan

kegiatan tambang;

iii Menjamin kesempatan kerja;

iv Menghindari kemungkinan gugatan arbitrase.'

Untuk mengatasi ketidakpastian, maka dalam rapat kabinet disepakati untuk diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat pada 24 JUni 2004 membentuk Panitia Khusus (PANSUS) untuk mendapatkan kejelasan latar belakang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dimaksud.

Diadakan beberapa kali rapat dengan pihak terkait (termasuk Koalisi Ornop yang menolak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut, juga perusahaan-perusahaan yang terkait). Pada tanggal 30 Juni 2004 dilakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dari hasil Rapat Dengar Pendapat Umum, Rapat Kerja dan rapat-rapat internal Dewan, pada tanggal 15 Juli 2004 dalam sidang paripurna, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditetapkan menjadi Undang-undang. Dari seluruh proses pembentukan Undang-undang, mulai dari pembentukan Panitia Khusus, rapat-rapat dengar pendapat, rapatrapat kerja, hingga sidang paripurna, maka seluruh mekanisme dan prosedur telah dilalui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini menjadi Undang-undang-Undang-undang.

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden menetapkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang. Lebih lanjut akan

diuraikan pada bagian D di bawah ini.

Secara singkat dapat disampaikan bahwa hal kegentingan memaksa tidak selalu dipersepsikan sebagai adanya keadaan bahaya dan memaksa dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang. Dalam hal ini ihwal kegentingan memaksa telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan hambatan dalam kelancaran fungsi pemerintahan, yaitu dalam hal penciptaan iklim investasi yang baik untuk pemanfaatan sumber daya alam seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 45.

Sesuai dengan perkembangan kondisi yang ada pada waktu itu, kondisi tersebut memaksa Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dasar penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, dengan pertimbangan sebagai berikut:

 Tidak adanya kepastian hukum (bagi 158 kegiatan pertambangan yang telah mendapat izin dari pemerintah kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja bagi lebih dari 62 ribu orang yang bekerja langsung di bidang pertambangan dan jasa penunjangnya

 Kemungkinan hilangnya manfaat dari investasi yang telah dilakukan yang mencapai Iebih dari US$ 7 miliar (dari 13 perusahaan saja).

 Kemungkinan gugatan arbitrase internasional kepada Pemerintah Indonesi yang mencapai nilai lebih dari US$ 22 miliar (dari perusahaan saja).

 Dan pada kenyataanya, 12 dari 13 lokasi tambang tersebut mendapat dukungan tertulis dari Pemerintah Daerah untuk melanjutkan kegiatannya, karena memang memberikan manfaat secara langsung bagi pembangunan daerah.

Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut. Dalam sidang parinpurna tanggal 15 ]uli 2004, DPR telah memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang.

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, Perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum. Setiap orang disini termasuk juga badan hukum yang didirikan dan tunduk kepada hukum Negara ,Kesatuan Republik Indonesia. Setiap perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Indonesia

pasti berbentuk badan hukum, sehingga hak atas kepastian hukum juga berlaku untuk perusahaan tersebut. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan memberikan jaminan adanya kepastian hukum.

12. Tanggapan terhadap Masa tidak adanya "kegentingan yang memaksa" yang mendasari ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pemohon berpendapat bahwa prasyarat utama lahirnya PERPPU yang terdapat dalam ketentuan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 1 dan pasal 2 lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Prasyarat Kegentingan Memaksa sama sekali tidak terpenuhi, sehingga PERPPU nomor 1 Tahun 2004 belum dapat dibuat sebagai bentuk pengejewantahan hak Presiden untuk mengeluarkan suatu Peraturan Perundang-Undangan dalam keadaan darurat sebagaimana ketentuan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah berpendapat secara konstitusional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diakui sebagai salah satu bentuk Peraturan Perundang-Undangan seperti yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan

Pemerintah itu harus mendapat persetujuan, dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan,maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

Proses lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomer 1 Tahun 2004 telah memenuhi ketiga syarat lahirnya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Sehubungan dengan syarat

pertama, adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak selamanya diinterpretasikan bahwa negara dalam keadaan darurat perang atau adanya ancaman perang sebagaimana tercantum didalam Pasal 1 Undang-undang Prp Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. Penafsiran dari hal ihwal kegentingan memaksa dapat beragam, akan tetapi permasalahannya terletak pada adanya kondisi atau hal kegentingan memaksa yang mendasari diterbitkannya suatu PERPPU. Pemerintah perlu menunjukkan bahwa beberapa syarat adanya krisis yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Dengan melihat bahwa sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hingga saat ini, investasi di bidang pertambangan mengalami penurunan yang sangat tajam dan tentu saja hal ini

mempengaruhi kontribusi ekonomi nasional di bidang

pertambangan. Kondisi ini dapat dipandang sebagai keadaan "kegentingan yang memaksa" baik dilihat dari kontribusi

ekonomi maupun dari tidak adanya kepastian hukum.

Selama ini kelemahan aturan hukum dan ketidakpastian hukum dalam kegiatan sektor pertambangan yang disebabkan oleh kelemahan dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, merupakan penyebab Utama yang mendasari diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Kelemahan aturan hukum selama ini telah membawa negara ini dalam suatu keadaan yang dapat dianggap "keadaan darurat", dimana investasi di sektor pertambangan terhenti yang berakibat hilangnya potensi penerimaan negara, hilangnya potensi penyerapan lapangan kerja baru, merosotnya iklim investasi, gugatan melalui arbitrase internasional, dan lain-lain.

Sebagai salah satu contoh dalam penafsiran dari hal ihwal kepentingan memaksa dapat pula karena alasan yang bersifat administratif seperti yang terlihat di balik terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penundaan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Dalam hal ini dasar dari penerbitan PERPPU Menurut pemerintah waktu pembentukan PHI dirasakan kurang yang mana alasan tersebut dianggap memenuhi adanya "hal ihwal kegentingan memaksa". Dibandingkan dengan dasar penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2005, penafsiran hal ihwal kegentingan memaksa di PERPPU nomor

1 Tahun 2004 Iebih menunjukkan adanya keadaan atau kegentingan yang memaksa.

Beberapa contoh lain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang diterbitkan Pemerintah, dengan pertimbangan kondisi yang memaksa tersebut antara lain:

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1984 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, dengan pertimbangan perlunya peningkatan kesiapan pengusaha yang terkena pajak

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan pertimbangan perlu waktu yang lebih untuk meningkatan persiapan dan kesiapan serta pemahaman tentang Undang-undang tersebut oleh Aparatur Pemerintah yang bersangkutan maupun masyarakat.

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan pertimbangan adanya gejolak moneter di Indonesia.

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan, dengan pertimbangan adanya gejolak moneter

dan bahwa Peraturan yang masih ada memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian.

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, dengan pertimbangan untuk mengatur pelaksanaan unjuk rasa secara bertanggungjawab agar tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain serta kepentingan masyarakat.

Pemerintah berpendapat bahwa pada bagian konsideran dan penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indohesia Tahun 1945, bahkan pengesahan undang-undang ini menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang bahkan diterbitkan sebagai upaya "terobosan" hukum dari pemerintah dalam konsistensinya terhadap perjanjian dan izin yang telah dikeluarkan sebelumnya dan untuk mengembangkan iklim investasi yang diakibatkan oleh kelemahan dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian pertambangan yang telah ada, dengan demikian tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.