• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

---

LAPORAN PENELITIAN

“ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU)”

Tim Penyusun :

Ketua : Irman Putrasidin, SH., MH. Sekretaris : Bisariyadi, SH.

Anggota : 1. Dr. Guntur Hamzah, SH.

2. Dr. Aminnudin Ilman, SH., MH. 3. Hani Adhani, SH.

4. Ina Zuchriyah, SH.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

2005

(2)

D A F T A R I S I

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1 B.POKOK PERMASALAHAN ... 7 C. TUJUAN PENELITIAN ... 7 D.KERANGKA KONSEPSIONAL ... 8 E.METODE PENELITIAN ... 13 F. SISTEMATIKA PENELITIAN ... 15

BAB II PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. LANDASAN KONSTITUSIONAL PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ... 17

1. Konstitusi RIS ... 17

2. UUDS 1950 ... 18

3. UUD 1945 ... 19

B. KEDUDUKAN PERPPU DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERSYARATAN PEMBENTUKANNYA .. 20

1. Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 ... 26

2. Ketetapan MPR nomor III/MPR/2000 ... 32

3. UU nomor 10 tahun 2004 ... 34

BAB III ANALISA PENYUSUNAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG A.“KEGENTINGAN YANG MEMAKSA” ... 37

B. MEKANISME PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG ... 45

BAB IV ANALISA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MENGUJI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG DASAR A. PEMERIKSAAN PERKARA NOMOR 003/PUU-III/2005 ... 47

1.Permohonan ... 47

2. Inti Perkara yang terkait dengan Pembahasan PERPPU... 48

3.Permohonan Uji Formil UU pengesahan PERPPU ... 59

4. Prasyarat Kegentingan Memaksa versi Pemohon ... 60

5.Tentang Tindakan Sewenang-wenang (Wileukeurig) dengan keluarnya PERPPU ... 67

6. Tindakan Penyalahgunaan Wewenang (Detournement De Pouvoir) dengan keluarnya PERPPU... 69

7. Permohonan Uji Materiil ... 71 ii

(3)

8.Tentang Ketidakpastian Hukum ... 76 9.Tindakan Yang Mengandung Unsur Kesewenang-wenangan

Dan Penyalahgunaan Wewenang menurut KADIN ... 80 10. Persepsi KADIN mengenai keadaan Bahaya ... 85 11. Keterangan Pemerintah ... 94 12. Tanggapan terhadap Masa tidak adanya "kegentingan yang

memaksa" yang mendasari ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. . 103 13. Pendapat DPR ... 108 14. Keterangan Ahli ... 113 B.TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS KEDUDUKAN PERATURAN

PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ... 122

BAB V PENUTUP ... 133

(4)

BAB I

P E N D A H U L U A N

LATAR BELAKANG

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan saat yang sangat bersejarah terutama dalam lingkup ketatanegaraan di Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 yang pada masa rezim orde baru sangat disakralkan, dalam arti bahwa UUD 1945 tidak boleh dan tidak mungkin diubah terlebih lagi diganti. Namun, sejak runtuhnya orde baru pada dan mengemukanya keinginan dan aspirasi akan reformasi, perubahan UUD 1945 adalah salah satu tuntutan reformasi tersebut. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap. Tahapan amandemen UUD 1945 dilakukan pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002. Adanya tahapan amandemen tersebut jelas mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap masa depan bangsa dan negara Indonesia. Satu hal yang pasti bahwa pasca amandemen keempat (tahun 2002), sangat sulit bagi orang-orang status quo

untuk memanfaatkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai jargon untuk meraup dan mempertahankan kekuasaan.

Salah satu dampak yang sangat mendasar dari perubahan UUD

1945 adalah adanya perubahan struktur ketatanegaraan

Indonesia. Perubahan struktur tersebut adalah karena hadirnya beberapa lembaga baru dan begitu juga dengan adanya penghapusan lembaga negara. Lahirnya Mahkamah Konstitusi dan

(5)

Komisi Yudisial serta penghapusan lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah konkretisasi dari perubahan tersebut. Hal lain yang juga mengalami perubahan adalah dalam hal perubahan kewenangan lembaga legislatif (DPR) dan lembaga eksekutif (Presiden), khususnya yang berkenaan dengan kewenangan legislasi. Dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”, sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 disebutkan “Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Ini berbeda dengan kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 (sebelum perubahan). Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) disebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil amandemen Undang-undang dasar 1945 telah menetapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan Presiden dalam hal legislasi hanya mempunyai hak inisiatif untuk mengajukan rancangan UU. Pelaksanaan hak inisiatif dari Presiden dalam hal pengajuan UU boleh dikatakan sangatlah terbatas, hal ini disebabkan dalam pengajuan hak inisiatif tersebut Presiden harus mengambil prakarsa sendiri untuk menyusun rancangan UU tersebut dan untuk selanjutnya diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kita bisa menyimpulkan bahwa Presiden sudah tidak dapat lagi secara mandiri untuk membuat peraturan-peraturan yang menyangkut kepentingan publik.

(6)

Presiden (Pemerintah) memiliki kewenangan untuk membuat peraturan dibawah Undang-undang sebagai pengejewantahan ketentuan UU. Tetapi apabila negara ada dalam keadaan bahaya atau dalam situasi kegentingan yang memaksa, maka Presiden secara mandiri bisa membuat ataupun mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU). Hal tersebut secara tegas diatur dalam Undang-undang dasar 1945 Pasal 22 ayat (1), “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang”, tetapi kemandirian tersebut tidaklah seutuhnya karena dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menyebutkan “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Dalam ayat (3) disebutkan “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.

Bila kita menelaah sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir semua PERPPU selalu dikeluarkan oleh Presiden pada saat negara berada dalam posisi darurat atau

emergency. Meskipun terkadang pengertian dari darurat/

kegentingan yang memaksa seperti yang disebutkan dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang seolah-olah dipaksakan. PERPPU adalah hak konstitusional Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa maka Presiden berhak mengeluarkan PERPPU yang kedudukan konstitusionalnya sederajat dengan UU. Memang Presiden memiliki hak konstitusional mengeluarkan PERPPU yang menurut beberapa ahli hukum tatanegara (masa lalu, sebelum era 3

(7)

supremasi Konstitusi di Indonesia) bahwa PERPPU tersebut adalah hak subjektif presiden namun sesungguhnya hak subjektif tersebut baru memiliki roh kehidupan untuk dapat diimplementasikan apabila kondisi konstitusional Pasal 22 UUD 1945 terpenuhi yaitu negara dalam hal ihwal “kegentingan yang

memaksa” dimana tidak terdapat landasan hukum (rechstvacuum)

bagi Negara untuk bertindak mengantisipasi atau menindaklanjutinya situasi genting tersebut sehingga PERPPU ini disebut sebagai noodsverordeningsrecht.

Oleh karenanya hak subjektif presiden ini tidak bisa dijalankan jikalau roh konstitusionalitas tidak terkandung didalamnya yaitu tidak terjadi sebuah ihwal “kegentingan yang

memaksa” atau terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum).

Ditiupkannya roh konstitusional tersebut kausanya adalah untuk melarikan khittah PERPPU sebagai hukum otoriter yang

dapat bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido

kekuasaan belaka (machtstaat), karena kedudukan

konstitusionalnya sesungguhnya sederajat dengan UU.

Oleh karenanya UU yang notabene produk rakyat melalui DPR bersama Presiden dapat “dimatisurikan” oleh seorang Presiden

melalui instrumen PERPPU dengan bingkai asas hukum lex

posteriori derogate legi priori (hukum belakangan

mengenyampingkan hukum lebih dulu) atau hukum khusus

mengenyampingkan hukum umum (lex specialis derogate legi

generalis), jikalau hak subjektif konstitusional untuk

(8)

mengeluarkan PERPPU tidak diberikan batasan/koridor-koridor konstitusional.

Bahkan, bisa jadi PERPPU tersebut dipakai sebagai keris untuk menikam (membunuh) Konstitusi itu yang notabene adalah ibu kandung kekuasaan, jika hak Presiden mengeluarkan PERPPU dipandang sebagai hak subjektif an sich lepas dari bingkai Konstitusi maka PERPPU tersebut ibarat keris berlumur darah yang dipegang penguasa tanpa sarung, sehingga penguasa seenaknya melakukan tikaman/tebasan guna kepentingan kekuasaan yang bisa jadi memmbunuh Konstitusi itu sendiri. Disinilah potensi PERPPU dapat menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang meski hanya beberapa saat (hingga DPR melaksanakan sidang ) namun telah menimbulkan korban yang meluas.

Oleh karenanya, jiwa konstitusi sesungguhnya tidak

memberikan hak subjektif kepada Presiden an sich untuk

mengeluarkan PERPPU secara serampangan, tetapi PERPPU tersebut harus mengandung roh “kegentingan” yang mengantesedenkan suatu kekosongan hukum (memaksa) atau ibarat keris tersebut baru dapat dikeluarkan dari sarung konstitusionalitasnya jika terjadi ihwal kegentingan yang memaksa dan tidak ada lagi senjata lain yang dapat dipergunakan penguasa untuk menyelamatkan negara.

Hal ini jelas menimbulkan kontroversi dikalangan masayarakat kita. Untuk mengetahui dengan benar sistem ketatanegaraan sebuah Negara, maka harus dilakukan penelitian

(9)

secara mendalam atas konstitusi dan sistem perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ilmu hukum, studi dimaksud ada

dalam kerangka studi “hukum positif”.1 Yaitu studi tentang

aturan hukum dengan meneliti konsep dan sistemnya.

Setiap perancang perundang-undangan, baik yang ada pada lembaga legisltif (DPR/DPRD) maupun yang ada pada eksekutif (pemerintah pusat/daerah) berkewajiban memahami hukum perundang-undangan yang berlaku. Penguasaan yang benar atas hukum perundang-undangan akan memberikan kontribusi yang sangat relevan bagi pembentukan hukum. Ketidakcermatan dalam

menguasai Hukum Perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi sebab cacatnya aturan hukum yang dibentuk baik secara formil maupun materiil. Sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam tentang substansi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut oleh Presiden.

POKOK PERMASALAHAN

Sesuai dengan latar belakang penelitian maka permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut :

1 Hukum Positip adalah pengertian umum tentang hukum yang dibentuk

secara sadar oleh sebuah kekuasaan. Hukum positip menjadi ciri masyarakat modern, yang membedakan dari masyarakat tradisional yang mendasarkan diri pada hukum alam (kebiasaan). Oleh Francis Fukuyama, “The Great Disruption” diingatkan, bahwa memuja hukum positip ada bahayanya, disebut “playing by the Rules”, yaitu kebiasaan masyarakat modern bermain-main dengan aturan (hukum positip), yang berakibat pada rusaknya modal social (social capital) yaitu “conventional wisdom” dalam masyarakat. Tulisan Fukuyama ini merupakan kritik terhadap sekaligus peringatan bagi kelompok yang mengagungkan pemikiran Roscoe Pond tentang “law as a tool”, yaitu “social engineering” and “social control”, yang pada tahun 1966-1970-an sangat populer di Indonesia, dan selanjutnya banyak diterapkan dalam kebijakan pemerintahan.

6

(10)

1. Bagaimana latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang?

2. Apakah maksud dari “hal ihwal kegentingan yang memaksa”

yang menyebabkan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang?

3. Apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan apa dampaknya bagi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah?

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk :

1. Mengetahui latar belakang atau alasan dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan “hal ihwal

kegentingan yang memaksa” berdasarkan penafsiran konstitusi dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Mengetahui apakah Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang dapat menjadi obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi;

KERANGKA KONSEPSIONAL

1. Tata Urutan Norma Hukum (Peraturan)

Analisis hukum, yamg mengungkapkan karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari hukum; hukum mengatur

(11)

pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga, sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma lainnya tersebut. Karena, suatu norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma huku yang disebut pertama. Hubungan adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya ini dapat digambarkan sebagai hubungan antara ”superordinasi” dan ”subordinasi”, yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang dibentuk tata hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma-norma yang satu sama lain dikoordinasikan semata, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tata urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu – yakni norma yang lebih rendah– ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain

yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus ini (rangkaian

proses pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum ini.

2. Peraturan Dasar

(12)

Susunan hirarkis peratuaran perundang-undangan dalam arti sempit seperti dikemukakan di atas dapat pula dibedakan ke dalam dua subtansi, yaitu naskah dasar dan naskah non-dasar. Untuk kepentingan akademis, kedua jenis subtansi tersebut dapat dikelompokkan dengan membedakan antara Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan dalam arti khusus. Peraturan Dasar mempunyai kedudukan tertinggi sebagai konstitusi dalam negara, sedangkan Peraturan Perundang-undangan dalam arti khusus itu mencakup pengertian produk Undang-Undang dan produk-produk peraturan di bawah Undang-Undang.

Bentuk kongkrit dari naskah-naskah yang dapat dikategorikan sebagai Peraturan Dasar itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) naskah induk berupa naskah asli Undang-Undang Dasar, (b) naskah perubahan ataupun penyempurnaan dan perbaikan dalam bentuk Perubahan UUD, dan (c) naskah pekengkap yang dapat berupa Piagam Dasar, seperti misalnya Piagam Hak Asasi Manusia. Ketiga jenis dokumen ini sama-sama mempunyai kedudukan sebagai konstitusi sebagai hukum dasar yang tertulis atau dapat disebut juga dengan Peraturan Dasar.

Pengertian mengenai Peraturan Dasar ini perlu dihidupkan, mengingat sewaktu-waktu yang akan datang, kita akan banyak menyaksikan naskah-naskah Perubahan UUD sebagai mekanisme yang telah dipilih oleh Sidang Umum MPR 1999 yang lalu. Teknis perubahan konstitusi melalui naskah terpisah seperti ini lazim dianut di Amerika Serikat dan berbeda dari kelaziman

(13)

negara Eropa kontinental yang biasa mengubah naskah konstitusinya melalui perubahan teks. Dengan dianutnya tradisi Amerika Serikat itu, maka dapat berkembang konvensi ketatanegaraan di masa-masa yang akan datang bahwa selain naskah UUD 1945, kita akan memiliki banyak naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, dan seterusnya.

Disamping itu, apabila nanti diterima pikiran bahwa bentuk Ketetapan MPR tidak lagi dianggap sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dalam arti teknis maka kedudukan Ketetapan MPR tentang Hak Asasi Manusia dapat pula dijadikan naskah tersendiri sebagaimana naskah Perubahan UUD. Namun, bisa saja muncul pertimbangan bahwa terhadap materi-materi yang sangat rinci dan termuat dalam naskah yang sangat tebal, kurang sepantasnya untuk dijadikan naskah amandemen atau Perubahan UUD karena sifatnya tidak saja menambahkan ketentuan baru atau mengganti ketentuan yang lama, tetapi benar-benar sesuatu yang baru sama sekali dan justru lebih tebal dari naskah UUD 1945 itu sendiri. Karena pertimbangan demikian itu, dapat saja muncul pendapat bahwa naskah-naskah seperti dokumen Hak Asasi Manusia Indonesia seperti itu disebut saja dengan Piagam Dasar Hak Asasi Mansia Indonesia. Maka dapat diusulkan pengertian bahwa yang termasuk dalam pengertian Peraturan Dasar seperti tersebut di atas mencakup UUD sebagai naskah induk, Perubahan UUD sebagai naskah penyempurnaan, dan Piagam Dasar sebagai naskah pelengkap.

(14)

Ketiganya dapat dikategorikan termasuk dalam pengertian Peraturan Dasar, sebagai bentuk-bentuk konstitusi tertulis. Seperti dimaklumi sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan UUD 1945, selain konstitusi tertulis itu harus diakui pula adanya konstitusi yang tidak tertulis, yaitu yang berkembang dalam nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.

3. Peraturan Perundang-undangan

Dalam arti khusus, pengertian peraturan perundang-undangan yang dimaksud di sini adalah keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang berbetuk Undang-Undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing. Seperti telah diuraikan di atas, yang terlibat dalam pembentukan atau pembuatan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (peran primer) dan Presiden/Pemerintah (peran sekunder), yang terlibat dalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda) adalah DPRD Propinsi atau DPRD kabupaten/kotamadya (peran primer) bersama-sama dengan Gubernur atau Bupati/Walikota (peran sekunder), dan yang terlibat dalam pembuatan Peraturan Desa adalah badan permusyawaratan rakyat di desa yang dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebut Badan Permusyawaratan Desa (peran primer) dan Kepala Desa (peran sekunder).

(15)

Disamping itu, yang juga termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan disini ialah segala perangkat peraturan yang tingkatannya dibawah UU dan dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan yang termuat dalam bentuk peraturan yang tingkatannya lebih tingg. Sebagai konsekuensi dianutnya pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas, maka para pejabat yang dapat dianggap memiliki kewenangan demikian itu adalah Presiden, Menteri dan pejabat setingkat Menteri. Sedangkan para pejabat dalam birokrasi pemerintahan yang terikan menurut ketentuan peraturan kepegawai-negrian tidak dapat diberi wewenang menetapkan peraturan sama sekali, mengingat jabatannya murni bersifat eksekutif.

Dengan demikian produk-produk peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang khusus ini sangat berbeda dari peraturan yang disebut sebagai Peraturan Dasar yang dibuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai majelis tertinggi penjelmaan segenap takyat Indonesia yang berdaulat. Oleh karena itu, tepatlah jika keduanaya dibedakan dengan sebutan Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan di bawah Peraturan Dasar.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Menurut Pasal 1 angka (4) UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang adalah “…Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”

(16)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan penelusuran kepustakaan atau penelitian secara kualitatif. Dengan menggunakan data sekunder yang berupa :

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang memiliki

kekuatan mengikat kepada masyarakat dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan masalah yang diangkat.

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku, makalah-makalah koran dan data-data lain.

3. Bahan Hukum Tersier, bahan ini didapat dari kamus hukum dan referensi lainnya yang berfungsi memberikan penjelasan tambahan dari bahan hukum sekunder.

Pendekatan yang dilakukan untuk menunjukkan jenis penelitian ini adalah:

1. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha

menggambarkan masalah yang diteliti, dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala, termasuk didalamnya gejala hukum.2

2. Penelitian Problem Finding yaitu penelitian yang

berfungsi untuk menggali dan mencari permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta:

Universitas Indonesia, 1986), hal.10.

13

(17)

3.Penelitian berfokuskan masalah yaitu penelitian yang menitik beratkan pada suatu masalah tertentu. Inti dari penelitian berfokuskan masalah adalah mengaitkan antara bidang teori dengan bidang praktis, dimana masalah-masalah ditentukan atas dasar teoritis. 3

Adapun penelitian ini berupaya mengaitkan konsep tentang latar belakang penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU.

SISTEMATIKA PENELITIAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini dimulai dari Bab I yang merupakan Bab Pendahuluan. Pembahasan dalam Bab ini meliputi latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsepsional, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Dalam Bab II dibahas mengenai konsep PERPPU dalam sistem peraturan perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang didalamnya akan diperdalam dengan pembahasan tentang pengertian PERPPU serta landasan konstitusional dan kedudukan PERPPU dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan hirarkhi peraaturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia.

Dalam Bab III dibahas tentang analisa pembentukan PERPPU. Dalam analisa ini akan dijabarkan mengenai apa yang dimaksud dengan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi

3 Ibid., Hal. 11

14

(18)

prasyarat dibentuk PERPPU. Selain itu juga akan dijelaskan mengenai mekanisme pembentukan PERPPU untuk kemudian disahkan menjadi UU.

Dalam Bab IV akan dibahas mengenai PERPPU dalam kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK) dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD. Kemudian akan dilihat pula penafsiran MK atas kedudukan PERPPU.

Bab V adalah Penutup, yang didalamnya berisikan mengenai kesimpulan dari seluruh uraian dalam penelitian ini serta saran-saran yang perlu dikemukakan.

(19)

BAB II

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

C.LANDASAN KONSTITUSIONAL PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG-UNDANG

1.Konstitusi RIS

Pasal 139 Konstitusi RIS menyebutkan bahwa (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan UU darurat utk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera. Ayat (2) pasal tersebut kemudian juga mengatur bahwa UU darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa UU federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut.

Sedangkan Pasal 140 menjelaskan mengenai mekanisme penyusunan dan tata cara penetapannya menjadi UU. Ayat (1) mengatur peraturan-peraturan yang termaktub dalam UU darurat, segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada DPR yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul UU pemerintah. Kemudian ayat (2) adalah jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena

(20)

hukum. Dan ayat (3) jika UU darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturannya baik yang dapat dibetulkan maupun yang tidak maka UU federal mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu. Kemudian ayat (4) Jika peraturan yang termaktub dalam UU darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai UU federal, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang diterapkan dalam ayat yang lalu.

2. UUDS 1950

Pengaturan pembentukan Pasal 96 menyebutkan (1)

Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan UU darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan mendesak perlu diatur dengan segera. Ayat (2) mengatur bahwa UU darurat mempunyai kekuasan dan derajat UU ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut. Kemudian Pasal 97 menyebutkan (1) peraturan-peraturan yang termaktub dalam UU darurat, sesudah ditetapkan, disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada sidang yang berikut yang merundingkan peraturan ini

menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul UU

pemerintah. Ayat (2) Jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh DPR, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum. Dan pada ayat (3) jika UU darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak

(21)

mengatur segala akibat yang timbul dari peraturannya baik yang dapat dipulihkan maupun yang tidak maka UU mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu. Ayat (4) Jika peraturan yang termaktub dalam UU darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai UU, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang diterapkan dalam ayat yang lalu.

3. UUD 1945

Pengaturan mengenai pembentukan PERPPU dalam UUD 1945 diatur dalam pasal 22 yang menyebutkan bahwa (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang. Kemudian dalam ayat selanjutnya diatur bahwa (2) peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Dan dalam ayat (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

D. KEDUDUKAN PERPPU DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERSYARATAN PEMBENTUKANNYA

Memahami bentuk aturan hukum yang berlaku dalam sistem hukum positip Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari sejarah aturan hukum pada masa penjajahan. Masih banyak aturan hukum yang sekarang berlaku, merupakan alih rupa saja dari hukum positip yang berlaku di Belanda pada masa penjajahan. Pada

masa penjajahan, jika di Belanda dibentuk Wet (UU), maka

dinegara jajahan diberlakukan Ordonnantie (oleh penguasa 18

(22)

jajahan/Gubernur Jenderal). Hingga sekarang masih ada

Ordonnantie yang berlaku yaitu Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan) berdasar Staatsblad No, 226 Tahun 1926. (disingkat HO).

Meskipun terdapat kesalahan dalam pemahaman, karena Hinder Ordonnantie banyak diterjemahkan menjadi UU Gangguan, namun ketentuan tersebut belum pernah diganti. Bahkan oleh hampir semua Kabupaten/Kota ketentuan HO ini menjadi dasar hukum pelaksanaan ijin HO. Jika dipermasalahkan, maka akan dikemukakan hal “legalitas”, karena HO mengandung sanksi dan memiliki karakter memaksa (dwingen-recht). Sebagai aturan, HO memperoleh dukungan berlaku baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri dan berbagai Peraturan Daerah pun telah dibentuk untuk melaksanakan

ketentuan dalam HO. Berbagai Wet (UU) pun masih mempunyai

kekuatan hukum berlaku di Indonesia, seperti Wetboek van

Strafrecht (WvS) yang dikenal dengan sebutan KUHP (Kitab undang-undang Hukum Pidana) dan Burgerlijk Wetboek (BW) atau dikenal KUH Perdata.

Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah penjajah juga memberlakukan ketentuan ketatanegaraan di Negara jajahan

dengan nama Indische Staatsregeling (IS). Sebagai contoh

adalah Pasal 163 IS dan Pasal 131 IS yang membagi penduduk di wilayah jajahan menjadi tiga kelompok dan terhadap mereka juga berlaku hukum yang berbeda. Dibidang peraturan, diberlakukan Ketentuan Umum Perundang-undangan di Negara jajahan yaitu

(23)

Algemene Bepalingen van Wet Geving vor Indonesie Indie (AB). Sebagai contoh Pasal 2 AB tentang undang-undang dilarang

berlaku surut4. Oleh sebab itu, untuk melakukan revisi,

perubahan atau pun penggantian, harus dilakukan sesuai dengan tingkatan kewenangan berdasar bentuk hukum dan materi muatannya.

Di awal Indonesia merdeka, ditemukan berbagai bentuk aturan hukum yang dinilai tidak lazim seperti: Maklumat, UU Darurat, Penetapan Presiden, UU Federal. Untuk memahami keberadaan ketentuan hukum tersebut harus dilakukan pengkajian yang mendalam dengan pendekatan sejarah hukum. Misalnya, UU darurat, diperkenalkan pada masa Konstitusi RIS dan UUD Sementara Tahun 1950. Penetapan Presiden dibentuk setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh sebab itu, jika akan dilakukan pembaharuan atau penggantian terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, harus terlebih dahulu dilakukan pengkajian secara komprehensif.

Di zaman Hindia Belanda, bentuk-bentuk peraturan yang dikenal meliputi 5 tingkatan, yaitu: (i) Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda, (ii) Undang-Undang Belanda atau ‘wet’, (iii)

Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat (Volksraad) di Jakarta sesuai Titah Ratu Kerajaan Belanda di Den Haag, (iv) Regerings Verordening atau RV, yaitu Peraturan

4 Dalam rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945

ditegaskan “……hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun”

20

(24)

Pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal untuk

melaksanakan Undang-Undang atau ‘wet’, dan (v) Peraturan

daerah swatantra ataupun daerah swapraja5. Setelah Indonesia

merdeka mulai diperkenalkan bentuk-bentuk peraturan baru, tetapi dalam prakteknya belum teratur karena suasana belum memungkinkan untuk menertibkan bentuk-bentuk peraturan yang dibuat. Di masa-masa awal kemerdekaan, kadang-kadang nota-nota dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan sebagai peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat yang sangat terkenal yang isinya membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ketika itu sangat berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi maklumat itu dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945.

Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945 adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Di samping yang tertulis itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut adalah Undang-Undang Federal, Undang-Undang

5 Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad

Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hal. 54-55.

21

(25)

Darurat, dan Peraturan Pemerintah. Disini, pengertian Konstitusi diidentikkan dengan pengertian UUD. Sedangkan dalam UUDS yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan pemerintah. Dengan perkataan lain, dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat, dan Peraturan Pemerintah.

Penyebutan hanya 3 atau 4 bentuk peraturan (termasuk UUD) tersebut dalam Undang-Undang Dasar bersifat enunsiatif dalam arti tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, setelah periode kembali ke UUD 1945, maka berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu:

1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945.

2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

(26)

3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.

4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau

meresmikan pengangkatan-pengangkatan.

5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh

kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.

Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang menimbulkan ekses dimana-mana. Kadang-kadang banyak materi yang seharusnya diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden. Yang lebih gawat lagi adalah banyak di antara penetapan dan peraturan itu yang jelas-jelas menyimpang isinya dari amanat UUD 1945. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa antara penetapan yang bersifat administratif berupa pengangkatan-pengangkatan yang berisi putusan-putusan yang bersifat ‘beschikking’ jelas dibedakan dari putusan yang berbentuk mengatur (regeling). Istilah Keputusan Presiden ataupun Keputusan Menteri secara khusus dikaitkan dengan jenis putusan yang bersifat administratif.

(27)

1. Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966

Dalam rangka penataan kembali bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap pelaksanaan UUD 1945, maka pada tahun 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS No.XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945. Ketetapan MPRS tersebut menugaskan Pemerintah untuk bersama-sama dengan DPR melaksanakan peninjauan kembali produk-produk legislatif, baik yang berbentuk Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-Undang, ataupun Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.

Untuk memberikan pedoman bagi terwujudnya kepastian hukum dan keserasian hukum serta kesatuan tafsir dan pengertian mengenai Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 serta untuk mengakhiri ekses-ekses dan penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas, ditetapkan pula sumber tertib hukum dan tata urut peraturan perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia.

Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 2. Ketetapan MPR

(28)

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:  Peraturan Menteri

 Instruksi Menteri  Dan lain-lainnya

Dalam butir berikutnya dijelaskan mengenai Undang-undang bahwa dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang-undang. Peraturan-peraturan itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut

Dalam praktek, tata urut dan penamaan bentuk-bentuk peraturan sebagaimana diatur dalam Ketetapan tersebut, tidak sepenuhnya diikuti. Sebagai contoh di beberapa kementerian, digunakan istilah Peraturan Menteri, tetapi di beberapa kementerian lainnya digunakan istilah Keputusan Menteri, padahal isinya jelas-jelas memuat materi-materi yang mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sebagainya. Di samping itu, untuk mengatur secara bersama berkenaan dengan materi-materi yang bersifat lintas departemen berkembang pula kebiasaan menerbitkan

(29)

Keputusan Bersama antar Menteri. Padahal, bentuk Keputusan Bersama itu jelas tidak ada dasar hukumnya.

Di pihak lain, berkembang pula kebutuhan di lingkungan instansi yang dipimpin oleh pejabat tinggi yang bukan berkedudukan sebagai Menteri untuk mengatur kepentingan publik yang bersangkut-paut dengan bidangnya, seperti misalnya Gubernur Bank Indonesia perlu membuat aturan-aturan berkenaan dengan dunia perbankan. Selama ini, dikembangkan kebiasaan untuk menerbitkan peraturan dalam bentuk Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia yang juga jelas-jelas tidak mempunyai dasar hukum sama sekali. Keganjilan-keganjilan yang sama juga terjadi dalam keputusan-keputusan yang dibuat oleh Presiden dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres). Seperti tercermin dalam pendapat Hamid S. Attamimi yang pernah lama bertugas

sebagai Wakil Sekretaris Kabinet selama masa Orde Baru6,

Keputusan Presiden itu banyak yang berisi materi pengaturan yang bersifat mandiri dalam arti tidak dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang. Kebiasaan seperti ini didukung pula oleh kenyataan, karena berdasarkan UUD 1945 sebelum diadakan amandemen melalui Perubahan Pertama UUD, Presiden memang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dengan perkataan lain, Presiden itu selain sebagai eksekutif juga mempunyai kedudukan sebagai legislatif.

6 Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia

dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1991.

26

(30)

Di samping itu, materi yang diatur dalam Keputusan Presiden itu juga tidak dibedakan secara jelas antara materi yang bersifat mengatur atau regulatif (regeling) dengan materi

yang bersifat penetapan administratif biasa (beschikking)

seperti misalnya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat, Keppres mengenai pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya. Pembedaan antara kedua jenis keputusan itu selama ini hanya diadakan dalam pemberian nomor kode Keppres, sehingga bagi masyarakat umum, sulit dibedakan mana yang bersifat mengatur (regeling) dan karena itu dapat disebut sebagai per-ATUR-an, dan mana yang bukan.

Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hamid Attamimi, Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan dapat pula bersifat mandiri dalam arti tidak dimaksudkan melaksanakan Undang-Undang ataupun mengatur hal-hal yang ditunjuk oleh undang-undang untuk diatur lebih oleh Presiden. Jenis Keputusan Presiden demikian itu disebut Hamid Attamimi sebagai Keputusan Presiden yang mendiri. Logika pengaturan yang mandiri oleh Presiden ini, meskipun banyak dipersoalkan di kalangan para ahli hukum, tetapi dapat saja diterima dalam paradigma pemikiran UUD 1945 yang lama, yaitu karena Presidenlah yang ditentukan dalam UUD sebagai pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi, dalam ketentuan yang baru berdasarkan Perubahan Pertama UUD, maka logika yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan pembenar

(31)

terhadap eksisten Keputusan yang mengatur secara mandiri tersebut dengan sendirinya tidak dapat diterima lagi. Pada prinsipnya, Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan UU. Kalaupun Presiden diberi hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, hak itu tidak memberikan kedudukan kepadanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif, melainkan sekedar memberikan hak kepadanya untuk mengambil inisiatif karena kebutuhan yang sangat dirasakan oleh pihak eksekutif untuk mengatur suatu kebijakan publik yang harus dilayani oleh pemerintah, tetapi pihak DPR sendiri belum siap dengan rancangan dari mereka sendiri. Dalam hal ini, Presiden dapat mengambil prakarsa untuk menyusun rancangan undang-undangan tersebut dan kemudian mengajukannya kepada DPR. Oleh karena tidak boleh ada lagi peraturan-peraturan untuk kepentingan pengaturan kepentingan publik yang dibuat Presiden atau Pemerintah secara mandiri. Semua peraturan di bawah undang-undang hanyalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Dasar dan Undang-Undang.

Satu-satunya peraturan yang dapat berisi pengaturan yang mandiri hanyalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dari segi isinya seharusnya dituangkan dalam bentuk UU, namun dari segi proses pembuatannya ataupun karena adanya faktor eksternal berupa keadaan bahaya atau kegentingan yang memaksa, maka oleh Presiden dapat ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU (PERPU) yang bersifat mandiri. Perpu tersebut harus diajukan untuk mendapat persetujuan DPR

(32)

menjadi UU selambat-lambatnya 1 tahun sejak dikeluarkannya PERPU tersebut, dan apabila tidak disetujui harus dicabut kembali oleh Presiden. Jadi, dalam sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, Presiden tidak dapat lagi membuat peraturan-peraturan yang bersifat mandiri seperti kedudukan Keputusan Presiden pada masa lalu. Satu-satunya peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dengan sifat mandiri adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang seperti dikemukakan di atas. Karena itu, eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ini saya usulkan tetap dipertahankan dengan perubahan fungsi seperti yang dikemukakan di atas.

2. Ketetapan MPR nomor III/MPR/2000

Dalam Pasal 2 disebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :

1.Undang-Undang Dasar 1945 2. Ketetapan MPR RI

3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Presiden

(33)

Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan ketujuh peraturan perundang-undangan di atas dapat dikatakan kurang sempurna dan mengandung beberapa kelemahan. Pertama, karena

naskah Perubahan UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut di atas dilengkapi dengan ‘… dan

Perubahan UUD’. Kedua, penyebutan Perpu pada nomer urut

keempat di bawah undang-undang dapat menimbulkan penafsiran seakan-akan kedudukan perpu itu berada di bawah UU. Padahal, kedudukan hukum keduanya adalah sederajat. Karena itu, seharusnya, seperti dalam TAP No.XX/MPRS/1966, keduanya ditempat pada nomor tiga, yaitu ‘Undang-Undang dan Perpu’.

Ketiga, penggunaan nomenklatur Keputusan Presiden yang selama

ini dipakai mengandung kelemahan karena tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur (regeling) dengan

keputusan yang bersifat administratif belaka (beschikking).

Seharusnya, momentum reformasi ini digunakan sebaik-baiknya untuk menata kembali peristilahan yang baik dan benar, yaitu untuk keputusan yang mengandung aturan dan pengaturan, dokumen hukumnya sebaiknya dinamakan Per-ATUR-an, bukan keputusan.

Keempat, hanya karena pertimbangan bahwa MPR cukup mengatur

mengenai tata urutan peraturan sampai tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, di bawahnya masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatan-nya juga di bawah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Padahal, Peraturan Menteri itu sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan

(34)

di atas Perda, di samping produk peraturan tingkat menteri itu dalam praktek banyak sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.

Ketentuan mengenai PERPPU sendiri diatur dalam pasal 3 ketetapan MPR ini yang menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut :

a.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus

diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;

b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan;

c.Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan

pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut;

3. UU nomor 10 tahun 2004

Dalam Pasal 7 UU 10 tahun 2004 diatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden;

(35)

e. Peraturan Daerah.

Mengenai materi muatan PERPPU disebutkan dalam pasal 9 bahwa Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang-Undang-Undang. Lalu apa yang menjadi materi muatan UU? Kembali ke pasal 8 disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:

a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara.

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Tata cara penetapan PERPPU menjadi UU diatur dalam Pasal 25 yang menyebutkan

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus

diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan

(36)

peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.

(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan

rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

(37)

BAB III

ANALISA PENYUSUNAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

C.“KEGENTINGAN YANG MEMAKSA”

Menurut Ismail Sunny mengenai keluarnya suatu PERPPU, hanya disebut dalam Undang-Undang Dasar dalam keadaan yang mendesak, jadi dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Pemerintah bisa mengartikannya hal luas sekali. Dalam Hukum Tata Negara, keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali. Sunny menulis buku mengenai pergeseran kekuasaan eksekutif dan membicarakan mengenai apa yang disebut keadaan mendesak di dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita. Dia juga mengatakan bahwa dalam sejarah parlementer bisa saja dalam kabinet atas berubah tidak diubah undang-undangnya untuk dijadikan undang-undang, tetap saja jadi PERPPU. Kalau tidak Pemerintah harus mencabutnya atau memajukannya sebagai undang-undang.

Jadi parlemen sekarang ini kontrol Pemerintah terhadap PERPPU itu lebih besar daripada dalam sejarah ketatanegaraan selama ini, bahwa demokrasi kita sekarang ini lebih berjalan baik dibandingkan dengan waktu kita sedang perang kemerdekaan. Bahwa pemerintah dalam membuat PERPPU didasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945. Alasan untuk mengeluarkan PERPPU

(38)

adalah keadaan memaksa. Memaksa memang term yang hampir sama dengan keadaan mendesak. Dalam Undang-Undang Dasar kita yang lain, dipakai keadaan memaksa. Padahal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan mendesak. Jadi yang term dipakai untuk mengeluarkan PERPPU beda dengan yang dimaksud dengan keadaan bahaya dalam arti keadaan yang disebut tadi dalam keadaan stat

in de recht van oorlog (keadaan perang), keadaan yang

berhubungan dengan yang kita sekarang ini segera membuat undang-undang itu.

Bahwa yang membuat PERPPU itu manusia bisa saja lupa, ada kemungkinan terjadi kesalahan pembuat undang-undang. Jadi tidak bisa dikatakan harus mesti ada ketentuan aturan peralihan. Tetapi Pemerintah juga punya hak, kalau tidak bisa buat peraturan peralihan bisa buat dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau peraturan pemerintah .

Menurut Prof. Frans Limahelu, seorang Ahli legislative drafting. Legislation itu adalah satu proses pembahasan dan persiapan. Pembahasan tentang peraturan perundang-undangan. PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dari UUD. karena hanya mengatur perizinan sebagai teknis administrasi kementerian kehakiman dan tidak merumuskan dan menulis tentang hal ikhwal kepentingan yang memaksa. Itu yang jelas sekali dalam Pasal 83A dan 83B. Malah hanya mengatur ketentuan penutup dalam suatu legislative drafting. Jadi, ingin menutup dalam satu perundangan yang mestinya melanjutkan apa-apa yang 35

(39)

dinyatakan tidak berlaku. Malah ini menyatakan, justru apa yang akan diberlakukan. Jadi itu dalam legislative drafting, sudah menyalahi aturan men-draft, aturan menyusun. Kedua, baik PERPPU maupun undang-undang tidak pernah mencabut larangan melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Ketiga, PERPPU

dan undang-undang tersebut, merupakan contoh dari bad laws

yang memberi motivasi untuk pada bad behavior yaitu dilakukan penambangan-penambangan sekehendak hati. Hal itu karena undang-undang kita, peraturan undang-undang memberikan motivasi.

Dalam konsideran menimbang dari PERPPU itu, dikatakan bahwa Undang-undang 41 memberikan ketidakpastian hukum berusaha di bidang pertambangan kawasan hutan. Akan tetapi, di dalam konsideran mengingat, mengangkat kembali bahwa undang-undang ini dikatakan tidak pasti tapi menjadi dasar hukum untuk mengeluarkan jadi PERPPU. Jadi, di dalam konsideran menimbang dan mengingat, saling mematikan, saling meniadakan. Baik menimbang, maupun mengingat, sehingga kesimpulannya, konsideran tidak bermuatan materi hukum tentang hal ikhwal kepentingan memaksa. Baru soal konsideran saja. Karena menggunakan Undang-undang 41 Tahun 1999 pada saat yang bersama juga meniadakan atau mencabut kekuatan berlaku Undang-undang tentang Kehutanan yang memberikan ketidakpastian untuk berusaha. Itu yang tentang konsiderannya.

Masuk pada diktum dari PERPPU, dalam konsideran menimbang tidak menyatakan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, maka

(40)

akibatnya diktum PERPPU tidak ada pasal yang memutuskan menetapkan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. yang ada hanya tentang pemberian izin. Sehingga PERPPU itu hanya menambahkan pada bab penutup, ketentuan baru yaitu semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku Undang-undang 41 Tahun 1999 dinyatakan tetap berlaku.

Kemudian yang Pasal 83B, pelaksanaan lebih lanjut ketentuan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Nomor 2. Diktum PERPPU Nomor 1 tersebut ditekankan di sini tidak mencabut Pasal 38 dari undang-undang tersebut. Dia tidak mencabut larangan melakukan pada kawasan hutan lindung, Pasal 38 ayat (4). Penggunaan kawasan untuk kepentingan pertambangan dilakukan dengan pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutan. Itu pun tidak dicabut.

Ketentuan peralihan kawasan hutan yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum perundang-undangan tentang Kehutanan, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 81 Ketentuan Peralihan. Sehingga kalau ada Pasal 83A dan 83B itu hanya mempertegaskan apa yang ada di Pasal 81. Sehingga kesimpulannya, diktum PERPPU Tahun 2004 sudah diatur dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan kawasan hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan terdahulu daripada Undang-undang Kehutanan Tahun 1999.

(41)

Ketentuan peralihan ini menjadi landasan hukum. Ketentuan Pasal 81 ini menjadi landasan hukum bagi izin yang telah dikeluarkan tentang pertambangan di kawasan hutan dinyatakan tetap berlaku, akan tetapi tidak untuk kawasan hutan lindung.

Ruang lingkup daripada Undang-undang No. 19 Tahun 2004 hanya mengesahkan atau mengangkat PERPPU Nomor 1 Tahun 2004, hanya memberikan legitimasi bentuk hukumnya, tidak PERPPU tapi undang-undangnya. Kita diberhadapkan dengan PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 yang ingin menguraikan tentang hal ikhwal keadaan yang kepentingan memaksa, kegentingan yang memaksa. Jadi tidak sama dengan keadaan darurat itu yang pertama, sehingga yang akan diatur di sini, adalah mengenai yang menurut ahli adalah tentang perizinan saja. Apakah perizinan itu menjadi hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan dari keterangan Ahli Hukum Administrasi itu adalah teknis administrasi kantor Kementerian Kehutanan, jadi itu pekerjaan sehari-hari bukan sesuatu yang kegentingan hal ikhwal yang memaksa, bukan masalah negara ini masalah yang non negara dan itu pun ahli tidak bisa menjawab apa itu karena PERPPU tidak menuliskannya. Jadi saya tidak berani menjelaskan lebih daripada apa yang tertulis.

Kalau ada kegentingan yang memaksa subjektif dan objektif, itu bisa teori. Ahli hanya bisa mengatakan, itu tidak tertulis di dalam PERPPU. Apakah yang akan diatur di dalam kegentingan memaksa? Hanya yang diatur adalah justru dikatakan di sini, menambah ketentuan baru pada bap penutup. Jadi, agak jauh menyimpang daripada apa yang esensi. Itu yang 38

(42)

bisa saya katakan, sehingga saya tidak bisa menjawab apakah subjektif atau objektif? Analoginya adalah seperti ketika saya mendapat masakan yang sudah tersedia.

Dalam legislative drafting dalam bahasa Inggris itu

dikatakan house keeping article. House keeping article itu,

selalu ditaruh di bagian belakang dari satu drafting, yaitu

ketentuan peralihan dan ketentuan penutup, dan saat berlakunya. Masing-masing, mempunyai bagian yang tidak bisa saling apa over lap. Kalau mau peralihan, aturlah peralihan. Tradisi di dalam drafting kita itu, sangat kelihatan seperti di dalam ketentuan peralihan Pasal 81. Selalu demikian. Semua peraturan-peraturan yang sudah akan dinyatakan berlaku, selama tidak bertentangan. Jadi, itu seperti masakan gado-gado, semua bisa dicampur, jadilah disitu.

Sekarang, terserah siapa yang mempunyai kepentingan, lalu menafsirkan. Bisa menafsirkan secara luas, bisa menafsirkan secara sempit. Akan tetapi, penafsiran yang dipakai hanya satu, yaitu apa yang tertulis, itu yang ditafsirkan. Sehingga kalau dikatakan bahwa kalau seseorang diberikan hak dan hak itu belum dicabut bearti tidak bisa dicabut. Dalam keadaan darurat pun, tidak bisa dicabut. Yang bisa mencabutnya, hanya lembaga peradilan. Tidak bisa Pemerintah. Sama sekali tidak bisa Pemerintah. Tidak bisa DPR. Yang bisa mencabutnya yaitu lembaga peradilan yang menyatakan hak seseorang dicabut karena ada konflik antara kepentingan pemegang hak dan yang

(43)

memberikan hak itu. Di situ, ada pertentangan sehingga perlu lembaga yang ketiga, yang mengatakan demikian.

Alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu No. 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi undang-undang.

Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan “Dengan

ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, berarti setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi adanya Penjelasan UUD 1945, sehingga Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang dikutip oleh Pemohon hanya dapat dikategorikan sebagai sebuah dokumen historis yang sama nilainya dengan dokumen historis lainnya, sebagaimana halnya dengan ketentuan Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 yang menggunakan terminologi Undang-undang Darurat untuk istilah Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan “

keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera”, yang dapat digunakan sebagai rujukan interpretasi historis. Bunyi Pasal 139 Konsitusi RIS dan Pasal 96 UUDS 1950 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 139 Konstitusi RIS:

(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

(44)

(2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Pasal 96 UUDS 1950:

(1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

(2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Bahwa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. “Hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

D. MEKANISME PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diakui sebagai salah satu bentuk Peraturan Perundang-Undangan seperti yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan, dari

(45)

Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan,maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

(46)

BAB IV

ANALISA EKSISTENSI

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM KAITANNYA

DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNTUK MENGUJI

UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG DASAR

C.PEMERIKSAAN PERKARA NOMOR 003/PUU-III/2005

1. Permohonan

Perkara nomor 003/PUU-III/2005 adalah perkara Hak Uji Materiil dan Formil atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan menjadi Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan diantaranya oleh ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Perkumpulan HuMA (Perkumpulan Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis), Lembaga LASA (Lembaga Advokasi Satwa), YAYASAN WALHI (WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ELSAM (Lembaga Studi Advokasi dan Hak Asasi Manusia), dan kelompok masyarakat lainnya serta juga ada perorangan yang tergabung untuk mengujian permohonan atas pengujian UU ini. Secara rinci para pemohon dalam pengujian UU No. 19 Tahun 2004 ini keseluruhan berjumlah 11 (sebelas) lembaga swadaya masyarakat yang berbentuk badan hukum yang

(47)

bergerak atas dasar kepedulian terhadap lingkungan hidup dan penghormatan, pemajuan, perlindungan, serta penegakan hukum dan keadilan, demokrasi, serta hak asasi manusia, dan 81 (delapan puluh satu) orang Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai perseorangan yang meliputi para warga masyarakat yang tinggal di lokasi beroperasinya 13 (tiga belas) perusahaan pertambangan di hutan lindung yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 dan para warga masyarakat aktivis lingkungan, serta para mahasiswa anggota organisasi pecinta alam.

2. Inti Perkara yang terkait dengan Pembahasan PERPPU

Pada tanggal 10 Maret 2004 Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor : SK-81/Menhut-VII/2004 tentang Pembentukan Tim Terpadu dalam rangka penyelesaian izin penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan yang melibatkan unsur-unsur dari kantor Meneg Lingkungan Hidup, LIPI, Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, dan instansi teknis di daerah, dengan Ketua Tim Pelaksana dari LIPI. Berdasarkan SK Menhut ini, tugas Tim Terpadu meliputi:

1. Menyiapkan bahan-bahan berupa petunjuk pelaksanaan, daftar isian (kuesioner), data/informasi pendukung yang diperlukan.

2.Melakukan identifikasi masalah melalui kajian ilmiah

berupa telaah data/informasi dan peta (desk study) dan

(48)

atau pengkajian lapangan (ground check/flight survey) serta analisis.

3. Merumuskan alternatif pemecahan masalah dan rekomendasi 4. Melaporkan hasil kajian kepada Menteri Kehutanan.

Kemudian pada tanggal 11 Maret 2004 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kehutanan Atas Perubahan Undang-Undangan Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (PERPPU Nomor 1 Tahun 2004). Dalam ketentuan itu, pasal 1 disebutkan :

Menambah ketentuan baru dalam Bab Penutup yang dijadikan pasal 83A dan pasal 83B, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 83A

Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud

Pasal 83B

Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pemohon perkara melihat tindakan sepihak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kehutanan Atas Perubahan Undang-Undangan Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (PERPPU Nomor 1 Tahun 2004), menimbulkan

(49)

penolakan dan reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah, antara lain didaerah-daerah sebagai berikut

Jakarta

Di Jakarta, penolakan terhadap PERPPU No 1/2004 dilakukan oleh Koalisi Ornop untuk Penolakan Alihfungsi Kawasan Lindung untuk Pertambangan. Siaran Pers penolakan dilakukan tanggal 12 Maret 2004. Koalisi menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1/2004 yang memberikan legitimasi bagi operasi pertambangan di hutan lindung merupakan tindakan pelecehan pemerintah terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lebih jauh lagi merupakan pelecehan terhadap Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Apalagi, proses pembuatan PERPPU tersebut dilakukan

secara tidak transparan. Koalisi juga mengecam lobby-lobby

yang dilakukan oleh pemerintah asal perusahaan-perusahaan multinasional pertambangan, khususnya Australia. Hal ini

dilakukan dengan melakukan pertemuan-pertemuan lobby oleh

duta-duta besar negara yang bersangkutan dengan pemerintah maupun DPR. Pemerintah Australia telah mengakui di hadapan parlemen Australia bahwa kedutaan besar Australia di Indonesia melakukan pertemuan-pertemuan dengan pemerintah Indonesia untuk meloloskan ijin tersebut.

Sumatera Utara (Sumut)

Pada tanggal 18 maret 2004 Organisasi-organisasi non-pemerintah/LSM, kelompok mahasiswa, kelompok pencinta alam,

(50)

aktivis lingkungan dan akademisi yang tergabung dalam POKJATAMSU (Kelompok Kerja Advokasi Tambang Sumatera Utara), menolak lahirnya PERPPU No 1/2004. Bagi masyarakat Sumut, lahirnya PERPPU tersebut merupakan ancaman terhadap kawasan calon Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang akan dijadikan lokasi operasi Perusahaan tambang emas PT. Sorikmas Mining. Jika kegiatan pertambangan PT. Sorikmas Mining diijinkan, hal ini akan mengancam sumber-sumber penghidupan dari jutaan orang di Sumatera Utara, seperti ancaman ketersediaan air, kelestarian daerah tangkapan air dan aliran sungai. Di samping itu juga akan mempercepat pemusnahan jenis-jenis satwa dan tumbuhan langka yang dilindungi oleh Undang-Undang dan perjanjian konvensi internasional, seperti Gajah Sumatera, Orang utan Sumatera, Tapir, Harimau Sumatera, dan Bunga Bangkai. Hal yang sama akan mengancam habitat keanekaragaman hayati tumbuhan tertinggi di dunia di Calon Taman Nasional Batang Gadis seluas 108.000 hektar yang arealnya tumpang tindih dengan dengan wilayah konsesi pertambangan PT. Sorikmas Mining seluas kurang lebih 55.000 hektar. Kondisi ini pada akhirnya akan mengulang dan mempercepat terjadinya TRAGEDI BAHOROK di daerah lain, khususnya di Propinsi Sumatera Utara.

Lampung

Pada tanggal 24 Maret 2004, di Lampung puluhan penggiat olahraga arung jeram menolak dikeluarkannya PERPPU No 1/2004. Bagi para penggiat arung jeram ini, pengeluaran PERPPU

(51)

tersebut menjadi ancaman terhadap kegiatan arung jeram baik sebagai kegiatan petualangan dan kegiatan pariwisata. Seperti diketahui, salah satu perusahaan tambang yang diuntungkan oleh keluarnya PERPPU di atas adalah perusahaan tambang emas PT. Natarang Mining yang akan beroperasi di kawasan hutan lindung Kabupaten Tanggamus, Lampung. Padahal di kawasan ini mengalir sungai Way Semong, salah satu sungai yang selama ini dijadikan sebagai lokasi kegiatan arung jeram di Lampung. Operasi PT. Natarang Mining jelas akan berdampak terhadap kawasan hutan lindung setempat dimana kemampuan daya tangkap air akan berkurang akibat pembabatan hutan, dan pada gilirannya pembuangan limbah kegiatan tambang juga berisiko buruk terhadap kualitas air sungai Way Semong.Bahkan salah seorang penggiat arung jeram, masing-masing Agus Toni dan Ir. Waras Budi Hartawan menyampaikan surat terbuka kepada Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Dua orang ini menolak dikeluarkannya PERPPU No 1/2004 yang Menurutnya tidak masuk diakal dan kontra produktif dengan upaya pelestarian hutan.

Penolakan yang sama juga dilakukan puluhan mahasiswa pecinta alam yang tergabung dalam Forum Konservasi Universitas Lampung (FKU). Kelompok mahasiswa ini bahkan juga sempat menggelar demonstrasi di Lampung pada tanggal 7 April 2004. Selain menolak PERPPU No 1 /2004, kelompok mahasiswa ini juga menolak segala bentuk pertambangan di kawasan Lindung, termasuk rencana beroperasinya PT. Natarang Mining di Kawasan Lindung Propinsi Lampung.

(52)

Pekanbaru, Riau

Pada tanggal 29 Maret 2004 Masyarakat Riau menolak PERPPU No 1/2004 karena proses pengeluaran PERPPU bertentangan dengan aturanperUndang-Undangan yang berlaku (UUD 45 pasal 22, Tap MPR No.III/MPR/ 2000 pasal 3). Pengeluaran PERPPU yang akan mengijinkan operasi pertambangan di hutan lindung akan mempercepat laju deforestasi hutan di Indonesia yang saat ini sudah mencapai 2,7-3,8 Juta Ha per Tahun. Padahal luas hutan alam Riau tinggal 27 % (data dari Dishut Riau) dari luasan daratan Riau 9,4 juta ha. Selain itu PERPPU juga semakin membuka peluang penghancuran hutan lindung Gunung Jantan dan Gunung Betina di Kabupaten Tanjung Balai Karimun oleh PT. Karimun Granit.

Sulawesi

Pada tanggal 29 Maret 2004, di Sulawesi Tengah aksi penolakan PERPPU no. 1 Tahun 2004 dilakukan oleh jaringam Advokasi Tambang (JATAM) terutama berkaitan dengan Fakta bahwa ada perusahaan tambang yang akan melakukan kegiatan di kawasan hutan lindung yang ada di Sulawesi Tengah, yaitu PT. Citra Palu Mineral dimana kegiatan eksplorasinya jelas-jelas akan mengancam sumber-sumber penghidupan jutaan orang di Sulawesi Tengah khususnya di Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong, seperti ancaman ketersediaan air, kelestarian daerah tangkapan air dan aliran sungai. Di samping itu, juga akan mempercepat pemusnahan jenis-jenis satwa dan

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketentuan Peraturan Jabatan Notaris maupun Undang -Undang Jabatan Notaris diatas dapat disimpulkan bahwa tugas pokok dari notaris adalah membuat akta-akta otentik,

Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masa kerja petani lama ( > 1 tahun) mempunyai risiko 5 kali lebih besar untuk mengalami keracunan pestisida bila dibandingkan

Statemen statemen dalam bahasa Pascal terdiri dari pernyataan yang berupa fungsi dan prosedur yang telah disediakan sebagai perintah standar Turbo Pascal.. Statemen-statemen

Pemberian dosis pupuk NPK 6 g dan konsentrasi air kelapa 50% menunjukkan pengaruh yang lebih baik pada parameter tinggi bibit kakao, luas daun dan berat kering

[3.1] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan bentuk kwantitatif dan kwalitatif deskriptif (mixed methode). Penentuan subjek menggunakan teknik populasi

ASPEK YANG DI OBSERVASI SANGAT BAIK BAIK KURANG BAIK TIDAK BAIK Antusias anggota kelompok √ Partisipasi anggota kelompok √ Aktivitas anggota kelompok √ Respon

Dalam pengelolaan Unit Rawat Inap ( URI ), salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan tempat tidur pasien. Pengelolaan tempat tidur pasien perlu mendapat