• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi KADIN mengenai keadaan Bahaya

UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

10. Persepsi KADIN mengenai keadaan Bahaya

Bahwa adalah keliru dimana Pemohon berasumsi bahwa "Kegentingan Yang Memaksa" yang diatur oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 diartikan sebagai atau sama dengan "keadaan Bahaya" dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat

militer, atau keadaan perang yang diatur dalam Pasal I UU.Prp. No.23 Tahun 1959. Berulangkali Pemohon secara keliru mengutip atau menambah sendiri atau memberikan penjelasan sendiri atas isi pasal yang dapat dianggap bersifat manifulatip secara sengaja terhadap isi pasal yang dimaksud, antara lain:

1. Pemohon secara sengaja manambah uraian (dalam tanda kurung) dalam Penjelasan Pasal 22 dengan: " Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden (hak Presiden untuk mengeluarkan suatu Peraturan perundang -

undangan dalam keadaan darurat, pen) dst. Uraian

tambahan oleh pemohon tersebut memberikan arti sekehendak Pemohon yang berbeda dengan arti yang seharusnya.

Pemohon mengartikan " noodverordering Presiden dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebagai hak presiden untuk mengeluarkan suatu Peraturan Perundang-undangan dalam keadaan darurat", seharusnya harus diartikan "sebagai keadaan genting" bukan "keadaan darurat ataupun keadaan bahaya".

2. Pemohon menguraikan secara salah, mengenai: "…..yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa Menurut Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 adalah suatu keadaan di mana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan". Penjelasan yang asli dari Pasal 22 tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan "keadaan yang genting" dan juga

tentang "keadaan darurat" sebagaimana dimaksud oleh Pemohon.

3. Pemohon dalam ketika mengutip pasal I UU.Prp.23 Tahun 1959 Tentang Keadaan bahaya, telah menyisipkan "rangkaian kata" genting dan memaksa sehingga seakan-akan pengertian "keadaan genting menurut pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sama dengan "keadaan bahaya" menurut UU.Prp 23 Tahun 1959 tersebut, padahal dalam pasal 1 UU Prp.23 Tahun 1959 tersebut tidak terdapat kata-kata "genting dan memaksa".

4. Pemohon mensitir seakan-akan dalam Penjelasan Umum UU.Prp.No.23 Tahun 1959 terdapat kata-kata " genting dan memaksa ".

Pasal 22 ayat (1) mengatur "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, yang dalam Penjelasan Pasal 22 dijelaskan, "Pasal ini' mengenai noodverorderingrecht Presiden ". Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat"; -- tanpa adanya menyebut " keadaan darurat ".

Pasal 1 ayat (1) UU.Prp.No.23 Tahun 1959 mengatur, " Presiden / Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila dst., tanpa menyebutkan adanya keadaan "genting dan memaksa" atau "kegentingan yang tidak terkait dengan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tetapi memaksa". Perlu diingat bahwa ketentuan "Tenting Keadaan Bahaya" ini terkait langsung dengan Pasal 12 UUD 1945 yang mengatur "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang ". Dalam "Penjelasan Pasal-Pasal : 10, II, 12,13, 14, 15", dijelaskan "Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara".

Untuk menyatakan Keadaan Darurat di Maluku dan Nanggroe Aceh Darussalam tidak dilakukan melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tetapi dengan Keputusan Presiden, yaitu:

1. Keppres No. 88 Tahun 2000 Tentang Pemberlakuan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara pada tanggal 26 Juni 2000.

2. Keppres No. 28 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Darurat Miiiter di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 18 Mei 2003 jo. Keppres No. 97 Tahun 2003 tentang Perpanjangan Darurat Militer di NAD

tanggal 18 November 2003 jo. Keppres No. 43 Tahun 2004 tentang Perubahan Darurat Militer menjadi Darurat Sipil di NAD.

Dapat disimpulkan bahwa keadaan bahaya, baik dalam tingkat keadaan darurat sipiI ataupun keadaan darurat militer ataupun keadaan darurat perang yang dimaksud oleh UU. Prp. No.23 Tahun 1959 yang bersumber dari Pasal 12 UUD 1945 yang dalam Penjelasan disebut bahwa kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara yang dalam praktek kenegaraan dinyatakan dengan Keppres, sedang kegentingan yang memaksa yang bersumber dari Pasal 22 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, yang walaupun Penjelasan UUD 1945 tidak menjelaskan, Namun secara contrario dari Penjelasan tentang pasal 12 UUD 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ditetapkan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Oleh karena itu kegentingan yang memaksa amat berbeda dengan keadaan bahaya baik tingkat keadaan darurat sipil ataupun keadaan darurat militer atau darurat perang. Untuk menjelaskan lebih jauh, dapat dibandingkan asal-usul Keadaan Darurat di Maluku dan Nanggroe Aceh Darussalam dengan "kegentingan yang memaksa" dalam penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan latar belakangnya, sehingga jelas tidak ada kaitan kegentingan yang memaksa yang membutuhkan ditetapkannya PERPPU dengan keadaan bahaya dan keadaan darurat sebagaimana dimaksud UU Prp No. 23/1959

Tentang Keadaan Bahaya :

1. Ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan mulai berlakunya UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, alasannya hanya karena "pelaksanaan undang-undang tersebut memerlukan berbagai persiapan, pemahaman, dan kesiapan, baik dilingkungan segenap aparatur pemerintah yang bersangkutan maupun masyarakat pada umumnya";

PERPPU tersebut diterbitkan hanya karena persiapan dan kesiapan aparatur dan masyarakat belum memadai untuk melaksanakan UU tersebut, dikeluarkan PERPPU, sehingga penerbitan PERPPU lebih dititik beratkan kepada mengisi kekosongan pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan, bukan menyangkut keadaan bahaya, darurat sipil, darurat militer atau darurat perang.

2. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme dalam konsiderannya menyebutkan Menimbang: f dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Peraturan Pernerintah Pengganti Undang-undang;"

3. Demikian juga halnya PERPPU No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, konsideransnya lebih simple lagi: Menimbang: c. " perlu menetapkan PERPPU tentang Pemberlakuan PERPPU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002".

Dapat juga dibandingkan antara "PERPPU No.1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan" dengan "PERPPU No.1 Tahun 1992 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU.No.14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan" yang ditetapkan karena masih diperlukannya berbagai persiapan, pemahaman, dan kesiapan baik dilingkungan segenap aparatur pemerintah yang bersangkutan maupun masyarakat pada umumnya, demikian juga PERPPU No.1 Tahun 2004 diterbitkan oleh karena adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan ketidakpastian hukum, karena tidak diaturnya dalam Aturan Peralihan perihal ijin dan perjanjian/Kontrak Karya Pertambangan. Kalau PERPPU No.1 Tahun 1992 ditetapkan untuk menangguhkan mulai berlakunya Undang-undang No.14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan karma pelaksanaan undang-Undang, justru PERPPU No.1 Tahun 2004 untuk melakukan Perubahan pada UU No.41 Tahun 1999 dengan melakukan penambahan pasal. Dengan telah disahkannya UU No. 19/2004 sebagai undang-undang, sebenarnya PERPPU No. 1/2004 telah menjadi sejarah.

Pemohon menyatakan bahwa larangan melakukan pertambangan

dengan pola Terbuka (open pit mining) bukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas retroaktif karena tidak membatalkan iiin kontrak karya pertambangan yanga telah ada sebelumnya. Dengan latar belakang Pemohon tersebut, terbukti dan Pemohon mengakui bahwa dengan berlakunya UU No.41 Tahun 1999 Tenting Kehutanan telah terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dan ketidakpastian hukum menyangkut ijin dan perjanjian/kontrak karya yang telah ada sebelum berlakunya UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dan oleh karena itu terbukti bahwa sudah benar secara hukum dan adalah sesuai dengan amanat konstitusi ditetapkannya PERPPU No. 1 Tahun 2004 yang kemudian disahkan menjadi UU No.19 Tahun 2004.

Terlepas dari itu, juga terlepas dari tidak diaturnya oleh UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tentang status ijin dan perjanjian/kontrak kerja, secara hukum ijin dan perjanjian/kontrak kerja adalah tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan menunjuk kepada Perkara No : 001/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan, di mana Mahkamah Konstitusi membatalkan keseluruhan Undang-undang tersebut. Dengan dibatalkan atau dicabutnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan, maka konsekuensiinya agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) :

1. Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No.15/1985 Tentang Ketenagalistrikan menjadi berlaku kembali sampai Pemerintah dan DPR menyepakati undang-undang baru.

2. Kontrak-Kontrak Kerja maupun ijin usaha yang didasari pada Undang-undang Nomor 20/2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak tersebut habis atau tidak berlaku. Sedangkan kontrak yang masih direncanakan akan ditanda tangani harus kembali mengacu pada ketentuan UU No.15/1985.

3. Hakim Konstitusi Prof.Abdul Mukhtie Fajar, SH., MS menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi berlaku perspektif ke depan sejak diucapkan putusannya. Dengan demikian, seluruh perjanjian kontrak dan ijin usaha dibidang ketenagalistrikan berdasarkan UU terkait yang telah ditanda tangani sebelum putusan ini dikeluarkan tetap berlaku sampai habis masa perjanjiannya. Namun, setelah hadir ini (15112/04) tidak bisa lagi ada kontrak atau ijin usaha yang baru.

Oleh karena itu, sekiranya UU No.19 Tahun 2004 dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, masa sejak izin, perjanjian Kontrak Karya dan segala sesuatu yang bersumber dari itu, tetap berlaku sampai izin habis.