• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERADABAN AWAL INDONESIA A. Pendahuluan

B. Kegiatan Pembelajaran

Hasil budaya, bahasa, dan fosil manusia merupakan petunjuk yang dapat mengantarkan kepada pengetahuan mengenai peradaban awal Indonesia. Hasil-hasil budaya memberi petunjuk bahwa suatu benda dengan ciri-ciri tertentu pasti dibuat dan dipergunakan oleh kelompok masyarakat tertentu yang berpusat pada daerah tertentu. Oleh karena itu, persebaran suatu benda budaya pada daerah lain yang berbeda dan jauh dari pusat atau asal tempat benda tersebut dibuat dapat memastikan persebaran pembuatnya. Sementara itu, kesamaan-kesamaan tertentu dalam bahasa serta fosil pemakainya dapat memperkuat dugaan-dugaan tadi. Brandes, H. Kern, dan Von Heine Geldren adalah beberapa ilmuwan yang melakukan penelitian mengenai hal tersebut guna mendukung dugaan-dugaan adanya persebaran komunitas manusia dari pusat budaya asalnya ke Indonesia.

Perhatikan peta di bawah ini!

Peta tersebut menggambarkan situasi Kepulauan Indonesia sebelum terbentuk seperti saat ini. Tampak Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sebagai satu kesatuan

41

yang tak terpisah dengan Asia daratan, demikian juga Sulawesi yang masih menyatu dengan Filipina, Taiwan, dan Vietnam di utaranya. Sementara, Papua dan kepulauan di sekitarnya menyatu dengan Australia.

Bangsa Negrito atau Papua Melanesoid dengan ciri kulit hitam dan rambut keriting yang tinggal di antara India dan Asia Tenggara adalah bangsa pertama yang melakukan migrasi ke Indonesia melalui arah barat dan timur. Migrasi itu oleh sebagian ahli ditaksir kira-kira berlangsung pada 7.000-8.000 tahun yang lalu. Mereka yang datang dari arah barat menelusuri kawasan Birma, Thailand, Malaysia, selanjutnya ke Jawa dan Sumatera. Dari arah timur kawasan yang ditelusurinya, antara lain Tonkin (Vietnam), Filipina, terus menuju Sulawesi.

Bangsa tersebut membawa serta budaya flakes dan alat-alat dari tulang selain kapak genggam (chopper) yang lebih maju berupa pebble (kapak Sumatera) dan hache courte (kapak pendek). Juga diduga sebagai hasil budaya peninggalannya adalah pipisan atau batu-batu penggiling beserta landasannya yang menurut perkiraan difungsikan untuk menggiling makanan. Sebagian dari hasil budaya itu ditemukan di gua-gua daerah pedalaman (abris souche rouche) atau di gua-gua tepi pantai (rock shelter). Hal itu menggambarkan tempat tinggal mereka. Sebagian lainnya ditemukan dalam onggokan sisa-sisa sampah dapur yang berupa bukit kerang yang sudah memfosil (Kjokenmoddinger).

Amati pula peta berikut ini!

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores adalah tempat penemuan hasil-hasil budaya tersebut. Secara khusus, Kjokenmoddinger terdapat di sepanjang pantai Sumatera Timur dan di antara Langsa di Aceh dan Medan, sedangkan Abris Souche Roche dan Rock Shelter ditemukan di Gua Lawa dekat Sampung (Ponorogo, Madiun), Bojonegoro, Lamoncong (Sulawesi Selatan). Para ilmuwan yang melakukan penelitian mengenai hasil-hasil budaya tersebut, antara

42

lain Vonstein Callenfels (1925, 1928, 1931, 1933, 1954), Fritz Salasin dan Paul Sarasin (1893-1896) dan Van Heekern (1937).

Pelajari Gambar berikut ini!

Pada Gambar di atas tampak Peta Kepulauan Indonesia sudah terbentuk seperti adanya sekarang. Sumatera, Jawa, Kalimantan, tak lagi menyatu dengan daratan Asia, demikian pula Sulawesi. Hal yang sama juga terjadi pada Papua terpisah dari Australia. Peristiwa ini terjadi karena gumpalan es di Kutub Utara mencair. Akibatnya air laut menjadi bertambah dan menggenangi serta menutup daratan-daratan rendah yang ada waktu itu. Terpisahlah Kepulauan Indonesia dari daratan Asia.

Setelah Kepulauan Indonesia terbentuk seperti itu tibalah kaum migran gelombang kedua ke Indonesia. Menurut dugaan migrasi itu terjadi pada 4000 tahun yang lalu. Mereka membawa serta hasil budayanya dalam jenis dan bentuk yang sama dengan sebelumnya, hanya sudah lebih spesifik kegunaannya serta lebih halus tampilan bendanya karena diasah. Benda budaya yang ditemukan itu disebut sebagai Budaya Bachson-Hoabinh sesuai dengan tempat asal dan pusat benda itu dibuat, yaitu di daerah sekitar Tonkin, tepatnya di dekat Pegunungan Bachson dan Hoabinh. Alat-alat pebble, flake, dan alat-alat tulang serta alat batu jenis beliung persegi, kapak lonjong, alat obsidian, mata panah, dan benda megalitik adalah hasil budaya termaksud. Amati tempat penemuan alat-alat tersebut pada peta berikut ini!

43

Peta tersebut menggambarkan persebaran hasil budaya dari para migran yang datang pada gelombang ketiga ke wilayah Indonesia. Mereka sering disebut sebagai orang Deutero Melayu atau Melayu Muda. Ada juga yang menyebutnya sebagai orang Dongson. Sebutan terakhir pada kaum pendatang itu mengingatkan pada daerah Dongson di Vietnam Utara yang merupakan penghasil budaya jenis alat batu baru dan logam. Jenis alat batu baru itu berupa kapak persegi, kapak bahu, kapak lonjong yang sudah betul-betul menampakkan fungsinya dan sangat halus tampilannya. Kapak corong, candrasa, nekara, moko, aneka perhiasan, bejana perunggu merupakan jenis benda dari logam. Selain itu, ditemukan juga ragam alat tembikar dan manik-manik perhiasan yang indah dan bernilai seni. Rasa seni mereka juga tampak pada lukisan-lukisan berupa cap-cap tangan dan binatang sejenis babi hutan dalam gua-gua yang diduga sebagai bekas tempat tinggalnya.

Kaum migran ini juga diduga telah menghayati kepercayan yang kita sebut animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini merupakan pengembangan dari adanya keyakinan bahwa ada kehidupan lain setelah kehidupan dunia nyata, yaitu kehidupan yang tak tampak yang ada di luar batas kemampuan pancaindra dan di luar batas pemikiran. Keyakinan itu kemudian melahirkan keyakinan baru seperti adanya roh, kesaktian, upacara-upacara magis beserta peralatannya, tempat-tempat upacara, waktu upacara, orang-orang yang melakukan upacara, serta larangan lainnya yang berupa jampi-jampi atau doa.

Kemampuan lain yang dikuasai para migran itu adalah kemampuan mengolah tanah dengan irigasi yang teratur. Mengusahakan perikanan laut serta pelayaran adalah aktivitas yang dikerjakannya selain mengolah tanah atau bersawah.

Berikut ini adalah Peta Wilayah Indonesia yang Mendapat Pengaruh Budaya Dongson.

44

Kajian tentang peradaban awal Indonesia selain dilakukan dengan pendekatan arkeologis dan fisik biologis seperti dikemukakan terdahulu ada pula yang melakukannya dengan pendekatan yang lain, yakni dengan pendekatan linguistik atau kebahasaan. Artinya, aspek bahasa digunakan untuk menelusuri asal-usul bangsa Indonesia. Tokoh ahli bahasa yang pernah melakukan penelitian dengan pendekatan bahasa, antara lain Kern. Pada tahun 1889, Kern menulis sebuah artikel dengan judul, “Beberapa Petunjuk Menurut Ilmu Bahasa untuk Menentukan Tanah Asal Bangsa-Bangsa Melayu-Polinesia” (Taalkundige gegevens ter bepaling van het stamland der Maleisch-Polynesische volken). Tulisan Kern itu kemudian dijadikan salah satu landasan penelitian bahasa-bahasa di kawasan Indonesia sekaligus dijadikan dasar bagi penelitian tentang daerah asal bangsa Indonesia.

Menurut pemikiran Kern, asal-usul bangsa Indonesia dapat ditelusuri dari segi bahasa dengan cara meneliti kata-kata yang digunakan masyarakat pemakai bahasa, terutama kata-kata yang berhubungan dengan makanan pokok. Pemikiran itu bertitik tolak dari suatu pendapat bahwa kebutuhan utama di negeri asal bangsa Indonesia tentu akan sama dengan kebutuhan utama di wilayah yang

45

mereka datangi. Padi (beras) adalah makanan pokok yang jadi kebutuhan utama bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kata padi menjadi objek bahasa yang diteliti guna menentukan asal-usul dan penyebaran bangsa induk yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia. Hasil penelitian mengenai hal tersebut ternyata mendukung kesimpulan pendapat di atas.

Kata padi dalam berbagai variasinya menunjukkan arti suatu kata yang sama untuk menyebut makanan pokok. Misalnya, kata padi disebut pari (Jawa), padi (Bali), pade (Aceh), page (Batak), faghe (Nias), pare (Sunda), pala (Buru), hala (Seram), ai (Letti), ane (Timor), hade (Roti), dan are (Sawu). Semua variasi kata padi tersebut menunjuk pada makanan pokok yang sama yang digunakan oleh masyarakat di daerah Cina Selatan, terutama Vietnam dan Kamboja sekarang. Oleh sebab itu, Kern berkesimpulan bahwa negeri asal nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Vietnam dan Kamboja.

Sesungguhnya bukan hanya kata padi saja yang dijadikan objek penelitian Kern itu, melainkan juga jenis tumbuhan lain, seperti tebu, kelapa, pisang, bambu, dan rotan. Namun, yang paling utama adalah padi. Selain itu, penelitian kesamaan kata atau istilah antara penduduk daerah induk dan daerah yang didatangi (Nusantara) diperluas pada istilah-istilah dalam pelayaran dan bagian-bagian dari kapal (perahu) serta binatang-binatang laut, seperti penyu, ikan, hiu, kepiting, dan udang. Kata dan istilah lain yang menguatkan kesimpulan Kern di atas adalah penggunaan kata selatan yang berasal dari kata selat. Kata selat yang secara geografis berarti laut di antara dua pulau kemudian berubah menjadi arah mata angin. Dengan perubahan itu dapat ditafsirkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari sebelah utara selat itu (maksudnya Selat Malaka), yakni dari Vietnam dan Kamboja sekarang.

Teori Kern di atas ditunjang dan dikuatkan kebenarannya oleh penelitian yang dilakukan Van Stein Callenfels dan Von Heine Geldern tentang persebaran artefak berupa persebaran jenis kapak persegi. Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan oleh kedua peneliti di atas, disimpulkan bahwa kebudayaan kapak persegi berasal dari daerah-daerah sungai besar di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Sungai Si-Kang (Kanton), Yan Tse Kiang dan Song Khoi (Hanoi-Vietnam). Daerah-daerah itu lazim disebut Yunan atau disebut juga daerah Cina Selatan. Dari daerah itu kebudayaan kapak persegi menyebar melalui laut dan sungai ke Asia Tenggara serta pulau-pulau di Lautan Teduh.

Mengingat kembali penelitian Kern, ternyata bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya berasal dari satu induk bahasa yang

46

oleh ahli etnografi disebut rumpun bahasa Austronesia yang berarti Kepulauan Selatan (austro = selatan; nesos = pulau). Selain bahasa-bahasa yang dipergunakan di Indonesia, bahasa-bahasa bangsa lain yang termasuk rumpun bahasa Austronesia ini adalah bahasa orang Melayu Melanesia, Melayu Mikronesia, dan Melayu Polinesia. Yang termasuk pengguna rumpun bahasa Melayu Indonesia adalah orang-orang yang tinggal di Pulau Malagasi, Filipina, Taiwan, atau Formosa, sedangkan yang termasuk pengguna rumpun bahasa Melayu Melanesia adalah orang-orang yang tinggal di New Britania, New Ireland, New Hebrides, dan Pulau Fiji. Sementara yang termasuk pengguna rumpun bahasa Melayu Polinesia meliputi orang-orang yang tinggal di Pulau Hawaii, Marquesas, Rapanui, Maori, Tonga, dan Samoa.

Rumpun bahasa Austronesia tersebut meliputi lebih kurang 400 bahasa. Dua ratus bahasa di antaranya terdapat di wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, bahasa-bahasa yang terdapat di Indonesia sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke yang juga dinamakan Nusantara, akan lebih banyak lagi jumlahnya (Agraha S.S, 1997: 146).

Dari penjelasan mengenai kajian tentang peradaban awal Indonesia menarik untuk diajukan pertanyaan seperti berikut ini. Siapa sesungguhnya nenek moyang bangsa Indonesia sekarang? Apakah manusia pra-aksara seperti yang telah diuraikan terdahulu? Ataukah bangsa Indonesia itu merupakan bangsa keturunan dari bangsa (ras) tertentu? Bagian berikut ini akan mencoba menjawab pertanyaan di atas.

Ada ahli yang berkesimpulan bahwa terdapat hubungan antara fosil-fosil manusia pra-aksara sejak fosil yang paling primitif hingga fosil Homo Sapiens. Artinya, penghuni Kepulauan Nusantara yang paling tua adalah makhluk dari jenis Pithecanthropus. Makhluk ini berkembang menjadi makhluk-makhluk yang meninggalkan bekas-bekas berupa tengkorak Pithecanthropus Erectus dalam proses waktu yang sangat lama, kemudian berevolusi menjadi fosil manusia yang selanjutnya kita sebut sebagai Homo Soloensis. Dari jenis Homo Soloensis inilah kemudian terjadi lagi evolusi yang menurunkan jenis makhluk baru yang fosilnya disebut Homo Wajakensis. Homo Wajakensis, menurut para ahli memiliki banyak sekali persamaan dengan tengkorak-tengkorak penduduk asli Australia sekarang. Karena itu, timbul dugaan bahwa telah terjadi migrasi makhluk jenis Homo Wajakensis dari Nusantara ke daerah sebelah timur (Papua dan sekitarnya) termasuk Australia.

besar-47

besaran dari daerah antara India dan Asia Tenggara ke arah barat-timur maupun utara-selatannya. Tidak jelas dan pasti mengapa perpindahan itu terjadi. Menurut dugaan, kejadian alam dan kekacauan adalah penyebabnya. Perpindahan itu telah menimbulkan antara lain hibridisasi antarkaum migran dengan penduduk asli (autochton) atau terdesaknya penduduk asli hingga berpindah ke daerah lain menjadi migran baru. Dengan demikian, gelombang perpindahan penduduk baru ke daerah lain apabila tidak terjadi hibridisasi di antara kaum migran dengan autochton.

Dalam kaitan dengan hal itulah timbulnya kedatangan komunitas manusia pra-aksara dari luar Nusantara (Indonesia) dan berpindahnya penduduk Nusantara (jenis Homo Wajakensis) ke sebelah timur Nusantara dan Australia. Tentu saja peristiwa itu tidak otomatis, tetapi dalam proses waktu yang sangat lama.

Perhatikan lagi gambar berikut ini!

Peta persebaran manusia dan hominid (sekitar 100.000 hingga 1500 tahun yang lalu).

Homo sapiens (sejak 195.000 tahun lalu) Neanderthal (600.000–30.000 tahun lalu) Hominid purba (2,5–0,6 juta tahun lalu

Dari peta itu dapatlah dibaca dinamika gerakan awal penduduk di Asia Tenggara sebagai mata rantai dari gelombang besar gerakan perpindahan penduduk pada sebelum 2000 SM. Dengan pengamatan terhadap dua peta itu dapat diuraikan hal sebagai berikut: “daerah antara India dan Asia Tenggara dahulu kala didiami oleh bangsa-bangsa yang berkulit hitam dan berambut keriting. Lalu pada kurang lebih dua ribuan tahun Sebelum Masehi daerah itu didatangi oleh dua jenis ras, yaitu ras Aria dari sebelah Barat dan ras Mongoloid

48

dari sebelah Timur. Terjadilah hibridisasi pada kawasan itu. Bukti hibridisasi adalah adanya aneka warna kulit, seperti warna kulit kuning langsat, kulit sawo matang, kecokelat-cokelatan sampai warna kulit cokelat tua pada penduduk sekitar kawasan Asia Tenggara daratan sekarang ini”.

Menurut penelitian para ahli, penduduk Indonesia sekarang ini adalah keturunan dari penduduk Asia Tenggara daratan yang datang ke Indonesia dalam beberapa gelombang. Gelombang migran pertama berasal dari Yunan di Cina bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah hulu sungai dari sungai-sungai besar yang ada di Cina Selatan, seperti Yang Tse Kiang dan Mekong yang mengalir ke Laut Cina, Vietnam, dan Birma. Dari sana kemudian mereka menyebar ke hilir mengikuti arus sungai hingga sampai pada daerah Tonkin (Teluk Tonkin di Vietnam). Di Tonkin, mereka beradaptasi dengan alam pantai dan laut. Timbullah kepandaian membuat perahu dengan model khusus yang disebut perahu bercadik sebagai sarana transportasi utama mereka di kemudian hari.

Wilayah laut yang terbuka mendorong mereka melakukan pelayaran yang sangat jauh. Diduga mereka menemukan pantai Malaka. Dari Malaka lambat laun sampai di Sumatera, Jawa, Bali, bahkan ada tanda-tanda sampai ke Timor. Kehadiran mereka mempengaruhi penduduk asli pulau-pulau tersebut karena banyak di antaranya yang singgah dan menetap. Migrasi gelombang pertama ini datang ke Indonesia pada masa bermukim dan merupakan penghasil alat atau perkakas batu yang sudah diasah (diupam).

Gelombang migran kedua datang dari tempat yang sama, yaitu Yunan di Cina Selatan. Dari Yunan menuju Birma, Malaka Barat, Pantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Yang lain ada yang ke Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Selain itu, kelompok migran kedua ini ada yang melalui jalur laut seperti halnya kelompok migran yang pertama. Mereka yang datang pada gelombang kedua ke Nusantara ini disebut orang Proto Melayu atau Melayu Tua. Suku-suku bangsa yang diduga sebagai keturunan dari Proto Melayu ini, antara lain, Batak (Sumatera Utara), Dayak (Kalimantan Barat), dan Toraja (Sulawesi Barat). Dugaan adanya migran kedua ini diperkuat dengan adanya kemiripan geografis tempat asal kelompok Melayu Tua dengan daerah di Nusantara yang dipilihnya sebagai tujuan perpindahan. Ternyata bahwa alam di sekitar Danau Toba, di pedalaman Kalimantan dan pedalaman Sulawesi Tengah mirip dengan kondisi geografis di Yunan.

Berbeda dengan sebelumnya, kelompok migran ketiga berasal dari daerah Dongson di Vietnam Utara. Mereka menempuh jalur laut, menuju Malaka,

49

kemudian ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Madura. Kelompok ini disebut sebagai kelompok Deutero Melayu atau Melayu Muda. Mereka ini telah pandai mengolah logam dan membuat perkakas terutama perkakas dari perunggu. Kemudian mereka telah mengenal pertanian dengan sistem irigasi serta mengenal perikanan laut dan pelayaran. Masuk ke Indonesia pada masa kehidupan menetap dan budaya bersawah.

Demikianlah gambaran mengenai penyebaran komunitas manusia pra-aksara dari pangkal penyebarannya hingga memasuki wilayah Indonesia ini.

Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa peradaban awal Indonesia itu dikembangkan oleh dua jenis komunitas , yaitu: a. Komunitas masyarakat pra-aksara asli Indonesia, seperti jenis manusia purba

Meganthropus Palaeojavanicus, Pithecanthropus Erectus, dan Homo Sapiens. b. Komunitas masyarakat pra-aksara yang berasal dari luar Indonesia (Yunan)

yang kemudian menyebar, masuk, dan tinggal di Indonesia.

C. Rangkuman

Peradaban awal Indonesia dibangun oleh dua komunitas masyarakat pra-aksara yakni komunitas masyarakat yang terdahulu ada dan yang kemudian datang ke Indonesia. Kedua komunitas masyarakat tersebut memiliki budaya yang berbeda yang kemudian saling melengkapi dan menyempurnakan baik bentuk maupun fungsi serta ragamnya. Hal tersebut karena masing-masing komunitas memiliki respon yang berbeda dalam cara berhubungan dengan lingkungan.

Peradaban awal Indonesia menunjukkan keragaman sebagaimana kemudian terlihat dalam cikal bakal perkembangan hukum, kepercayaan, pemerintahan, dan sosial

Dokumen terkait