• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.3 Kegunaan Penelitian

 Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Magister di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

 Sebagai bahan informasi bagi kepentingan ilmu pengetahuan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembentukan Lahan Gambut

Laju pembentukan tanah gambut berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain dengan dekomposisi yang cukup lambat hal ini dipengaruhi beberapa faktor yaitu : sumber air, iklim (suhu, curah hujan,dan kelembaban), vegetasi atas tanah gambut, drainase dan sumber mineral yang terkandung dalam air (Maas, 2012). Secara umum, pembentukan tanah di Indonesia memiliki jenis batuan induk tanah yang berbeda-beda namun ada beberapa jenis batuan dan bahan induk yang dominan diantaranya, bahan organik, aluvium, batu gamping, batuan sedimen, batuan morfik, batuan plutonik, batuan volkanik dan tufa. Bahan induk dari tanah gambut sendiri tersusun dari bahan organik sehingga tanah gambut juga disebut tanah organik (Subagyo et al., 2000).

Pembentukan tanah gambut membutuhkan waktu yang lama dan dapat terjadi ribuan tahun sampai puluhan ribu tahun. Proses pembentukan tanah gambut dimulai dari adanya cekungan yang membentuk seperti danau dangkal yang lama kelamaan dipenuhi oleh tumbuhan air dan vegetasi lahan basah.

Tumbuhan air dan vegetasi basah lain yang berada di dalam cekunngan yang mati dan membusuk akan menyusun lapisan yang kemudian berubah menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dan substratum (lapisan dibawahnya) sebagai tanah mineral. Tumbuhan berikutnya yang tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan membentuk lapisan- lapisan karena dekompisisi bahan organik sehingga danau tersebut lama-kelamaan menjadi penuh (Susanto et al.

2018).

Akibat proses pembentukan gambut yang khas ini maka sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral. Bahan utama pembentukan tanah gambut terutama gambut tropika adalah sisa-sisa tumbuhan terutama pepohonan. Pembentukan gambut dalam dominan dibentuk oleh bahan organik sedangkan gambut yang dangkal dibentuk bahan organik serta bercampur dengan bahan mineral seperti liat (Noor, et al. 2016).

Danau dangkal yang berbentuk cekungan yang terisi vegetasi tumbuhan yang sudah mati dan air disebut dengan gambut topogen karena pembentukkanya dimulai dari cekungan-cekungan (Susanto et al. 2018). Gambut topogen memiliki tingkat kesuburan lebih tinggi dibandingkan dengan gambut ombrogen hal ini dikarenakan adanya pengaruh pengkayaan bahan mineral sedangkan gambut ombrogen kesuburannya lebih rendah karena tidak dapat pengkayan mineral dari mineral yang terkandung dalam air yang masuk kedalam tanah gambut. Gambut yang terbentuk diatas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen.

Tanaman yang tumbuh diatas gambut topogen akan lebih tumbuh subur dibandingkan gambut ombrogen. Hasil pelapukan yang berada ditengah-tengah cekungan akan membentuk lapisan gambut baru yang lama-kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Agus dan Subiksa, 2008).

2.2 Karakteristik Gambut

Karakteristik khas dan spesifik tanah gambut yang membedakan dengan sifat tanah mineral terkait dengan kematangan, kandungan bahan penyusun, ketebalan, dan lingkungan sekitarnya yang berbeda, antara lain : irreversible drying (mudah mengalami kering tak balik), subsidence, rendahnya daya dukung

(bearing capacity) lahan terhadap tekanan, rendahnya kesuburan tanah dan hara kimia serta terbatasnya jumlah mikroorganisme tanah (Noor, et al. 2016)

2.2.1 Karakteristik Fisik

Karakteristik fisika tanah gambut meliputi beberpa faktor berikut ini yaitu:

kematangan, ketebalan, kadar air, lapisan dibawahnya (substratum), porositas, berat isi dan daya hantar hidrolik. Karakteristik fisika tanah gambut memiliki hubungan satu dengan yang lain dan saling berpengaruh, semua karakteristik fisik terkait dengan kadar bahan organik atau ketebalan gambutnya. Karakteristik fisik tanah gambut adalah salah satu parameter untuk menjadi bahan pertimbangan utama dalam penilaian kesesuaian lahan (evaluasi lahan) untuk pertanian (Noor, et al. 2016). Adapun karakteristik fisik gambut yang penting dalam

pemanfaatannya untuk pertanian meliputi berat isi (bulk density), kadar air, daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008)

Rendahnya bulkdensiti tanah gambut mengakibatkan daya menahan ataupun menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah sehingga pengolahan tanah secara mekanis sulit dilakukan. Daya menahan beban yang sangat rendah akan menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi, begitupun dengan tanaman budidaya terutama tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet dimana tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan akan menjadi doyong sampai roboh. Pertumbuhan kelapa sawit yang miring atau doyong dianggap masyarakat menguntungkan karena akan memudahkan dalam pemanenan kelapa sawit (Agus dan Subiksa, 2008). Bulkdensiti gambut di daerah dataran rendah memiliki nilai berkisar antara 0,1-0,3 g/cm3 (Noor, et al. 2016)

Porositas tanah gambut umumnya tinggi antara 70-95%. Jika dikeringkan terus-menerus porositas tanah gambut akan berkurang. Ukuran penurunan harga porositas gambut akibat pengeringan bergantung pada derajat perubahan gambut.

Pada tingkat perkembangan saprik, penurunan porositas yang paling mencolok diikuti oleh tingkat perkembangan hemik dan paling sedikit pada tingkat perkembangan fibrik. Perbedaan porositas ini membuat perbedaan dalam kapasitas menahan air. Perbedaan porositas ini membuat perbedaan dalam kapasitas menahan air. Porositas memiliki hubungan positif dengan kedalaman atau tingkat perkembangan gambut dan juga diidentifikasi dengan tingkat kematangan, konduktivitas hidrolik secara horizontal lebih cepat atau lebih tinggi dibandingkan dengan daya konduktivitas hidrolik secara vertikal (Noor, et al.

2016)

Sifat gambut lain ialah sifat kering tak balik (irreversible drying) yang terjadi karena tanah gambut yang mengalami kekeringan yang berlebihan sehingga koloid tanah gambut menjadi rusak dan mengakibatkan kerugian dari segi fungsi hidrologi dan fungsi produksi dari gambut tersebut. Kekeringan yang terjadi akan menyebabkan bahan organik mudah terbakar sehingga akan mengubah gambut menjadi arang yang tidak dapat lagi menyerap hara dan menahan air. Kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan vegetasi sekitarnya (Wahyunto, et al. 2005).

2.2.2 Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia tanah gambut sangat beragam diantaranya ada beberapa karakter kimia tanah gambut yang utama dan spesifik yaitu : kemasaman tanah, kapasitas tukar kation, kadar abu, ketersediaan unsur hara makro dan

mikro, kadar asam organik dan kadar pirit. Ketersediaan sejumlah unsur hara yang rendah pada tanah gambut seperti pH rendah (masam), unsur hara makro (Ca, Mg, K dan P) serta unsur hara mikro (Cu, Zn, Mn, dan B) yang rendah memperlihatkan tingkat kesuburan gambut yang sangat rendah dimana gambut juga mengandung asam-asam organik yang beracun (Noor, et al. 2016)

Salah satu sifat kimia yang menjadi kendala pada tanah gambut yaitu adanya asam-asam organik yang beracun dan tinggi sehingga tanah gambut memiliki tingkat kemasaman yang tinggi (Andriesse, 1988, Masganti, 2003a).

Lahan gambut yang memiliki tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan nilai pH berkisar pH 3-5. Salah satu penyebab tingkat kemasaman yang tinggi tanah gambut adalah karena kondisi drainase yang tidak baik dan hidrolis asam-asam organik (Noor, et al. 2016)

Kadar Al dd (Aluminium dapat dipertukarkan) pada tanah gambut umumnya sangat rendah sampai sedang serta diikuti dengan pH tanah gambut yang rendah sebaliknya kadar H dd meningkat sesuai dengan menurunnya nilai pH. Hal ini terjadi karena sumber Al atau mineral-mineral tanah pada tanah gambut jumlahnya sedikit (Hartatik, et al. 2004).

Rendahnya daya simpan P di tanah gambut menjadi salah satu masalah (masganti, 2003 a). Tanah gambut memiliki daya simpan P yang rendah karena P diikat oleh senyawa organik dengan ikatan yang lemah dimana ion P hanya terikat pada tapak jerapan di tanah gambut yang mudah tercuci dan terlepas oleh air lindian (leached) seperti air hujan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini dengan memperkuat ikatan tersebut agar efektif dalam menjerap P (Masganti et al., 2002; Masganti, 2003b) Penggunaan fosfat alam adalah salah satu cara untuk

memperkuat ikatan serta mengatur waktu pemberian amelioran dan pemupukan P (Masganti, 2003a)

Kendala lainnya pada lahan gambut ialah Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut cukup tinggi pada umumnya tetapi KTK tanah yang tinggi tidak mencerminkan ketersediaan unsur hara terutama basa-basa kation yang tinggi.

Semakin meningkat KTK sejalan dengan meningkatnya kandungan bahan organik. KTK dalam gambut didominasi oleh ion H+ yang sekaligus menjadi sumber kemasaman (Masganti et al. 2017).

2.3 Klasifikasi Gambut

Gambut dapat di klasifikasikan berdasarkan berbagai faktor antara lain:

tingkat kematangan, kedalaman gambut, kesuburan gambut dan posisi pembentukan dari tanah gambut itu (Agus dan Subiksa, 2008).

Berdasarkan tingkat kematangannya tanah gambut diklasifikasikan menjadi: (1) Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah mengalami dekomposisi lanjut dengan ciri bahan asal sudah tidak dapat dikenali, memiliki warna coklat tua sampai hitam, dan bilang diremas akan meninggalkan seratnya

<15%. (2) Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut yang masih mengalami proses dekomposisi atau masih setengah lapuk sehingga bahan asalnya masih bisa dikenali, memiliki warna coklat dan bila diremas akan meninggalkan bahan serat sekitar 15-75%. (3) Gambut fibrist (mentah) adalah gambut yang belum mengalami dekomposisi/ gambut belum melapuk sehingga bahan asal akan dapat deikenali, memiliki warna coklat dan bila diremas akan terisa serta >75%

(Agus dan Subiksa, 2008)

Tanah gambut dapat dibagi berdasarkan ketebalannya, yaitu menjadi tiga bagian dalam potensi pemanfaatan tanah gambut untuk budidaya tanaman pangan.

Adapun tiga bagian ketebalan/kedalaman tanah gambut yaitu : (1) gambut dangkal yang memiliki ketebalan gambutnya 0,5 m<1m, (2) gambut sedang yang memilki ketebalan gambutnya 1-3 m, dan (3) gambut dalam yang memiliki ketebalan gambutnya >3 m (Masganti et al. 2017) sedangkan Adimihardja et al (1998) membagi gambut menjadi empat kategori, yakni (a) gambut dangkal/tipis dengan ketebalan 50-100 cm, (b) gambut sedang dengan ketebalan 101-200 cm, (c) gambut dalam dengan ketebalan 201-300 cm, dan (d) gambut sangat dalam jika ketebalannya lebih dari 300 cm.

Gambut dapat dibedakan berdasarkan lokasi dan berbagai tingkat kesuburan, yaitu:

1. Gambut Oligotrofik adalah gambut yang miskin mineral, basa-basa dan tidak subur. Gambut oligotrofik tebal dan bagian kubah gambut tidak dipengaruhi lumpur sungai pada umumnya.

2. Gambut eutrofik adalah gambut subur yang kaya akan mineral dan basa serta unsur lainnya.

3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang memiliki sifat antara oligotrofik dan eutrofik dengan demikian gambut tersebut termasuk gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang (Prasetyo dan Suharta, 2011)

Menurut proses pembentukannya Rieley et al. (1996) membagi gambut menjadi tiga kelompok, yakni:

1. Gambut Ombrogen adalah gambut yang prose pembentukannya hanya dipengaruhi oleh curah hujan.

2. Gambut Topogen adalah gambut yang proses pembentukannya akan dipengaruhi oleh kadaan topografi (cekungan) dan air tanah.

3. Gambut Pegunungan adalah gambut yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh gunung atau bukit, biasanya gambut ini lebih subur dari pada gambut topogen.

2.4 Ketebalan Bahan Tanah Organik

Ketebalan bahan alam di atas bahan limnic, bahan mineral, air, atau permafrost digunakan untuk mengkarakterisasi Histosols dan Histels. Untuk alasan fungsional segmen kontrol singkat telah disiapkan untuk mengkarakterisasi Histosols dan Histels. Karakterisasi jenis Histosol pada jenis bahan tanah di lapisan permukaan, area kontrol memiliki ketebaan 130 cm -160 cm dari permukaan tanah, jika tidak ada kontak tebal, litik atau tidak berdaya, lapisan air yang tebal di dalamnya menjadi salah satu batasan ini.

Areal kontrol yang lebih tebal (160 cm) digunakan, jika lapisan permukaan memiliki kedalaman hingga 60 cm, ¾ atau lebih banyak volume untaian berasal dari Sphagnum, Hypnim atau lumut yang berbeda, atau jika lapisan permukaan memiliki kedalaman hingga 60 cm. memiliki berat volume di bawah 0,1 g/cm3(Soil Survey Staff, 2014)

Penampang kontrol Histosols dan Histels untuk sementara dibagi ke dalam tiga tier (lapisan) yaitu: tier permukaan, tier bawah-permukaan, dan tier dasar.

2.4.1 Tier Permukaan

Kadar Histosols dan Histels ditentukan dari permukaan tanah sampai kedalaman 60 cm, jika memenuhi (1) Bahan pada kedalaman yaitu bahan berserat dan tiga perempat bagian atau sebagian besar volume serat tersebut berasal dari sphagnum atau tumbuhan hijau lainnya, (2) bahan pada kedalaman ini memiliki volume yang beratnya dibawah 0,1 g/cm3. Jika bahan tidak memenuhi syarat kebutuhan tersebut, ketinggiannya ditentukan dari awal hingga kedalaman 30 cm.

Beberapa tanah alami memiliki lapisan permukaan mineral dibawah 40 cm, karena banjir, emisi vulkanik, penambahan bahan mineral untuk memperluas daya dukung tanah atau penyebab lainnya. Jika lapisan mineral tersebut tebal dengan ketinggian 30-40 cm, maka lapisan tersebut merupakan permukaan dan sebagian lapisan bawah permukaan (Soil, Survey Staff, 2014).

2.4.2 Tier Bawah-Permukaan

Ketebalan bawah permukaan biasanya 60 cm. Jika area kontrol ditutup pada kedalaman yang lebih dangkal (pada kontak yang tebal, litik atau paralitik, atau lapisan air atau didalam permafrost),dalam keadaan sekarang, permukaan bawah permukaan diperiksa dari jangkauan terjauh yang lebih rendah dari permukaan jangkauan terjauh paling bawah dari segmen kontrol. Tingkat bawah permukaan dalam keadaan sekarang mencakup setiap lapisan mineral tidak kukuh yang mungkin ada di dalam ke dalam tersebut (Soil Survey Staff, 2014).

2.4.3 Tier Dasar

Ketebalan permukaan dasar adalah 40 cm kecuali jika area kontrol memiliki batasan bawah pada kedalaman yang lebih dangkal (pada kontak tebal, litik atau tidak bergerak atau lapisan air, atau di permafrost). Oleh karena itu, jika

bahan organik tebal, terdapat dua potensi ketebalan area kontrol, bergantung pada ada atau tidaknya tampilan penutup permukaan yang terbuat dari tanaman hijau berserat atau bahan alami lainnya yang memiliki berat volume rendah ( di bawah 0,1 g/cm3), sama seperti ketebalan penutup permukaan. Jika fibrik dengan kedalaman 60 cm, dan merupakan bahan utama pada kedalaman itu (membentu 3/4 atau lebih banyak dari volume filamen), maka kontrol lintas area 160 cm. Jika fibrik tipis atau hilang maka penampang kontrol turun hingga kedalaman 130 cm (Soil Survey Staff, 2014).

2.5 Sebaran Lahan Gambut

Sebaran lahan gambut sangat lah dinamis dikarenakan arakteristik, distribusi, dan luasan lahan gambut terus-menerus akan mengalami perubahan.

Sifat yang dinamis itu membuat data hasil validasi tanah gambut pada kawasan-kawasan pewakil perlu diperbarui secara berkala agar informasi yang dihasilkan mendekati kondisi sebenarnya (Wahyunto et al. 2016).

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian tahun 2011 menerbitkan data luas gambut di Indonesia adalah 14,9 juta ha (Ritung et al, 2011) . Perbedaan definisi, teknis survey dan pemetaan yang digunakan serta sifat gambut yang dinamis membuat data sebaran dan luasan gambut akan sangat bervariasi pada berbagai sumber (Wahyunto, et al. 2016).

Sebaran lahan gambut akan dipengaruhi letak wilayah dan cara pembentukannya. Beberapa Faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah gambut yaitu: iklim (basah), topografi (datar-cekung), organisme (vegetasi), bahan induk (termasuk bahan mineral sebagai substratum), dan waktu pembentukannya. Pembentukan gambut terjadi dalam kondisi anaerob dengan laju

dekomposisi yang lebih lambat sehingga akan selalu digenangi air pada kondisi iklim tropis dan lembab. Adanya cekungan-cekungan keci maupun cekungan besar yang diisi oleh bahan organik yang menumpuk sedikit demi sedikit dan berdrainase jelek akan mengawali terbentuknya gambut. Cekungan yang ada memiliki lapisan sedimen hasil endapan dari bebrbagai masa geologi yang lalu.

Perubahan relief di atas lapisan sedimen ini sejalan dengan masa regresi pemunduran (retreat) laut terhadap daratan atau naiknya permukaan daratan dan turunnya permukaan laut (Wihardjaka dan Nurida, 2014).

Sebaran lahan gambut di pulau Sumatera pada umumnya ditemukan di rawa-rawa gambut sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturut-turut terdapat di wilayah provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Pada daerah pedalaman/hilir sungai sebaran lahan gambut sekitar 50-300 km dari garis pantai. Penyebarannya di bagian hilir sungai sebagian besar mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah mineral (non gambut) secara bersama-sama membentuk lahan rawa. Di wilayah yang lebih kecil, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat pulau, khususnya di wilayah propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. (Wahyunto et al. 2005)

Wilayah Sumatera Utara merupakan wlayah dengan luas lahan gambut terluas ke-empat, yaitu sekitar 325.296 ha. Luas lahan gambut terluas terletak di pesisir timur, tepatnya di wilayah Labuhan Batu dan Asahan, masing-masing seluas 192 ribu ha (59,0 % luas gambut total propinsi), dan 24 ribu ha (7,4 %). Di pesisir barat terdapat lahan gambut di wilayah kabupaten Tapanuli Selatan seluas 86 ribu ha (26,3 %), dan di kabupaten Tapanuli Tengah dengan luas sekitar 17 ribu ha (5,2 %). Disamping itu, masih terdapat lahan gambut pelembahan di

bagian tengah propinsi, yakni di wilayah kabupaten Tapanuli Utara seluas 7 ribu ha (2,2 %) (Wahyunto et al. 2005)

Sebagian besar lahan gambut di wilayah Sumatera Utara, atau sekitar 70 % merupakan gambut-sedang. Lahan gambut-sedang ini banyak terdapat di daerah kabupaten Labuhan Batu, Tapanuli Selatan dan Asahan. Penyusun utama gambut-sedang ini adalah gambut Saprits dan mineral, Hemik dan mineral dan Saprits atau Hemik. Gambut dalam dan gambut dangkal memiliki laju wilayah yang hampir sama, yaitu 15,3 % untuk gambut-dalam dan 14.5 % berupa gambut dangkal. Gambut yang dalam umumnya didominasi oleh Saprists, dan gambut-dangkal seluruhnya berupa Hemists/mineral (Wahyunto et al. 2005).

2.6 Gambut Dataran Tinggi di Kawasan Kaldera Toba

Danau Toba/Kaldera Toba terbentuk melalu proses vulkanik-tektonik yang sangat dahsyat (super eruption) berawal dari Gunung Toba yang meletus 74.000 tahun yang lalu . Letusan ini berpusat di danau Toba dan mengeluarkan tuff-liperit yang menutupi daerah hampir 20.000 km2. Kemudian diikuti runtuhnya atap magma, sehingga terbentuk kawah yang dalam, kemudian terisi air dan terbentuk danau yang besar (Van Bemmelen, 1949).

Danau Toba terbentuk setidaknya melaluo empat fase letusan besar, tiga kali diantaranya terjadi dalam 1 juta tahun terakhir dan letusan awal diperkirakan terjadi 1,2 juta tahun yang lalu (Haranggaol Decite Tuff/HDT) dan menciptakan kaldera Haranggaol. Letusan berikutnya terjadi sekitar 840.000 tahun yang lalu (Oldest Tuff/OTT) yang menghasilkan kaldera di timur Danau Toba meliputi Parapat, Porsea. Sekitar 501.000 tahun lalu (middle Toba Tuff/MTT) dan menghasilkan kaldera utara di Silalahi dan Haranggaol. Letusan Terakhir, sekitar

74.000 tahun lalu yang dikenal sebagai Youngest Toba Tuff (YTT) adalah yang terdahsyat dan membentuk danau seperti sekarang (Arif, et al. 2014).

Secara geografis wilayah Kabupaten Humbahas berada disebelah timur Kaldera Toba sehingga pembentukan wilayah tersebut dipengaruhi oleh Oldest Tuff/OTT pada 840.000 tahun yang lalu. Dikawasan ini terdapat cekungan-cekungan yang disebabkan letusan Gunung Toba yang tidak memiliki aliran keluar masuk air dan terjadi penimbunan biomassa oleh tumbuh-tumbuhan seperti pohon-pohon dan tanaman lainnya secara terus menerus sehingga menjadi lapisan tanah gambut (Arif, et al. 2014).

Tanah gambut pada daerah Kabupaten Humbahas hanya dipengaruhi oleh air hujan saja sehingga tanah gambut termasuk gambut ombrogen sehingga tingkat kesuburan tanah gambut termasuk rendah (Noor, et al. 2016). Sebaran lahan gambut yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan ada di kecamatan yaitu : Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Pollung dan Kecamatan Dolok Sanggul.

Selain Kabupaten Humbang Hasundutan gambut dataran tinggi lainnya yang berada di Indonesia adalah gambut dataran tinggi Papua yang sebagian besar sifat tanahnya hampir sama dengan gambut dataran tinggi Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu lahan gambutnya termasuk jenis gambut ombrogen (miskin-hara oligotrofik), umumnya terdapat didaerah cekungan yang ketersediaan (miskin-hara essentialnya sangata rendah terutama hara N,P, K, Ca, Zn, Cu, dan Si dengan nilai pH berkisar antara 3-4 dan sumber hara hanya dari air hujan saja (Istomo, 2005).

2.7 Gambut Dataran Rendah

Umumnya gambut terdapat pada dataran rendah, terbentuk di daerah pesisir pantai dan sering disebut sebagai lahan basah pesisir dengan tipe lahan yang berkembang terutama di dataran rendah dekat dengan pesisir pantai, dibelakang hutan bakau di sekitar sungai atau danau. Gambut ini terbentuk dibagian pedalaman dataran pantai atau yang terbentuk di daerah yang kena pasang surut disebut dengan gambut topogen. Pasokan air dari gambut topogen biasnya didapat dari aliran permukaan sehingga mengandung unsur hara yang relatif tinggi (Wahyunto, et al. 2006).

Sumatera memiliki lahan gambut yang paling luas yang disusul oleh Kalimantan dan Papua. Di pulau Sumatera penyebaran lahan gambut terluas ada dibeberapa daerah seperti di sepanjang pantai timur, yaitu di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Aceh dan Jambi (Wahyunto, et al. 2016). Hutan rawa gambut yang ada di Provinsi Riau telah mengalami deforestasi dan degradasi yang cukup tinggi serta adanya ahli fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan ataupun rakyat. Provinsi ini kehilangan lebih dari 9.000 km2 hutan rawa gambut pada periode ini. Tahun 2010 hutan rawa gambut di Provinsi Riau hanya tinggal 36 % dari total luas lahan rawa gambut yang ada (Nurjanah, et al.

2013)

Kabupaten Labuhan Batu salah satu wilayah yang terletak di pesisir pantai timur sumatera dan memilki zona iklim Indo-Australia yang bercirikan suhu, kelembaban dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Kondisi geologi dari Kabupaten Labuhan Batu merupakan daerah belakang busur (back are basin) sehingga membentuk kondisi geologi yang relatif seragam disebelah timurnya dan

daerah penyangga disebelah barat. Kondisi struktur geologi di daerah Labuhan batu memperlihatkan adanya kelurusan-kelurusan sebagai indikasi adanya rekahan-rekahan atau sebagai bidang lemah di permukaan atau dibawah permukaan bumi (BPS Labuhan batu, 2019)

Lahan gambut yang berada di daerah Labuhan batu tersebut dipengaruhi pasang surut air laut dan sungai sehingga terjadi pengkayaan atau penambahan mineral oleh karena pasang surut air laut. Pengaruh pasang surut air laut membuat gambut lebih subur dan termasuk kedalam gambut eutrofik (Ritung dan Sukarman, 2016)

BAB III

BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi yaitu di lahan gambut dataran tinggi Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan dan lahan gambut dataran rendah sebagai kontrol lahan gambut pada umumnya di Kabupaten Labuhan Batu.

Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang dilaksanakan pada bulan April 2020 sampai dengan selesai.

3.2 Bahan dan Alat

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah profil

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah profil

Dokumen terkait