• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2) Kehidupan Selama Berada di dalam Lapas

Setelah divonis untuk menjalani hukuman selama 2 tahun, F dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita di Binjai.

Saat memasuki penjara, F hanya ditemani oleh suaminya yang saat itu hadir untuk mengurus surat-surat pemasukan dirinya. F saat itu merasa

sangat sedih karena perbuatannya, ia terpisah dengan keluarga. F juga mengaku merasa marah dengan dirinya sendiri, seharusnya ia bekerja lebih giat lagi daripada memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang.

Jika dirinya lebih giat, ia tidak akan terjerumus ke dalam penjara dan harus terpisah dari keluarganya.

“Iya, di supermarket Asia King di binjai, pas itu habis ketangkap Ibu disitu kan, kemarin Ibu di LP Binjai. Udah setahun Ibu disitu, dari bulan tujuh tahun 2018.”

(R2.W1.290819.BG.B58)

“Kalau keluarga engga pernah datang ke LP. Tapi suami saya pernah datang sekali, ini bantu ngurus masuk ke sini, bawa dokumen sama data-data buat masuk kesini. Pernahlah datang sekali kesini….”

(R2.W1.290819.FC.B86)

“….Kalau nyeselnya itu padahal gara-gara masalah sedikit, saya engga bisa lebih giat lagi, malah ikut-ikut kawan begini, terakhir malah masuk kesini. Tinggalin anak-anak, cucu saya sama suami juga. Jadinya mereka ikut sedih, engga bisa ketemu saya kan. saya itu sampai susah tidur kalau udah mikirin itu.”

(R2.W1.290819.EF.B182)

“Karena pas itu kan Ibu engga berpikir. Kalau ada berpikir kan engga usah nyesel. Ini karena udah engga berpikir lagi, kerjain, baru sekarang ini menyesal.”

(R2.W2.170919.EF.B128) Di Lapas, F bersama dengan beberapa narapidana baru lainnya, menjalani karantina selama 7 hari didalam kereng (kamar). F merasa seperti tidak ada yang memperdulikannya, ia tidak memiliki siapapun. F mengaku saat awal memasuki lapas ia hanya diam dan menangis.ia juga kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

“Yah sedih lah, nangislah saya. pas awal masuk itu nangis Ibu.”

(R2.W1.290819.EF.B92)

“Sedih lah Nak, ibaratnya dunia Ibu itu runtuh. Udah masuk penjara, engga ada kawan, kena ngomel lagi. Sedih lah Nak.”

(R2.W2.170919.EF.B348)

Yah takut lah. namanya Ibu kan dari Palembang sana jauh kan.

ke sini itu kan macam merantau gitu kan. Terus sempat ada masalah juga kemarin kan. Engga enak lah pas awal-awal itu.

Sampai makan, tidur semua itu engga enaklah….”

(R2.W2.170919.EF.B250) F yang saat itu tidak membawa apa-apa kedalam Lapas hanya dapat tidur di matras yang disediakan, berhimpitan dengan narapidana lain karena kereng yang ditempati olehnya sangat sempit. Tidak hanya itu, selama didalam lapas, F juga merasa bahwa dirinya lebih sering sakit. Beberapa sakit yang ia rasakan terletak pada bagian belakang kepalanya, lambung, nyeri sendi pada bagian punggung tangan dan punggung kaki. Sakit tersebut ia rasakan setiap kali ia memikirkan kekesalan dan penyesalannya.

“Iya, dia sempit, panjang tapi. Disana dia ada tempat tidur, di sekitar sini tuh tempat biasa kan lewat sama jalan-jalan lah (sambil menggambarkan keadaan kamar dengan gerakan tangan), tapi kadang bisa juga itu satu ruangan ditiduri semua.”

(R2.W1.290819.EF.B20)

“Kadang badan-badan saya ini sakit (sambil memijit punggung). Dulu saya kan ada sakit lambung, kadang itu sering kambuh, sering sakit jadinya. Nanti Ibu kalau ga ada lagi obatnya Ibu minta ke klinik ada dikasih. Itu lah yang Ibu makan.”

(R2.W1.290819.EF.B132)

“Sering juga. Ibu sekarang ini yang sakitnya di kepala, sudah itu kaki kiri.”

(R2.W2.170919.EF.B318) F merasa kesal karena dirinya yang semulanya mendapatkan hukuman kurang dari 1 tahun harus menjalani 2 tahun karena tidak memiliki biaya untuk mengurusnya. Meskipun merasa kesal, F juga menyadari bahwa hal ini merupakan hasil dari perbuatannya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi melakukan hal tersebut.

“Kesel lah nak, kesel ada, nyesel juga ada. Keselnya itu kan padahal kasus saya ini 363 itu hukumannya sebentar cuman, tapi saya kena 2 tahun. Kalau nyeselnya itu padahal gara-gara

masalah sedikit, saya engga bisa lebih giat lagi, malah ikut-ikut kawan begini, terakhir malah masuk kesini. Tinggalin anak-anak, cucu saya sama suami juga. Jadinya mereka ikut sedih, engga bisa ketemu saya kan. saya itu sampai susah tidur kalau udah mikirin itu.”

(R2.W1.290819.EF.B182) Di Lapas Binjai, F berusaha untuk melakukan pekerjaan sebanyak mungkin demi mengumpulkan uang dan memenuhi kebutuhannya didalam Lapas. F bekerja sebagai tukang cuci baju, tukang pijat dan ia juga menyediakan jasa bersih-bersih kereng. Ia mengaku bahwa jika tidak bekerja, akan sulit baginya untuk memenuhi keperluannya dan menghubungi keluarganya di Palembang. F melakukan jasa menyuci seharga 25 ribu per minggu dan untuk memijat ia meminta bayaran sebesar 35 ribu Rupiah. F terus melakukan pekerjaan tersebut sampai pada suatu ketika tangannya tidak lagi kuat untuk mengerjakan hal yang berat seperti memijat. Dengan begitu ia juga telah kehilangan salah satu sumber keuangannya.

“Yah seperti ini lah, pagi, keluar, nyapu, habis itu masuk…”

(R2.W2.170919.EF.B122)

“…Cuman gini susahnya Nak, Ibu kan engga ada uangnya disini. Namanya kita masuk aja gara-gara pencurian, buat dapat duit. Yah kita engga ada duit juga. Mau apa-apa disini susah Nak, engga bisa beli keperluan, kebutuhan Ibu. sampai Ibu pindah dari binjai kesini kan Ibu engga punya apa-apa kan Nak. Mau beli sabun, shampoo, odol, dan lain-lain itu juga susah. Ibu kan ada mengurut juga buat napi lain, itu ngurut, kadang dapat 30 ribu, kadang 35 ribu, itulah biaya Ibu buat beli keperluan Ibu disini. Ada juga Ibu nyuci disini. Gitu aja Ibu disini, sampai ini Ibu sudah engga bisa ngurut lagi, udah engga kuat lagi tangan Ibu. tinggal nyuci satu ini lah, upah nyuci itu pun Cuma satu orang. Tangan Ibu udah keseleo kemarin kan, engga kuat lagi.”

(R2.W1.290819.EF.B102) Selain bekerja, F juga mempelajari beberapa hal di dalam Lapas.

F belajar mengait tali untuk dijadikan tas, perhiasan, atau dekorasi.

Awalnya ia mempelajari hal tersebut karena ia ingin menjadikannya sebagai salah satu mata pencahariannya. Sayangnya, bahan untuk membuat kerajinan tangan tersebut menurut F sangat mahal dan ia tidak mampu membelinya, sehingga F memilih untuk berhenti.

“Iya, pernah dulu kemarin di Binjai, waktu belum pindah kesini, belajar menyulam pakai tali kur ini bisa dibikin dompet, sedikit-sedikit lah bisa. Tapi ga ada ininya, ga ada modalnya. Kemarin kepengen aku menyulam benangnya delapan belas ribu disini, satu gulung itu. Yah ga ada duit gimana aku mau beli. Gajadi lah aku beli, maksudnya kan kalau dikerjain terus kan lama-lama jadi pandai. Sekalian belajar juga. Ini engga jadilah belajar itu, karena mau dibeli lagi benang itu, delapan belas ribu satu, segulung itu. Jadi engga jadilah paling tengok kawan aja, nengok kawan kan. Disini kalau engga ada kegiatan suntuk nak. Makanya Ibu cari-cari ini, cari kerjaan disini.”

(R2.W1.290819.EF.B304) Setelah setengah tahun menjalani hukuman di Lapas Binjai, F dipindahkan ke Lapas Wanita Medan. F dipindahkan ke Lapas wanita Medan tanpa ditemani oleh siapapun saat itu. Ia merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan beberapa teman yang sudah ia kenal selama setengah tahun di Lapas Binjai. F merasa bahwa dirinya harus beradaptasi lagi dengan lingkungan serta narapidana baru. Di Lapas Medan, F ditempatkan bersama dengan 12 narapidana lainnya didalam satu kereng. Baginya, kamar yang ditempati saat itu sangatlah sempit, seharusnya hanya dapat menampung 6-7 orang. Menghadapi kondisi tersebut, F harus berusaha menyesuaikan diri karena menurutnya hanya itu yang dapat ia lakukan.

“Susah lah, kalau disini kan kita pindah-pindah. Kemarin saya di lapas Binjai, terus pindah kesitu (Lapas lama), uda satu kamar sama kawan-kawan jadi pas pindah kesini terpisah lagi sama kawan-kawan. Uda satu kamar lagi sama yang baru disini.Pindah ke kamar baru ketemu dengan kawan baru kenalan lagi lah, maksudnya kalau disini kita ganti-ganti kamar, jadi ganti-ganti lah kawannya. Kami, saya sama kawan-kawan yang lama itu masih tetap teman baik, cuman udah lain kamar.

Sekarang kami ada 13 orang satu kamar nak, termasuk ibu.

Sempit-sempitan lah kami, kamarnya itu kecil nak. Paling 6 sampai 7 orang aja baru bisa benar-benar enak.”

(R2.W1.290829.EF.B164)

“Iya, kekurangan air, susah air kan kalau disini. Pernah juga putus air disini. Kadang engga mandi”

(R2.W1.290829.EF.B172) Salah satu kejadian yang sangat F ingat saat awal pertama pindah ke Lapas Medan adalah ketika ia mulai bekerja sebagai tukang cuci. Saat itu Lapas mengalami kekurangan air untuk keseluruhan napi di dalam Lapas. F yang saat itu berusaha memenuhi target menyucinya, menampung air menggunakan ember yang ia punya. Dikarenakan banyaknya baju yang harus ia cuci, F mengaku menampung air lebih dari jatah yang ia miliki. Hal ini menyebabkan kurangnya jatah air bagi 12 narapidana lain yang sekamar dengannya. Kekurangan jatah ini menimbulkan beberapa reaksi pada narapidana yang sekamar dengannya, ada yang pasrah, namun ada pula yang marah atas kelakuan F saat itu. Konflik antar narapidana dengan F pun muncul. Hal ini membuat F sangat takut dan merasa bersalah. F saat itu telah mengakui kesalahannya dan berusaha membagikan air yang ia miliki. Namun, selain permintaan maafnya tidak diterima, ia juga dimarahi sampai ia menangis. F saat itu merasa sangat takut dan tidak berdaya karena tidak ada satupun orang yang membelanya.

“Ada lah, kayak kemarin itu masalah dengan air-air itu. Yang lain sampai marah-marah sama Ibu, Cuman itu engga Ibu ladeni, kalau misalnya Ibu salah yah Ibu minta maaf.”

(R2.W1.290819.EF.B166)

“Kadang kami ada masalah air gitu. Kemarin kan air itu pernah kering. Ibu engga ada ember. Yang lain pada ada ember, saya engga ada ember. Jadi Ibu pake air itu kan, langsung buat nyuci, sudah Ibu pake airmya mati. Jadi marahlah mereka kan karena engga sempat buat menampung air. Jadi Ibu bilang, nanti lah nunggu air hidup gantian. Pernah juga kemarin kayak gitu.”

(R2.W1.290819.EF.B168) F yang saat itu sedang beradaptasi, kembali merasakan ketidaknyamanan selama menjalani rutinitas, seperti mudah mengalami sakit, timbulnya perasaan sedih dan takut, serta kesulitan untuk tidur.

Tidak hanya itu, F kurang memiliki nafsu makan selama berada didalam Lapas. F juga mengaku bahwa kesulitannya untuk beradaptasi terhadap lingkungan dan kurangnya dukungan sosial, menimbulkan sakit pada lambung serta sakit pada bagian belakang kepalanya.

“Gara-gara telat makan lah. Sering saya itu telat makan.”

(R2.W1.290819.EF.B148)

“Namanya kita lagi banyak pikiran, pasti tidak lagi selera makan, namanya makan itu udah terpaksa dia, kalau engga makan kan Ibu bisa sakit maag.”

(R2.W1.290819.EF.B214)

“Yah ini lah, kalau kita suntuk itu kan, sakit kepala, disini (sambil menunjuk ke arah leher bagian belakang), ini semua sakit nak.”

(R2.W1.290819.EF.B358) Perasaan sedih, serta sakit pada fisik yang dirasakan oleh F ini diperparah oleh keadaan F yang tidak mampu menghubungi keluarganya di Palembang. Tidak jarang ia melihat narapidana dikunjungi oleh keluarganya, hal ini membuatnya iri karena keadaan keluarganya yang jauh tidak memungkinkan mereka untuk mengunjunginya. Ia mengaku sering menangis saat mengetahui bahwa

narapidana lain mampu menelepon keluarga atau teman-temannya (baik dengan menggunakan telepon umum atau handphone sewaan). Subjek merasa seperti ditelantarkan oleh keluarganya. Ia juga ingin setidaknya dapat menghubungi keluarganya, namun dengan upah menyucinya selama didalam lapas, ia hanya dapat menelepon sebentar karena biaya telepon yang mahal.

”Sedih lah nak, perasaan Ibu itu kayak terlantar gitu.”

(R2.W1.290819.EF.B294) “Yah terlantar lah, ga ada yang datang kunjung, ga ada kawan dari luar, ibaratnya kita sendiri, ga ada anak, oleh karena jauh itu kan. Yah tinggal Ibu seorang lah menjalani disini, mau kek mana. Dipaksa jalani aja lah, cuman Ibu disini engga ada satu pun teman yang bisa datang nengok Ibu.”

(R2.W1.290819.EF.B296)

“Sedih lah Nak. Kalau nengok gitu kan, pernah nangis juga Ibu di Mushola. Engga terasa menitikkan air mata Ibu. Kepikiran, Ih enak kali, kalau keluarga tinggalnya dekat, di Medan.

Keluarga kita kan jauh kan. Nanti kalau udah selesai BT, kan masuk dia, diejek itu sering Ih enak lah kau habis ketemu keluarga. Kalau keluarga Ibu mau kesini, ongkos aja sejutaan, belum makan-makannya kan. Suami Ibu aja kemarin kena 600 ribuan. Ongkos-ongkos makan disini, taulah kan mahal juga kan. Jangan pula nanti karena makan disini trus habis ongkos buat balik ke sana yakan. Jadi kasihan kan nengok kan. yang penting Ibu sehat aja, yaudah lah Ibu bilang, engga uah berkunjung.”

(R1.W2.170919.EF.B380) Salah satu keseharian F selama berada di dalam Lapas ialah membersihkan Mushola. Disana, F berkenalan dengan salah satu narapidana. Berdasarkan penuturannya, diketahui bahwa F menjadi lebih mudah beradaptasi saat memiliki teman untuk bercerita. Dari obrolan yang sering mereka lakukan di waktu senggang, diketahui bahwa temannya sering mengalami sakit pada ulu hati. Tidak lama setelah mengetahui hal tersebut, hal yang mengejutkan terjadi pada F.

Suatu hari di Mushola, F yang sedang membersihkan Mushola mendengar bahwa temannya mengalami sesak nafas. Saat itu ia langsung pergi melapor pada petugas Lapas dan temannya langsung dibawakan ke rumah sakit. F bersama dengan seorang petugas Lapas menemani temannya ke rumah sakit, saat itu ia mengetahui bahwa sesak nafas pada temannya ini disebabkan oleh infeksi pada ginjal.

Sesampainya di rumah sakit, temannya langsung dibawakan ke ruang IGD dan tidak lama kemudian dokter mengumumkan bahwa nyawa temannya tidak dapat diselamatkan. F saat itu merasa terkejut dan tidak percaya akan apa yang dihadapinya. Sebelum kejadian tersebut, F berbincang dengan temannya dan ia tidak menyadari bahwa adanya kejanggalan pada saat itu. F yang merasa sangat terpukul akan kenyataan tersebut langsung menangis. Ia kehilangan seorang teman dekatnya.

Sepulangnya dari rumah sakit, F yang saat itu merasa terpukul memilih untuk mengurung diri di kamar dan berdiam diri. F merasa tidak berdaya saat itu dan hanya bisa menangis, kehilangan sahabatnya.

F saat itu mengaku kehilangan semangat menjalani rutinitas, bahkan ia juga mengalami kesulitan untuk makan dan tidur saat itu. Teman-teman narapidana yang melihatnya berusaha menghiburnya. Ada yang memberikan nasihat untuk bersabar dan kembali menjalani kehidupan dengan baik, ada yang membelikan makanan untuknya, ada yang membawakan obat, dan ada pula yang mengajaknya untuk mengobrol serta membuat lelucon.

“Kan ada tuh anak Ibu yang sakit. Ibu kan engga bisa apa-apa nak disini, nangis Ibu mikirnya. Ada juga kawan Ibu kemarin yang di Musholla meninggal. Kawan Ibu ngaji, sholat, kemarin dia akrab dengan Ibu. dia engga banyak cerita anaknya. Dia kemarin hukumannya udah jalan satu tahun, delapan tahun lagi.

Dia pernah cerita, waktu itu dia ngomong ‘aku masih ada delapan tahun lagi’ gitu katanya. Entah sehat engga aku disini, maksudnya dia entah bisa atau engga dia menunggu selesai masa hukuman delapan tahun itu. Dengar begitu, aku bilang sudahlah, sabar, jangan banyak dipikirin. Tak taunya, padahal sehat badan dia, dia kan ambil piket disini, ngambil piket itu kan ada dibayar, seminggu sekali dibayarnya. Pas itu dia piket, habis itu makan, habis makan terguling dia, sesak katanya.

Sesak dia itu habis itu muntah dia, muntah dia kami kira dia sesak karena anginan. Karena kami kira dia masuk angin itu kan, dikerok lah dia sama kawan-kawan. Habis dikerok itu nambah sesaknya. Karena makin sesak itu dibawalah dia ke klinik. Pas dibawa ke klinik, udah sesak nafas setengah mati dia kan. rupanya pas dengar dokter itu ngomong dia udah dibawa ke rumah sakit, sampai rumah sakit udah meninggal.”

(R2.W1.290819.EF.B244)

“Pas dia sesak itu kan dibawa ke rumah sakit, ikut saya itu kesana. Pas tau dia meninggal sedih juga kan. saya itu sampai kepikiran sama dia.”

(R2.W1.290819.EF.B246)

“Saya setiap masuk ke Musholla itu pasti keingat sama dia. Dia itu orang India. Baik dia orangnya, cuman ini, namanya udah dipanggil kan, sakit ginjal dia.”

(R2.W1.290819.EF.B248) Seiring waktu, F sudah dapat lebih nyaman menjalani keseharian didalam Lapas. Namun, hal ini tidak lantas membuatnya tidak merasa sedih. F masih sering menangis dimalam hari ketika ia mengkhawatirkan keadaan keluarganya dikampung. F yang telah beberapa kali menelepon anaknya, mengetahui bahwa semua anaknya, kecuali 2 orang yang paling kecil, telah putus sekolah dan bekerja. Hal ini membuatnya sangat sedih karena perasaan bersalah. Menurutnya, belum seharusnya anak-anaknya mencari nafkah. Memenuhi kebutuhan itu menurutnya merupakan tanggung jawabnya sebagai orangtua, namun, dengan ia masuk penjara, ia telah menyusahkan

anaknya. Dari percakapan lewat telepon dengan anaknya, F mengetahui bahwa anaknya yang paling besar saat ini telah ke Jakarta bersama dengan istrinya untuk mencari nafkah disana. Anak keduanya saat ini bekerja sebagai operator seluler di Palembang dan sesekali mengirimkan uang untuk dipakai F membeli beberapa kebutuhan. Anak ketiganya juga bekerja tidak menentu demi memenuhi kebutuhan keluarganya dan membiayai sekolah kedua adik paling kecilnya. Anak keempatnya saat ini juga ke Jakarta, menjadi penjual baju disalah satu pasar tradisional disana. Anak kelima yang sudah sejak lama putus sekolah saat ini sedang mencoba mencari pekerjaan di Palembang.

Anak keenam dan yang paling kecil saat ini masih dibiayai oleh kakak dan abangnya untuk melanjutkan sekolah.

“Engga, dia sama istrinya sudah pindah ke Jakarta. Dapat pekerjaan disana katanya. Nah inilah, ikut juga ank Ibu yang nomor 4 ini Nak.”

(R2.W2.170919.FC.B78)

“Engga, katanya pengen nyoba cari kerja disana. Jadi Ibu khawatir Nak, soalnya anak Ibu ini kan perempuan. Dia tinggalnya juga engga sama Abangnya, nge-kost dia.”

(R2.W2.170919.FC.B82)

“Iya, kalau dia memang engga takut anaknya. Tapi kan gimanapun Ibu pasti takut. Anak perempuan, sendirian di Jakarta, Ibu juga engga bisa perhatikan dia karena ada disini.

Khawatir lah Nak.”

(R2.W2.170919.FC.B84)

“Iya, yang kedua juga di Palembang kerja jadi operator ini, toko HP.”

(R2.W2.170919.FC.B72)

“Di Palembang juga dia, kerjanya masih belum jelas, kadang ditanya jawabnya ini, besoknya udah ganti lagi pekerjaannya, tak menentu gitu. Tapi dia masih bisa bantu membiayai uang sekolah adiknya ini. kan dia kasian juga liat adiknya nanti putus sekolah kan.”

(R2.W2.170919.FC.B96)

“Kemarin pas Ibu tinggal itu engga kerja, belum kerja dia. Kan kemarin sempat Ibu telepon. Ibu tanya kabarnya, katanya masih

nyari kerjaan di Palembang. Katanya sama Ibu kemarin “emak yang sabar ya, ini lagi berusaha nyari kerjaan buat bisa ngirim duit ke Emak. Nanti kalau uda dapat kerjaan, uda gajian, aku pasti kirim duit.” Gitu katanya. Dia juga doakan supaya Ibu bisa cepat pulang. Ibu gabisa jawab apa-apa, cuma bilang iya aja.”

(R2.W2.170919.FC.B62)

“Yang paling kecil itu sekarang udah umur 13 tahun nak masih sekolah dia sama Kakaknya, anak saya yang nomor 6, sudah umur 15 tahun dia sekarang.”

(R2.W2.170919.FC.B50)

“Sejak Ibu masuk inilah baru orang itu bergotong. Khawatir juga Ibu, soalnya kan belum ini harusnya, belum saatnya mereka itu kan.”

(R2.W2.170919.FC.B116) Saat ditanyakan mengenai pandangan luar terhadapnya, F mengaku merasa malu dan benci karena dibicarakan oleh tetangganya di kampung. Ia merasa bahwa sebagai narapidana ia sering dianggap orang yang tidak akan dapat berubah ke arah lebih baik oleh orang lain.

Subjek mengaku menyesal atas perbuatannya, karena ia juga mendengar bahwa anaknya merasa malu atas perbuatan buruknya yang berakhir menjadi perbincangan tetangga.

“Yah kek mana lah, rasa malu ada, rasa benci ada. Cuman, mau kek mana memang kita salah. Jadi maksudnya yah diam aja.

Tapi habis dengar itu, niat Ibu, udah engga mau lagi, ga mau jadi bahan omongan orang lain lagi kan. Yah namanya kita manusia kan, pasti ada khilafnya kan. Nyesal Ibu.”

(R2.W1.290819.EF.B270)

“Iya, yah nyesal, maksudnya, jadi seperti ini kan jadinya, saya malu, anak-anak malu.”

(R2.W1.290819.FC.B272)

“Iya, mereka bilang malu saya berbuat mencuri. Anak saya tanya kenapa saya engga ngomong kalau ada masalah utang itu, jadi kalau misalnya ada masalahkan, diomongin, gitu.

Kupikir, kalau aku ngomong juga anak masih belum bisa bantu, anak belum bekerja. Padahal saya disini kan susah kan, mau nyuri duit lagi kemana. Biar saya aja yang susah. Tapi malah jadi anak-anak saya ikutan menanggung malunya.”

(R2.W1.290819.FC.B274)

Setelah 8 bulan menjalani masa hukuman, F mencoba untuk mengajukan remisi di kantor administrasi. Salah satu peraturan dalam mengajukan remisi adalah memiliki seorang anggota keluarga yang bertanggung jawab atas perilaku narapidana. Karena peraturan ini, F meminta bantuan temannya untuk berpura-pura menjadi anggota

Setelah 8 bulan menjalani masa hukuman, F mencoba untuk mengajukan remisi di kantor administrasi. Salah satu peraturan dalam mengajukan remisi adalah memiliki seorang anggota keluarga yang bertanggung jawab atas perilaku narapidana. Karena peraturan ini, F meminta bantuan temannya untuk berpura-pura menjadi anggota

Dokumen terkait