• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA NARAPIDANA WANITA (STUDI KASUS LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA NARAPIDANA WANITA (STUDI KASUS LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN) SKRIPSI"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA NARAPIDANA WANITA

(STUDI KASUS LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

STEPHANIE REGINA NIM 151301093

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan citra penulisan ilmiah

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan didalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 21 September 2020

STEPHANIE REGINA

(4)

Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita

Stephanie Regina dan Juliana I Saragih Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Narapidana wanita merupakan wanita yang dicabut kebebasannya karena telah melakukan kejahatan. Kehilangan kebebasan, dihadapkan dengan lingkungan yang baru, budaya yang baru, serta berpisah dengan orang yang dicintai seperti anak dan suami memunculkan emosi negatif seperti perasaan marah, kecewa, perasaan bersalah, serta perasaan malu karena harus menerima pandangan negatif dari masyarakat. Emosi negatif dapat memengaruhi pikiran dan perilaku menjadi negatif. Narapidana wanita harus memiliki kemampuan untuk bisa mengontrol emosi mereka agar dapat adaptif terhadap keadaan yang menjadi stresor. Kemampuan mengendalikan atau mengontrol emosi ini disebut dengan regulasi emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran strategi regulasi emosi yang muncul pada narapidana wanita. Strategi regulasi emosi fokus pada kondisi, intensitas, durasi emosi, dan respon emosi seseorang. Strategi regulasi emosi dibutuhkan untuk mengatur emosi agar dapat mengurangi dampak negatif yang muncul pada narapidana wanita selama menjalani kehidupan di Lapas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi dengan jumlah responden penelitian sebanyak 3 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga Responden melakukan strategi regulasi emosi yang sama yaitu, situation selection, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation. Mereka tidak melakukan strategi regulasi emosi situation modification. Dari lima strategi regulasi emosi, ada satu strategi yang dilakukan oleh ketiga responden dan menghasilkan emosi positif yang cukup stabil dan berpengaruh pada usaha atau cara responden dalam meregulasi emosinya, yaitu strategi cognitive change. Selain itu, terdapat tiga hal yang justru cukup besar pengaruhnya pada semua responden dalam melakukan setiap strategi regulasi emosi yaitu keadaan lingkungan Lapas, karakteristik sosial individu dan social support.

Kata kunci: strategi regulasi emosi, narapidana wanita

(5)

Description of Emotion Regulation Strategy in Women Convicts Stephanie Regina and Juliana I Saragih

Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara

ABSTRACT

Women convicts are those who got their liberty deprived because committed crimes. Losing freedom, being faced with a new environment, force to adapt in a new culture, and separated from loved ones, give rise to negative emotions such as anger, disappointment, guilt, and shame because they have to accept negative labels from society. Negative emotions can leads to negative thoughts and behavior. Female prisoners must have the ability to able to control their emotions in order to be adaptive to stressors. The ability to control these emotions is called emotion regulation. This research aims to determine the description of emotional regulation strategy that emerged in women convicts.

Emotional regulatory strategies focus on the state, intensity, duration of emotions, and emotional responses. Emotional regulatory strategies are needed to control our emotions, so as to reduce the negative impacts arising from living in correctional facility. This research uses qualitative approach with case study research type. Methods of data collection in this study using interviews and observations with 3 respondents. The result of the research shows that all three respondents conducts four out of five emotional regulatory strategies, such as situation selection, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation. They didn’t do situation modification. Of all the emotional regulatory strategies, there’s one strategy successful by the three respondent and generate positive emotions that are quite stable and affect for the way respondents in regulating emotions, namely is cognitive change. In addition, there’re three things that just big enough influence for all respondents in doing every emotional regulation strategy that is, the situation inside the correctional faculty, social characteristics of individuals and social support.

Keywords: emotional regulation strategy, women convicts

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan rahmatNya kepada peneliti selama psoses penyususnan Skripsi ini, sehingga dapat berjalan dengan lancar. Skripsi ini diajukan sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada banyak pihak yang telah berperan dan berpartisipasi sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini, antara lain:

1. Dekan Fakultas Psikologi USU, Bapak Prof. Zulkarnaen Ph.D., Psikolog.

2. Ibu Juliani I Saragih M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing Skripsi. Terima kasih karena telah meluangkan waktu tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan Skripsi ini. Peneliti juga memohon maaf jika selama proses bimbingan memiliki banyak kesalahan baik kata dan perilaku yang sejujurnya bukanlah hal yang disengaja.

3. Ibu Hasnida, Ph.D, Psikolog dan Rahma Fauzia S. M.Psi, Psikolog, selaku dosen penguji II dan III yang telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga, dan pikitan serta memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Hasnida, Ph.D, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang membantu memberikan dukungan dalam bentuk moril kepada peneliti.

5. Seluruh dosen, staff, dan pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan dukungan kepada peneliti selama proses perkuliahan.

6. Para responden penelitian yang telah bersedia meluangkan waktu dan membagikan pengalaman luar biasanya.

(7)

7. Kedua orangtua, (Papi) Tan Peng Lui dan (Mami) Enny Tomas yang telah membesarkan peneliti dan menjadi sumber motivasi bagi peneliti. Kepada abang, Calvin Tomas dan adik, Cindy Theodora dan Daniel Leonardi yang selalu memberikan dukungan tiada henti dikala peneliti sedang menyerah untuk hidup.

Terima kasih atas segala kasih sayang, cinta dan dukungan moril dan material yang kalian berikan.

8. Terima kasih kepada Proton Squad (Maria Eva Nora, Jeffry, Veronika Putri, &

Alicia Winarti) yang selalu menemani dan menghibur peneliti dikala peneliti sedang terpuruk. Terima kasih karena telah menemani peneliti dalam tangis dan tawa, semoga hal tersebut akan terus bertahan.

9. Terima kasih kepada Khairun Nisa, Adenia Miranda Edi Putri, Sherly Roselliny Kencana, dan Hendry Kurniawan yang memberikan dukungan moril kepada peneliti selama perkuliahan dan prosesn pengerjaan skripsi.

10. Terima kasih kepada Hendrik Khosman yang sudah menemani peneliti dalam suka maupun duka ketika menjalani proses penyusunan skripsi. Terima kasih karena telah menjadi telinga dan sandaran ketika peneliti sedang berada dalam keadaan terpuruk.

11. Terima kasih kepada Bilie Eilish, Aurora, Hwasa, dan Lauv yang telah menemani hari-hari peneliti mengerjakan skripsi dengan suara merdu dan menenangkannya.

12. Serta pihak-pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu-persatu.

Semoga bantuan dan kebaikan serta dukungan yang telah diberikan kepada peneliti dapat membuahkan karma baik dikemudian hari.

(8)

Peneliti sungguh menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna ataupun mendekati sempurna. Akhir kata, peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dan berharap Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, September 2020

Stephanie Regina 151301093

(9)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

1. Manfaat Teoritis ... 17

2. Manfaat Praktis ... 17

E. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Narapidana Wanita ... 20

1. Definisi Narapidana Wanita ... 20

2. Psikologis Narapidana Wanita ... 20

B. Regulasi Emosi ... 23

1. Proses Emosi ... 23

(10)

2. Defenisi Regulasi Emosi ... 23

3. Strategi Regulasi Emosi ... 24

4. Faktor yang Memengaruhi Strategi Regulasi Emosi ... 28

C. Dinamika Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita ... 30

D. Paradigma Teoritis ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35

B. Teknik Pengambilan Sampel ... 36

C. Variabel Penelitian ... 36

D. Responden Penelitian ... 36

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 36

2. Jumlah Responden Penelitian ... 37

3. Lokasi Penelitian ... 37

E. Metode Pengambilan Data... 37

F. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 38

G. Prosedur Penelitian ... 38

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 38

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 41

3. Tahap Pencatatan Data ... 41

H. Kredibilitas Penelitian ... 41

I. Prosedur Analisa Data ... 43

1. Organisasi Data ... 43

2. Koding ... 43

(11)

3. Analisa Tematik ... 44

4. Tahapan Interpretasi ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 47

1. Responden I ... 47

a. Hasil Observasi ... 47

b. Hasil Wawancara ... 53

1) Peristiwa Penangkapan ... 53

2) Kehidupan Selama Berada di dalam Lapas ... 60

3) Proses Regulasi Emosi ... 72

2. Responden II ... 85

a. Hasil Observasi ... 85

b. Hasil Wawancara ... 93

1) Peristiwa Penangkapan ... 93

2) Kehidupan Selama Berada di dalam Lapas ... 101

3) Proses Regulasi Emosi ... 115

3. Responden III ... 124

a. Hasil Observasi ... 124

b. Hasil Wawancara ... 132

1) Peristiwa Penangkapan ... 132

2) Kehidupan Selama Berada di dalam Lapas ... 142

3) Proses Regulasi Emosi ... 158

B. Pembahasan ... 173

(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 184

B. Saran ... 188

1. Saran Praktis ... 188

2. Saran Metodologis ... 189

DAFTAR PUSTAKA ... 191

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Gambaran Umum Responden Penelitian... 46

Tabel 4.2. Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden I ... 83

Tabel 4.3. Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden II ... 123

Tabel 4.4. Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden III ... 167

Tabel 4.5. Rekapitulasi Hasil Analisa Gambaran Regulasi Emosi Narapidana Wanita ... 169

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Consent ... 195 Lampiran 2 Pedoman Wawancara ... 199 Lampiran 3 Verbatim ... 200

Responden 1

Wawancara 1 ... 200 Wawancara 2 ... 265 Responden 2

Wawancara 1 ... 320 Wawancara 2 ... 368 Responden 3

Wawancara 1 ... 422 Wawancara 2 ... 446

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Narapidana adalah individu yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyaraktan (UU RI No. 12 Th. 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 3). Mereka merupakan individu yang pada awalnya memiliki hak dan kewajiban yang sama besarnya dengan masyarakat, namun dikarenakan kejahatan yang telah diperbuatnya, maka ia dikenakan hukuman kehilangan kebebasan dalam jangka waktu yang setimpal dengan bentuk kejahatannya (Moeljatno, 2008). Narapidana digolongkan berdasarkan pada umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan dan kriteria lainnya yang sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan wanita; berdasarkan umur terbagi atas narapidana anak (12 s.d. 18 tahun) dan narapidana dewasa (diatas 18 tahun) (UU RI No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 3).

Penelitian ini akan berfokus pada narapidana wanita.

Hukuman penjara tidak hanya merenggut kebebasan namun juga memunculkan depresi, perasaan bersalah, marah, kecemasan, dan juga perasaan malu karena adanya pandangan negatif dari masyarakat terhadap narapidana maupun mantan narapidana (Syahruddin dalam Meilina, 2013). Darmi, narapidana kasus penipuan di Jember, melakukan upaya bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai karena tidak mampu menahan rasa malu (Win, 2011). Seorang

(16)

narapidana berinisial Darikin, pelaku kriminal yang terjerat kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor), ditemukan tergeletak dengan mulut berbusa di kamar di Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (24/12/2017). Darikin saat itu ditemukan oleh temannya dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Dirinya yang berhasil diselamatkan mengaku bahwa ia meminum larutan deterjen akibat merasa tertekan dan kesal dengan anggota keluarganya yang menjenguk dan menanyai keadaannya (dalam Liputan 6 ditulis oleh Nefri Inge, 2017). Hal ini juga terjadi pada kasus Rudi Eka Saputra, seorang narapidana yang terjerat kasus narkoba, yang ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi Lapas pada hari Senin 17 April 2017. Menurut saksi yang juga merupakan teman dekatnya di Lapas, korban sering mengeluh tentang keluarga yang tidak mengunjunginya sehingga ia merasa stres (dalam Liputan 6 ditulis oleh Nefri Inge, 2017).

Penelitian pada beberapa negara menemukan bahwa gangguan mental pada narapidana wanita lebih banyak daripada narapidana laki- laki. Dalam penelitian tersebut, juga ditemukan bahwa narapidana wanita memiliki kecenderungan lebih besar untuk melukai diri sendiri dan melakukan bunuh diri daripada narapidana laki-laki (Atabay, 2014). Menurut penilitian yang dilakukan University of South Wales diungkapkan sebesar 36% masalah kesehatan mental yang dialami oleh para penghuni Lapas adalah kecemasan, dan paling banyak dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan persentase sebesar 61 % banding 39 % (Butler, dkk, 2005 dalam Utari, Fitria &

(17)

Rafiyah, 2011).

Berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, diketahui bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua tertinggi di Lapas, yakni sebesar 20,5% dari jumlah kasus keselutruhan. Terdapat beberapa motif dari bunuh diri di Lapas, diantaranya 8% dikarenakan rasa malu akan perbuatannya, 20%

dikarenakan oleh depresi dan 72% tidak teridentifikasi alasannya (Wirya & Permata, 2017).

Saat baru memasuki lapas, narapidana menghadapi situasi eksternal dan situasi internal. Situasi eksternal ialah masalah yang muncul dari keluarga dan lingkungan sosial (Budiarti & Setiawan, 2018). Situasi internal yaitu masalah yang muncul dari suasana hati (mood) dan munculnya emosi negatif dalam dirinya. Emosi yang muncul menjadi semakin rumit ketika narapidana yang memasuki penjara merupakan seorang wanita. Hal ini dikarenakan masyarakat memandang perilaku kejahatan dimana wanita tidak diperbolehkan sedangkan pada laki-laki dimaklumi.

Salah satu situasi eksternal yang dihadapi oleh narapidana ialah lingkungan Lapas. Selama masa menjalani hukuman di penjara, narapidana menghadapi berbagai macam tekanan. Tekanan yang dirasakan berupa kurangnya kebebasan untuk bertemu dengan orang yang dikasihi, terpisah dari orang yang dicintai, kurang kebebasan untuk bertindak, menghadapi tekanan ‘moral’ dari lingkungan, menghadapi pandangan miring dari lingkungan serta beradaptasi

(18)

dengan pergaulan yang ada didalam penjara (Dirdjosisworo, 1983).

Jumlah narapidana juga berpotensi mengganggu kenyamanan dan keadaan ini dapat meningkatkan stres pada narapidana wanita (Sistem Database Pemasyarakatan, 2017).

Perbedaan budaya langsung dapat dirasakan narapidana sesaat setelah ia memasuki Lapas. Awal memasuki Lapas, narapidana harus menjalani masa karantina selama 7 hari bersama dengan narapidana baru lainnya. Mereka merasa perubahan budaya ini menimbulkan perasaan takut dan sedih karena harus beradaptasi dengan orang lain yang juga melakukan kejahatan. Memasuki Lapas berarti narapidana harus mematuhi segala jadwal dan peraturan yang telah ditetapkan. Hal ini didapatkan melalui hasil komunikasi personal peneliti dengan narapidana dan salah satu pegawai Lapas. Pegawai tersebut memaparkan jadwal yang telah ditentukan untuk dijalankan narapidana selama di Lapas. Melalui penjelasan pegawai tersebut, diketahui bahwa bagi narapidana yang melanggar peraturan akan ditegur hingga dikenakan sanksi berupa masuk kedalam ruang isolasi.

“Kalau mereka masih baru masuk, misalnya dari lapas lain, biasanya mereka akan nginap selama 7 hari, mereka akan dikarantina selama 7 hari. Setelah 7 hari itu, baru boleh keluar, untuk melakukan sosialisasi dengan yang lainnya.”

(Wawancara personal, Juli 2019)

“Awal Ibu kesini itu tuh Ibu nangisnya engga berhenti. Takut banget karena tiba-tiba harus tidur dikamar yang isinya 30 orang dengan luas yang cuma sepetak doang. Terus pas awal masuk itu kami kaya di ospek dulu gitu sama petugasnya, takut banget Ibu karna harus kenalan sama orang yang juga ngelakuin kejahatan. Terus disini orang-orangnya udah punya geng sendiri jadi harus masuk ke geng itu susah aja ngomongnya gitu.”

(Wawancara personal, Desember 2018)

(19)

“Secara keseluruhan, mereka mulai beraktivitas dalam jam 7.15, semua dibukakan dari kamar masing-masing, kecuali tamping, tamping dapur itu dibukakan jam 4 pagi karena mereka kan harus masak, tamping dapur itu ada 10 orang, setiap harinya itu harus memasak untuk 588 WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan), kebetulan tamping bagian kantor, itu dibukakan jam 5 sampai 5.30 pagi untuk membersihkan area luar kantor. Begitu petugasnya datang mereka baru boleh masuk ke ruangannya masing-masing. Sebelum mereka masuk ke ruangan masing-masing, mereka juga ada apel, apel tamping itu dilaksanakan jam 8 pagi. Selanjutnya, setelah apel, mereka melaksanakan bagiannya masing-masing. Untuk napi yang lainnya, mereka ada yang ke Musholla, ada yang ke gereja, ada yang ke vihara, ada juga yang ke bengkel untuk memproduksi apa yang harus diproduksi. Di bagian kuliner, mereka menjalankan apa yang sudah dijadwalkan untuk menu hari ini.

Untuk yang tidak ada pekerjaan mereka akan bantu bersih- bersih blok sampai pada jam 11.30 mereka akan masuk kedalam blok mereka masing-masing untuk perhitungan ulang. Mereka akan berada di dalam blok masing-masing sampai jam 2, kemudian boleh keluar kembali sampai jam 5 sore.”

(Wawancara personal, Juli 2019)

“Kalau mereka terlambat masuk atau ketahuan melanggar peraturan yang ada itu biasanya kita tegur. Namun, kalau sudah sampai pelanggaran aturan seperti misalnya membawa handphone, itukan dilarang ya. Itu biasa kita masukkan ke strapsel (ruang isolasi.)”

(Wawancara personal, Juli 2019)

“Hapenya disita, terus dikurung sendiri selama 1 minggu. Ga boleh kemana-mana selama satu minggu cuma sendiri dikamar.

Diisolasi. Takutlah sekarang yakan. Dulu sempat ada handphone pas didepan. Tapi semenjak razia itu engga lagi.”

(Wawancara personal, Desember 2019) Tidak hanya itu, terpidana juga tidak terlepas dari tekanan yang dapat ditunjukkan dalam beberapa bentuk, yaitu penolakan dari keluarga, cacian dari pihak korban, munculnya permasalahan dengan sesama terpidana, dan lain sebagainya. Sumarauw (2013) menemukan bahwa wanita yang terpidana akan dipandang sebagai lebih ‘rusak’

daripada terpidana laki-laki. Dikarenakan image wanita yang jauh dari kekerasan dan kejahatan, ketika seorang wanita dijatuhi hukuman

(20)

pidana ia akan dipandang tidak wajar (Sari & Wirman, 2015).

Lingkungan yang baru akan menimbulkan tekanan terhadap individu (Sumarauw, 2013).

Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan salah seorang narapidana mengenai penilaian masyarakat terhadapnya sebagai wanita berstatus narapidana. Dirinya mendapati bahwa keluarganya dirumah menjadi bahan cemooh di lingkungannya. Hal ini membuat dirinya merasa hancur karena perbuatannya telah mempermalukan tidak hanya dirinya namun juga keluarga dan teman-temannya. Ia merasa karena dirinya perempuan dan melakukan kejahatan, hal tersebut tidak wajar sehingga menjadi lebih buruk di pandangan orang lain. Perasaan malu dan kecewa ini membuat narapidana menjadi stres.

“Saya berumur 30 tahun, seorang wanita, pengguna narkoba.

Tetangga saya datang kemarin, katanya dia bingung sama saya, kenapa cantik-cantik begini mau aja pake narkoba begitu. Saya di cap jelek bahkan sama teman-teman saya. Saya juga rasanya kecewa sama diri sendiri, sampe ngecewain teman terdekat saya, adik saya, dan keluarga saya yang lain. Belum lagi saya baru tahu, ibu saya dirumah itu sampe diejek sama teman- temannya gara-gara saya ketangkap pake narkoba, beliau dibilang ga bisa jaga anak. Saya stress sama perbuatan saya sendiri, malu saya Mba. Biasa kan cowok yang berbuat begitu, ini saya cewek, begitu juga, lebih jelek aja gitu Mbak.”

(Wawancara personal, Desember 2018) Melalui wawancara personal peneliti dengan salah satu narapidana, diketahui bahwa narapidana cenderung merasa bersalah karena perbuatannya mengakibatkan dirinya berpisah dengan keluarganya. Dirinya mengaku merasa putus asa karena tidak mampu berbuat apapun selain menyesali atas perbuatanya dan terus merindukan keluarganya. Ia juga mengaku dimarahi oleh orangtuanya karena telah

(21)

mencoreng martabat keluarga karena berstatus narapidana. Hal ini membuatnya merasakan sedih yang teramat sangat.

“Yah engga banyak yang bisa dilakuin, cuma bisa nurutin apa kata penjaga disini. Awalnya saya marah, kenapa banyak yang diluar sana yang sama jahatnya sama saya, tapi cuma saya yang kenak tangkap. Lebih sakit lagi bapak saya itu engga mau berkunjung sama sekali, katanya saya cuma anak yang mencoreng namanya. Anak saya A (nama disamarkan) juga kadang itu mau nanyain kapan saya pulang pas telfonan. Saya sedih sekali. Kadang ibu saya bawa anak wanita saya kesini, dia kadang ceritain sekolahnya, temennya. Disitu saya nyesel uda pake narkoba ini. Kalau saja saya engga pake (narkoba), saya pasti bisa nemenin anak saya. Tapi sekarang, lihatlah, kasian anak saya tiap hari nanyain neneknya kapan saya pulang. Sekarang saya cuma bisa tiap hari berdoa mereka berkunjung, saya rindu kali sama keluarga saya dirumah.”

(Wawancara personal, Desember 2018) Anak-anak yang tinggal diluar Lapas menjadi salah satu pemicu kecemasan yang sangat besar bagi para narapidana. Pemikiran mengenai perpisahan dengan anaknya, siapa yang akan menjaga anaknya, dan keadaan anaknya menjadi pemicu kecemasan terbesar bagi para narapidana wanita (Atabay, 2014). Anwar dan Andang (dalam Condinata, Elvinawanty, & Marpaung, 2019) menyatakan bahwa narapidana wanita secara perlahan kehilangan kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya serta tidak berdaya memberikan dukungan, ketika keluarganya membutuhkan.

Cooke, Baldwin dan Howison (2008) percaya bahwa narapidana wanita lebih menderita daripada narapidana laki-laki, dikarenakan peran wanita sebagai seorang ibu. Kebanyakan narapidana wanita merupakan seorang single parent. Pisah dari anak-anak mereka adalah kekhawatiran terbesar mereka, beserta dengan harus tetap berhubungan

(22)

dengan keluarga lain, yang menjaga anaknya.

Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara personal peneliti dengan narapidana wanita dan pegawai Lapas Tanjung Gusta Medan.

Mereka menyebutkan bahwa keterbatasan untuk berkomunikasi dengan dunia luar membuat para Ibu sering khawatir dan cemas dengan keadaan anaknya diluar. Emosi ini semakin rumit ketika keluarga narapidana tidak terlalu harmonis sehingga pengasuhan anaknya diluar menjadi tidak jelas. Salah satu hasil wawancara personal peneliti dengan pegawai Lapas:

“Biasanya kalau stress itu soal anak, mereka kan banyak yang sudah punya anak. Sama halnya dengan ibu-ibu yang berada di luar (bukan narapidana), kalau anak sakit kan itu bisa langsung diperhatikan, nah kalau disini kan cuma bisa pantau dari telepon yang mana itu terbatas. Belum lagi ada yang suaminya sudah bersama dengan wanita lain, yang sudah tidak setia.

Padahal dia masuk istilahnya untuk membantu perekonomian keluarga, tak taunya pas masuk (penjara) suaminya tidak setia.

Yang begitu, menumpuk-menumpuk, belum lagi urusan anak yang terbengkalai dan ada juga yang lainnya.”

(Wawancara personal, Juli 2019) Selain menghadapi situasi eksternal, narapidana wanita juga menghadapi situasi internal. Terpidana mengalami konflik batin seperti munculnya perasaan sedih, kecewa, perasaan bersalah, tertekan, khawatir, merasa terbatasi, rindu dengan keluarga, jenuh dan perasaan tidak mengenakkan lainnya (Cooke, Baldwin dan Howison, 2008).

Sabina & Bringiwati (2016) menyatakan bahwa perasaan negatif yang muncul pada narapidana wanita berupa sedih, jengkel/benci, tidak senang/tidak nyaman, takut menghadapi hukuman, kecewa, marah, tidak adil, bosan, sakit hati akan menghasilkan respon tindakan tubuh negatif. Seorang narapidana wanita yang terpaksa tinggal di penjara

(23)

sangat beresiko mengalami stres dan harga diri rendah karena tekanan- tekanan yang ada dan stigma negatif dari masyarakat (Anggit, 2017).

Melalui hasil wawancara personal peneliti dengan pegawai Lapas Wanita Tanjung Gusta Medan, diketahui bahwa narapidana melakukan upaya bunuh diri karena adanya emosi negatif yaitu perasaan bersalah yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan depresi. Emosi negatif ini awalnya memunculkan perilaku agresif seperti memukul narapidana lain dan berteriak. Ada pula narapidana yang menunjukkan perilaku negatif seperti dengan sengaja menggangu narapidana lain, menolak untuk makan, menangis setiap malam, dan lainnya.

“Yang paling sering itu mereka nangis-nangis di sel sampe malam gitu kan, sampai mengganggu napi yang lain atau ada yang cek-cok (adu mulut), taulah namanya cewek. Ada juga yang saling ngejek gitu, biasa kalo kek gitu kita biarkan dulu tapi kalau uda sampai pake mukul, itu kami langsung isolasi dia, sampai tenang dulu. Ada juga yang nolak makan. Itu juga kami pantau, kalau uda sampai membahayakan dirinya, kami bawa ke klinik untuk diobati trus diajak ngobrol. Yah macam- macam lah.”

(Wawancara personal, Desember 2018)

“Terkadang ada napi yang sedang menggarai temannya, entah mengambil makanan temannya tanpa izin, kan napi lain bisa marah, nanti jadinya adu mulut. Tapi biasa lah kayak gitu, untuk cari perhatian. Mereka disini kan agak kurang perhatian, jadinya suka caper gitu entah sama temannya atau sama petugas.”

(Wawancara personal, Juli 2019)

“Pernah itu ada yang mau minum WIPOL (cairan pembersih WC). Jadinya harus dibawa ke Rumah sakit untuk dikorek/disedot. Ada juga dulu, kasusnya pembunuhan anaknya, dia jadinya depresi karena perasaan bersalahnya, katanya dia sering mendengar suara anaknya. Dulu itu sampai mukul teman satu bloknya, teriak-teriak. Itu kami bawa ke dokter jiwa yang kebetulan ada di Lapas anak. Sekarang masih sedang diterapi.

Yang mungkin karena masih tidak bisa menerima itu ya.”

(Wawancara personal, Juli 2019)

(24)

Narapidana wanita memiliki kecenderungan untuk mengembangkan pikiran negatif sehingga memunculkan respon tindakan yang juga negatif selama berada di dalam lapas. Adapun bentuk dari pikiran negatif tersebut adalah tentang sidang yang tertunda, keluarga dan orang tua sakit, tidak bisa menelpon, tidak dibesuk dan bertemu keluarga, berpikir tentang lamanya vonis hukuman yang akan dijalani, tidak ada uang, tidak dikunjungi anak dan suami, berbeban berat dalam hidup, pekerjaan setelah keluar lapas (Sabina &

Bringiwati, 2016).

Pikiran ini kemudian akan memunculkan emosi negatif seperti meningkatnya kecemasan, rasa tidak berdaya, keputusasaan, dan emosi negatif lainnya (Gross, 2007). Tidak jarang narapidana yang merasakan depresi berusaha untuk melukai dirinya sendiri, bisa jadi merupakan suatu percobaan bunuh diri karena merasa tertekan dengan keadaan yang dihadapinya (Cooke, Baldwin dan Howison, 2008). Narapidana wanita rentan menimbulkan efek psikologis negatif seperti menarik diri, depresi, pikiran untuk bunuh diri, dan peningkatan perilaku agresi (Tomar, 2013).

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa narapidana wanita mengembangkan emosi dan pikiran negatif dalam dirinya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari situasi internal yaitu suasana hati dan emosi negatif dalam dirinya serta situasi eksternal yaitu pengaruh dari keluarga dan lingkungannya. Emosi dan pikiran negatif yang berkembang dalam dirinya ini akan menjadi bentuk stress yang

(25)

dapat menghambat perkembangan psikologis narapidana wanita ke arah yang lebih positif.

Gross (1998) menyatakan bahwa emosi akan memengaruhi kehidupan seseorang, karena pada saat seseorang merasakan emosi positif maupun negatif hal ini akan membawa perubahan secara fisik maupun psikologisnya. Goleman dalam Yuliani (2013) menyatakan bahwa emosi negatif adalah suatu keadaan dalam diri seseorang yang dirasakan kurang menyenangkan sehingga memengaruhi sikap dan perilaku individu dalam berhubungan dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Barret, Gross, Christensen, dan Benvenuto (dalam Setyowati, 2010) menyatakan bahwa emosi negatif dapat memengaruhi aktivitas seseorang. Yusuf dalam Yuliani (2013) menyatakan bahwa terdapat beberapa pengaruh dari emosi negatif yaitu melemahkan semangat, menghambat atau mengganggu konsentrasi, terganggu penyesuaian sosial dan suasana emosional. Apabila kemampuan seseorang dalam mengontrol emosinya rendah maka individu tersebut akan mengalami stres yang berkelanjutan bahkan akan rentan mengalami stres lagi ketika dihadapkan dengan suatu tekanan. Individu yang terus menerus merasakan stres akan mengalami berbagai gangguan, seperti gangguan fisik, psikis maupun sosial (Isen, Dubman, dan Nowicki dalam Anggraini, 2015).

Narapidana wanita harus memiliki kemampuan untuk bisa mengontrol emosi mereka agar dapat adaptif terhadap keadaan yang menjadi stresor (Anggraini, 2015). Kemampuan mengendalikan atau

(26)

mengontrol emosi ini disebut dengan regulasi emosi. Menurut Gottman dan Katz dalam Anggreiny (2014) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat yang diakibatkan oleh kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.

Regulasi emosi diasumsikan sebagai faktor penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam usahanya untuk berfungsi secara normal di kehidupannya seperti dalam proses adaptasi, dapat berespon sesuai dan fleksibel (Garnefski & Kraaij, 2007). Gross (1998) menyatakan bahwa regulasi emosi adalah suatu proses individu dalam memengaruhi emosi yang dimilikinya, kapan individu merasakan dan bagaimana individu mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut.

Proses tersebut meliputi menurunkan dan meningkatkan emosi yang positif maupun negatif (Gross, 2002). Regulasi emosi juga dapat dikatakan sebagai usaha-usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengatur emosi mereka, usaha tersebut dapat dilakukan oleh individu baik secara otomatis atau terkontrol, sadar atau tidak sadar (Gross, 2007). Dengan adanya kemampuan untuk meregulasi emosi, maka individu juga dapat membentuk perilaku yang lebih positif dalam dirinya (Estefan & Wijaya, 2014).

(27)

Gross (2007) menyatakan bahwa terdapat lima strategi regulasi emosi yang terdiri dari situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation.

Lima strategi regulasi emosi tersebut dapat dilakukan tanpa melalui seluruh tahap proses tersebut (Gross, 2007). Strategi-strategi ini didasarkan pada proses emosi yaitu situation-attention-appraisal- response.

Situation selection dan situation modification merupakan hasil dari proses situation. Strategi situation selection melibatkan tindakan untuk mendapatkan situasi yang diinginkan dan menyebabkan munculnya emosi. Pada strategi ini, individu dihadapkan untuk memilih situasi yang dapat membuat dirinya merasa lebih baik yaitu dengan cara menghindari atau mendekati situasi berdasarkan dampak emosional yang muncul. Situation selection memiliki manfaat dalam kurun waktu yang singkat, hal ini dikarenakan individu mencoba menghindari situasi yang dihadapinya (Gross, 2007).

Strategi situation modification merupakan usaha individu untuk mengubah situasi secara langsung dengan memodifikasi lingkungan eksternal dan fisik yang melibatkan munculnya emosi negatif sehingga dapat teralihkan. Situation modification dilakukan hanya pada lingkungan eksternal dan lingkungan fisik (Gross, 2007).

Strategi attentional deployment mengacu pada individu mengarahkan perhatian terhadap suatu situasi untuk mengatur emosi yang muncul (Gross, 2007). Attentional deployment merupakan hasil

(28)

dari proses emosi attention. Attentional deployment memiliki bentuk menarik diri secara fisik, pengalihan diri secara internal, dan mengalihkan respon.

Strategi cognitive change meliputi tahap penilaian terhadap suatu situasi dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi yang dialami. Penilaian ini berpengaruh pda proses kognitif individu.

Cognitive change merupakan hasil dari proses emosi appraisal. Gross (2007) menyatakan bahwa penilaian sangat dipengaruhi oleh gambaran emosi yang sedang berkembang di usia mereka, penyebab dan dampak dari emosi tersebut. Cognitive change digunakan untuk pengalaman atau peristiwa internal.

Strategi response modulation melibatkan perilaku ekspresif.

Pada strategi ini, emosi yang muncul dalam suatu situasi dapat diregulasi dalam bentuk perilaku yang lebih nyata dan ekspresif.

Response modulation merupakan hasil dari tahap response pada proses emosi. Pada strategi response modulation, individu dapat melakukan regulasi emosi jika individu dapat menemukan cara untuk mengekspresikan emosi yang muncul dalam cara lebih adaptif (Gross, 2007).

Disampaikan lebih lanjut oleh Gross (2007), proses emosi dapat berjalan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, strategi regulasi emosi terjadi secara dinamis. Setiap individu dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi emosi dalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Hal ini kembali

(29)

lagi pada situasi/kondisi yang dihadapi dan bagaimana individu tersebut memandang situasi/kondisi tersebut.

Sheppes (dalam Gross, 2014) menambahkan, terdapat tiga faktor penentu yang memengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi yaitu intensitas emosional, kompleksitas kognitif dan tujuan motivasi.

Intensitas emosional adalah dimensi emosi yang berhubungan dengan intensitas situasi dan tingkat emosi yang muncul. Kompleksitas kognitif memiliki hubungan dengan proses kognitif dalam menghadapi situasi dan emosi yang muncul dari situasi tersebut. Tujuan motivasi merupakan dorongan dan pengalaman individu terhadap situasi yang dihadapinya.

Berdasarkan uraian diatas, dampak negatif dari narapidana wanita yang tidak mampu meregulasi emosinya adalah kecenderungan untuk berperilaku negatif. Setiap individu memiliki perbedaan dalam melakukan regulasi emosi ketika mengalami peristiwa buruk dan menekan dirinya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran strategi regulasi emosi serta faktor-faktor yang berpengaruh.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami gambran strategi regulasi emosi serta faktor yang berpengaruh. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu psikolog untuk membuat rancangan treatment bagi klien yang merupakan narapidana wanita, serta membantu keluarga memahami tekanan yang dialami oleh narapidana

(30)

dalam masa menjalani hukumannya di dalam penjara, sehingga dapat memberikan dukungan sosial yang tepat.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan menggali informasi secara mendalam mengenai gambaran strategi regulasi emosi yang dilakukan oleh narapidana wanita. Kehidupan narapidana wanita merupakan masalah yang sensitif untuk dibahas sehingga penelitian ini tidak dapat dilakukan dengan metode kuantitatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui, bagaimana strategi regulasi emosi yang dilakukan oleh narapidana wanita Kelas IIA Lapas Tanjung Gusta Medan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana gambaran strategi regulasi emosi oleh narapidana wanita pada Lapas Kelas II A Tanjung Gusta Medan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terutama psikologi klinis dan psikologi forensik mengenai penggunaan strategi regulasi emosi oleh narapidana wanita pada Lembaga Permasyarakatan kelas II A Medan.

(31)

b. Dapat berguna bagi bidang pengetahuan serta pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi seperti pengawas atau penjaga Lapas dan praktisi psikolog yang menangani narapidana wanita.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi mengenai regulasi emosi narapidana wanita pada lapas kelas II A Medan.

b. Sebagai acuan penelitian selanjutnya terkait dengan regulasi emosi narapidana wanita lapas kelas II A Medan.

c. Sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi pihak lapas wanita Kelas II A terkait regulasi emosi pada narapidana wanita tersebut.

d. Sebagai bantuan terhadap psikolog dalam membuat treatment bagi klien narapidana wanita.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyelesaian dari penelitian ini, maka peneliti menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang mengenai pentingnya strategi regulasi emosi pada narapidana wanita yang berada di dalam Lapas. Di bab ini, peneliti juga menuliskan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

(32)

Bab ini menguraikan tinjauan teoritis variabel- variabel penelitian, yaitu strategi regulasi emosi, narapidana wanita, serta dinamikan regulasi emosi narapidana wanita.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan, jumlah, metode yang digunakan untuk pengumpulan data, alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data, dan prosedur penelitian yang akan dijalankan.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisikan tentang hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi untuk memberikan gambaran pada pembaca dalam memahami. Hasil data yang diperoleh akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasikan per-responden oleh peneliti, kemudian disesuaikan dengan teori yang telah dijabarkan dalam Bab II Landasan Teoritis.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari penelitian dalam bentuk narasi. Saran untuk penelitian terkait selanjutnya juga dipaparkan berdasarkan hasil dari penelitian.

(33)

BAB II

LANDASAN TEORITIS A. Narapidana Wanita

1. Definisi Narapidana Wanita

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (UU RI No.12 Th. 1995 tentang pemasyarakatan pasal 1 ayat 3). Menurut WHO (2009), narapidana wanita adalah wanita yang berusia minimal 18 tahun, ditahan di penjara, sedang menunggu pemeriksaan pengadilan atau telah menjalani hukuman di penjara.

2. Psikologis Narapidana Wanita

Saat baru memasuki lapas, narapidana akan menghadapi situasi internal dan situasi eksternal. Situasi internal yaitu masalah yang muncul dari suasana hati (mood) dan munculnya emosi negatif dalam dirinya. Situasi eksternal ialah masalah yang muncul dari keluarga dan lingkungan sosial (Budiarti & Setiawan, 2018). Narapidana terpaksa beradaptasi dengan rutinitas yang keras dan kaku, kehilangan privasi dan kebebasan, serta harus menerima stigma negatif dari masyarakat.

Hal ini membuat narapidana merasa tidak nyaman dan terpuruk.

Kehidupan di Lapas juga membuat narapidana kehilangan kepercayaan dengan individu lain, mengisolasi diri dari lingkungan sosial, kehilangan nilai diri, sehingga berdampak negatif pada perilakunya (Haney, 2001).

(34)

Anwar dan Andang (dalam Condinata, Elvinawanty, &

Marpaung, 2019) menyatakan bahwa narapidana wanita secara perlahan kehilangan kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya serta tidak berdaya memberikan dukungan, ketika keluarganya membutuhkan. Cooke, Baldwin dan Howison (2008) percaya bahwa narapidana wanita lebih menderita daripada narapidana laki-laki, dikarenakan peran wanita sebagai seorang ibu. Kebanyakan narapidana wanita merupakan seorang single parent. Pisah dari anak- anak mereka adalah kekhawatiran terbesar mereka, beserta dengan harus tetap berhubungan dengan keluarga lain, yang menjaga anaknya.

Lama vonis hukuman yang haru dijalani oleh narapidana wanita ini juga menjadi salah satu sumber tekanan pada narapidana. Menurut Siswati dan Abdurohim (2009), semakin lama masa hukum yang harus dijalani oleh narapidana maka semakin tinggi tekanan yang dialami oleh narapidana.

Narapidana wanita memiliki kecenderungan untuk mengembangkan pikiran dan perasaan negatif sehingga memunculkan respon tindakan yang juga negatif selama berada di dalam lapas.

Adapun bentuk dari pikiran negatif tersebut adalah tentang sidang yang tertunda, keluarga dan orang tua sakit, tidak bisa menelpon, tidak dibesuk dan bertemu keluarga, berpikir tentang lamanya vonis hukuman yang akan dijalani, tidak ada uang, tidak dikunjungi anak dan suami, berbeban berat dalam hidup, banyak pikiran, pekerjaan setelah keluar lapas. Perasaan negatif narapidana berupa sedih, jengkel/benci, tidak

(35)

senang/tidak nyaman, takut menghadapi hukuman, kecewa, marah, tidak adil, bosan, sakit hati akan menghasilkan respon tindakan tubuh negatif (Sabina & Bringiwati, 2016).

Seorang narapidana wanita yang terpaksa tinggal di penjara sangat beresiko mengalami stress dan harga diri rendah karena tekanan- tekanan yang ada dan stigma negatif dari masyarakat (Anggit, 2017).

Sumarauw (2013) menemukan bahwa wanita yang terpidana akan dipandang sebagai lebih ‘rusak’ daripada terpidana laki-laki.

Dikarenakan image wanita yang jauh dari kekerasan dan kejahatan, ketika seorang wanita dijatuhi hukuman pidana ia akan dipandang tidak wajar (Sari & Wirman, 2015).

Dampak dari kehilangan keluarga akan menambah tekanan pada napi. Kecemasan narapidana dalam menghadapi tekanan memengaruhi kesehatan napi. Tidak jarang narapidana yang merasakan depresi berusaha untuk melukai dirinya sendiri, bisa jadi merupakan suatu percobaan bunuh diri karena merasa tertekan dengan keadaan yang dihadapinya (Cooke, Baldwin dan Howison, 2008).

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa narapidana mengembangkan emosi dan pikiran negatif dalam dirinya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari situasi internal yaitu suasana hati dan emosi negatif dalam dirinya serta situasi eksternal yaitu pengaruh dari keluarga dan lingkungannya. Emosi dan pikiran negatif yang berkembang dalam dirinya ini dapat menghambat perkembangan psikologis narapidana wanita ke arah yang lebih positif.

(36)

B. Regulasi Emosi 1. Proses Emosi

Menurut Gross (2007), proses emosi didasari oleh adanya suatu transaksi antara individu dengan situasi. Proses emosi meliputi situation-attention-appraisal-response yang kemudian disebut sebagai The Modal Model of Emotion. Rangkaian ini dimulai dengan situasi (situation) eksternal dan internal yang relevan dengan individu secara psikologis, selanjutnya individu akan memberi perhatian (attention) apabila situasi tersebut relevan dengan dirinya, kemudian individu memberi penilaian (appraisal) sehingga muncul respon emosi (response). Rangkaian proses emosi ini bersifat dinamis dan dapat terjadi berulang serta berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, hal ini tergantung dari situasi yang dihadapi oleh individu.

The Modal Model of Emotion 2. Definisi Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah sebuah proses individu memengaruhi emosi yang dimilikinya, kapan memunculkannya, dan bagaimana individu tersebut merasakan serta mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 1998). Regulasi emosi juga merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seorang individu baik secara sadar maupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih

(37)

aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi atau perilaku (Gross, 2007). Proses tersebut meliputi menurunkan dan meningkatkan emosi yang positif maupun negatif (Gross, 2002).

Menurut Gottman dan Katz (dalam Anggreiny, 2014), regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Gross (1998) menyatakan bahwa regulasi emosi merupakan perubahan respon terhadap emosi yang berdampak pada fisiologis dan perilaku. Regulasi emosi termasuk pula meningkatkan emosi negatif atau menghentikan/

mengurangi emosi positif. Hal ini tergantung pada tujuan dari individu dari melakukan regulasi emosi.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan suatu cara atau proses intrinsik dan ekstrinsik individu untuk memperkuat, mengurangi atau mempertahankan intensitas emosi yang muncul untuk mencapai tujuan meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir, dan respon emosi.

3. Strategi Regulasi Emosi

Strategi regulasi emosi merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan seseorang ketika menghadapi situasi yang emosional. Lima

(38)

strategi regulasi emosi tersebut dapat dilakukan tanpa melalui seluruh tahap proses tersebut. Proses emosi dapat berjalan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, strategi regulasi emosi terjadi secara dinamis. Setiap individu dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi emosi dalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Hal ini kembali lagi pada situasi/kondisi yang dihadapi dan bagaimana individu tersebut memandang situasi/kondisi tersebut (Gross, 2007).

Gross (1998) juga menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya penggunaan strategi regulasi emosi bergantung pada tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Gross (2007), terdapat lima strategi regulasi emosi yang disebut dengan process model of emotional regulation. Adapun strategi regulasi emosi tersebut adalah:

a. Situation Selection

Situation selection merupakan suatu tindakan yang menentukan apakah individu mendapatkan situasi yang diharapkan, sehingga memunculkan emosi yang diharapkan baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Situation selection ini terkait dengan tindakan atau upaya individu dalam menentukan jenis aktivitas, hubungan interpersonal, dukungan sosial, dan/atau situasi lingkungan yang dilakukan untuk mendekatkan atau menghindarkan diri dari situasi yang diharapkan atau tidak diharapkan. Contohnya menghindari rekan kerja yang emosional, pergi berlibur ke pegunungan, dan lain sebagainya.

(39)

b. Situation Modification

Situation modification merupakan suatu upaya individu dalam mengubah situasi secara langsung sehingga dapat memunculkan dampak emosional atau menjadi teralihkan. Situation modification berkaitan dengan upaya mengubah atau memodifikasi lingkungan eksternal dan fisik. Situation modification ini sama dengan problem- focused coping (PFC) yakni strategi kognitif untuk penanganan stress yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalah dengan berusaha menyelesaikannya. Contohnya memberikan motivasi pada orang-orang yang tertimpa bencana, menunjukkan sikap peduli dan empati, mengajak bicara agar emosi berubah lebih tenang, dan lain sebagainya.

c. Attentional Deployment

Attentional deployment mengarahkan perhatian dalam situasi tertentu untuk memengaruhi dan mengatur emosi yang muncul.

Terdapat tiga kelompok bentuk attentional deployment yaitu distraksi, konsentrasi, dan ruminasi.

1) Distraksi (distraction) yaitu upaya yang dilakukan individu dengan mengalihkan perhatiannya dari aspek-aspek situasi yang dihadapi atau menghilangkan perhatian dari situasi yang memunculkan respon emosional. Contohnya ketika seseorang menghadapi suatu hal yang tidak menyenangkan, dirinya akan menyibukkan diri agar tidak memperhatikan emosi negatif yang muncul.

(40)

2) Konsentrasi (concentration) merupakan upaya menarik perhatian pada aspek-aspek yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi. Individu akan memusatkan perhatiannya pada emosi atau situasi yang diinginkannya.

Contohnya seorang aktor yang melibatkan pikiran pengalaman tidak menyenangkannya agar peran yang ia bawakan menjadi semakin meyakinkan.

3) Ruminasi (rumination) merupakan pengarahan perhatian individu ke aspek yang menjadi sumber ransangan emosi negatif. Pengarahan perhatian ini hanya pada perasaan serta konsekuensinya. Ketika seseorang memusatkan perhatiannya pada emosi negatif secara berulang-ulang, maka terdapat kemungkinan individu tersebut memperpanjang gejala depresi.

d. Cognitive Change

Cognitive change merupakan cara individu menilai situasi tertentu sehingga ia mampu mengubah makna emosional, baik itu dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi atau kemampuan seseorang untuk mengelola atau mengatur tuntutan. Cognitive change mencakup perubahan evaluasi kognitif terhadap situasi yang dihadapi.

Saat menggunakan cara ini, individu memiliki kecenderungan untuk menilai kejadian yang dihadapi menjadi lebih positif. Bentuk lain dari cognitve change adalah downward social comparison, yang mana individu membandingkan dirinya dengan orang yang lebih kurang

(41)

beruntung dari dirinya, dengan begitu individu tersebut dapat mengurangi emosi negatif yang muncul dalam dirinya. Contohnya seorang narapidana yang divonis hukuman 4 tahun penjara tidak berpikir bahwa itu merupakan masa terburuk, tetapi merupakan kesempatan untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

e. Response Modulation

Response modulation adalah upaya yang dilakukan setelah emosi terjadi untuk memengaruhi respon fisiologis, pengalaman dan tingkah laku dari emosi negatif. Salah satu contoh dari response modulation adalah expressive supression, yaitu individu mencoba untuk mencegah secara terus-menerus perilaku emotion-expressive yang positif maupun negatif. Contoh lainnya seorang individu melaksanakan sholat untuk mengurangi atau meniadakan agresivitas saat marah.

4. Faktor yang Memengaruhi Strategi Regulasi Emosi

Menurut Sheppes (dalam Gross, 2014), terdapat tiga faktor penentu utama yang memengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi, yaitu:

a. Intensitas emosional merupakan dimensi utama variasi di konteks emosional. Pada situasi dengan intensitas yang rendah dan emosi yang negatif, individu akan lebih memilih untuk melakukan penilaian kembali. Sedangkan individu yang berada dalam situasi dengan intensitas tinggi dan emosi negatif akan cenderung memilih untuk memblokir informasi emosional atau dengan

(42)

menghindari situasi yang menimbulkan emosi sebelum mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi.

b. Kompleksitas kognitif dapat menghasilkan sebuah strategi regulasi emosi. Hal ini dapat dilihat dengan melibatkan proses kognitif yang berurutan yaitu generasi, implementasi dan pemeliharaan. Generasi melibatkan untuk menemukan opsi pengaturan yang memadai sehingga dapat menggantikan pengolahan informasi emosional. Implementasi melibatkan untuk mengaktifkan strategi regulasi emosi dan pemeliharaan memegang peran dalam mempertahankan regulasi emosi selama yang diperlukan.

c. Tujuan motivasi yaitu mengevaluasi stimulus emosional yang akan ditemui dalam sekali atau dalam beberapa kali. Stimulus emosional yang dihadapi beberapa kali dapat lebih baik dalam melakukan regulasi emosi.

Selain faktor pemilihan strategi regulasi emosi, Riediger &

Klipker (dalam Gross, 2014) menyatakan bahwa terdapat faktor yang memengaruhi kemampuan individu terutama dalam melakukan regulasi emosi yaitu familial context. Faktor ini memiliki yang pengaruh cukup penting dalam memfasilitasi atau menghambat keterampilan regulasi emosi. Familial context memengaruhi perkembangan regulasi emosi dalam tiga cara, yaitu: melalui observasi pembelajaran, melalui pola pengasuhan orangtua dan melalui iklim emosional dalam keluarga.

(43)

C. Dinamika Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita

Dari pemaparan teori diatas terkait dengan narapidana wanita, salah satu kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa narapidana mengembangkan emosi dan pikiran negatif dalam dirinya (Sabrina &

Bringiwati, 2016). Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari situasi internal yaitu suasana hati dan emosi negatif dalam dirinya serta situasi eksternal yaitu pengaruh dari keluarga dan lingkungannya (Budiarti &

Setiawan, 2018).

Terdapat beberapa sumber dari emosi negatif yang dialami oleh narapidana wanita, yaitu tentang sidang yang tertunda, keluarga dan orang tua sakit, tidak bisa menelpon, tidak dibesuk dan bertemu keluarga, berpikir tentang lamanya vonis hukuman yang akan dijalani, tidak ada uang, tidak dikunjungi anak dan suami, berbeban berat dalam hidup, banyak pikiran, pekerjaan setelah keluar lapas. Perasaan negatif narapidana berupa tertekan, sedih, jengkel/benci, tidak senang/tidak nyaman, takut menghadapi hukuman, kecewa, marah, tidak adil, bosan, sakit hati akan menghasilkan respon tindakan tubuh negatif (Sabrina &

Bringiwati, 2016). Khususnya pada narapidana wanita, stress juga ditimbulkan oleh stigma negatif dari masyarakat (Anggit, 2017).

Sumarauw (2013) menemukan bahwa terpidana perempuan dipandang lebih ‘rusak’ daripada laki-laki sehingga mereka sering menerima cacian dari orang lain.

(44)

Emosi dan pikiran negatif yang berkembang dalam dirinya ini akan menghambat perkembangan psikologis narapidana wanita ke arah yang lebih positif. Apabila emosi negatif ini terus berkembang, maka akan berdampak pada kesehatan napi. Narapidana yang merasakan depresi juga akan berusaha untuk melukai dirinya sendiri, bisa jadi merupakan suatu percobaan bunuh diri karena merasa tertekan dengan keadaan yang dihadapinya (Cooke, Baldwin dan Howison, 2008).

Menurut Gratz & Roemer (2004), individu yang menyadari dan dapat mengendalikan emosinya akan mudah untuk menerima dan memanfaatkan stimulus negatif pada dirinya, dalam kasus ini adalah terkait dengan emosi negatif pada narapidana wanita. Regulasi emosi merupakan cara individu untuk mengendalikan dan mengontrol emosi yang muncul pada dirinya. Regulasi emosi merupakan hal yang penting bagi setiap individu, agar mampu mengendalikan emosinya, terkhusus pada narapidana wanita wanita yang sedang menjalani masa hukumannya di dalam Lapas. Regulasi emosi adalah suatu cara untuk membentuk salah satu atau lebih emosi dan belajar untuk mengungkapkan emosi tersebut. Regulasi emosi merupakan cara untuk mengontrol emosi dengan menggunakan berbagai macam strategi (Gross, 2007).

Terdapat lima strategi regulasi emosi, yaitu situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation. Strategi-strategi ini didasarkan pada proses emosi yaitu situation-attention-appraisal-response. Situation selection dan

(45)

situation modification merupakan hasil dari proses situation. Situation selection memiliki manfaat dalam kurun waktu yang singkat, hal ini dikarenakan individu mencoba menghindari situasi yang dihadapinya.

Situation modification dilakukan hanya pada lingkungan eksternal dan lingkungan fisik. Attentional deployment merupakan hasil dari proses emosi attention. Attentional deployment memiliki bentuk yang menarik diri secara fisik, pengalihan diri secara internal, dan mengalihkan respon. Cognitive change merupakan hasil dari proses emosi appraisal.

Cognitive change digunakan untuk pengalaman atau peristiwa internal.

Response modulation merupakan hasil dari tahap response pada proses emosi. Pada strategi response modulation, individu dapat melakukan regulasi emosi jika individu dapat menemukan cara untuk mengekspresikan emosi yang muncul dalam cara lebih adaptif (Gross, 2007).

Disampaikan lebih lanjut oleh Gross (2007), proses emosi dapat berjalan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, strategi regulasi emosi terjadi secara dinamis. Setiap individu dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi emosi dalam suatu kondisi dan situasi tertentu. Hal isni kembali lagi pada situasi/kondisi yang dihadapi dan bagaimana individu tersebut memandang situasi/kondisi tersebut.

Sheppes (dalam Gross, 2014) menambahkan, terdapat tiga faktor penentu yang memengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi yaitu intensitas emosional, kompleksitas kognitif dan tujuan motivasi.

(46)

Intensitas emosional adalah dimensi emosi yang berhubungan dengan intensitas situasi dan tingkat emosi yang muncul. Kompleksitas kognitif memiliki hubungan dengan proses kognitif dalam menghadapi situasi dan emosi yang muncul dari situasi tersebut. Tujuan motivasi merupakan dorongan dan pengalaman individu terhadap situasi yang dihadapinya.

(47)

D. Paradigma Teoritis

Narapidana Wanita

Mengahadapi situasi eksternal &

situasi internal

Berdampak pada Emosi

Emosi Negatif - Cemas

- Rasa bersalah - Benci

- Sedih - Takut - Marah - dsb

Regulasi emosi

Strategi Regulasi Emosi:

a. Situation Selection b. Situation Modification c. Attentional Deployment d. Cognitive Change e. Response Modulation

Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berfokus pada gambaran strategi regulasi emosi pada narapidana wanita. Oleh karena strategi regulasi emosi yang digunakan oleh setiap individu akan berbeda dipengaruhi oleh faktor yang dialami, maka penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus intrinsik. Menurut Patton dalam Poerwandari (2007), metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian terpilih secara mendalam dan detail. Penelitian studi kasus intrinsik dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk memahami kasus secara menyeluruh, tanpa menghasilkan konsep sebagai upaya untuk menggeneralisasi (Poerwandari, 2007). Pengalaman yang dialami oleh narapidana wanita merupakan fenomena yang unik dan tidak dialami oleh semua orang, dengan menggunakan suatu konteks yang membatasi penelitian ini yaitu gambaran strategi regulasi emosi pada narapidana wanita, penelitian ini akan menjadi khusus.

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif diharapkan dapat memperoleh suatu pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang diteliti sehingga dapat melihat permasalahan secara lebih mendalam. Penelitian kualitatif digunakan karena strategi regulasi emosi merupakan hal yang bersifat subjektif pada diri individu sehingga diperlukan suatu pendekatan yang mendalam untuk memperoleh

(49)

strategi regulasi emosi yang digunakan oleh narapidana wanita didalam Lapas.

B. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pengambilan sampel secara aksidental (accidental sampling) yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Dalam teknik ini, pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu. Peneliti langsung saja mengumpulkan data dari unit sampling yang ditemui.

C. Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah strategi regulasi emosi. Strategi regulasi emosi merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan seseorang ketika menghadapi situasi yang emosional (Gross, 2007). Terdapat lima strategi regulasi emosi yang disebut dengan process model of emotional regulation. Kelima strategi regulasi emosi ini terdiri dari situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation.

D. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan beberapa narapidana wanita yang tercatat berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Klas IIA Tanjung Gusta Medan.

(50)

2. Jumlah Responden Penelitian

Pada penelitian kualitatif, sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar dan tidak ditentukan jumlahnya secara baku namun dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Poerwandari, 2007). Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang. Hal ini dikarenakan peneliti menganggap bahwa 3 (tiga) orang telah mampu mewakili penelitian untuk mendalami dan memahami fenomena yang akan diteliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Klas IIA Tanjung Gusta Medan, tepatnya di kantor administrasi milik pegawai dan kantin Lapas. Lokasi ini disepakati oleh peneliti, pegawai Lapas dan narapidana. Lokasi ini dipilih karena dapat menghindari keramaian seperti narapidana dan staff Lapas. Lokasi ini juga memiliki setting yang nyaman dan memberikan kesan lebih privasi bagi narapidana. Dengan memberikan kesan aman dan nyaman ini, diharapkan narapidana wanita dapat leluasa untuk menyampaikan jawaban saat wawancara berlangsung.

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan observasi. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Wawancara digunakan oleh peneliti sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami oleh

(51)

responden terkait dengan topik yang diteliti dan bermaksud untuk melakukan melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut (Poerwandari, 2007). Wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka (open ended question) yaitu pertanyaan yang memungkinkan responden untuk memberikan jawaban yang luas dan berbicara tanpa diarahkan untuk mendapatkan jawaban yang diinginkan. Pedoman wawancara ini didasarkan pada teori regulasi emosi dari James Gross.

F. Alat Bantu Pengumpulan Data

Dalam mempermudah pengumpulan data penelitian, peneliti membutuhkan alat bantu yang memadai dan membantu peneliti.

Peneliti menggunakan alat bantu perekam suara, pedoman wawancara, buku dan pen. Perekam suara akan digunakan atas persetujuam responden penelitian yang akan diminta melalui informed consent.

Pedoman wawancara digunakan untuk membantu mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang akan dibahas. Pedoman wawancara juga akna menjadi daftar pengecekan mengenai aspek yang relevan yang telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007).

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahapan persiapan penelitian, peneliti melakukan beberapa hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data.

Peneliti mengumpulkan informasi-informasi serta teori berkenan dengan topik yang diteliti yaitu strategi regulasi emosi dan narapidana

Referensi

Dokumen terkait

PrintWriter adalah class turunan dari Writer yang memiliki metode tambahan untuk menulis tipe data Java dalam karakter yang bisa dibaca manusial.. Queue merupakan model

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar IPA materi pesawat sederhana pada siswa kelas

Dengan mengamati gambar dan mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat mengidentifikasi dan mendemonstrasikan cara memegang dan membalik buku

con®rm the expected form and sign of the two-way interactions (p. Finding a signi®cant three-way interaction does not warrant such speci®c expectations... This is the consequence of

3.3.4 Menunjukkan huruf vokal dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 3.3.5 Menunjukkan huruf konsonan dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 4.3 Melafalkan

Carefully de®ning the underlying task require- ments, as well as comparing and contrasting those requirements to tasks previously studied, is a critical event necessary to further

SURAT TUGAS Nomor: 814/IV/SD.05/II/2015 Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SD Negeri Mancagahar 1 UPTD Pendidikan Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut dengan ini menugaskan kepada :

1 shows that performance is (1) a positive function of goal setting for both levels of task interdependence, (2) over trials, performance level increases for reciprocal but is