• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyelesaian dari penelitian ini, maka peneliti menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang mengenai pentingnya strategi regulasi emosi pada narapidana wanita yang berada di dalam Lapas. Di bab ini, peneliti juga menuliskan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tinjauan teoritis variabel-variabel penelitian, yaitu strategi regulasi emosi, narapidana wanita, serta dinamikan regulasi emosi narapidana wanita.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan, jumlah, metode yang digunakan untuk pengumpulan data, alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data, dan prosedur penelitian yang akan dijalankan.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisikan tentang hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi untuk memberikan gambaran pada pembaca dalam memahami. Hasil data yang diperoleh akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasikan per-responden oleh peneliti, kemudian disesuaikan dengan teori yang telah dijabarkan dalam Bab II Landasan Teoritis.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari penelitian dalam bentuk narasi. Saran untuk penelitian terkait selanjutnya juga dipaparkan berdasarkan hasil dari penelitian.

BAB II

LANDASAN TEORITIS A. Narapidana Wanita

1. Definisi Narapidana Wanita

Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (UU RI No.12 Th. 1995 tentang pemasyarakatan pasal 1 ayat 3). Menurut WHO (2009), narapidana wanita adalah wanita yang berusia minimal 18 tahun, ditahan di penjara, sedang menunggu pemeriksaan pengadilan atau telah menjalani hukuman di penjara.

2. Psikologis Narapidana Wanita

Saat baru memasuki lapas, narapidana akan menghadapi situasi internal dan situasi eksternal. Situasi internal yaitu masalah yang muncul dari suasana hati (mood) dan munculnya emosi negatif dalam dirinya. Situasi eksternal ialah masalah yang muncul dari keluarga dan lingkungan sosial (Budiarti & Setiawan, 2018). Narapidana terpaksa beradaptasi dengan rutinitas yang keras dan kaku, kehilangan privasi dan kebebasan, serta harus menerima stigma negatif dari masyarakat.

Hal ini membuat narapidana merasa tidak nyaman dan terpuruk.

Kehidupan di Lapas juga membuat narapidana kehilangan kepercayaan dengan individu lain, mengisolasi diri dari lingkungan sosial, kehilangan nilai diri, sehingga berdampak negatif pada perilakunya (Haney, 2001).

Anwar dan Andang (dalam Condinata, Elvinawanty, &

Marpaung, 2019) menyatakan bahwa narapidana wanita secara perlahan kehilangan kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya serta tidak berdaya memberikan dukungan, ketika keluarganya membutuhkan. Cooke, Baldwin dan Howison (2008) percaya bahwa narapidana wanita lebih menderita daripada narapidana laki-laki, dikarenakan peran wanita sebagai seorang ibu. Kebanyakan narapidana wanita merupakan seorang single parent. Pisah dari anak-anak mereka adalah kekhawatiran terbesar mereka, beserta dengan harus tetap berhubungan dengan keluarga lain, yang menjaga anaknya.

Lama vonis hukuman yang haru dijalani oleh narapidana wanita ini juga menjadi salah satu sumber tekanan pada narapidana. Menurut Siswati dan Abdurohim (2009), semakin lama masa hukum yang harus dijalani oleh narapidana maka semakin tinggi tekanan yang dialami oleh narapidana.

Narapidana wanita memiliki kecenderungan untuk mengembangkan pikiran dan perasaan negatif sehingga memunculkan respon tindakan yang juga negatif selama berada di dalam lapas.

Adapun bentuk dari pikiran negatif tersebut adalah tentang sidang yang tertunda, keluarga dan orang tua sakit, tidak bisa menelpon, tidak dibesuk dan bertemu keluarga, berpikir tentang lamanya vonis hukuman yang akan dijalani, tidak ada uang, tidak dikunjungi anak dan suami, berbeban berat dalam hidup, banyak pikiran, pekerjaan setelah keluar lapas. Perasaan negatif narapidana berupa sedih, jengkel/benci, tidak

senang/tidak nyaman, takut menghadapi hukuman, kecewa, marah, tidak adil, bosan, sakit hati akan menghasilkan respon tindakan tubuh negatif (Sabina & Bringiwati, 2016).

Seorang narapidana wanita yang terpaksa tinggal di penjara sangat beresiko mengalami stress dan harga diri rendah karena tekanan-tekanan yang ada dan stigma negatif dari masyarakat (Anggit, 2017).

Sumarauw (2013) menemukan bahwa wanita yang terpidana akan dipandang sebagai lebih ‘rusak’ daripada terpidana laki-laki.

Dikarenakan image wanita yang jauh dari kekerasan dan kejahatan, ketika seorang wanita dijatuhi hukuman pidana ia akan dipandang tidak wajar (Sari & Wirman, 2015).

Dampak dari kehilangan keluarga akan menambah tekanan pada napi. Kecemasan narapidana dalam menghadapi tekanan memengaruhi kesehatan napi. Tidak jarang narapidana yang merasakan depresi berusaha untuk melukai dirinya sendiri, bisa jadi merupakan suatu percobaan bunuh diri karena merasa tertekan dengan keadaan yang dihadapinya (Cooke, Baldwin dan Howison, 2008).

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa narapidana mengembangkan emosi dan pikiran negatif dalam dirinya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari situasi internal yaitu suasana hati dan emosi negatif dalam dirinya serta situasi eksternal yaitu pengaruh dari keluarga dan lingkungannya. Emosi dan pikiran negatif yang berkembang dalam dirinya ini dapat menghambat perkembangan psikologis narapidana wanita ke arah yang lebih positif.

B. Regulasi Emosi 1. Proses Emosi

Menurut Gross (2007), proses emosi didasari oleh adanya suatu transaksi antara individu dengan situasi. Proses emosi meliputi situation-attention-appraisal-response yang kemudian disebut sebagai The Modal Model of Emotion. Rangkaian ini dimulai dengan situasi (situation) eksternal dan internal yang relevan dengan individu secara psikologis, selanjutnya individu akan memberi perhatian (attention) apabila situasi tersebut relevan dengan dirinya, kemudian individu memberi penilaian (appraisal) sehingga muncul respon emosi (response). Rangkaian proses emosi ini bersifat dinamis dan dapat terjadi berulang serta berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, hal ini tergantung dari situasi yang dihadapi oleh individu.

The Modal Model of Emotion 2. Definisi Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah sebuah proses individu memengaruhi emosi yang dimilikinya, kapan memunculkannya, dan bagaimana individu tersebut merasakan serta mengekspresikan emosi tersebut (Gross, 1998). Regulasi emosi juga merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seorang individu baik secara sadar maupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih

aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi atau perilaku (Gross, 2007). Proses tersebut meliputi menurunkan dan meningkatkan emosi yang positif maupun negatif (Gross, 2002).

Menurut Gottman dan Katz (dalam Anggreiny, 2014), regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Gross (1998) menyatakan bahwa regulasi emosi merupakan perubahan respon terhadap emosi yang berdampak pada fisiologis dan perilaku. Regulasi emosi termasuk pula meningkatkan emosi negatif atau menghentikan/

mengurangi emosi positif. Hal ini tergantung pada tujuan dari individu dari melakukan regulasi emosi.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan suatu cara atau proses intrinsik dan ekstrinsik individu untuk memperkuat, mengurangi atau mempertahankan intensitas emosi yang muncul untuk mencapai tujuan meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir, dan respon emosi.

3. Strategi Regulasi Emosi

Strategi regulasi emosi merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan seseorang ketika menghadapi situasi yang emosional. Lima

strategi regulasi emosi tersebut dapat dilakukan tanpa melalui seluruh tahap proses tersebut. Proses emosi dapat berjalan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, strategi regulasi emosi terjadi secara dinamis. Setiap individu dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi emosi dalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Hal ini kembali lagi pada situasi/kondisi yang dihadapi dan bagaimana individu tersebut memandang situasi/kondisi tersebut (Gross, 2007).

Gross (1998) juga menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya penggunaan strategi regulasi emosi bergantung pada tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Gross (2007), terdapat lima strategi regulasi emosi yang disebut dengan process model of emotional regulation. Adapun strategi regulasi emosi tersebut adalah:

a. Situation Selection

Situation selection merupakan suatu tindakan yang menentukan apakah individu mendapatkan situasi yang diharapkan, sehingga memunculkan emosi yang diharapkan baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Situation selection ini terkait dengan tindakan atau upaya individu dalam menentukan jenis aktivitas, hubungan interpersonal, dukungan sosial, dan/atau situasi lingkungan yang dilakukan untuk mendekatkan atau menghindarkan diri dari situasi yang diharapkan atau tidak diharapkan. Contohnya menghindari rekan kerja yang emosional, pergi berlibur ke pegunungan, dan lain sebagainya.

b. Situation Modification

Situation modification merupakan suatu upaya individu dalam mengubah situasi secara langsung sehingga dapat memunculkan dampak emosional atau menjadi teralihkan. Situation modification berkaitan dengan upaya mengubah atau memodifikasi lingkungan eksternal dan fisik. Situation modification ini sama dengan problem-focused coping (PFC) yakni strategi kognitif untuk penanganan stress yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalah dengan berusaha menyelesaikannya. Contohnya memberikan motivasi pada orang-orang yang tertimpa bencana, menunjukkan sikap peduli dan empati, mengajak bicara agar emosi berubah lebih tenang, dan lain sebagainya.

c. Attentional Deployment

Attentional deployment mengarahkan perhatian dalam situasi tertentu untuk memengaruhi dan mengatur emosi yang muncul.

Terdapat tiga kelompok bentuk attentional deployment yaitu distraksi, konsentrasi, dan ruminasi.

1) Distraksi (distraction) yaitu upaya yang dilakukan individu dengan mengalihkan perhatiannya dari aspek-aspek situasi yang dihadapi atau menghilangkan perhatian dari situasi yang memunculkan respon emosional. Contohnya ketika seseorang menghadapi suatu hal yang tidak menyenangkan, dirinya akan menyibukkan diri agar tidak memperhatikan emosi negatif yang muncul.

2) Konsentrasi (concentration) merupakan upaya menarik perhatian pada aspek-aspek yang berhubungan dengan situasi yang dihadapi. Individu akan memusatkan perhatiannya pada emosi atau situasi yang diinginkannya.

Contohnya seorang aktor yang melibatkan pikiran pengalaman tidak menyenangkannya agar peran yang ia bawakan menjadi semakin meyakinkan.

3) Ruminasi (rumination) merupakan pengarahan perhatian individu ke aspek yang menjadi sumber ransangan emosi negatif. Pengarahan perhatian ini hanya pada perasaan serta konsekuensinya. Ketika seseorang memusatkan perhatiannya pada emosi negatif secara berulang-ulang, maka terdapat kemungkinan individu tersebut memperpanjang gejala depresi.

d. Cognitive Change

Cognitive change merupakan cara individu menilai situasi tertentu sehingga ia mampu mengubah makna emosional, baik itu dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi atau kemampuan seseorang untuk mengelola atau mengatur tuntutan. Cognitive change mencakup perubahan evaluasi kognitif terhadap situasi yang dihadapi.

Saat menggunakan cara ini, individu memiliki kecenderungan untuk menilai kejadian yang dihadapi menjadi lebih positif. Bentuk lain dari cognitve change adalah downward social comparison, yang mana individu membandingkan dirinya dengan orang yang lebih kurang

beruntung dari dirinya, dengan begitu individu tersebut dapat mengurangi emosi negatif yang muncul dalam dirinya. Contohnya seorang narapidana yang divonis hukuman 4 tahun penjara tidak berpikir bahwa itu merupakan masa terburuk, tetapi merupakan kesempatan untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

e. Response Modulation

Response modulation adalah upaya yang dilakukan setelah emosi terjadi untuk memengaruhi respon fisiologis, pengalaman dan tingkah laku dari emosi negatif. Salah satu contoh dari response modulation adalah expressive supression, yaitu individu mencoba untuk mencegah secara terus-menerus perilaku emotion-expressive yang positif maupun negatif. Contoh lainnya seorang individu melaksanakan sholat untuk mengurangi atau meniadakan agresivitas saat marah.

4. Faktor yang Memengaruhi Strategi Regulasi Emosi

Menurut Sheppes (dalam Gross, 2014), terdapat tiga faktor penentu utama yang memengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi, yaitu:

a. Intensitas emosional merupakan dimensi utama variasi di konteks emosional. Pada situasi dengan intensitas yang rendah dan emosi yang negatif, individu akan lebih memilih untuk melakukan penilaian kembali. Sedangkan individu yang berada dalam situasi dengan intensitas tinggi dan emosi negatif akan cenderung memilih untuk memblokir informasi emosional atau dengan

menghindari situasi yang menimbulkan emosi sebelum mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi.

b. Kompleksitas kognitif dapat menghasilkan sebuah strategi regulasi emosi. Hal ini dapat dilihat dengan melibatkan proses kognitif yang berurutan yaitu generasi, implementasi dan pemeliharaan. Generasi melibatkan untuk menemukan opsi pengaturan yang memadai sehingga dapat menggantikan pengolahan informasi emosional. Implementasi melibatkan untuk mengaktifkan strategi regulasi emosi dan pemeliharaan memegang peran dalam mempertahankan regulasi emosi selama yang diperlukan.

c. Tujuan motivasi yaitu mengevaluasi stimulus emosional yang akan ditemui dalam sekali atau dalam beberapa kali. Stimulus emosional yang dihadapi beberapa kali dapat lebih baik dalam melakukan regulasi emosi.

Selain faktor pemilihan strategi regulasi emosi, Riediger &

Klipker (dalam Gross, 2014) menyatakan bahwa terdapat faktor yang memengaruhi kemampuan individu terutama dalam melakukan regulasi emosi yaitu familial context. Faktor ini memiliki yang pengaruh cukup penting dalam memfasilitasi atau menghambat keterampilan regulasi emosi. Familial context memengaruhi perkembangan regulasi emosi dalam tiga cara, yaitu: melalui observasi pembelajaran, melalui pola pengasuhan orangtua dan melalui iklim emosional dalam keluarga.

C. Dinamika Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita

Dari pemaparan teori diatas terkait dengan narapidana wanita, salah satu kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa narapidana mengembangkan emosi dan pikiran negatif dalam dirinya (Sabrina &

Bringiwati, 2016). Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari situasi internal yaitu suasana hati dan emosi negatif dalam dirinya serta situasi eksternal yaitu pengaruh dari keluarga dan lingkungannya (Budiarti &

Setiawan, 2018).

Terdapat beberapa sumber dari emosi negatif yang dialami oleh narapidana wanita, yaitu tentang sidang yang tertunda, keluarga dan orang tua sakit, tidak bisa menelpon, tidak dibesuk dan bertemu keluarga, berpikir tentang lamanya vonis hukuman yang akan dijalani, tidak ada uang, tidak dikunjungi anak dan suami, berbeban berat dalam hidup, banyak pikiran, pekerjaan setelah keluar lapas. Perasaan negatif narapidana berupa tertekan, sedih, jengkel/benci, tidak senang/tidak nyaman, takut menghadapi hukuman, kecewa, marah, tidak adil, bosan, sakit hati akan menghasilkan respon tindakan tubuh negatif (Sabrina &

Bringiwati, 2016). Khususnya pada narapidana wanita, stress juga ditimbulkan oleh stigma negatif dari masyarakat (Anggit, 2017).

Sumarauw (2013) menemukan bahwa terpidana perempuan dipandang lebih ‘rusak’ daripada laki-laki sehingga mereka sering menerima cacian dari orang lain.

Emosi dan pikiran negatif yang berkembang dalam dirinya ini akan menghambat perkembangan psikologis narapidana wanita ke arah yang lebih positif. Apabila emosi negatif ini terus berkembang, maka akan berdampak pada kesehatan napi. Narapidana yang merasakan depresi juga akan berusaha untuk melukai dirinya sendiri, bisa jadi merupakan suatu percobaan bunuh diri karena merasa tertekan dengan keadaan yang dihadapinya (Cooke, Baldwin dan Howison, 2008).

Menurut Gratz & Roemer (2004), individu yang menyadari dan dapat mengendalikan emosinya akan mudah untuk menerima dan memanfaatkan stimulus negatif pada dirinya, dalam kasus ini adalah terkait dengan emosi negatif pada narapidana wanita. Regulasi emosi merupakan cara individu untuk mengendalikan dan mengontrol emosi yang muncul pada dirinya. Regulasi emosi merupakan hal yang penting bagi setiap individu, agar mampu mengendalikan emosinya, terkhusus pada narapidana wanita wanita yang sedang menjalani masa hukumannya di dalam Lapas. Regulasi emosi adalah suatu cara untuk membentuk salah satu atau lebih emosi dan belajar untuk mengungkapkan emosi tersebut. Regulasi emosi merupakan cara untuk mengontrol emosi dengan menggunakan berbagai macam strategi (Gross, 2007).

Terdapat lima strategi regulasi emosi, yaitu situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation. Strategi-strategi ini didasarkan pada proses emosi yaitu situation-attention-appraisal-response. Situation selection dan

situation modification merupakan hasil dari proses situation. Situation selection memiliki manfaat dalam kurun waktu yang singkat, hal ini dikarenakan individu mencoba menghindari situasi yang dihadapinya.

Situation modification dilakukan hanya pada lingkungan eksternal dan lingkungan fisik. Attentional deployment merupakan hasil dari proses emosi attention. Attentional deployment memiliki bentuk yang menarik diri secara fisik, pengalihan diri secara internal, dan mengalihkan respon. Cognitive change merupakan hasil dari proses emosi appraisal.

Cognitive change digunakan untuk pengalaman atau peristiwa internal.

Response modulation merupakan hasil dari tahap response pada proses emosi. Pada strategi response modulation, individu dapat melakukan regulasi emosi jika individu dapat menemukan cara untuk mengekspresikan emosi yang muncul dalam cara lebih adaptif (Gross, 2007).

Disampaikan lebih lanjut oleh Gross (2007), proses emosi dapat berjalan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, strategi regulasi emosi terjadi secara dinamis. Setiap individu dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi emosi dalam suatu kondisi dan situasi tertentu. Hal isni kembali lagi pada situasi/kondisi yang dihadapi dan bagaimana individu tersebut memandang situasi/kondisi tersebut.

Sheppes (dalam Gross, 2014) menambahkan, terdapat tiga faktor penentu yang memengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi yaitu intensitas emosional, kompleksitas kognitif dan tujuan motivasi.

Intensitas emosional adalah dimensi emosi yang berhubungan dengan intensitas situasi dan tingkat emosi yang muncul. Kompleksitas kognitif memiliki hubungan dengan proses kognitif dalam menghadapi situasi dan emosi yang muncul dari situasi tersebut. Tujuan motivasi merupakan dorongan dan pengalaman individu terhadap situasi yang dihadapinya.

D. Paradigma Teoritis

Narapidana Wanita

Mengahadapi situasi eksternal &

situasi internal

Berdampak pada Emosi

Emosi Negatif - Cemas

- Rasa bersalah - Benci

- Sedih - Takut - Marah - dsb

Regulasi emosi

Strategi Regulasi Emosi:

a. Situation Selection b. Situation Modification c. Attentional Deployment d. Cognitive Change e. Response Modulation

Gambaran Strategi Regulasi Emosi pada Narapidana Wanita

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berfokus pada gambaran strategi regulasi emosi pada narapidana wanita. Oleh karena strategi regulasi emosi yang digunakan oleh setiap individu akan berbeda dipengaruhi oleh faktor yang dialami, maka penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus intrinsik. Menurut Patton dalam Poerwandari (2007), metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian terpilih secara mendalam dan detail. Penelitian studi kasus intrinsik dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk memahami kasus secara menyeluruh, tanpa menghasilkan konsep sebagai upaya untuk menggeneralisasi (Poerwandari, 2007). Pengalaman yang dialami oleh narapidana wanita merupakan fenomena yang unik dan tidak dialami oleh semua orang, dengan menggunakan suatu konteks yang membatasi penelitian ini yaitu gambaran strategi regulasi emosi pada narapidana wanita, penelitian ini akan menjadi khusus.

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif diharapkan dapat memperoleh suatu pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang diteliti sehingga dapat melihat permasalahan secara lebih mendalam. Penelitian kualitatif digunakan karena strategi regulasi emosi merupakan hal yang bersifat subjektif pada diri individu sehingga diperlukan suatu pendekatan yang mendalam untuk memperoleh

strategi regulasi emosi yang digunakan oleh narapidana wanita didalam Lapas.

B. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah pengambilan sampel secara aksidental (accidental sampling) yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Dalam teknik ini, pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu. Peneliti langsung saja mengumpulkan data dari unit sampling yang ditemui.

C. Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah strategi regulasi emosi. Strategi regulasi emosi merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan seseorang ketika menghadapi situasi yang emosional (Gross, 2007). Terdapat lima strategi regulasi emosi yang disebut dengan process model of emotional regulation. Kelima strategi regulasi emosi ini terdiri dari situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation.

D. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan beberapa narapidana wanita yang tercatat berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Klas IIA Tanjung Gusta Medan.

2. Jumlah Responden Penelitian

Pada penelitian kualitatif, sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar dan tidak ditentukan jumlahnya secara baku namun dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Poerwandari, 2007). Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang. Hal ini dikarenakan peneliti menganggap bahwa 3 (tiga) orang telah mampu mewakili penelitian untuk mendalami dan memahami fenomena yang akan diteliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Klas IIA Tanjung Gusta Medan, tepatnya di kantor administrasi milik pegawai dan kantin Lapas. Lokasi ini disepakati oleh peneliti, pegawai Lapas dan narapidana. Lokasi ini dipilih karena dapat menghindari keramaian seperti narapidana dan staff Lapas. Lokasi ini juga memiliki setting yang nyaman dan memberikan kesan lebih privasi bagi narapidana. Dengan memberikan kesan aman dan nyaman ini, diharapkan narapidana wanita dapat leluasa untuk menyampaikan jawaban saat wawancara berlangsung.

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan observasi. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Wawancara digunakan oleh peneliti sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami oleh

responden terkait dengan topik yang diteliti dan bermaksud untuk

responden terkait dengan topik yang diteliti dan bermaksud untuk

Dokumen terkait