• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN SOSIAL ORANG BATAK TOBA DIDESA SIMANDUMA

KEHIDUPAN SOSIAL ORANG BATAK TOBA DI DESA SIMANDUMA

3.1 Terbentuknya Perkampungaan (huta) Orang Batak Toba

Dalam masyarakat Batak Toba didaerah asal (bona pasogit) hukum atas pemilikan tanah dan pendirian kampung di dasarkan atas klen (marga). Marga sebagai identitas yang cukup mendasar, membentuk norma-norma hubungan dalam tatanan kehidupan. Marga yang pertama datang kedaerah yang belum ada pemiliknya akan menjadi Raja

Huta disana dan merekalah kelak disebut sebagai marga tanah. Simanduma merupakan

perkampungan orang Pakpak yang pada awalnya hanyalah hutan pengertian atau sebutan Pakpak itu sendiri adalah orang primitif, orang gunung dan orang hutan. Tetapi seiring masuknya orang Batak Toba mereka membuka lahan pertanian dan pemukiman yang baru sehingga Desa ini memiliki raja huta orang Pakpak (bermarga Capah) dan Batak Toba (marga Banjar Nahor) yang membatasi tanah yang dimiliki orang Batak Toba berarti hanya di sanalah menjadi bisa menjadi raja huta.

Panombangan atau pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, Desa

Simanduma pada awalnya hanyalah lahan yang kosong masih berbentuk hutan yang dibuka oleh masyarakat pendatang. Awalya mereka membuka hutan untuk lahan pertanian kopi dan persawahan38

38

Masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabu-tabu yang selalu di patuhi dan orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam, Lister Berutu, Pasden Berutu, Aspek- aspek Kultural Etnis Pakpak (suatu eksplorasi tentang potensi loka). Hal 3.

. Mereka mendirikan rumah- rumah sederhana di ladang- ladang mereka atau beberapa marga dari daerah asal yang sama mendirikan satu kampung di daerah yang baru ditempati. Maka tidak heran kalau di temukan pada satu tempat yang semuanya satu marga (klen). Pendatang dari Humbang dan Toba Holbung

ada yang membuka lahan persawahan dan tentu lebih banyak yang membuka kebun kopi karena kondisi daerah tersebut cocok untuk menanam kopi.

Kampung pertama merupakan titik tolak dari huta-huta berikutnya, pembukaan kampung-kampung baru terjadi akibat perkembangan jumlah penduduk atau warga huta

sehingga suatu saat mereka tidak dapat bertahan bertahan lebih lama dikampung asal tersebut. Suatu kampung baru yang disebut kampung sosor yang baru yang merupakan perluasan kampung induk (huta sabungan), disebut dengan lumban atau sosor. Dalam jangka panjang pembentukan kampug-kampung baru akan menciptakan perpencaran dan semakin sering berakibat jauh dari kampung asal. Begitu juga dengan perkampungan huta

di Desa Simanduma keinginan untuk memperoleh ekonomi yang lebih baik mereka melakukan perpindahan jauh dari kampung asal.

Desa Simanduma itu sendiri terbagi menjadi beberapa nama perkampungan atau

huta marserak yang di bentuk oleh masyarakat Batak Toba seperti Binjara, Panggaoran, Silamoncik, Barisa, Rajangampu, Juma palu dan Juma Peatetapi masih dalam satu kepala Desa. Salah satu usaha orang Batak Toba untuk dapat berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya adalah dengan melakukan migrasi ke daerah yang lain yang lebih dapat memberikan kehidupan lebih baik. Salah satu daerah tempat migrasi orang Batak Toba adalah Desa Simanduma karena di kampung asal (Bonapasogit) kesempatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik sangat minim, dan inilah alasan mereka untuk meninggalkan kampung halaman (asal) dan melaksanakan migrasi ke daerah lain.

Masyarakat Batak Toba terdiri dari petani- petani ulet yang mengerjakan tanah dengan caranya sendiri. Mereka mengerjakan sawah dengan cangkul dan kemudian mendapat hasil yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Keberhasilan orang Batak Toba di daerah dataran rendah ini dianggap penduduk setempat orang-orang Batak

Toba berhasil membuat sawah dan lahan kopi membuat turut mendorong masyarakat setempat menirunya. Bukan hanya dari segi ekonomi pertanian tetapi juga dari bentuk rumah. Masyarakat Pakpak juga mengikuti rumah-rumah orang Batak Toba yang awalnya rumah orang Pakpak itu terbuat dari bambu yang di gatgat (bambu yang di pukul) dan ada juga bambu yang di belah sebagai dingding dan beratapkan ijuk tiang rumahnya dibuat dari batu39

Berdasarkan pengamatan penulis bahwa pola perkampungan di Desa Simanduma sama dengan pola perkampungan Batak Toba pada umumnya. Yang membedakan tidak dijumpai lagi batas-batas Desa seperti di Boapasogit yang dibatasi dengan tembok yang ditumbuhi pohon-pohon bambu yang tinggi dan ada juga kampung dengan sebuah parit mengelilinginya rumah-rumah penduduk. Penduduk yang tinggal di Desa Simanduma memiliki bentuk pola pemukiman yang berkelompok. Setiap rumah dibangun menghadap jalan dan sejajar mengikuti alur jalan Desa di belakang rumah penduduk terdapat kebun kopi dan kelapa milik masyarakat

.

40

.

Secara administrasi Desa Simanduma termasuk dalam wilayah Kecamatan Pegagan Hilir, letak geografis antara Lintang Utara2,150-3,000 dan Bujur Timur 98,000-

98,200, yang terdiri dari 13 lingkungan kepala Desa dengan luas 155,33 km2

Sebelah utara: berbatasan dengan Kabupaten Karo.

, dimana sebagian besar arealnya terdiri dari pegunungan yang begelombang dan hanya sebagian kecil yang datar/ rata. Berdasarkan kemiringan lahan terlihat bahwah luas kemiringannya adalah 0-25. Ketinggian kecamatan Pegagan Hilir berkisar antara 700-1100 diatas permkaan laut. Secara administratif pemerintah Pegagan Hilir diapit oleh empat Kecamatan dengan perbatasan sebagai berikut:

39

Wawancara Sunggul Sinaga, Simanduma, 23 Juli 2013

40

Sebelah timur: berbatasan dengan Kecamatan Sumbul Pegagan.

Sebelah selatan: berbatan dengan Kecamatan Siempat Nempuh Hulu dan Kecamatan Sidikalang.

Sebelah Barat: berbatasan dengan Tiga Lingga. Jumlah Penduduk Desa Simanduma sebanyak ±245 kepala keluarga dengan jumlah penduduk secara keseluruhan yang terdaftar dalam kartu keluarga ± 1135. Dengan luas (Km2) wilayah 3,95.41

Sebagai masyarakat, orang Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi maupun antropologi. Dari sejumlah uraian buku yang menjelaskan dan mendeskripsikan kebudayaan Batak Toba, didapati defenisi-defenisi yang sama tentang kebudayaan Batak Toba yang

Kampung pertama merupakan titik tolak dari huta-huta berikutnya, pembukaan kampung-kampung baru terjadi akibat perkembangan jumlah penduduk atau warga huta

sehingga suatu saat mereka tidak dapat bertahan bertahan lebih lama dikampung asal tersebut. Suatu kampung baru yang disebut kampung sosor yang baru yang merupakan perluasan kampung induk (huta sabungan), disebut dengan lumban atau sosor. Dalam jangka panjang pembentukan kampug-kampung baru akan menciptakan perpencaran dan semakin sering berakibat jauh dari kampung asal. Begitu juga dengan perkampungan huta

di Desa Simanduma keinginan untuk memperoleh ekonomi yang lebih baik mereka melakukan perpindahan jauh dari kampung asal.

3.1.1 Konsep Budaya Masyarakat Batak Toba

41

memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi. Hal Si Raja Batak. Asal-usul Si Raja Batak

berasal dari mana, hanya dapat dilihat dari tulisan mitologi Si Boru Deak Parujar yang diutus Mula Jadi Nabolon. Belum ditemukan, catatan lain yang mengungkap asal-usul Si Raja Batak secara tertulis. Namun, mite ini tetap hidup di tengah masyarakat Batak Toba sebagai tradisi lisan (folklore) yang diceritakan secara turun temurun.

Batak Toba merupakan kelompok etnis Batak terbesar yang secara tradisional hidup di Sumatera Utara. Kelompok suku Batak ini terbagi dalam lima kelompok besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun dan Karo. Kelompok-kelompok suku ini sekarang masih berada di bagian Provinsi Sumatera Utara dengan memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu, yang dilihat dari pembagian beberapa marga yang bermukim menurut daerahnya, bahasa dan pakaian adat dari kelompok-kelompok ini juga menunjukkan perbedaan.

Adat pada budaya Batak Toba dalam kehidupan kesehariannya merupakan wujud dari sistem nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi. Adat sendiri adalah istilah yang sering digunakan di Indonesia, adat merujuk pada segala sesuatu di alam yang mengikuti caranya sendiri yang khas. Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur menurut adat

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban yang harus

ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah dilakukan. Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat, dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi. Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba sendiri. Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.

3.1.2 Mata Pencaharian

Sebelum orang Batak Toba mengenal Dairi khususnya daerah pedesaan. Umumnya orang Pakpak itu masih mempraktekkan sistem ladang berpindah. Dalam pelaksanaanya

perladangan bukanlah kegiatan semata tetapi berhubungan dengan aspek sosial budaya. Jadi mereka di ikat oleh sejumlah aturan, nilai budaya, pengetahuan, upacara, kepercayaan dan sangsi.

Sebelum masuknya orang Batak Toba ke Desa Simanduma, orang Pakpak memiliki sistem budaya yang kuat dan aturan adat yang sangat ketat yang tidak boleh dilanggar seperti membuka lahan perladangan tidak dilakukan secara bebas dan sembarangan tetapi selalu diawali dengan musyawarah dan mufakat warga Desa dan dikontrol dengan berbagai aturan seperti tidak boleh membuka lahan dengan sembarangan tempat dan waktu, tidak boleh membuka lahan diperbukitan, tidak boleh menabur benih disembarangan waktu, tidak boleh membakar hutan untuk lahan yang baru harus melalui berbagai pertimbangan seperti pemilikan lahan, kesuburan tanah, pertanda alam dan mimpi, topografi tanah dan lain-lainya. Misalnya tingkat kesuburan lahan yang dianggap layak ditandai dengan ukuran besar dan tingkat kesuburan pohon dan jenis tumbuhan dan fauna yang tumbuh diatasnya. Sesuai dengan pengetahuan mereka (Pakpak) lahan yang subur ditandai dengan warna daun pohon yang hijau tua, adanya tumbuhan melata yang disebut teladan (sejenis talas), komil (tumbuhan merambat) dan warna tanah hitam abu- abu pelanggaran akan aturan dan adat akan diberi sangsi sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

Selanjutnya dalam proses produksi selalu diikuti dengan berbagai jenis upacara seperti: upacara merintis lahan (menoto),upacara merkottas, pembakaran lahan

(menghabbami), upacara menjelang menanam padi (menanda tahun), mengusir hama

(mengkuda-kudai) dan syukuran panen (memerre kembaen). Diantara upacara tersebut, upacara menanda tahun merupakan upacara terpenting dalam kaitanya dengan konservasi alam (hutan) karena dalam upacara tersebut terkandung sejumlah aturan yang mengatur

bagai mana perladangan harus dilakukan baik yang sifatnya temporer maupun secara kontiniu. Tujuan dasarnya adalah berkaitan dengan kepercayaan terhadap penguasa gaib seperti dewa tanah atau alam (beras patih ni tanoh), roh padi (tendi page) dewa matahari (sinimataniari). Dari segi tehnologi sistem perladangan masyarakat Pakpak tergolong sederhana dalam proses produksi seperti parang, ani-ani, kampak dan cangkul juga relatif masih sedikit menggunakan pupuk kimia. Jadi lebih mengandalkan unsur hara yang ada di dalam tanah. Seiring dengan waktu upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Pakpak seperti yang tertera hanya atau di praktekan di Sisada Rube (kuta/perkampungan yaitu di Kecamatan Salak)42

42

Lister Berutu op cit., 2002 Hal 4-6.

sementara di Desa Simanduma tidak dijumpai lagi hal-hal saat ini seiring dengan banyaknya orang Pakpak yang pindah dari daerah ini sehingga nilai budaya yang ada hilang menurut hasil wawancara mengatakan orang Batak Toba memang mengakui bahwah dengan keberadaan mereka di Desa Simanduma sudah dapat berkuaasa di daerah Pakpak dan membuat orang Pakpak banyak yang pindah ke daerah lain.

Keberadaan lahan di Desa Simanduma diadaptasi bukit yang bergelombang dan kemiringan lahan yang bervariasi yang hanya sebagian yang rata dan datar. Hasil produksi dari Desa Simanduma yang sesuai dengan keadaan alamnya maka mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah pertanian. Salah satu tanaman di Desa Simanduma yang paling di unggulkan adalah tanaman kopi dan persawahan. Kopi Robusta dan kopi arabika (Kopi Ateng) yang paling banyak dibudidayakan masyarakat karena tanaman kopi bisa di bilang setiap penduduk masyarakat pastikan memiliki perkebunan kopi walaupun jumlah luas lahan masyarakat yang berbeda-beda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel sebagai berikut:

Tabel 2

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Penggunaan Tanah Dan Rata-rata Produksi 1 Luas wilayah

Luas (km2

Rasio terhadap luas kecamatan %

) 3,95

2,5 2 Luas Wilayah Menurut jenis penggunaan Tanah

Tanah sawah Tanah kering Bangunan pekarangan 137 176 35 3 Luas, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk

Luas km2

jumlah penduduk keseluruhan jumlah penduduk

3,95 245 1135 4 Banyaknya sarana kesehatan

Puskesmas pembantu Posyandu

1 2 5 Luas panen produksi rata-rata produksi padi

sawah

Luas panen (Ha2) Produksi padi (Ton)

Rata-rata produksi (Ton/Ha)

225 902,25 4,7

6 Luas panen,produksi dan rata-rata produsi padi ladang

Luas panen (Ha2 Produksi padi (Ton)

)

Rata-rata produksi (Ton/Ha)

89 240,3 2,3 7 Luas sawah menurut jenis irigasi

Non Pu

137 8 Luas tanaman palawija menurut jenis tanaman

(Ha2 Jagung ) Ubi kayu Ubi jalar 40 2 3 9 Luas tanaman menurut jenis tanaman (Ha2

Kelapa ) Kopi Kemiri 174 22 11 10 Produksi tanaman keras menurut jenis tanama

(Ton) Kelapa Kopi Kemiri 1,4 23 5,2 Sumber: buku Kecamatan Pegagan Hilir dalam angka tahun 2000

3.1.3 Filosofi Hidup Batak Toba Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon

Orang Batak Toba yang memiliki filosofi hidup yaitu hagabeon, hamoraon,

hasangapon yang dikenal dengan konsep harajaon.43

43

Ibid, Hal 27.

Untuk menempuh filosofi ini, beberapa tindakan dilakukan oleh orang Batak yaitu hagabeon ditempuh dengan mendambakan panjang umur dan mendapatkan keturunan dalam ikatan perkawinan khususnya anak laki- laki, dengan jumlah penduduk yang banyak sekitar ±1135 dalam 1 kepala keluarga ada yang memiliki anak sampai 4-7 dalam satu kepala keluarga sehingga orang Batak Toba di Desa Simanduma sudah dapat di katagan gabe. Hamoraon, bagian ini di tempuh dengan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kekayaan dan kesejahteraan. Dalam bagian ini harta mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Batak Toba, pada awal orang Batak Toba bermigrasi ke Desa Simanduma yang pertama kali dilihat adalah aliran sungai air merupakan salah satu syarat untuk lahan pertanian, karena sebenarnya Tanaman Kopi kurang menarik perhatian Orang Batak Toba tetapi karena kondisi tanah yang subur sehingga tanaman kopi sebagai tanaman sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan penguasaan lahan oleh orang Batak Toba dengan cara membeli dari masyarakat Pakpak sehingga banyak orang Pakpak yang pindah dari Desa Simanduma karena tanah mereka sudah dijual kepada oorang Batak Toba, orang Pakpak itu sendiri tidak tau atau kurang paham dalam hal pertanian sebelum adanya orang Batak Toba bermigrasi ke Desa ini penghasilan utama Pakpak itu hanyalah pertanian padi lahan kering dan masih mempraktekkan sistem ladang berpindah dengan adanya Batak Toba mereka mengajarkan sistem bertani lahan basah/persawahan.

Hasangapon ditempuh dengan memiliki wibawa yang diwujudkan dengan kekuasaan

keberhasilan orang Batak Toba dapat di dilihat raja huta dan juga banyaknya bekerja di bagian pemerintahan. Dengan berhasilnya hagabeon dan hamoraon maka orang Batak

Toba itu secara otomatis akan memiliki wibawa dan kekuasaan Untuk menwujudkan

harajaon-nya, Orang Batak didorong untuk bermigrasi mencari wilayah baru yang

memungkinkan dirinya menjadi seorang Raja dalam arti yang luas.

3.1.4 Agama dan Kepercayaan

Setelah meluasnya kekuasaan, pemerintah kolonial Belanda membangun mesin birokrasinya di Tanah Pakpak. Sejalan dengan ini sebelumnya sejak tahun 1905 misionaris Jerman yang mengawali kegiatannya dari Tanah Batak Toba mulai menyebarkan agama Kristen ke Tanah Pakpak yang di masa itu penduduknya masih banyak menganut agama suku. Ekspansi kekuasaan kolonial ke TanahPakpak mendorong orang Batak Toba bermigrasi ke daerah ini, terutama karena berkait erat dengan kebijakan kolonial yang menarik mereka untuk mengisi birokrasi pemerintahan. Migrasi orang Batak Toba ke luar wilayahnya, terutama ke Tanah Pakpak selain mendapat dukungan dari pemerintah kolonial dan zendelingen Kristen dengan harapan orang di daerah baru itu akan beralih ke agama Kristen.

Pemerintah kolonial sejak awal mendukung ekspansi penginjilan dan meminta guru kepada misionaris untuk ditempatkan di Tanah Pakpak. Penginjil ditempatkan di wilayah ini pada tahun 1906. Untuk mempercepat pengkristenan di kalangan orang Pakpak, dikirim lagi seorang penginjil yang juga guru menjalankan misinya ke Salak (Simsim). Sama seperti di Sidikalang, penginjil ini mendirikan sekolah sambil menyebarkan Kristen kepada orang Pakpak di Salak. Semakin lama orang Pakpak yang memeluk Kristen semakin besar, dan untuk keperluan beribadah di halaman sekolah didirikan gereja. Melalui sekolah inilah Kristen semakin berkembang. Pendidikan dan Kristen di Tanah Pakpak bukan berlandaskan budaya setempat, tetapi lebih didasarkan

nilai budaya Batak Toba, sehingga mencerabut orang Pakpak dari budaya asalnya. Komunikasi antara guru dan murid memakai bahasa Toba. Bahasa pengajaran di sekolah adalah bahasa Batak Toba, karena itu murid Pakpak yang sebelumnya tidak bisa bahasa Batak Toba, lambat laun mengerti dan fasih berbahasa kelompok etnik pendatang ini. Di mata orang Pakpak, apa yang dilakukan orang Batak Toba terkesan setengah hati dan tidak bersungguh-sungguh untuk memajukan orang Pakpak jika dibandingkan yang dikerjakan Nommensen dan misionaris lainnya untuk mendidik, memajukan, dan mencerahkan orang Batak Toba di Tanah Batak Toba pada abad ke-19. Orang Batak Toba tidak mengapresisasi budaya lokal karena guru di sekolah dan pendeta di gereja tidak pernah mau mengerti budaya Pakpak. Oleh karena sekolah dikuasai guru Batak Toba, mereka inilah yang mendidik orang Pakpak menciptakan kesan bahwa orang Batak Toba memperadabkan orang Pakpak di tengah kegelapan.

Penduduk Desa Simanduma pada umumnya menganut agama kristen, dengan demikian tidak dijumpai lagi masyarakat yang menganut kepercayaan yang lain. Agama kristen yang dianut penduduk sudah mereka percayai sejak kedatangan mereka ke Desa Simanduma. Sedangkan penduduk Pakpak juga telah menganut agama yang sama. Hal ini tidak terlepas dengan adanya penyebaran agama kristen oleh misionaris Jerman yang sampai ke Dairi.

Table 2

Perkiraan orang Batak Toba Anggota Jemaat Kristen di Kabupaten Dairi, 1992/1993

Gereja Jumlah orang Batak Toba Tahun Statistik

HKBP 117.046 1992

Katolik ± 17.389 1992

GKPI 18.712 1993

HKI 10.304 1993

Methodist ± 933 1993

Sumber: O.H.S. Purba Migran Batak Toba Di Luar Tapanuli Utara: Suatu Deskripsi, Medan: Monora, 1998, Hal 49.

Agama Kristen merupakan agama terbesar. Walaupun memiliki aliran kerukunan masing-masing sebagai beragama tetap terpelihara sehingga masing- masing umat beragama dapat menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya dengan tenang. Untuk meningkatkan ketaqwaan masing- masing umat beragama maka di Desa ini terdapat beberapa saranaperibadatan seperti HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), GMI (Gereja Methodis Indonesia), Gereja Katolik, HKI (Huria Kristen Indonesia), GPIB (Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat) dan GPI (Gereja Pentakosta Indonesia). Rumah-rumah ibadat yang dibangun merupakan hasil swadaya masing-masing masyarakat para penganut agama yang ada di Desa Simanduma. Dampak dari kebersamaan yang berawal dari pertemuan-pertemuan dalam hal peribadatan di gereja, menciptakan rasa persaudaraan dan kebersamaan hingga mewujudkan kehidupan yang tenang, aman dan damai.

3.2 Sistem Kekerabatan Etnis Batak Toba

Dalihan Na Tolu merupakan identitas etnis Batak. Dalam buku “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” ditulis J.C Vergouwen menyebutkan, Dalihan Na Tolu adalah unsur kekerabatan masyarakat Batak Toba. Maka setiap sub-etnis Batak memiliki garis penghubung satu sama lain, sistem kekerabatan orang Batak Toba adalah Patrilineal

ditarik dari garis keturunan ayah atau laki-laki44

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah

mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek), tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak), tulang tangkas (tulang saudara), tulang no robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua

Dokumen terkait