• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Kekayaan Intelektual (HKI), rekomendasi, inovasi teknologi dan produk biologi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam, kualitas dan keamanan

AKUNTABILITAS KINERJA

SASARAN 2 Hak Kekayaan Intelektual (HKI), rekomendasi, inovasi teknologi dan produk biologi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam, kualitas dan keamanan

komoditas unggulan.

Tabel 3.3 Sasaran 2

Indikator Target Capaian Evaluasi

Jumlah HKI, inovasi teknologi dan produk biologi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam varietas baru/unggul, kualitas dan keamanan komoditas unggulan air laut.

Produk biologi: 1 Ragam: 1 Paket teknologi: 1 Produk biologi: - Ragam: - Paket teknologi: 3 - -tercapai

Jumlah HKI, inovasi teknologi dan produk biologi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam varietas baru/unggul, kualitas dan keamanan komoditas unggulan air payau.

HKI: 1 Produk biologi: 1 Ragam: 2 Paket teknologi: 4 HKI: 2 Produk biologi: - Ragam: 2 Paket teknologi: 7 proses -tercapai tercapai

Jumlah HKI, inovasi teknologi dan produk biologi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam varietas baru/unggul, kualitas dan keamanan komoditas unggulan air tawar.

HKI : - Produk biologi: 1 Ragam: 3 HKI: 2 Produk biologi: - Ragam: - proses - -tercapai

L A K I P B a l i t b a n g K P 38 Paket

teknologi: 3

Paket teknologi: 3

Jumlah HKI, inovasi teknologi dan produk biologi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam varietas baru/unggul dan kualitas ikan hias.

Ragam: 1 Paket teknologi: 1 Ragam: - Komponen teknologi: 1 - tercapai

Jumlah HKI, inovasi ragam komoditas unggulan perikanan budidaya yang efisien, berkualitas dan aman.

Ragam: 5 Komponen teknologi: 2 Ragam: 5 Komponen teknologi: 6 tercapai tercapai

Jumlah rekomendasi yang meningkatkan efisiensi produksi, ragam varietas baru/unggul, kualitas dan kemanana komoditas unggulan 5 rekomendasi 7 rekomendasi belum maksimal Rekomendasi :

1. Teknologi budidaya ikan nila BEST (teknologi ini dianjurkan dan juga didukung oleh kegiatan IPTEKMAS yang dilakukan di Pacitan dan Muara Jambi-Jambi pada tahun 2010) 2. Teknologi pendederan tiram mutiara (teknologi ini dianjurkan dan juga didukung oleh

kegiatan IPTEKMAS yang dilakukan di Penjarakan, Negara, Bali pada tahun 2010)

3. Pemanfaatan teknologi probiotik untuk budidaya udang windu (teknologi pemanfaatan probiotik ini dianjurkan terutama untuk pemanfaatan probiotik RICA produksi massal hasil dari BRBAP Maros dan juga didukung oleh kegiatan IPTEKMAS di Pinrang SULSEL pada tahun 2010)

4. Teknologi Budidaya Udang Galah (teknologi ini dianjurkan dan juga didukung oleh kegiatan IPTEKMAS yang dilakukan di Jogjakarta pada tahun 2010)

5. Teknologi produksi patin daging putih (teknologi produksi patin yang berdaging putih telah dikuasai dan dianjurkan serta didukung oleh kegiatan IPTEKMAS Sapta Pantura pada tahun 2008-2010)

6. Teknologi produksi massal ikan hias air tawar botia (teknologi produksi massal ini dianjurkan, namun kegiatan IPTEKMAS akan direncanakan pada tahun 2011)

7. Peta kelayakan tambak di Selayar, Maros, Pangkep, Jambi, Berau dan Luwu (peta ini telah dianjurkan dan disampaikan kepada pemerintah daerah dimaksud)

Paket teknologi :

L A K I P B a l i t b a n g K P 39 2. Pembenihan ikan hias capungan banggai (akan dicetak 2011)

3. Pembenihan ikan hias klon (sebagai bahan diseminasi) 4. Teknik transfeksi udang windu (masih draft)

5. Teknik protoplas (masih drfat)

6. Tenik embriogenesis (sebagai bahan diseminasi)

7. HSRT Kepiting Bakau (masih dalam penyempurnaan draft, dan sebagai bahan diseminasi) 8. SOP Produksi Bioflok (masih dalam penyempurnaan draft)

9. SOP Kultur Jaringan dan Teknologi Aklimatisasi 100% (sebagai bahan diseminasi) 10. SOP Seleksi Klon Rumput Laut 100% (masih perlu uji multilokasi)

11. Teknologi budidaya ikan nila di lahan gambut (masih draft)

12. Teknologi pembesaran ikan baung di kolam dalam sampai ukuran konsumsi (masih drfat) 13. Teknologi produksi ikan nilem betina (all female) dengan menggunakan pejantan

fungsional (masih draft)

Komponen Teknologi :

1. Teknologi Pembesaran Ikan Patin Nasutus

2. Teknologi Suplementasi Kalsium pada Pakan Induk Udang Galah 3. Teknologi resirkulasi untuk pemijahan udang galah

4. Strain Ikan Nila Hibrida Toleran Salinitas

5. Pengaruh Kadar Nutrisi Pakan Terhadap Bioflok

6. Pengaruh Kepadatan Ikan Filter Feeder Terhadap Bioflok 7. Alat deteksi kelamin ikan arwana :

• Teknik dot-blotted • Lateral Flow Device

L A K I P B a l i t b a n g K P 40 1. Dari rumput laut Gracilaria sp hasil kultur jaringan telah tersedia ragam sebanyak 60 kg Gracilaria di tambak, dan 100 kg dan Eucheuma cottonii. Perbanyakan di lab dan lapangan terus dilakukan (benih kegiatan IPTEKMAS Brebes 2011) dan didistribusikan ke BBL Lombok 2. Dihasilkan ragam berupa calon induk udang windu tahan WSSV (F0) 53 ekor (20-30

gram/ekor), 314 ekor (0,3-0,4 g/ekor), 3000 ekor PL 30 melalui perbaikan teknik transfeksi dan pemeliharaan calon induk

3. Dihasilkan ragam berupa calon induk ikan patin nasutus sebanyak 500 ekor dengan bobot 500 gr

4. Dihasilkan ragam berupa calon induk ikan nila dari 3 koleksi calon induk jenis: nirwana, best dan aureus

5. Dihasilkan ragam berupa calon induk udang galah sebanyak 5.000 ekor induk udang galah populasi sintetik.

6. Dihasilkan ragam berupa calon induk ikan lele dari 3 koleksi calon induk jenis: sangkuriang, dumbo dan paiton.

7. Dihasilkan ragam berupa calon induk Ikan mas yang berasal dari 5 koleksi calon induk jenis : rajadanu, majalaya, wildan, sutisna dan sinyonya

HKI/Rilis :

1. Probiotik RICA

2. Monoklonal antibodi untuk mendeteksi WSSV 3. Vaksin Aeromonas hydrophila (Hidrovac) 4. Rilis Ikan Batak

Target pengusulan HKI dan rilis dari teknologi perikanan budidaya sesuai dengan Tapja (terlampir) adalah tiga, yaitu: probiotik RICA, monoclonal antibody untuk mendeteksi WSSV, dan rilis ikan batak. Namun realisasi usulan HKInya menjadi 4 usulan, dari dua teknologi yang diusulkan HKI belum satu pun yang mendapatkan HKI dari KemenKumHam, dan usulan HKI vaksin Hidravac Aeromonas hydrophila telah diusulkan sejak tahun 2006 ke BRKP namun harus kembali diulang pada tahun 2010 ini karena tidak terdeteksi present status usulannya, sedangkan ikan batak usulan HKInya pada tahun 2010 ini telah di proses Badan Litbang KP, dan

L A K I P B a l i t b a n g K P 41 rilisnya kepada masyarakat/stake holder baru akan dilaksanakan pada tahun 2011 karena terkendala dalam pendanaan.

SASARAN 3 Rekomendasi dan inovasi teknologi perlindungan pantai, energi terbarukan, pengawasan, eksplorasi, eksploitasi, instrumentasi kelautan, maritim, mitigasi/adaptasi bencana dan perubahan iklim yang meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan

Tabel 3.4 Sasaran 3

Indikator Target Capaian Evaluasi

Jumlah rekomendasi dan inovasi teknologi perlindungan, pengawasan, eksplorasi, eksploitasi, instrumentasi kelautan, maritim, mitigasi/adaptasi bencana dan perubahan iklim yang meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan

2 Rekomendasi 9 Inovasi 2 Rekomendasi 9 Inovasi tercapai Keberhasilan

1. UJI KINERJA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR GAS UNTUK KAPAL NELAYAN

Merekomendasikan penggunaan bahan bakar gas sebagai pengganti bahan bakar konvensional untuk kapan nelayan, yang terbukti memiliki kelebihan yaitu : (1) Terjadi penurunan Torsi dan daya mesin bila menggunakan dual-fuel yaitu sekitar 2,4%, (2) Konsumsi bahan bakar spesifik (BSFC) pada dual-fuel terjadi penghematan sebesar 6,0% dibandingkan solar, (3) Kepekatan asapnya (smoke), operasional dual fuel lebih rendah. Namun dalam pengoperasiannya terdapat kendala yaitu :

1. Pengaturan aliran gas ke intake manifold masih manual.

2. Flow mass gas LPG masih memakai timbangan digital sehingga hasilnya belum akurat. 3. Pengoperasian peralatan lebih dari 2 orang

Tindak Lanjut :

Agar dapat diterapkan pada kapal nelayan maka sebaiknya pengaturan aliran gas ke intake manifold dibuatkan desain alat sederhana disesuaikan dengan bukaan throttle nya yang dapat dioperaikan oleh 1 org nelayan

2. KAJIAN PENGEMBANGAN DERMAGA APUNG UNTUK PULAU-PULAU KECIL

Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (DJ-KP3K), KKP telah merintis program Pengembangan Sarana Tambatan Perahu untuk pulau-pulau kecil. Ini

L A K I P B a l i t b a n g K P 42 dikarenakan banyak pulau-pulau kecil bahkan belum mempunyai dermaga (tipe tiang pancang). Program dari DJKP3K ini dilakukan untuk memberdayakan pulau-pulau kecil diseluruh Indonesia.

Seperti kita ketahui, pulau-pulau terluar milik Republik Indonesia butuh dukungan sarana transportasi laut yang murah dan aman. Sembilan puluh dua (92) pulau tersebut tanpa didukung pemerintah dan swasta tak akan memiliki daya tarik untuk dikembangkan, baik dari sektor pariwisata, keamanan dan politik.

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa dermaga dengan sistem tiang pancang kurang memiliki fleksibilitas terhadap kenaikan permukaan air laut dan beda pang surut yang tinggi. Seiring dengan itu, Pusat Riset Teknologi Kelautan (PRTK-BRKP) berniat mendukung program yang sudah dikembangkan DJKP3K, dengan mendisain dermaga apung yang dapat dipakai dan diimplementasikan pada pulau-pulau kecil dan terluar tersebut.

Tujuan kegiatan ini adalah : (1) Memperoleh konsep dermaga apung utuk pulau kecil, (2) Menyediakan disain awal (conceptual-design) dermaga apung utuk pulau-pulau kecil.

Hasil/output dari kegiatan ini yaitu : (1) Tersedianya berbagai data konsep dan data ketersediaan sarana dermaga apung untuk pulau-pulau kecil, berikut data yang dimaksud :

 Sarat aman dari dermaga apung dengan menggunakan “Magic Cube/Float” adalah 0,30m atau dengan displacement 59,97ton. Dengan maksimum sarat sebesar 0,35m.

Gambar 3.13 Aplikasi Produk Magic Cube yang sudah di implementasikan.

 Dermaga apung memiliki panjang 35m, lebar 15m dan tinggi 0,4m. Terdiri dari dua (2) bagian dengan ukuran masing-masing 30m x 4m dan 5m x 15m. FLOATING DOCK memiliki panjang 35 m, lebar 15 m dan tinggi 0.4 m yang merupakan floating jetty. Dimana teridiri dari 2 bagian yaitu 30x4 m dan 5x15 m, dimana setiap bagian terdiri

L A K I P B a l i t b a n g K P 43 dari sarat aman dan sarat maksimum. Kondisi terapung untuk sarat aman mendekati 0.30 m dan untuk sarat maksimum yang diijinkan yaitu 0.35 dengan tidak terjadi trim. Hal ini merupakan kondisi floating dock sesuai dengan perhitungan.

Rekomendasi :

 Teknologi Dermaga Apung Untuk Pulau-Pulau Kecil, dapat dimanfaatkan ke semua pulau kecil dan untuk budidaya perikanan.

 Aplikasi pada DJPB- KKP: Budidaya rumput laut dan budidaya di waduk/perairan umum

 Aplikasi dermaga apung pada DJKP3K- KKP: Pulau-Pulau Kecil & Terluar dan kawasan MPA.

Beberapa inovasi :

1. Kajian Pelindung Pantai Untuk Area Pertambakan

Berdasarkan hasil analisis mengenai perubahan garis pantai di daerah penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa (1) Karakteristik Pantai Lombang Indramayu adalah tipe pantai berpasir dengan relief rendah dengan batuan penyusun lempung lanauan yang sangat lunak, (2) Morfologi pantai termasuk tipe pantai lurus, yang terbentuk oleh transport sedimen dalam arah sejajar pantai, (3) Perubahan garis pantai di Pantai Lombang dipengaruhi oleh angin musim, (4) Pengaplikasian struktur pelindung pantai di Pantai Lombang jenis pemecah gelombang sistem Karung Geotekstil Memanjang (KGM) adalah tiga buah dengan lebar 1.6 m, tinggi 1.4 m dan panjang 20 m. Jarak antara KGM adalah 40 m (Layout dapat dilihat di lampiran), (5) Pemasangan KGM untuk perlindungan pantai Lombang masih belum efektif, terutama pada musim barat. Kurang efektifnya pemecah gelombang ini juga dikarenakan jarak antara KGM yang cukup panjang, sehingga kurang bisa mereduksi gelombang dan penangkapan sedimen, (6) Hasil analisis lapangan di Pantai Lombang sebelum pemasangan pemecah gelombang pada musim angin peralihan garis pantai relative seimbang dari ujung seawall sampai ujung groin dekat Pantai Tirtamaya.

Pada pengamatan dua bulan setelah pemasangan yang dipengaruhi oleh musim angin timur kondisi garis pantai di wilayah Pantai Lombang mengalami penambahan sedimen atau akresi pada sisi ujung seawall sehingga mengakibatkan majunya garis pantai, sedangkan pada sisi groin dekat tirtamaya mengalami pengurangan sedimen atau abrasi. Selanjutnya pada pengamatan lapangan empat

L A K I P B a l i t b a n g K P 44 bulan setelah pemasangan yang dipengaruhi oleh musim barat kondisi garis pantai di sisi seawall mengalami pengurangan sedimen atau terjadi abrasi, sedangkan pada sisi ujung groin dekat tirtamaya mengalami penambahan sedimen atau akresi. Namun demikian karena litologi penyusun pantai tersebut di dominasi pasir, maka transport sedimen pada musim barat diimbangi dengan transport sedimen pada musim timur, sehingga perubahan garis pantai yang terjadi tidak terlalu besar., (7) Terdapat penutupan vegetasi yang didominasi oleh tumbuhan pionir tapak kambing (Ipomoea pres-caprae) pada sisi pantai berpasir yang berhadapan langsung dengan air pasang, berdasarkan pengamatan pada dua bulan setelah pemasangan KGM. Peran dalam stabilitas pantai: akar Ipomoea pres-caprae dapat mengikat pasir. adanya vegetasi alami pantai membantu dalam memperlambat erosi pantai. Dengan demikian mempertahankan adanya vegetasi alami pantai, merupakan salah satu cara untuk mempertahankan fungsi perlindungan alami pantai

Rekomendasi :

1. Sedimen yang terperangkap/tertahan di belakang bangunan pemecah gelombang, lama kelamaan akan membentuk daratan baru (tombolo). Tombolo yang terbentuk akan merubah bentuk garis pantai sehingga lebih maju dari garis pantai semula. Untuk mempertahankan tombolo yang terbentuk tersebut, perlu adanya penanaman vegetasi di lokasi tersebut, sehingga bentuk pantai yang baru dapat dipertahankan.

2. Selain upaya perlindungan keras dengan membangun struktur-struktur keras pelindung pantai yang tepat, maka aplikasi struktur lunak dengan memasang geotekstil yang dipadukan dengan mempertahankan vegetasi alami atau penanaman kembali vegetasi pantai yang telah hilang (revegetasi), merupakan salah satu alternatif solusi yang perlu dilakukan.

3. Pengaplikasian pemecah gelombang jenis KGM ini areal pertambakan di Pantai Lombang Indramayu akan lebih efektif dengan memperhatikan jarak penempatan antara KGM. Diusahakan untuk jarak antar KGM adalah tidak melebihi panjang dari KGM.

L A K I P B a l i t b a n g K P 45 Gambar 3.14 Pelaksanaan Instalasi struktur pelindung pantai jenis KGM

2. Rancang Bangun Teknologi Pemantauan Pasang Surut dan Dinamika Perairan Kawasan Budidaya

Dalam upaya merealisasikan target peningkatan produktivitas usaha budidaya, dibutuhkan dukungan inovasi teknologi perikanan budidaya seperti teknologi pemantauan lingkungan untuk daerah/kawasan budidaya pesisir dan perikanan laut. Inovasi teknologi pemantauan lingkungan dapat dilakukan dengan berbasis mikrokontroler dan di integrasikan dengan sistem telemetri sehingga dapat melakukan perekaman data secara real time dan cepat walaupun berada di remote area.

Outcome yang dihasilkan yaitu tersedianya instrumentasi pengukur pasang surut yang dapat menghasilkan informasi karakteristik perairan secara cepat dan time series di beberapa perairan Indonesia.

Berdasarkan dari pelaksanaan penelitian sesuai dengan metodologi yang diterapkan hingga tercapainya output yang diinginkan, terdapat beberapa kesimpulan antara lain : (1) Pemantauan lingkungan perairan untuk budidaya laut dan pelayaran sangat dibutuhkan masyarakat pesisir dan diinformasikan secara cepat, (2) Perancangan sistem pemantauan lingkungan laut yang terdiri dari beberapa sensor pengukur (pasang surut, arah dan kecepatan angina, suhu dan dissolved oxygen) dapat diintegrasikan sehingga mempermudah dalam pengelolaan

L A K I P B a l i t b a n g K P 46 data dan penyampaian informasi secara langsung, (3) Pengembangan sistem telemetri untuk komunikasi data dengan memanfaatkan jaringan GPRS dan frekuensi radio dapat diterapkan dalam satu sistem integrasi di daerah Kepulauan Seribu, (4) Sistem pemantauan ini memiliki tingkat validitas data yang cukup baik, akan tetapi perlu adanya pemeliharaan secara rutin untuk menjaga performa sensor khususnya untuk kualitas air.

Rekomendasi : Indonesia membutuhkan sebuah sistem pemantauan lingkungan perairan, tidak hanya perairan laut akan tetapi juga perairan umum. Kedepan perlu dikembangkan sebuah sistem yang terintegrasi antara perairan laut dan perairan umum seperti waduk, danau dan sungai khususnya untuk budidaya. Selain pengembangan sistem, pengembangan terhadap komponen dan pembuatan sensor perlu di inisiasi guna meningkatkan muatan lokal sehingga tercipta daya saing dan kemandirian dalam pengembangan teknologi.

Gambar 3.15 Pelaksanaan Instalasi Pemantauan Pasang Surut dan Dinamika Perairan 3. Pengembangan Buoy Pantai Untuk Pemantauan Budidaya Rumput Laut.

Kebutuhan akan data yang kontinyu dan dapat direproduksi adalah besar, mengingat data-data tersebut dapat menunjang berbagai aspek yang diperlukan, bukannya untuk kegiatan penelitian akan tetapi juga untuk kegiatan umum di masyarakat, misalnya untuk pengambilan keputusan terhadap gejala alam atau memprediksi suatu fenomena yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan lain sebagainya. Dalam pengamatan lingkungan laut, tentunya data-data yang direproduksi ini sangat penting untuk mengetahui berbagai fenomena dan pengolahan sumberdaya khususnya di lingkup kelautan dan perikanan.

Dari hasil riset ini yaitu : (1) Secara khusus tersedianya data-data kelautan secara kontinu bagi pengembangan kawasan Kep. Seribu dan secara umum

L A K I P B a l i t b a n g K P 47 berperan pada deklarasi INAGOOS, (2) Mendukung kebijakan dan pengambil keputusan bagi Dirjen KP3K, Dirjen PT, PB, dan Pemkab. Wakatobi. Rekomendasi :

 Teknologi buoy pantai dapat diaplikasikan juga untuk perairan danau, waduk, dan tambak.

 Untuk masa depan, pengembangan system telemetri agar akusisi data dapat dilakukan lebih mudah.

Gambar 3.16 Pelaksanaan Pemasangan Bouy di Wakatobi

4. Karakteristik Pembuatan Membran Dengan Teknik Inversi Vasa Untuk Menunjang Budidaya Perikanan.

Aplikasi teknologi membran (mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi) adalah salah satu alternatif solusi untuk mendapatkan air yang memenuhi syarat untuk kegiatan

L A K I P B a l i t b a n g K P 48 perikanan. Aplikasi proses ini begitu luas, khususnya untuk menghilangkan padatan tersuspensi (turbidity), termasuk padatan berupa mikroalga, Cryptosporidium oocysts, Giardia lamblia cysts, bakteri patogen, virus dan pyrogens. Untuk mendapatkan membran yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan perikanan, maka dilakukan karakterisasi pada pembuatan membran. Karakterisasi ini bertujuan untuk menentukan komposisi polimer yang digunakan pada proses pembuatan membran.

Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Karakteristik membran filtrasi dapat dikendalikan melalui pemilihan jenis polimer dan pengaturan konsentrasi polimer, dimana semakin tinggi konsentrasi polimer semakin rendah fluks yang diperoleh. Rendahnya perolehan fluks ini akibat resistensi membran. Untuk kasus pemisahan umpan dengan kandungan bahan terlarut, sebagai tambahan pada resistensi membran timbul adanya resistensi polarisasi atau cake. Resistensi ini dapat lebih tinggi dibandingkan dengan resistensi membran itu sendiri, (2) Hasil pengujian terhadap membran selulosa asetat pada konsentrasi polimer 11, 13, (3) 15, dan 17% tidak dihasilkan permeate. Pada konsentrasi selulosa asetat sebesar 9% dihasilkan fluks membran, tetapi jumlahnya sangat kecil, yaitu 60-70 L/m2/jam Hal tersebut menunjukkan membran dengan bahan polimer selulosa asetat pada penelitian ini belum dapat dikatakan layak karena tidak memenuhi standar/ syarat pembuatan membran, (4) Membran polisulfon dengan konsentrasi sebesar 11% merupakan membran yang terbaik ditinjau dari fluks, rejeksi parameter fisika dan mikrobiologi yang dihasilkan. Pada uji coba aplikasi, fluks membran ini mencapai 140 – 150 L/m2.jam, rejeksi terhadap kekeruhan & TSS mencapai 100%, rejeksi terhadap warna mencapai 92,8%, rejeksi terhadap parameter biologi yaitu TPC & total koliform masing-masing sebesar 99,9 dan 87,5 %. Rekomendasi :

Data komposisi polimer yang dihasilkan pada riset ini, dapat digunakan sebagai rekomendasi pembuatan membran skala industri. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengoptimalkan proses preparasi membran guna memperoleh karakteristik membran yang diinginkan, yaitu membran dengan fluks dan selektivitas tinggi serta tahan terhadap pengaruh mekanis, termal, dan kimiawi.. Kajian pada skala lebih besar dapat dilakukan untuk mengkaji tingkat kepraktisasi, konsistensi membran yang dihasilkan, dan tingkat kelayakan finansial.

L A K I P B a l i t b a n g K P 49 Gambar 3.17 Proses pembuatan membrane

Gambar 3.18 Peralatan ujicoba aplikasi membran

5. Rancang Bangun Teknologi Akustik Untuk Monitoring (LUMBA) Manajemen Pakan Tambak Udang Intensif.

Akumulasi sisa pakan di dalam tambak udang dapat menyebabkan turunnya kualitas air tambak, turunnya produktivitas hasil panen dan merugikan para petani tambak. Pemantauan secara manual tidaklah efektif, menyita banyak waktu dan tenaga, rentam terhadap kesalahan, apalagi untuk areal yang luas. Anco (diameter 1x1m) digunakan sebagai alat pantau di tambak dan secara berkala sampling dilakukan oleh operator tambak. Ancostik mampu mendeteksi aktivitas udang yang menandakan ketersediaan pakan berupa pellet di dalam tambak. Hasil menggunakan suara ultra lebih akurat dan lebih terjamin, ditambah teknologi telemetri berbasis panel matahari memungkinkan pemantauan jarak jauh untuk cakupan yang luas dan hemat energy.

L A K I P B a l i t b a n g K P 50 Gambar 3.19 Komponen Ancho serta proses Instalasi di tambak

6. Kajian Listrik Tenaga Arus Laut.

Peningkatan pemakaian energi dari fossil (minyak dan gas bumi) tidak diimbangi dengan proses terbarukannya sehingga terjadi peningkatan harga konsumsi yang sulit dijangkau masyarakat pesisir dan pulau. Kebutuhan energi listrik untuk proses penanganan bahan baku ikan/hasil laut yang dihasilkan dari usaha nelayan di pulau-pulau kecil selain itu listrik juga dibutuhkan bagi pemenuhan energi untuk budidaya perikanan lepas pantai.

Dari riset yang telah dilakukan dihasilkan beberapa kesimpulan : (1) Dari semua pengukuran turbin baru mulai bergerak pada inverter 20 atau sekitar 0.11 – 0.12 m/s. Maka disini cut in speed dari model Turbin adalah 0.11 m/s. Maka jika di skalakan dalam prototype dengan perbandingan 1:5 dengan model maka cut-in-speed dari prototype Turbin adalah berkisar 0.25 m/s, sebagai perbandingan turbin komersial tipe Gorlov memiliki cut-in-speed 0.5 m/s dengan perbandingan dimensi geometric yang sama dengan turbin prototype, (2) Model turbin yang dikembangkan dalam penelitian ini akan bekerja relative sama baiknya pada kondisi turbin terendam seluruhnya maupun hanya sebagian yang terendam. Dengan demikian model turbin ini akan dapat tetap bekerja jika dipasang di atas permukaan air surut terendah (LWS), (3) Tip Speed Ratio (TSR) dari hasil pengujian model turbin terdapat kondisi hasil pengukuran pada model yang memiliki TSR > 1, hal ini menunjukkan model turbin memilki potensi kecepatan linear dari ujung propeller yang lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan fluidanya. Sebagai perbandingan, secara teori, model turbin crossflow tidak dapat memberikan kecepatan propeller yang lebih cepat dari kecepatan fluida, dan hanya turbin dengan tipe axial flow yang memilki potensi TSR>1. Maka Turbin ini lebih baik dibandingkan turbin tipe crossflow pada umumnya, (4) Dari pengujian dan dari hasil analisa data pengukuran dapat dilihat pola pergerakan Turbin tidak kontinu. Pola perubahan kecepatan

L A K I P B a l i t b a n g K P 51 putar turbin ini mengikuti pola posisi lengan turbin. Hal ini dapat dilihat dari pola perubahan kecepatan rotasi turbin, Turbin dengan 3 lengan memiliki kecenderungan siklus perubahan kecepatan tiga kali dalam satu putaran sesuai dengan pola simetris turbin tiga lengan tiap120 derajat, sementara untuk turbin 4 lengan memilki siklus 4 kali dalam satu putaran sesuai dengan pola simetris turbin tiap 90 derajat, (5) Dari analisa terhadap koefisien kinerja Turbin, Turbin dengan Sirip Sempit Akan Bekerja lebih efektif di kecepatan Rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya seret yeng bekerja berlawanan dengan arah torsi pada saat Turbin Bergerak., Turbin 4 Lengan akan bekerja lebih baik dari pada turbin 3 Lengan terutama pada kecepatan tinggi, (6) Cp Turbin adalah berkisar dari 0.1 sampai 0.6 pada kecepatan Tinggi.

SASARAN 4 Wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang teridentifikasi potensi,