• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

B. Analisis Ketidakadilan Gender

1. Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender related violence.69

Bentuk kekerasan yang masuk dalam kategori kekerasan gender yakni pemerkosaan terhadap perempuan, serangan fisik, penyiksaan kepada organ alat kelamin, prostitution (pelacuran), pornografi, pemaksaan sterilisasi program keluarga berencana, kekerasan terselubung, dan pelecehan seksual.

Salah satu jenis ketidakadilan dalam novel Entrok yang dialami oleh tokoh perempuan yakni kekerasan baik terhadap psikis atau fisik. Kekerasan terjadi akibat dari faktor dominasi dan superior laki-laki yang menyebabkan inferioritas terhadap perempuan di banyak sektor kehidupan. Ketidakadilan gender telah menimbulkan macam-macam jenis kekerasan yakni pemerkosaan, penyiksaan, pemaksaan sterilisasi, pornografi, pelacuran, dan pelecehan seksual.

Pada novel Entrok kekerasan yang dialami secara psikis yakni saat tokoh Marni saat menceritakan penyesalannya saat dipaksa mengikuti program Keluarga Berencana (KB) di desanya. Program KB merupakan program pemerintah untuk meminimalkan angka kelahiran. Pemaksaan menggunakan KB digambarkan pada kutipan berikut:

69

Mereka menyuruh orang-orang ikut KB. Katanya biar desa ini tidak tambah sumpek. Supaya semua anak bisa disekolahkan, dapat gizi yang cukup, orang tua tidak kerepotan, katanya kalau anak sudah dua, sudah cukup. Jangan sampai menambah anak lagi, anak baru satu juga bagus, bisa lebih makmur. Ya, kami semua nurut-nurut saja. Siapa to yang tidak mau makmur? Lalu kami yang sudah punya anak ini satu per satu masuk ke bilik yang ditutupi gorden putih. Semuanya di suntik satu per satu. Aku juga. Lalu sejak itu, setiap bulan kami dapat suntikan lagi, gratis. Kalau tidak datang, pak RT akan mencari ke rumah. Wong tidak ada ruginya, tidak bayar apa-apa, ya semua orang nurut saja. Baru sekarang saat lagi sepi begini aku jadi membayangkan seandainya waktu itu aku tidak disuntik, pasti rumah ini akan selalu ramai.70

Dari kutipan di atas bahwa sasaran program pemerintah yakni Keluarga Berencana (KB) diutamakan di pedesaan karena keterbatasan pendidikan membuat warga di desa kurang memikirkan masa depan anak-anaknya dan kelayakan hidup anaknya kelak. Melalui pendekatan dengan mengatakan bahwa supaya desa tidak sumpek, semua anak bisa disekolahkan, dapat gizi yang cukup, dan anak dua sudah cukup apalagi anak satu bisa lebih makmur membuat warga desa yang mengalami kesulitan ekonomi merasa teringankan. Mereka sukarela mau mengikuti program KB karena gratis dan mereka pikir tidak ada ruginya malah menambah untung karena mengurangi beban kehidupan.

Setelah bertahun-tahun melakukan program KB, Marni tersadar bahwa ia mengalami beban penyesalan psikis karena hanya memiliki satu orang anak saja. Saat Rahayu pergi merantau kuliah di Jogja, Marni merasa kesepian dan merindukan memiliki anak yang banyak. Mungkin penyesalan yang dialami Marni merupakan gambaran realitas sebenarnya bahwa kelak perempuan yang melaksanakan program KB baik yang dipaksa atau yang sukarela akan

70

mengalaminya baban psikis atau fisik. Di masyarakat program KB banyak menimbulkan gangguan fisik pada penggunaannya seperti infeksi pada rahim karena penggunaan spiral, dan kerusakan hormon karena penggunaan alat kontasepsi hormonal (pil atau suntik). Pemaksaan program KB menjadikan perempuan sebagai korban.

Program KB merupakan sumber kekerasan terhadap perempuan karena perempuan dianggap dapat mengontrol pertumbuhan penduduk. Perempuan dijadikan korban untuk memenuhi target dari program pemerintah. Sebenarnya semua orang mengetahui bahwa sumber dari pertumbuhan penduduk bukan hanya dari perempuan tetapi juga pada laki-laki. Perempuan dipaksa untuk melakukan sterilisasi yang sering kali dapat membahayakan psikis dan fisik mereka. Dalam program pemerintah melanggengkan bahwa perempuan selalu dijadikan korban kekerasan baik psikis maupun fisik. Di masyarakat masih memandang bahwa ber-KB merupakan tanggung jawab perempuan. Padahal fungsi manusia untuk melanjutkan keturunannya merupakan tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan bukan semata-mata dibebankan kepada perempuan.

Selanjutnya, Rahayu juga mengalami kekerasan dalam bentuk pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara saat ia di penjara. Tentara yang memiliki jabatan dan kekuasaan atas narapidana seakan-akan berhak menentukan nasibnya. Rahayu harus menerima tindakan bejat tentara saat memperkosa dan menyiksanya. Perempuan di penjara dijadikan objek seksual bagi para tentara. Hal tersebut sesuai kutipan berikut:

Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau menutup muka saat aku bercerita

tentang tentara. kau menjerit waktu aku bilang aku diperkosa dan disiksa.71

Kutipan tersebut menceritakan pengalaman Rahayu yang diperkosa oleh tentara. Perempuan di penjara mendapatkan tindakan yang tidak pantas yang dilakukan oleh tentara atau aparat negara. Rahayu sebagai perempuan semakin tidak berdaya oleh kekuasaan tentara, karena ia hanya sebaga narapidana.

Selanjutnya pada novel ini terdapat kekerasan dalam bentuk pemerkosaan yang menimpa Ndari. Ndari digambarkan sebagai bocah perempuan yang baru beranjak menjadi perawan, badannya merekah, semok, dan montok. Tingginya melebihi anak seusianya. Ndari diperkosa oleh Pakliknya sendiri yakni Kartono. Kartono melakukan perbuatan bejatnya tidak sekali tetapi berkali-kali. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

Pakliknya-nya yang tinggal dibelakang rumahnya menyuruhnya datang. Ndari diminta mengeroki punggung paklik-nya. Paklik-nya sedang masuk angin. Saat itulah, pelan-pelan tangan laki-laki itu menggerayangi selangkangan Ndari, menembus selaput tipis itu. Ndari kesakitan. Dia menangis. Laki-laki itu menyuruh keponakannya diam.72

Kutipan di atas menegaskan bahwa memiliki hubungan darah tidak menutup kemungkinan tidak terjadi kekerasan atau pemerkosaan. Keluarga dan rumah merupakan tempat paling aman dan nyaman bisa berubah menjadi tempat yang tidak aman. Status keluarga dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kejahatan yang telah dilakukan oleh Kartono, Paklik Ndari. Ia melakukan perbuatannya berkali-kali hingga Ndari mengalami kesakitan pada fisik dan psikisnya. Ndari tidak menceritakan perbuatan Paklik-nya kepada Bapaknya karena ia takut pada Bapaknya dan ia tidak yakin

71

ibid,h. 12

72

Bapaknya akan berpihak padanya. Oleh karena itu, Ndari menceritakan semuanya kepada gurunya yakni Rahayu, dan karena Rahayu perempuan pasti akan lebih mengerti perasaan dan penderitaan yang dialami oleh Ndari. Ndari juga mengalami kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran yang dilakukan oleh Ndari merupakan perintah dari Bapaknya untuk merayu tentara-tentara agar tidak mengeruk desa mereka. Terdapat pada kutipan berikut:

Loh ada apa kamu kesana?”

Ndari ketakutan. Mukanya merah matanya berkaca-kaca. “Disuruh bapak.”

“Disuruh apa?”

“Ayo ri bilang. Disuruh apa kamu malam-malam ke sana?. Itu.. Pak Tentara... biar besok kami tidak dikeruk.”

“Hah! Apa maksudnya?Kamu ngapain sama tentara, hah?” “Ttidur... terus minta agar besok tidak dikeruk.”73

Kutipan di atas terdapat unsur kekerasan dalam bentuk pelacuran yang dialami oleh perempuan, Ndari. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dengan motif ekonomi yang merugikan kaum perempuan.74

Melalui tokoh Ndari sebagai bocah yang beranjak remaja, Okky Madasari mencoba menyelipkan kritikan terhadap ketidakadilan gender yang selalu mengalami kekerasan dalam hal seksual. Perempuan merupakan obyek eksploitasi yang menarik, tidak hanya dalam stereotip yang menjadikan perempuan makhluk dan kaum yang lemah, tetapi juga dari sisi seksual. Sebagai lawan jenis dari laki-laki, perempuan selalu dijadikan obyek untuk memenuhi hasrat laki-laki.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang lazim terjadi. Perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat menempatkan perempuan pada status yang lebih rendah dari pada laki-laki. Laki-laki memiliki hak istimewa yang

73

Ibid., h. 251

74

membuatnya seolah-olah menjadikan perempuan sebagai barang kepunyaan yang berhak diperlakukan dengan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan fisik dan psikis.

Pada novel ini juga terdapat kekerasan dalam bentuk tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga yakni saat Simbok yang sakit dipukul oleh suaminya karena tidak ada makan. Hal tersebut sesuai pada kutipan:

Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya, dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. Saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesegukkan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali.75

Pada kutipan di atas, menunjukan bahwa Simbok mendapatkan kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh suaminya hanya karena Simbok sakit, tidak dapat ke pasar mencari makan. Kekerasan seperti ini tidak selayaknya dilakukan oleh suami terhadap istrinya yang sedang sakit. Seorang Bapak seharusnya mencerminkan sikap yang baik kepada keluarganya, bukannya melakukan kekerasan. Kejadian tersebut menimbulkan trauma bagi Marni dan Simbok serta menjadikan mereka merasa aman dari kekerasan walau tanpa kehadiran seorang suami dan sosok Bapak.

Espiritu dalam Sugihastuti mengatakan bahwa secara struktural, kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi pendudukan yang berbasis kelas yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih inferior dibandingkan laki-laki.76

Perbedaan gender telah menimbulkan ketidakadilan yang menempatkan

75

Ibid., h. 18

76

perempuan di posisi yang lebih rendah dan berhak diperlakukan seenaknya oleh laki-laki.

Dokumen terkait