• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

B. Analisis Ketidakadilan Gender

2. Subordinasi

Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud.77

Subordinasi menjadikan perempuan tidak memiliki haknya untuk menyeruakan pendapat atau keputusannya. Pada novel Entrok juga terjadi subordinasi hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

Malam itu, di belakang rumah, saat ku ulangi permintaanku kepada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa, simbok berbisik pelan. “Nduk, anak permepuan itu harus punya suami, punya anak. Kalau sudah ada yanng melamar tidak boleh ditolak, bisa kualat, jadi perawan tua.” Aku tak membantah omongan Simbok. Tak mengiyakannya. Tapi hanya tiga hari setelah itu, kami berada di rumah Kamituwo.78

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Marni tidak dapat mengemukakan pendapatnya untuk menolak lamaran Teja untuk menikahinya. Perempuan dianggap harus selalu menerima lamaran laki-laki walau perempuan ingin menolaknya. Permasalahan ini memberi anggapan bahwa perempuan tidak dapat mengatakan pendapatnya. Ketakutan untuk menikah dengan Teja tidak dapat diutarakannya karena dibatasi oleh budaya yang berlaku bahwa perempuan harus menerima lamaran laki-laki apabila dilanggar akan berdampak kepada perempuan menjadi perawan tua. Hal ini menandakan bahwa sebelum menjadi suami-istri laki-laki sudah memiliki hak istimewa untuk mendominasi dan menjadikan

77

Nugroho, op.cit., h.11

78

perempuan sebagai penerima segala keputusannya. Diperkuat dengan pendapat Mulia bahwa pemahaman tentang kepimpinan perempuan. Di masyarakat perempuan itu tidak layak menjadi pemimpin karena tubuhnya sangat lembut dan lemah, serta akalnya pendek, lagi pula perasaannya sangat halus dikhawatirkan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas.79

Subordinasi juga dialami oleh Bu Jujuk, ia mengetahui prilaku Pak Jujuk yang suka selingkuh dengan simpanannya. Hal tersebut sesuai pada kutipan berikut:

Suatu hari, suami Pak Jujuk pulang saat Bu Jujuk untuk kesekian kalinya menceritakan lakon Pak Jujuk dan kledek

gendakan-nya. Bu Jujuk yang tak menyadari kehadiran

suaminya terus menumpahkan perasaan sambil menangis. Semuanya langsung berhenti saat terdengar teriakan suaminya. Bu Jujuk langsung menghapus air matanya, lalu buru-buru masuk rumah. Dari luar ku dengar umpatan-umpatan suami Bu Jujuk. “Istri nggak tahu diri! Kerjaannya rasan-rasan terus!” tak ada jawaban dari mulut Bu Jujuk. Lenyap semua umpatan yang sebelumnya dikatakan padaku. Bu Jujuk kembali ke dunianya, dunia yang penuh kepatuhan dan ketakutan80

Bu Jujuk merupakan korban dari subordinasi. Ia merasa sedih dengan prilaku suaminya yang selingkuh dengan simpanannya. Bu Jujuk harus menerima kenyataan bahwa suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Sebagai istri, Bu Jujuk merasa mengalami tekanan batin karena suaminya berselingkuh tanpa sepengetahuannya. Untuk mengurangi rasa tekanan batinnya ia menceritakannya kepada Marni. Walau Bu Jujuk merasa sedih dan kecewa dengan prilaku suaminya tetapi ia masih menganggap bahwa dalam keluarga, suaminyalah orang yang harus dipatuhinya dan ditakuti.

Dari peristiwa Bu Jujuk, perempuan berada di posisi yang lebih rendah dalam keluarga. Perempuan diharuskan selalu patuh dan

79

Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gemder, (Yogyakarta: Kibar Pers,2006) h. 12-13

80

taat walau suaminya berselingkuh. Hal tersebut menggambarkan bahwa perempuan tidak dapat dengan bebas menyuarakan pendapatnya bahwa ia tidak suka dengan perlakuan laki-laki. Suami dan istri berkewajiban saling menjaga nama, kehorrmatan dan hak-hak pribadinya. Tentu saja, hubungan serba “saling” itu hanya dapat diwujudkan dalam wujud relasi yang setara dan seimbang, bukan dalam relasi yang timpang di mana satu pihak mendominasi pihak lainnya. Karena itu, harus ada upaya untuk menghilangkan dominasi-baik dominasi suami maupun dominasi istri dalam kehidupan perkawinan karena setiap bentuk dominasi selalu berujung pada pengabaian dan bahkan pengingkaran hak asasi manusia.81

Pada ruang lingkup pernikahan seharusnya tidak ada saling mendominasi sehingga memicu terjadinya ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam bentuk subordinasi. Subordinasi yang dialami Bu Jujuk diakibatkan oleh prilaku semena-mena suaminya menganggap bahwa istri harus patuh dan takut pada suami dengan keputusan yang dipilihnya. Ungkapan suwargo nunut neroko katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suami adalah contoh dimana perempuan dianggap tidak berperan dalam kehidupan.82

Ungkapan Jawa tersebut telah menguggulkan laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai the

second sex.

Budaya telah melanggengkan adanya inferioritas pada perempuan. Perempuan seakan disahkan saja untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi dari suaminya. sesuai tuntunan Al Quran pada surat Al Baqarah ayat 128 : hunna libasun lakum wa antum libasun

lahunna (istri merupakan pelindung bagi suami dan sebaliknya, suami

81

Mulia, op.cit., h. 21

82

pelindung bagi istri).83

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam islam, suami dan istri mempunyai kedudukan yang setara dan saling melengkapi satu sama lain.

Subordinasi yang biasanya melalui persoalan pendidikan dalam hal mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki tidak digambarkan dalam novel Entrok. Rahayu, anak perempuan Marni dan Teja dapat bersekolah hingga Perguruan Tinggi. Hal tersebut menunjukkan tidak ada subordinasi dalam hal pendidikan pada novel ini. Okky Madasari menggambarkan dalam beberapa permasalahan perempuan dengan mudah dapat menyuarakan pendapatnya seperti saat Rahayu ingin melanjutkan sekolahnya di Jogja. Rahayu pun mendapatkan izin untuk bersekolah di sana dari kedua orang tuanya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

Rahayu memilih kuliah di Jogja. Orang tuanya yang tidak tahu apa-apa hanya menyetujui. Aku dan Teja sudah cukup bahagia hanya dengan melihat anak kami satu-satunya akan berangkat ke kota untuk kuliah.84

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Rahayu dengan mudah mengutarakan pendapatannya dan keinginannya. Subordinasi pada perempuan yang sudah dilanggengkan oleh sisitem sosial dan budaya patriaki tidak menghambat keinginannya untuk kuliah di Jogja. Marni dan Teja sudah tidak mempermasalahkan lagi bahwa perempuan hanya harus di dapur, masak dan melayani suami. Mereka telah menghilangkan subordinasi terhadap anak perempuan dan menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang Perguruan Tinggi.

Okky menggambarkan dalam novelnya bahwa orang tua harus mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya tanpa membedakan antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan merupakan kewajiban orang tua untuk memberikan bekal untuk masa depan anak-anaknya

83

Mulia, loc. cit., h.148

84

kelak. Orang tua selaknya memberikan pendidikan yang seluas-luasnya kepada anak-anaknya, tidak memaksakan kehendak, terutama dalam pernikahan dan perjodohan.

Dokumen terkait