• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III OKKY MADASARI

B. Pemikiran-pemikiran Okky Madasari

Karya-karya Okky Madasari banyak mengangkat permasalahan-permasalahan sosial mengenai ketidakadilan dan ketertindasan yang terjadi di masyarakat. Okky merasa melalui menulis novel ia memperjuangkan suara-suara yang tertindas bisa lebih efektif didengar dan dibaca dibandingkan hanya menyuarakannya di dalam sebuah tulisan berita. Berita sering kali didengar dan baca sambil lalu, seenaknya saja. Ia merasa lebih mau mendengar dan dituntut lebih untuk memperjuangkan keadilan lewat tulisan dan melakukan kebaikan kemanusiaan. Okky sudah meneguhkan hatinya untuk menulis sebuah cerita tentang perlawanan atas ketidakadilan. Karya-karyanya terhubung dalam memperjuangkan kebebasan dan kemanusiaan. Ia membela apa yang ia yakini benar, dan buatnya harusnya setiap orang punya hak untuk meyakini apa saja tanpa gangguan. Dua sastrawan yang menurutnya setipe denganya, tak lain dan tak bukan adalah Pramodeya Ananta Toer dan Umar Khayam bagi Okky mereka berdua mengusung aliran realisme sosialis. “Mereka menulis sebuah cerita realita sekitar dan itu yang saya lakukan sekarang.” Menurutnya permasalahan-permasalahan yang ia munculkan dalam cerita justru menggambarkan Indonesia masih punya harapan untuk bangkit, seburuk apapun kondisinya. Ia ingin pembaca menilai sendiri akhir cerita itu seperrti apa dengan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, membuka berbagai kemungkinan yang akan terjadi dan bukan tidak mungkin itu justru akan menumbuhkan sikap kritis dan skeptis terhadap permasalahan dalam novel yang dibuatnya.3

2

Okky Madasari, http://okkymadasari.net/about/ diakses pada tanggal 21 Oktober 2014

3Wawancara dengan Okky Madasari “Memperjuangkan Kebebasan dan Keadilan”,

Untuk menghasilkan sebuah karya ia selalu melakukan riset. Menurut Okky, riset lapangan ataupun kepustakaan akan memberikannya ide-ide menulis. Perempuan asal Magetan, Jawa Timur ini mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mencari ide cerita hanya dengan melamun atau berimajinasi. Menurutnya ide itu didapat setelah melakukan riset dari lapangan, atau bacaan, atau wawancara, melihat, atau mendengar. Ia tak menampik, pengalamannya menjadi wartawan di sebuah media nasional selama tiga tahun sangat membantunya. Ia jadi merasa ringan ketika harus ke lapangan dan mewawancarai narasumber, jadi layaklah kalau kisah novel-novelnya cukup hidup. Menjadi seorang penulis novel sebenarnya bukan cita-citanya, ia ingin sekali menjadi wartawan, sehingga ia mengaku cukup berat saat harus mengambil keputusan meninggalkan profesi yang ia cita-citakan sejak kecil ini pada tahun 2009. Piano kini tidak hanya menjadi pelariannya kala bosan. Ia bahkan telah mengeluarkan karya dengan pianonya. Album yang liriknya masih berkaitan dengan kisah dalam novel Maryam dirilis bersamaan dengan rilis novelnya pada awal 2012.4

Okky percaya, sastra merupakan salah satu medium yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Apalagi ditengah bombardir berita yang sifatnya hanya jangka pendek. Baginya menjadi jurnalis terlalu banyak batasan. Okky merasakan kreativitasnya seperti terbelenggu oleh kode etik jurnalistik. Dia tidak bisa memasukkan opini dalam hasil liputannya. Selain itu penyampaian informasi dibatasi hanya di kertas koran. Padahal dia ingin tulisan-tulisan yang dibuatnya berisi banyak kritik sosial. Akhirnya ia membulatkan tekad untuk mundur dari wartawan dan fokus menjadi penulis. Menurut lulusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) angkatan 2002 itu, menjadi penulis novel lebih bebas. Dia bisa memasukan opini bahkan

4“Piano di Jeda Novel”, Koran.Tempo.co,

http://koran.tempo.co/konten/2012/12/16/295032/OKKY-PUSPA-MADASARI-Piano-di-Jeda-Novel diakses pada tanggal 6 Februari 2014.

keberpihakannya pada tokoh atau kelempok tertentu dalam setiap tulisannya. Dia juga bisa mengekspresikan kreativitasnya dengan leluasa. Namun Okky sadar bahwa daya dorong sebuah novel tidak bisa sekuat berita di koran atau media elektronik. Meskipun begitu, novel dan cerita fiksi memiliki potensi sendiri. Tulisan fiksi bisa memengaruhi perasaan masyarakat.5

Okky mendirikan lembaga yang bernama Yayasan Muara Bangsa (YMB). Yayasan tersebut bergerak di bidang pendidikan usia dini, anak-anak pinggiran, kurang mampu, dan korban bencana. Pada awalnya ia menemukan fakta bahwa beberapa tetangganya kesulitan menyekolahkan anaknya. Selanjutnya ia meminta izin kepada suaminya untuk memanfaatkan sebidang lahan untuk dijadikan tempat pendidikan awal bagi para tetangganya yang ekonominya sulit.

Penulis novel “Maryam” Pemenang Khatulistiwa Literary Award

2012, Okky Madasari merespon rasa kagumnya kepada Kartini dalam pemikiran-pemikirannya sebagai inspirasi dan karya-karya. Namun Okky tetap ingin jadi dirinya sendiri. Setiap April, banyak acara yang digelar dimana-mana dari anak-anak sekolah hingga masyarakat luas dengan menghadirkan kebaya sebagai simbolnya. Menurut Okky peringatan kelahiran Kartini akhirnya identik dengan peragaan busana dan rangkaian seremonial tanpa makna. Bahkan, sejak di bangku sekolah, kita diajari bahwa Kartini adalah perempuan Indonesia yang menyuarakan emansipasi. Tapi tak pernah ada penjelasan lebih jauh apa yang dipikirkan Kartini soal emansipasi. “Habis Gelap Terbitlah Terang„ senantiasa disebut sebagai buah pikir Kartini. Tapi hanya segelintir orang yang tahu apa sebenarnya yang ditulis Kartini. Oleh sebab itu, melalui Yayasan Muara yang diasuhnya dan bekerjasama dengan Institut Ungu, diselenggarakan gelaran pembacaan surat-surat Kartini bertajuk

5

Agung Putu Iskandar, Okky Madasari Meraih Khatulistiwa Literary Award 2012 berkat Maryam,

http://www.jpnn.com/read/2012/12/12/150133/Okky-Madasari-Meraih-Khatulistiwa-Literary-Award-2012-berkat-Maryam- diakses pada tanggal 21 Oktober 2014

“Membaca Suratnya, Terbitlah Terang,” di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 18 April 2013.

Melalui sastra, novelis Okky Madasari memilih caranya untuk memperingati momentum 15 tahun reformasi yang sarat sejarah. Novelis yang lebih dulu dikenal melalui novel Entrok (2010), 86 (2011), dan

Maryam (2012) itu menjadikan momentum 15 tahun reformasi untuk

merefleksikan kondisi terkini bangsa Indonesia melalui peluncuran sebuah buku terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa. Bertempat di teater kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, peluncuran novel Pasung Jiwa juga menghadirkan teater yang mengangkat cerita dalam novel Pasung Jiwa yang juga melibatkan Yayasan Muara yang didirikannya.

Pada tahun 2010 pertama kalinya Okky berhasil menghasilkan novel yang berjudul Entrok. Novel tersebut terlahir karena kedekatan dengan neneknya yang banyak mengisahkan pengalaman hidupnya. Novel Entrok memiliki latar belakang cerita pada masa rezim orde baru dan mengisahkan tekanan kesewenang-wenangan kekuasan pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai korban. Selanjutnya pada tahun 2011, Okky merilis novel yang berjudul 86, novel tersebut merupakan pengalamannya selama menjadi wartawan yang sering kali meliput berita mengenai hukum. Novel ini terlahir dari keprihatinannya atas praktik-praktik korupsi di negeri ini. Pada pembuatan novel ini sebelumnya ia melakukan riset dan mengumpulkan bahan selama dua tahun pada saat ia meliput berita di bidang hukum. Novel ini juga masuk dalam nominasi Khatulistiwa Award 2011.

Pada tahun 2012, Okky meliris novelnya yang berjudul Maryam. Novel ini terlahir dari diskriminasi yang dialami oleh warga Ahmadiyah di tanah airnya sendiri, sehingga Okky menjadikan kasus tersebut sebagai tema novelnya. Tapi, ia tidak membahasnya hingga hal-hal yang berkaitan dengan keyakinannya, ia hanya berfokus pada kondisi sosial dan penderitaan warga Ahmadiyah setelah terusir dari rumah dan tanahnya. Sebelum menulis novel ia melakukan riset selama 6 bulan terhadap

komunitas Ahmadiyah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada novel ini Okky tetap memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan serta kemanusiaan.

Novel Maryam memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk kategori prosa. Pada saat rilis novel Maryam, Okky juga meliris karya lainnya yaitu mini album Terbangkan Mimpi yang berisi tiga lagu yakni Terbangkan Mimpi, Sesaat Bersama, dan Hiasan Waktu. Lirik dari lagu-lagu yang diciptakannya masih berkaitan dengan novel Maryam. Namun, di album tersebut Okky tidak menyanyi, hanya menciptakan lahu. Ia menggandeng Sei Latifah sebagai vokalis.

Tahun 2013, Okky meluncurkan novel terbarunya yang berjudul

Pasung Jiwa. Novel tersebut masih tetap mengusung isu kemanusiaan dan

ketidakadilan dalam masyarakat. Novel ini mengangkat tema mengenai kebebasan individu, menyinggung soal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Pada pembuatan novel Pasung Jiwa, Okky juga melakukan riset dengan teman-teman LGBT. Dalam novel tersebut Okky mengkritik agar kita mestinya berani menguak rasa takut dan mengingatkan bahwa sekarang manusia banyak yang sudah kehilangan kebebasannya karena pandangan agama, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena mereka berbeda maka mereka layak untuk di pinggirkan.

Dokumen terkait