• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan di Balik Disiplin Sekolah

Dalam dokumen Apa yang Tersisa dari INDONESIA (Halaman 188-193)

S

IR Ken Robinson pada sebuah forum di Bris-

bane, awal April 2006 menyampaikan kepri-

hainannya pada keadaan pendidikan sekarang, yang menurutnya telah membunuh potensi kreaif anak-anak. Pernyataan Robinson ini penulis amini. Bahwa interaksi satu arah antara guru dan siswa di sekolah-sekolah kita pada hari ini, di mana guru men-

jadi pusat, dan berlaku seolah-olah maha tahu. Dalam pendidikan kita pada hari ini, guru dikejar-kejar isi kurikulum, lalu memaksa siswa-siswa untuk menelan teori-teori yang sudah disiapkan. Tetapi, idak memberikan kesempatan luas pada siswa untuk menemukan sendiri teori-teori. Jika seorang anak nampak idak begtu bersimpai pada pelajaran yang disampaikan oleh gurunya yang berlangsung satu arah dan membosankan, anak ini dicitrakan dengan anak yang bodoh. Atau, jika sedikit lebih beruntung, dikelompokkan ke dalam kelompok anak dengan gangguan belajar. Bertanya, idak boleh

sering-sering, apalagi yang nyeleneh-nyeleneh. Padahal, seorang anak dilahirkan dengan membawa potensi kreaifnya masing-masing. “Seiap anak dilahirkan sebagai seniman”, demikian kata Leonardo da Vinci. Mengapa anak-anak itu begitu kreaif? Karena mereka berani. Karena mereka idak dibatasi oleh ketakutan pada konsekuensi yang mereka terima saat berbuat salah.

Mari kita amai pada sekolah-sekolah kita pada hari ini. Peraturan pertama meski idak tertulis, adalah: “dilarang bebuat salah”. Norma dan nilai yang guru-guru di sekolah coba tanamkan pada siswa- siswa mereka, juga lebih sering berbentuk uniformasi sepihak (dari guru pada siswa). Akibatnya, anak hapal, tapi sejainya idak paham atas aturan itu.

Pada hari ini, di sekolah-sekolah kita, seiap kesalahan yang dilakukan oleh siswa selalu mengundang hukuman dari guru. Punishment lebih diutamakan dari reward. Kadang-kadang dengan

dalih yang mulia, seperi mengajarkan anak untuk berdisiplin. Seorang anak yang bersalah misalnya, diharuskan untuk menulis puluhan kali kata maaf pada buku tulisnya. Dalam contoh lain, seorang anak yang melakukan kesalahan, disuruh berdiri satu kaki di depan kelas, sementara kedua tangannya memegang kedua telinganya, sepanjang jam pelajaran.

Citra pendidikan seperi ini hemat penulis adalah citra lama pendidikan di tanah air, yang mana guru-gurunya terkenal suka memberikan hukuman

isik pada siswa-siswa mereka. Seperi: lari keliling halaman sekolah berapa kali putaran, membersihkan toilet sekolah, atau memukuli jari-jari siswa dengan rota atau penggaris kayu. Citra pendidikan tersebut memang memberikan pembenaran pada guru untuk memberi hukuman isik pada siswa-siswa mereka.

Dalam teori pendidikan, sejauh yang penulis pelajari, ada dampak negaif dari penggunaan kekerasan isik oleh guru pada siswa dalam pendidikan. Hukuman-hukuman isik, dalam banyak kasus, idak akan menimbulkan efek jera pada siswa. Sebaliknya, hukuman yang diberikan seorang guru pada siswanya, menumbuhkan perasaan benci dan idak hormat pada guru yang bersangkutan. Kesannya, guru menjadi sosok dengan citra kejam dan menakutkan. Bukan sebagai sosok dengan citra ramah, melindungi dan membuat nyaman.

Betul, bahwa sebuah kesalahan pantas diganjar dengan hukuman, sebagai efek jera. Namun, bentuk hukuman yang diberikan mesilah harus disesuaikan dengan usia siswa, dan betul- betul dalam rangka pendidikan. Bukan sebagai bentuk peghakiman apalagi pengasingan. Tidak sepatutnya ada gelaran laki-laki atau perempuan, pintar atau bodoh, baik atau nakal, dan seterusnya, yang tanpa disadari ikut memicu konlik dan marjinalisasi antar siswa. Guru perlu mendukung terimplementasikannya nilai-nilai demokrasi dalam pendidikan dan pembelajaran di sekolah.

Kekerasan pada siswa dapat terjadi, salah satu di antara penyebabnya juga adalah karena kurangnya pengawasan dan lemahnya kompetensi manajerial seorang kepala sekolah, yang seyogyanya secara koninyu melakukan bimbingan dan evaluasi pada guru-guru di sekolahnya. Apalagi dengan keberadaan komite sekolah, yang seharusnya dapat menjadi kontrol. Sebagaimana kita mahumi bahwa dasar pendirian komite sekolah adalah karena komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat, terutama terhadap peningkatan kualitas sekolah.

Kecuali itu, kekerasan pada siswa pada hari ini, juga menunjukkan sebuah gambaran tentang transparansi pendidikan dalam satuan sekolah masih sebatas pada transparansi dana. Pada aras inilah, hemat penulis, amat diperlukan kepedulian dan peran orang tua siswa dalam memantau proses pendidikan anak-anaknya.

Sekolah juga jangan sampai kehilangan momentum untuk memelihara tradisi dialog secara koninyu. Tidak hanya pada saat tahun ajaran baru untuk mendatarkan anak-anaknya bersekolah, atau pada saat pengambilan raport, melainkan pada seiap kesempatan yang ada. Orang tua seharusnya juga jangan malu bertanya pada anak-anak mereka tentang akiitas dan perkembangan belajar mereka. Jadi idak sebatas menanyakan hasil ujian sekolah, atau prestasi anak-anak mereka.

primiif, yang menurut penulis perlu dihilangkan lewat pendidikan. Jika pada hari ini lembaga pendidikan masih mentradisikan penggunaan kekerasan atas nama pendisiplinan, maka pendidikan yang berkembang pada saat ini di lembaga-lembaga pendidikan, idak ubahnya sedang mendidik siswa menjadi pribadi-pribadi primiif, yang suka berlaku kasar, gampang marah. Atau, mudah membenci orang tanpa ada alasan yang jelas.

Gramscie melalui bukunya Poliik dan Hegemoni pernah menyinggung terkait potensi bawaan seseorang (sebagai manusia), yaitu potensi berbuat baik. Asumsinya, idak ada manusia yang terlahir sebagai jahat. Potensi inilah yang semesinya dikondisikan, dikembangkan dan diberdayakan dalam proses pendidikan.

Warna kekerasan dalam pendidikan kita pada hari ini penanda sebuah hal, yaitu kurangnya ajaran kasih sayang dalam seiap tatap muka antara guru dan siswa. Jangan sampai seorang guru meletakkan siswa sebatas sebagai objek dan bukan subjek. Alih-alih, penyeragaman dilakukan dengan mengatasnamakan “disiplin”.

Sudah saatnya, kita membaca ulang model pendidikan yang berlaku saat ini, yang jelas-jelas masih terikat oleh budaya hirarkis warisan belanda. Bukankah seharusnya begitu?.***

(4)

Kekerasan Dalih

Dalam dokumen Apa yang Tersisa dari INDONESIA (Halaman 188-193)

Dokumen terkait